Hubungi Kami
Artikel, Berita, SIARAN PERS

Siaran Pers: PERNYATAAN SIKAP P-BHACA ATAS STATUS TERSANGKA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, NURDIN ABDULLAH

Siaran Pers  –  Untuk Disiarkan Segera

Jakarta, 02 Maret 2021 – Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) organisasi independen yang memberikan anugerah kepada pribadi-pribadi anti-korupsi dan yang memperjuangkan nilai-nilai anti korupsi di Indonesia sejak tahun 2003, merespon pemberitaan yang beredar sehubungan dengan ditangkap dan ditetapkannya Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah sebagai tersangka penerima suap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai berikut:

Nurdin Abdullah merupakan penerima penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award pada tahun 2017, ketika menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, selama dua periode mulai 2008 hingga 2018, atas upayanya menumbuhkembangkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, dan memberantas korupsi.

Penghargaan BHACA ini merupakan ajang penganugerahan penghargaan bagi insan Indonesia yang dikenal oleh lingkungan terdekatnya sebagai pribadi-pribadi yang bersih dari praktik korupsi, tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya, menyuap atau menerima suap, dan berperan aktif memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat atau lingkungannya dalam pemberantasan korupsi serta diharapkan menjadi panutan gerakan anti-korupsi.

Melalui seleksi yang ketat, di mana penerima award dipilih melalui proses yang amat seksama dan hati-hati oleh dewan juri yang independen pada tahun 2017, Nurdin Abdullah sebagai Bupati Bantaeng dinobatkan sebagai salah satu penerima penghargaan BHACA yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan kejujuran serta independensi.

P-BHACA sangat terkejut dan menyesalkan perkembangan yang terjadi. Apabila di kemudian hari terbukti telah terjadi penyelewengan/pengkhianatan terhadap nilai-nilai tersebut di atas, maka kebijakan P-BHACA adalah me-review kembali penganugerahan tersebut. Oleh sebab itu Dewan Pengurus P-BHACA akan mengevaluasi secara internal melalui proses due diligence yang berlaku di P-BHACA di mana penarikan kembali sebuah award memerlukan proses yang tidak kalah teliti dari penganugerahannya.

Sementara itu P-BHACA akan terus mengikuti proses hukum yang sedang berlangsung dan senantiasa menghormati serta mendukung upaya KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. P-BHACA percaya bahwa pribadi yang menjunjung tinggi kejujuran dan mengedepankan integritas akan dengan terbuka dan sukarela mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

 

Shanti L. Poesposoetjipto

Ketua Dewan Pengurus P-BHACA
office@bhaca.org
Berita

Diskusi Online BHACA “Pemberantasan Korupsi Kala Pandemi”

Tantangan di tengah pandemi covid-19 tidak hanya persoalan kesehatan tetapi juga masalah pemberantasan korupsi. Tertangkapnya Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta sejumlah politisi yang terseret dalam pusaran beberapa kasus korupsi merupakan sesuatu hal yang sangat memprihatinkan. Di satu sisi, terungkapnya kasus-kasus ini mengonfirmasi indikasi bahwa banyak kebijakan negara yang dibancak dan banyak pula pejabat pengelolanya yang tidak berintegritas. Di sisi lain, ini merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mengusut semua yang terkait tanpa pandang bulu sampai tuntas.

Pada 22 Februari 2020 lalu, BHACA menggelar diskusi online dengan tajuk “Pemberantasan Korupsi Kala Pandemi,” menghadirkan dua narasumber utama yaitu Dewi Anggraeni NP (Peneliti ICW) dan Laode M Syarif (Direktur Eksektuf Kemitraan, Wakil Ketua KPK 2015 – 2019). Diskusi ini sekaligus memperingati Hari Keadilan Sosial yang bertujuan untuk mempromosikan keadilan sosial.

Dalam paparannya, LMS menyampaikan berdasarkan pengalaman empirik, dana untuk bantuan sosial atau penanganan bencana kerapkali dikorupsi. “Setiap dana besar untuk bantuan sosial atau subsidi sering dikorupsi.” LMS mencontohkan anggaran Tsunami Aceh dimana uang Rp5 triliun tidak jelas juntrungannya. Begitupula, dana flu burung & pengadaan alat kesehatan sekitar Rp12,33 miliar raib. Kasus BLBI yang dikorupsi Rp138 triliun hingga Bank Century nilai korupsi mencapai 6,742 triliun. Anggaran penanganan Tsunami Jawa Barat dan Gempa Lombok juga dikorupsi hingga anggaran Gempa Likuifaksi Palu dikorupsi Rp 2,9 miliar,” paparnya.

