Hubungi Kami
Artikel, Berita

Korupsi Era Pandemi adalah Korupsi Kemanusiaan

Dua operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi berturut-turut menjerat dua menteri aktif Kabinet Indonesia Maju yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Kasus ini merupakan pukulan keras terhadap Kabinet bentukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Kedua menteri yang diangkatnya ternyata korupsi. Padahal Presiden Jokowi sendiri telah mengultimatum kepada para menteri supaya tidak korupsi dan agar menciptakan sistem yang menutup celah korupsi kala memperkenalkan mereka ke publik. Inilah potret tentang korupsi, bahwa soal hasrat korupsi oleh pejabat korup tidak pernah mengenal ada kepercayaan yang besar kepadanya serta sedang dalam situasi darurat atau normal.

Sekelumit Problematika Dasar

Menurut Penulis memang ada persoalan mendasar mengapa terjadinya korupsi ini. Pertama, karena terbuka lebar kesempatan korupsi yang dijustifikasi pada peraturan yang ada. Misalnya, Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah menjadi UU No. 2 Tahun 2020 sedari awal bermasalah khususnya Pasal 27 ayat (1, 2 dan 3) yang dinilai pro perilaku koruptif. Jadi, seolah-olah pejabat merasa memiliki imunitas. Kondisi ini menstimulasi pejabat dengan agenda koruptif untuk menyalahgunakan kewenangan.

Kedua, praktik kebijakan sepihak oleh pemerintah yang mengabaikan suara/kritik dan kontrol publik yang terus berulang menjadikan para pejabat termasuk kedua menteri merasa lebih super power untuk menerbitkan kebijakan. ICW (2020) misalnya memetakan dan menganalisis potensi korupsi dalam program bansos. Ditemukan masalah sejak awal program bansos seperti belanja alat keselamatan kesehatan, pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung dan distribusinya yang berkelindan praktik pemotongan, pungutan liar, inclusion dan exclusion error akibat pendataan yang tidak update hingga politisasi.

Rekomendasi yang disampaikan termasuk ke Kementerian Sosial adalah agar dilakukan perbaikan tata kelola secara transparan. ICW juga menemukan ada indikasi permainan yang melibatkan pejabat-pejabat Kemensos. Selain itu, kritik masyarakat juga dilakukan terhadap kebijakan ekspor bayi lobster di Kementerian KKP seperti dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti dan media Tempo.

Dikutip dari Detik (26/11), Susan Herawati dari KIARA menyebutkan terdapat empat keganjilan kebijakan ekspor benih lobster Edhy Prabowo. Pertama, tidak adanya kajian ilmiah yang melibatkan Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) dalam penerbitan Peraturan Menteri KP No 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan. Bahkan pembahasannya cenderung tertutup serta tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.

Kedua, penetapan ekspor benih lobster sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri KP No 12 Tahun 2020 yang diikuti oleh penetapan puluhan perusahaan ekspor benih lobster yang terafiliasi kepada sejumlah partai politik, hanya menempatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster sebagai objek pelengkap. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bahkan menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut.

Ketiga, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis ekspor benih lobster di Indonesia. Salah satu temuan penting KPPU adalah pintu ekspor dari Indonesia ke luar negeri hanya dilakukan melalui Bandara Soekarno Hatta. Padahal mayoritas pelaku lobster berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatera. Keempat, KKP tidak memiliki peta jalan yang menyeluruh dan komprehensif dalam membangun kekuatan ekonomi perikanan (lobster) berbasis nelayan di Indonesia dalam jangka panjang. Sebaliknya, KKP selalu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan ekonomi jangka pendek yang tidak menguntungkan negara dan nelayan.