Mengapa korupsi terhadap dana-dana kemanusiaan dikorupsi? Menurut LMS penyebabnya adalah dasar hukum yang longgar dan kurangnya pengawasan. Korupsi dana darurat sebelum bansos memang tidak mengenal dasar hukum yang khusus dan mekanismenya normal. Dalam konteks korupsi bansos di tengah pandemi, problemnya terletak pada UU yang membuka ruang korupsi. Sebagaimana diketahii bahwa dalam UU No 2 Tahun 2020 khususnya Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) mengamanatkan penyesuaian, pergeseran, dan pengeluaran anggaran tanpa persetujuan DPR.

Problem lain ialah terletak padaa data orang miskin tidak lengkap, penunjukan langsung diperbolehkan, pengawasan lemah, pemanfaatan dana bansos untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, menurutnya, ke depan harus segera  dilakukan perbaikan data, memperkuat koordinasi, dan pengawasan harus ketat dan melekat.  Selain itu, LMS menyarankan untuk diwaspadai dana insentif usaha, pembiayaan koorporasi,dan UMKM yang belum jelas realisasinya.

Dewi Anggraeni dari ICW memaparkan hal-hal yang dilakukan ICW untuk melihat korupsi di pandemi. Ia menjelaskan bansos ada banyak masalah dari hulu-hilir, dari pendataan, pengadaan, proses pengadaan, realisasi hingga distribusi sampai informasi anggaran. Berdasarkan pemantauan ICW terhadap distribusi bansos sepanjang Juni – Agustus 2020, distribusi bansos belum tepat sasaran dan penuh persoalan termasuk pungli dan politisasi. Dari survei distribusi bansos di Kupang, Bandung, dan DKI ditemukan permasalah-permasalah sebagai berikut:

  • Pendataan penerima bansos penyandang disabilitas masih bermasalah dan tidak akurat (inclussion dan exclussion error)
  • Adanya pemotongan bansos
  • Penerimaan bansos tidak tepat waktu
  • Informasi mengenai adanya bansos belum diketahui penyandang disabilitas, serta belum ramah disabilitas, lengkap, dan mudah dimengerti
  • Informasi kanal pengaduan bansos belum banyak diketahui penyandang disabilitas
  • Bentuk dan jumlah bansos yang diberikan belum sesuai dengan informasi yang diketahui, termasuk kualitas bansos yang tidak layak konsumsi.

Monitoring terhadap pengadaan barang dan jasa juga sarat problema mulai dari rencana pengadaan terlalu umum, uraian, spesifikasi, bentuk tidak terjelaskan secara detail dan sulit diakses. Identifikasi kebutuhan yang tidak berdasarkan kebutuhan lapangan. Terjadi jual beli penunjukan penyedia dan Surat Perintah Kerja (SPK) dari PPK. Sehingga penunjukan penyedia tidak sesuai ketentuan yaitu berpengalaman di pengadaan sejenis, dan juga penunjukan penyedia didasarkan suap atau konflik kepentingan. Potensi penyedia yang ditunjuk PPK, hanya mempunyai modal kemudian melakukan subcon pekerjaan utama kepada pihak lain. Melakukan pelunasan pembayaran padahal pekerjaan belum selesai. Ironisnya, korupsi juga menyasar bansos  untuk penyandang disabilitas.

Masalah dalam PBJ, antara lain:

  • Pengadaan alat kesehatan dan bantuan sosial belum transparan
  • Perencanaan pengadaan (alat uji, alat pelindung diri, dll) tidak terinformasi dengan baik dan transparan, baik di RUP, LPSE, maupun website resmi Badan Publik. Bahkan terkait bansos, tidak ada informasinya sama sekali yang bisa dengan mudah diakses publik.
  • Metode pengadaan tidak terinformasi dengan jelas sehingga tidak dapat dipantau oleh publik atau masyarakat. Meski ada Peraturan LKPP No 13 Tahun 2018 dan Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengadaan Darurat, tetapi tidak serta merta informasi perencanaan dan pengadaannya minim informasi.
  • Data-data dan informasi tidak valid/minim menyebabkan kebingungan atau keacuhan oleh publik, bahkan hingga menyebabkan kematian para tenaga medis.
  • Distribusi alat material kesehatan dan bantuan sosial
  • Informasi penerima dan jenis barang yang didistribusi tidak diinformasikan dengan baik.
  • Anggaran belanja kesehatan dan bantuan sosial
  • Hanya diinformasikan secara gelondongan. Terkait bantuan sosial sebagai salah satu upaya pemulihan ekonomi masyarakat

Bagaimana ke depan? Dewi merekomendasikan:

  • Membuat perencanaan PBJ dan realisasinya secara transparan di SiRUP dan LPSE.
  • Melibatkan publik dalam pengawasan secara maksimal sejak dari perencanaan (identifikasi kebutuhan) hingga realisasi pengadaan.
  • Penanganan korupsi terkait pandemi Covid-19 patut dijadikan prioritas.
  • APH menelusuri pihak/kementerian lain yang berpotensi terlibat atau mempunyai peluang penyelewengan pengadaan publik