Ketiga, pelemahan sistematis KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang handal selama ini di mana pejabat dengan agenda koruptif semakin merasa di atas angin. Mungkin ada pemikiran, KPK telah habis. Memang faktanya secara kewenangan dan kelembagaan, KPK dikerdilkan, tapi masih ada personil-personil yang gigih dan teguh melawan korupsi. Terbukti bahwa penegakan hukum terhadap dua menteri tersebut dimotori oleh personil-personil yang hebat sekaliber Novel Baswedan dan kawan-kawan.

Kendatipun dalam situasi sulit, KPK juga sebenarnya telah memberikan saran-saran perbaikan kebijakan dan memperingati agar para pejabat berhati-hati menggunakan kewenangannya dalam pandemi. Seperti misal, pada April lalu, KPK mengeluarkan Surat Edaran No. 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat tertanggal 21 April 2020.

Pada Mei, KPK mengingatkan secara khusus agar bansos tidak dimanfaatkan untuk kepentingan praktis dalam Pilkada Serentak 2020. Kemudian, sekitar Agustus 2020, KPK secara terbuka memperingatkan pelaku tindak pidana korupsi di saat bencana bisa diancam hukuman mati sebagaimana tertera dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Benang merah yang dapat ditarik di sini bahwa saran dan rekomendasi perbaikan baik dari masyarakat sipil maupun KPK tidak dijalankan dan/atau tak dihiraukan.

Keempat, yang pasti sirna komitmen anti-korupsi menteri dan rasa kemanusiaan karena hasrat korupsi semakin membabi-buta. Persoalan mendasarnya karena keterpilihan mereka pun tidak pruden. Semua adalah konsensus politik antar partai politik. Best practice yang pernah ditunjukan Presiden Jokowi dengan melibatkan KPK dalam pemilihan para menteri tidak diteruskan di periode kedua ini.  Akhirnya, saringan mengenai rekam jejak antikorupsi menteri-menteri tidak terpetakan dengan baik. Selain itu, berkelindannya kepentingan-kepentingan dalam pembuatan kebijakan era pandemi yang tak bisa dihalau karena berbenturan para pemain tidak lain merupakan afiliasi-afiliasi politik dan ekonomi.

Korupsi Kemanusiaan

Korupsi dalam bencana merupakan kisah maha pilu. Pejabat-pejabat negeri ini ternyata rakusnya tiada tara. Sementara rakyat direpotkan atau mungkin menderita akibat pembatasan sosial, PHK, kelangkaan barang kebutuhan rumah tangga, peningnya kuliah/sekolah online dengan segala tugas-tugasnya dan masih banyak lagi dalam tangis dan cucuran peluh, mereka justru bersekongkol dengan pelaku korupsi lainnya, minta diprioritaskan test kesehatan, minta kenaikan gaji dan tunjangan, minta pengadaan mobil dan fasilitas perkantoran baru bernilai milyaran, hingga asyik berbelanja keluar negeri. Dua korupsi a quo tentu mengentak sanubari. Korupsi pandemi layak dipersamakan dengan mengorupsi kemanusiaan. Korupsi ini merusak keadaban kemanusiaan. Korupsi kemanusiaan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam sebuah opini, Romo Benny Susetyo PR (2013) menuliskan bahwa korupsi merusak keadaban kemanusiaan karena tindakan korupsi menghancurkan nilai-nilai kejujuran serta menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kemiskinan. Penderitan bagi kehidupan masyarakat. Dalam literatur, korupsi disebut memiliki dampak negatif terhadap penikmatan hak asasi manusia (enjoyment of human rights) atau korupsi merongrong hak asasi manusia atau menekankan pada efek yang berat dan menghancurkan dari  korupsi terhadap penikmatan hak asasi manusia.

Secara hukum sangat penting melihat apakah kita memenuhi syarat situasi sebagai merongrong hak asasi manusia, atau apakah kita bisa mengklasifikasikannya sebagai pelanggaran hak yang harus dianggap melanggar hukum dan dapat ditangani dengan sanksi biasa (Lihat, Anne Peters, 2015:12). Untuk penentuan pelanggaran itu,  kita bisa melihat pandangan Kofi Annan mantan Sekretaris Jenderal PBB dalam pengantar UNCAC (2003). Annan mengatakan korupsi adalah wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada masyarakat. Ini merusak demokrasi dan supremasi hukum, mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup dan memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lain terhadap keamanan manusia untuk berkembang.