Rekaman lengkap: https://www.youtube.com/watch?v=97REJzPxZ-4

Artikel, Berita, OPINI PENELITI

Korupsi Sebagai Sebuah Krisis

Pada 28 Januari 2021, Transparency International (TI) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 dari 180 negara di dunia. Survei tersebut memperlihatkan sekitar 60% negara nilainya di bawah skor 50. Mayoritas negara mengalami penurunan dan/atau stagnasi pemberantasan korupsi. IPK Indonesia 2020 jeblok dengan defisit 3 poin sehingga skor akhir ialah 37 dan terlempar jauh ke ranking 102 dunia. Ini kemerosotan terbesar sepanjang sejarah. Padahal pada 2019 silam, IPK Indonesia positif menanjak dari skor 38 ke 40 dan terakhir ranking 85 dunia.

Hal ini dapat dipahami sebab ada pergeseran yang signifikan dalam politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, pergeseran perspektif korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bahkan komisioner KPK saat ini ketika fit and propert test di DPR “mengamini” perspektif ini. Kalau sekarang berbeda, itu cerita lain. Kedua, revisi UU KPK. Revisi yang mengena jantung UU seperti independensi merupakan pergeseran besar dalam politik penguatan institusi pemberantasan korupsi. Ketiga, komitmen yang semakin merosot. Dulu Presiden punya pilihan untuk menolak revisi, tapi pada akhirnya harus berkompromi. DPR tidak bisa diharapkan soal komitmennya karena justru lembaga perwakilan ini yang terkorup.

Selama kurang lebih 2 tahun belakangan, kita menyaksikan penurunan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sederhana saja, dalam rentang waktu tersebut, sektor legislasi, misalnya, terus menelurkan UU bermasalah seperti UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Mengapa bermasalah? Karena dari sisi prosesnya, mekanisme prosedural yang antikorupsi dan demokratis ditabrak. Belum lagi, substansi pasal-pasal yang menuai polemik. Haluan politik hukum pemerintahan lebih menonjolkan pembangunan ekonomi. Praktik-praktik koruptif dianggap lumrah dengan catatan untuk kemaslahatan umum di mana perspektif itu diadopsi dari kalangan elite semata.

Menarik melihat tema besar yang diusung TI yaitu korupsi dan Covid-19 memperburuk kemunduran demokrasi. Sebetulnya ini mengonfirmasikan bahwa korupsi sama berbahayanya dengan Covid-19. Jadi, di samping Covid-19, korupsi adalah krisis bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas perspektif korupsi sebagai sebuah krisis dan bagaimana seharusnya negara menyikapinya?

Krisis Korupsi

Korupsi sebagai sebuah krisis telah berlangsung lama. Hanya saja dengan adanya pandemi Covid-19, skalanya semakin meningkat. Lantas kita bisa melihatnya lebih gamblang. Apa dasarnya korupsi disebut krisis?

Menurut hemat Penulis, terdapat beberapa indikator krisis korupsi. Pertama, korupsi telah dideklarasikan dan dinormatifkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sebagaimana dalam UU Tipikor atau kejahatan serius (serious crime) sebagaimana dimaksudkan dalam Statuta Roma. Hal ini menunjukan bahwa secara nasional dan global terjadi konsensus terkait kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang berbahaya dan wajib diperangi bersama dengan cara-cara yang luar biasa.

Kedua, pada level korupsi politik dilakukan dengan cara sistematik dan terorganizir yang melibatkan individu atau kelompok berlatarbelakang high class profile. Apakah itu pejabat negara, penyelenggara negara, aparat penegak hukum ataukah pengusaha kakap. Pada praktik, hampir semua organ kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan setiap tingkat jabatan publik (desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, kementerian dan lembaga) terlibat korupsi.

Tujuan yang hendak dicapai bukan saja mengeruk keuangan atau kekayaan negara untuk keperluan pemenuhan finansial/ekonomi melainkan untuk mengendalikan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka ini kemudian membentuk sebuah kelompok eksklusif dengan “hak istimewa” dalam mengontrol pasar/ekonomi dan kekuasaan di masyarakat. Padahal sejatinya tanggungjawab moral, sosial, dan hukumnya adalah untuk mewujudkan tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan menciptakan kesejahteraan.

Ketiga, korupsi mengakibatkan multi varian dampak seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan, kemiskinan, melambatnya pertumbuhan ekonomi, terhambatnya pembangunan nasional dan daerah, dan sebagainya. Karena obyek korupsi adalah keuangan negara atau perekonomian negara. Negara dibangun dengan keuangan negara dan hanya perekonomian negara yang maju negara dapat mencapai cita-citanya. Penggerogotian terhadap keuangan dan ekonomi negara terbukti menghambat terwujudnya tujuan negara dan melumpuhkan kehidupan sebuah negara.