Di Afrika Selatan, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan menyatakan bahwa korupsi tidak sejalan dengan supremasi hukum dan nilai-nilai dasar konstitusi negara tersebut. Korupsi merusak komitmen konstitusional kepada manusia bermartabat, pencapaian kesetaraan, dan kemajuan hak asasi manusia dan kebebasan. Mahkamah Agung India (2012) pernah menyatakan korupsi merongrong hak asasi manusia, secara tidak langsung melanggarnya, dan bahwa korupsi sistematis adalah pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri. Secara doktrinal, korupsi telah dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) di mata masyarakat internasional. Korupsi tidak semata-mata dicap kejahatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, melainkan melanggar hak-hak fundamental rakyat.

Perubahan UU Tipikor tahun 2001 juga menyematkan paradigma korupsi yang terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat (vide, konsideran menimbang huruf a UU No. 20 Tahun 2001). Sebetulnya paradigma ini juga sudah terlihat dalam pembahasan DPR saat itu. Salah satu pernyataan mengenai korupsi sebagai pelanggaran hak asasi manusia disampaikan oleh H. Mutammimul ‘Ula dari Fraksi Reformasi.

“Realitanya bahwa secara kualitatif, perilaku korupsi memang telah menyengsarakan rakyat. Korupsi sudah menimbulkan kerugian immaterial berupa bobroknya moral sebagian penyelenggara negara, termasuk aparat penegak hukum. Paradigma tentang korupsi seyogianya diubah dari paradigma hukum, sosial, dan ekonomi kepada paradigma hak asasi manusia. Dengan paradigma baru ini, setiap perbuatan korupsi yang menyerang dan mengancam serta menghancurkan hajat hidup orang banyak merupakan pelanggaran hak asasi” (vide, Risalah Pandangan Umum Fraksi Reformasi Terhadap RUU Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 18 Juni 2001).

Mahkamah Agung RI (2013) pun ketika memutus kasus korupsi Angelina Sondakh menyatakan perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat yang menyebabkan telah terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dalam perkembangan selama ini, masih terjadi perdebatan mengenai korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan. Ada yang mengatakan tidak semua jenis korupsi dapat dikualifikasikan langsung merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi setiap korupsi berkontribusi terhadap terciptanya pelanggaran HAM.

Dalam literatur korupsi, jenis korupsi yang lebih mudah teridentifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ialah korupsi state capture. Mengapa korupsi state capture? Karena elemen-elemen korupsi state capture lebih dekat dengan elemen-elemen kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma. State capture dalam definisi yang sederhana adalah korupsi politik yang bersifat sistemik, yang mana, kepentingan pribadi, individu, maupun perusahaan, mempengaruhi secara signifikan pengambilan keputusan pemerintah untuk keuntungan sekelompok pihak tersebut (Edwards: 2017).

Kalau kita melihat korupsi dewasa ini, sulit bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa korupsi yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi, tidak melanggar HAM. Hal ini kalau kita memeriksa dari beberapa ciri-ciri korupsi, korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang (pejabat/penyelenggara/aparat penegak hukum), rencana dan eksekusi korupsi dilakukan dengan rahasia, dan ada keuntungan timbal balik dan seterusnya. Acapkali kita memang tidak benar-benar dapat menerka apakah hasil korupsi digunakan untuk apa, oleh siapa dan dampaknya seberapa besar serta bentuknya seperti apa.