Keempat, korupsi merupakan masalah sosial yang acapkali menggerakan perlawanan rakyat melalui demonstrasi besar-besaran yang dapat berujung penggulingan pemerintahan berkuasa. Sebagai misal, Reformasi 1998 atau aksi #ReformasiDikorupsi 2019. Hal ini bermakna bahwa pemerintahan korup tidak dikehendaki rakyat.

Kelima, dibentuknya lembaga super body untuk memerangi korupsi, seperti KPK. Meskipun kini tidak lagi super body, KPK merupakan hasil sejarah penting untuk melihat bahwa pembentuk kala itu menyadari betul korupsi perlu diperangi dengan memperkuat institusionalitas dan wewenang besar. Pasalnya, kalau ditarik ke belakang, sederet lembaga-lembaga antikorupsi pernah didirikan tapi hanya seumur jagung. Tentu saja karena dipengaruhi banyak faktor, salah duanya adalah institusionalitasnya lemah dan mudah diintervensi.

Keenam, bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi selalu dijegal oleh koruptor dan kroninya dengan pelbagai cara. Bisa dengan cara fisik dan non fisik, misalnya, penganiayaan, penyiram air keras, pencurian atau perampasan barang penyidik, teror bom, atau ancaman pembunuhan. Cara hukum atau politis, misalnya, kriminalisasi, penggunaan hak angket, revisi UU, dan seterusnya. Istilah yang kerapkali dipakai untuk menggambarkan situasi ini adalah corruptor’s fight back.

Pengalaman membuktikan bahwa corruptor’s fight back di Indonesia telah sampai pada tataran rekayasa yang amat tinggi dan cukup berhasil melumpuhkan garda pemberantasan korupsi. Ironi ini tergambarkan dalam pelumpuhan lembaga KPK dan pegawai-pegawainya serta para pegiat antikorupsi dan/atau akademisi yang selalu menjadi korban. Pasca reformasi, belum ada lembaga penegak hukum lain yang diteror karena mengusut perkara korupsi kecuali disebutkan di atas. Hingga kini pula, mayoritas para korban belum mendapatkan keadilan hukum dari negara.

Ketujuh, korupsi membentuk moral buruk bangsa terutama di kalangan pejabat negara atau aparat penegak hukum. Alih-alih menjalankan amanat jabatan, mereka terperosok dalam lingkar kejahatan. Jabatan publik yang adrestnya pengabdian berubah menjadi percukongan. Seolah-olah mengambil yang bukan hak adalah sah bila tidak diketahui, bila sudah bekerja untuk rakyat. Persoalan moralitas misalnya, persepsi bagi-bagi proyek kepada sanak famili, atau bagi-bagi jabatan di BUMN untuk eks tim sukses, dan seterusnya. Ini adalah konflik kepentingan dan kini marak terjadi. Tapi kita seolah-olah menetralisirnya.

Masa Depan

Bagaimana masa depan IPK Indonesia? Bagaimana masa depan negara yang korup? Pertama, beberapa orang memang masih melihat IPK hanya soal angka. Namun, lupa bahwa IPK adalah sebuah studi ilmiah yang merupakan refleksi masyarakat sebagai respondennya. Misalnya, kategori Global Insight (Country Risk Rating) yang melihat pengalaman pebisnis/perusahaan dalam proses perizinan dan regulasi. Apakah mereka harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Temuan TI menunjukan GI-CRR ini penyumbang terbesar penurunan IPK Indonesia yaitu 12 poin. Artinya, sektor perizinan usaha kita masih menjadi sarang korupsi. Berarti tidak terjadi perbaikan alias kemunduran pada sektor ini selama paling tidak setahun masa survei diadakan.

Contoh lain dalam sektor demokrasi yang juga mengalami penurunan 2 poin. Indikator Varieties Democracy Project ini mengukur 7 prinsip demokrasi suatu negara, yakni elektoral, liberal, partisipatif, deliberatif, egalitarian, majoritarian, dan konsensual. Kita dapat mengetahui bahwa saat ini kemunduran demokrasi berlangsung karena tidak konsekuennya negara terhadap implementasi prinsip-prinsip demokratis.

Natalia Soebagjo (2021) mengatakan dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. IPK memberikan suatu masukan penting bagi negara/pemerintah untuk berbenah dalam perbuatan nyata. Maka, dalam konteks ini, tantangan ke depan adalah menciptakan sistem perizinan berusaha yang rendah korupsi. Kemudian, nilai-nilai demokrasi dijalankan dengan baik.

Kedua, negara yang korup tidak akan pernah mampu menghadirkan keadilan sosial. Dalam konteks pandemi, sengkarut bantuan sosial akan terus berlangsung kalau tidak ada perbaikan. Jika tak antikorupsi, pengadaan bisa bersifat favourtism. Lebih-lebih lagi, pengambilan keputusan sarat dengan tarik menarik kepentingan. Dan, perilaku koruptif akan semakin membekam dalam sistem birokrasi dan wajah aparatur negara/pemerintahan. Kita semua berkepentingan untuk mencegah jatuhnya negara ini karena korupsi. Dalam perspektif sistem, tugas pemberantasan korupsi tanggungjawab bersama. Namun, tanggungjawab utamanya ada pada negara dan/atau aparat penegak hukum yang ditugaskan untuk itu.

Di hadapan kita ada empat rekomendasi penting TI, negara perlu mengadopsinya. (1) Memperkuat peran & fungsi lembaga pengawas; (2) Memastikan transparansi kontrak pengadaan; (3) Merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik: dan (4) Mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan. Diharapkan ini dapat mendongkrak IPK Indonesia 2021 dan kelak kita menjadi Negara bersih. Mari kita lawan krisis korupsi dengan menciptakan sistem yang antikorupsi.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt602cc45e30058/korupsi-sebagai-sebuah-krisis-oleh–korneles-materay?page=3

Penulis: Korneles Materay

Artikel, Berita, OPINI PENELITI

​​​​​​​Mencegah Petaka Pemberantasan Korupsi dalam Kasus Pinangki

Mengecawakan tapi tidak mengejutkan. Begitulah kalau kita melihat tuntutan pemidaan terhadap terdakwa kasus suap dan pencucian uang, Pinangki Sirna Malasari. Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung ini hanya dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Sebelum berangkat lebih jauh, sekadar mengingatkan saja bahwa tuntutan denda Rp500 juta Pinangki sama dengan tuntutan denda kepada guru honorer Baiq Nuril dalam kasus Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE beberapa waktu lalu. Yang menarik, JPU bekerja keras memperjuangkan kepentingan pelaku pelecehan seksual sampai ke Mahkamah Agung dan diputus 6 bulan penjara dan denda sebagaimana di atas. Padahal secara faktual Nuril adalah korban dan penerapan norma tersebut keliru. Hal mana telah diputus vrispraak oleh PN Mataram.

Contoh kecil ini untuk menggambarkan ironi dalam penegakan hukum kita. Bahwa JPU mati-matian dalam kasus yang sebetulnya secara normatif harus dituntut bebas atau mengesampingkan prosesnya sejak awal. Kerja keras semacam itu tidak terlihat dalam tuntutan Pinangki terkait kasus korupsi tingkat tinggi.

Kurang Pantas

Dari sudut keadilan masyarakat, kepentingan pemulihan wajah penegakan hukum, hingga citra profesi, rasanya tuntuan 4 tahun dan denda Rp500 juta masih kurang pantas. Mengapa? Pertama, tuntutan pidana itu termasuk ringan atau rendah. Seharusnya kalau dilihat dari jenis kejahatan dan konstruksi normanya, Pinangki bisa dituntut berat atau maksimal.

Kedua, bahwa Pinangki selaku penegak hukum menggunakan wewenang jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi sekaligus orang lain. Ia justru menjadi pelaku lapangan aktif yang menjalankan rencana misi Peninjauan Kembali dari terpidana kasus korupsi kelas kakap (baca: Djoko Tjandra).

Perbuatan tersebut patut diduga turut melibatkan aktor penegak hukum level atas lainnya lintas lembaga penegak hukum. Yang artinya, dia tidak sendiri. Ini sungguh menginjak-injak wajah mulia profesi penegak hukum khususnya jaksa dan lembaga adhyaksaKetiga, perbuatan Pinangki dapat dikatakan termasuk komplikasi kejahatan karena terdiri dari beberapa seperti permufakatan jahat, suap, dan pencucian uang.

Pengabaian yang Krusial

Pembacaan requisitoir JPU itu patut disayangkan. Secara filosofis-yuridis, JPU seyogianya mewakili kepentingan rakyat/negara dan hukum. Namun, terlihat jelas bahwa JPU mengabaikan beberapa hal yang krusial yaitu status terdakwa sebagai aparat penegak hukum, kerusakan sistem hukum, dan rasa keadilan masyarakat dalam merumuskan tuntutan ini.

Penuntutan pidana yang ringan tersebut mengesankan satu hal bahwa JPU tidak serius dan cenderung terbebani. Hal ini memantik pertanyaan mendasar, mengapa kejahatan yang begitu besar dengan pelaku penegak hukum hanya dituntut rendah? Jawabanya bisa bermacam-macam. Mulai dari spekulasi karena terdakwa adalah sejawat, konflik kepentingan, titipan, ada udang dibalik batu, dan seterusnya.