Namun dalam konteks HAM, pada prinsipnya, setiap korupsi berdampak baik langsung atau tidak langsung bagi rakyat dan pemerintahan di suatu negara. Pengusutan yang mendalam diharapkan bisa membongkar rahasia korupsi itu. Dalam perspektif HAM, adalah negara yang bertanggungjawab atas pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Perwujudan tanggungjawab negara termanifestasikan melalui tindakan aparatur negara yang mengelola dana publik untuk kesejahteraan rakyat. Menteri adalah aparatur negara. Menteri yang korupsi sama dengan negara korupsi. Menteri korupsi bansos, negara mengorupsi bansos.

Menteri korupsi kebijakan, rakyat kecil kehilangan mata pencaharian atau ruang hidup. Artinya, korupsi seperti suap atau gratifikasi oleh menteri atau pejabat negara/publik lainnya akan selalu berpotensi besar melanggar HAM atau menghancurkan kemanusiaan. Korupsi di tengah wabah kesehatan ini menampakan fenomena kemanusiaan hilang dalam jiwa yang fana. Apakah korupsi akan abadi? Semoga bukan korupsinya melainkan nama koruptorlah yang abadi agar dikenang dalam sejarah bahwa mereka merampok uang rakyat di tengah bencana.

Hukum Berat

Korupsi kemanusiaan tak bisa ditoleransikan. Hukuman berat harus dijatuhkan terhadap para pelaku. Menurut hemat Penulis, penting untuk memastikan bahwa hukuman yang berat menjerakan pelaku sepanjang hayatnya. Hukuman seumur hidup layak dipertimbangkan dalam konteks ini. Selain itu, walaupun jenis korupsi suap/gratifikasi misalnya, tapi dilakukan oleh menteri terhadap bansos dalam situasi krisis, sangat layak dipertimbangan hukuman pemiskinan koruptor dan/atau hukuman denda yang besar.

Jika aparat penegak hukum (penyidik, penuntut, dan hakim) tidak mempunyai sensitivitas dalam merumuskan hukuman berat, maka pemberantasan korupsi hanya omong kosong belaka. Potret hukuman pelaku korupsi selama ini masih jauh dari harapan. Hal ini bisa dilihat dari studi ICW. Misalnya, dalam tiga tahun terakhir vonis akhir pelaku korupsi rata-rata dalam kategori ringan: 2 tahun 2 bulan (2017), 2 tahun 5 bulan (2018), dan 2 tahun 7 bulan (2019). Tahun 2020 ini, pada kuartal-I vonis ringan masih berlanjut dengan rata-rata 3 tahun penjara. Tak hanya itu, tren penyunatan hukuman koruptor justru lebih banyak dilakukan di tingkat MA dan tren vonis bebas koruptor marak pula terjadi. KPK pun sempat mengonfirmasikan keramahan MA dengan data bahwa sepanjang tahun 2019-2020, ada 20 koruptor kelas kakap mendapatkan kortingan hukuman dari lembaga peradilan tertinggi itu.

Penulis berharap ini menjadi catatan penting. Penegak hukum harus berani dan punya komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Tujuan pemberantasan korupsi tak dapat tercapai bila tak dibarengi upaya pencegahan dan pelibatan peran serta masyarakat. Korupsi bansos atau ekspor benur misalnya,  telah menunjukan bahwa upaya pencegahan korupsi oleh pemerintah belum maksimal. Penataan sistem pencegahan perlu juga bersamaan dengan komitmen antikorupsi. Dan, akhirnya keterbukaan dan transparansi kepada publik wajib sifatnya agar ada aspirasi dan kontrol publik sehingga lebih tetap tujuan atau sasaran kebijakan tersebut. Sebagai sebuah bangsa, solidaritas dan soliditas dalam situasi genting ini penting digalakan. Pemerintah jangan sampai terlihat sekonyong-konyong ingin mengambil peran sendirian dalam level pengambilan kebijakan tingkat atas.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5febfe4e11279/korupsi-era-pandemi-adalah-korupsi-kemanusiaan-oleh–korneles-materay?page=4

Penulis: Korneles Materay

Donasi