Pengadil harus Berani

Tuntutan Pinangki tersebut berpotensi menjadi petaka bagi masa depan pemberantasan korupsi terlebih terhadap kasus-kasus besar seperti ini. Kita semua tahu bahwa mau atau tidak mau, suka atau tidak suka tuntutan pidana acapkali berperan sebagai landasan penjatuhan vonis hakim selain dakwaan. Kendatipun majelis hakim tetap dapat memutuskan berbeda dari tuntutan pidana tersebut.

Bak nasi telah menjadi bubur, tuntutan pidana telah dilayangkan. Muara harapan terakhir ada pada majelis hakim selaku pengadil. Majelis hakim harus berani berbeda dan menjawab tantangan penegakan hukum saat ini. Ada contoh kasus kemarin sore yang penting untuk disimak kembali dan jangan sampai terulang dalam penyelesaian kasus ini yaitu kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Kemiripan antara kasus Novel dan kasus Pinangki ialah melibatkan aparat, berkaitan dengan korupsi level atas, dan peran institusi asal pelaku kejahatan dalam proses penyelesaiannya.

Dalam kasus Novel, pelaku adalah anggota Polri. Penyelidik dan penyidik adalah Polri. Dan, penuntut adalah kejaksaan. Penyerangan terhadap Novel sebagai aparat penegak hukum oleh aparat tidak direspon serius melalui dakwaan hingga tuntutan pidana di tangan JPU. Bahkan kita dibuat tercengang, tatkala JPU hanya menuntut para pelaku dengan hukuman 1 tahun penjara dengan alasan yang konyol yakni tidak sengaja menyiram mata Novel. Terlepas dari apakah keduanya merupakan korban dari sandiwara penuntasan kasus yang membusuk selama 3 tahun tersebut atau tidak.

Kasus Pinangki, praksis semuanya dikerjakan pihak kejaksaan. Kali ini alasan JPU karena Pinangki adalah ibu dari seorang anak berusia 4 tahun. Kita tentu prihatin karena buah hati kecil itu barangkali sudah terbebani dengan situasi ini. Namun, ada pula banyak kasus di mana ibu-ibu lain harus mengurusi anaknya di penjara. Anak-anak mereka terlantar karena proses hukum dan seterusnya, di mana mungkin saja hukum telah berlebihan menutup mata dan kupingnya.

Ujung kasus Novel hanya membentangkan hasil yang seolah-olah asal ada vonisnya yaitu penjara 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan masing-masing kepada kedua pelaku. Hakim terlihat jelas tidak condong ke JPU, penuh beban dan tidak berani memutuskan berdasarkan hukum dan keadilan. Peran institusi asal sedikit banyak dapat kita pahami karena konflik kepentingan.

Harapan kepada hakim kali ini tentu berbeda. Sebagai penengah, mahkota lembaga kehakiman sepatutnya adalah independensi dan imparsialitas. Kasus ini telah menjadi ujian penting sistem peradilan pidana yang berintegritas. Sistem peradilan pidana yang berintegritas berarti meletakan prinsip profesionalisme, independensi, dan imparsialitas di dalam setiap tahapan proses hukum.

Menurut hukum, hakim harus memutus berdasarkan bukti-bukti yang cukup dan keyakinannya. Bukti-bukti kejahatan semuanya sudah tersaji di hadapan meja hijau. Jika terbukti bersalah, dihukum sesuai derajat kejahatan dengan memperhatikan faktor pemberatan pidana karena aparat penegak hukum, motif kejahatan, hingga dampak kasus bagi bangsa dan negara khusus sektor penegakan hukum. Dari konstruksi pasal UU Tipikor dan UU TPPU yang dipergunakan, Pinangki paling tidak dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal yaitu 20 tahun penjara.

Jangan sampai peradilan pidana yang berintegritas runtuh karena ketidakberanian pengadil. Dampak keberanian tersebut ialah pulihnya wajah penegakan hukum dan kepercayaan publik. Kini, segenap rakyat Indonesia menunggu ketukan palu majelis hakim. Mari kita nantikan apakah majelis hakim mencegah petaka itu. Atau, sebaliknya menciptakan secercah harapan di tengah gersangnya vonis monumental hari ini.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6010f9c8cdd4b/mencegah-petaka-pemberantasan-korupsi-dalam-kasus-pinangki-oleh–korneles-materay?page=3

Penulis: Korneles Materay

Agenda, Berita

IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi

Indonesia mencatatkan rekor buruk dalam Corruption Perception Index atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang diukur oleh Transparency International. Survei menunjukan bahwa disamping krisis pandemi, korupsi semakin menggeliat dan demokrasi mengalami kemunduran secara signifikan. Membahas hal tersebut, BHACA menggelar diskusi “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” Sebagai narasumber adalah Natalia Soebagjo International Council of Transparency International dan Dewan Pendiri BHACA dan Zainal Arifin Mochtar Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) UGM sekaligus Dewan Juri BHACA.

Sebagaimana diketahui IPK 2020 Indonesia  jeblok ke skor 37 dan terlempar ke ranking 102 dunia dari 180 negara yang disurvei. IPK disusun berdasarkan 13 sumber data. Khusus untuk Indonesia dipergunakan 9 sumber data. Masing-masing indeks melihat hal yang berbeda-beda.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2020)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Natalia menjelaskan mayoritas mengalami penurunan. “Penurunan kita yang paling besar di Global Insight Country Risk Rating, turun 12 poin. Ini melihat apakah perusahaan-perusahaan itu harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Political Risk Service juga turun 8 poin. Apakah harus menyuap atau disuap untuk mendapatkan layanan publik? Bribery and corruption, apakah masih ada atau tidak? Ternyata juga turun 5 kalau melihat World Competitiveness Yearbook. Yang turun lagi di Political and Economic Risk Consultancy. Ditanyakan responden sejauh mana mereka melihat korupsi di negara di mana mereka mempunyai bisnis. Political corruption dapat kita lihat dari Varieties of Democrazy Project. Satu-satunya membaik di World Justice Project-Rule of Law. Tapi overall kinerja kita di rule of law rendah meskipun ada kenaikan. Tetapi di World Economic Forum Executive Opinion Survey stagnan, tidak ada perubahan, tidak membaik tapi juga tidak memburuk. Di Berstelsmann Stiftung-Transformation Index juga stagnan. Economic Intelligence-Unit Country Risk Service juga stagnan,” paparnya.

Kemudian indeks tersebut diklasifikasikan dalam tiga kluster besar, yaitu ekonomi & investasi, penegakan hukum dan politik dan demokrasi. Menurut Natalia, kluster yang berkaitan dengan ekonomi dan investasi mayoritas turun. Soal penegakan hukum yang naik yaitu rule of law index, tetapi melihat kualitas layanan publik atau interaksi pelaku bisnis dan birokrasi turun. Sedangkan, kalau melihat demokrasi maka political corruption masih merupakan sesuatu yang harus dihadapi di mana sektor politik masih rentan terhadap korupsi.

Natalia memaparkan bahwa jika dikaitkan dengan demokrasi dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. Di sini terlihat bagaimana korupsi dan demokrasi terjadi.

Sejak tahun 2019, TI menilai political corruption sebagai problem yang melanda semua negara yang disurvei. Pada waktu itu rekomendasi yang diajukan berkaitan dengan political corruption.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Natalia menilai rekomendasi tersebut masih relevan. Namun, ia mempertanyakan soal implementasinya. “Menurut saya ini rekomendasi yang sampai sekarang pun masih sangat valid. Hanyalah dengan adanya covid, semua kelemahan yang terlihat di tahun lalu semakin di-amplifies semakin terlihat.” Sejak tahun 2019, apakah rekomendasi TII sudah berhasil dijalankan?”

Dalam tataran praktis, merujuk ke survei Lembaga Survei Indonesia praktik politik uang masih tinggi.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Oleh karena itu, menurut Natalia, dalam situasi seperti ini tantangan negara untuk mengontrol isu political corruption dan partai politik semakin berat dan belum tertangani dengan baik.  Menurutnya perlu penanganan komprehensif dan hal tersebut sebenarnya telah tertuang dalam hasil kajian KPK dan LIPI (2018) yang memetakan 5 (lima) aspek yaitu kode etik, demokrasi internal, keuangan parpol, kaderisasi, dan rekruitmen.

Natalia menutup paparannya dengan menyampaikan rekomendasi umum TI:

Menurut Zainal, jebloknya IPK ini terburuk sepanjang sejarah Indonesia khususnya pasca reformasi. Jika dibaca secara rezim, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan indeks persepsi korupsi. Pertama, kelahiran KPK di mana terbukti menaikan indeks persepsi korupsi. “Terbukti di zaman Megawati akhir begitu KPK lahir sampai terakhir Jokowi 2019, kenaikan 21 poin, dari 19 ke 40. Tidak ada negara di duniapun yang mengalami kenaikan secara ajaib,” paparnya. Jadi faktor penting menurut Zainal adalah KPK. Nafas pemberantasan korupsi ada karena KPK.

“Ketika KPK dikerdilkan di tahun 2019, saya sudah menduga bahwa ini akan mengalami penurunan,” ujar Zainal. Menurutnya, cara berpikir saat ini mengarah ke korupsi bukan kejahatan luar biasa. Terjadi signifikansi cara berpikir soal pemberantasan korupsi. Hal itu juga diamini oleh hampir seluruh komisioner karena melayangkan surat dukungan terhadap revisi UU KPK. Logika berpikir UU KPK, korupsi bukan extra-ordinary.

Kedua adalah berkaitan dengan kinerja pemerintah secara keseluruhan. Menurut Zainal, ada semacam anakronisme di tubuh pemerintahan. Bagaimana mungkin menganggap bahwa bisnis itu harus didorong lebih baik tapi yang dilakukan itu adalah dengan menghentikan atau membonsai KPK. Pemberantasan korupsi selalu menjadi syarat investasi sebagaimana misal disampaikan oleh World Economic Forum. Meskipun ada penangkapan menteri, tapi tidak berarti KPK kuat. “Itu hanya menunjukan KPK masih berdenyut, tapi bukan berarti KPK tidak sedang sekarat,” katanya.

Ketiga, kebiasaan partai politik kembali menggeliat liar di 2019 akhir dan 2020. IPK dipengaruhi kondisi politik, tatanan partai, kehidupan demokrasi dan lain-lain. Skor penegakan hukum yang naik tidak terlalu luar biasa karena itu tidak signifikan karena di riset lain menurun. Rentang 2019-2020, dari hulu ke hilir, alih-alih mengalami revolusi atau evolusi (perubahan secara pelan-pelan), menurut Zainal justru mengalami involusi atau pengruwetan dalam banyak hal.

Lalu, kemungkinan apa yang terjadi di 2021? Menurut Zainal, pertama, ada beberapa bom waktu yang akan meledak di 2021. Salah satunya adalah kewajiban alih fungsi semua penyidik KPK secara penuh di akhir Oktober 2021 (sesuai UU 19/2019, transisi 2 tahun). Geliat KPK dilakukan oleh penyidik yang belum penuh tertransisi menjadi ASN. Apa bahayanya penyidik KPK menjadi ASN? Salah satunya adalah penyidik non polisi dan  kejaksaan menjadi penyidik PPNS yang pembinaannya di bawah kepolisian. “Denyut KPK akan menjadi tidak ada lagi,” kata Zainal.

Kedua, pembukaan keran investasi dan kemudahan perizinan yang tidak dilapisi dengan upaya pengaman pemberantasan korupsi. Misalnya, dalam logika sederhana UU Cipta Kerja bahwa untuk penyederhanaan semua di tarik dari daerah ke pusat. Kita belum mampu membangun sistem pengawasan. Tetapi ujug-ujug mempermudah perizinan dan sebagainya. “Katup pengamannya belum tersedia” Ketiga, kehidupan politik karena 2022-2024 ada agenda pemilu, ada kemungkinan parpol akan menyalakan mesin cepat.

Keempat, ketika agenda kenegaraan terbengkalai, maka perbaikan institusionalisasi tidak akan tercipta. Ada langkah berderap secara keliru (politis) untuk membunuh lembaga-lembaga yang sudah ada. “MK mau didomestikasi, KASN yang baik perannya dalam mengerem perdagangan jabatan publik juga mau dibonsai atau dibunuh. Bahkan ada usul KPU, Parpol, dan sebagainya,” tutur Zainal. Tugas institusionalitas yang tidak tercipta baik dari sisi lembaga atau peraturan sangat berbahaya.

Dari sisi peraturan, belakangan peraturan menjadi berantakan karena ketiadaan peran publik secara baik. Salah duanya, memang politisi semakin jauh dari fungsi kedaulatan rakyat. Dan, salah tiganya tentu saja karena perlawanan publik menjadi terbatas. Kelima, pragmatisnya pemerintahan secara keseluruhan untuk menyelesaikan masalah.

Negara diharapkan bisa mengambil langkah-langkah perbaikan. Menurut Zainal, pertama, Presiden membangun hubungan yang baik dengan pemerintahan daerah. Tidak bisa mengharapkan menteri-menteri yang kemungkinan di tahun politik akan cepat menyalakan mesin. Kedua, Presiden membuat terobosan untuk meluruskan kembali janji-janji pemberantasan korupsi dengan mengeluarkan Omnibus Pemberantasan Korupsi. Banyak peraturan pemberantasan korupsi banyak yang tidak menarik, tidak kuat atau malah mendorong ke arah tidak menyelesaikan pemberantasan korupsi. Omnibus Pemberantasan Korupsi itu memperbaiki UU Antikorupsi, menyesuaikan dengan UNCAC, mempersiapkan kelembagaan/institusi termasuk lembaga pengelola aset yang baik.

Kalau untuk kepentingan ekonomi bisa dengan omnibus, kenapa tidak dengan pemberantasan korupsi? Ketiga, berharap MK berani mengembalikan UU KPK sehingga pemberantasan kembali hidup dan menarik. “Jika tidak terjadi perubahan, jangan-jangan bom waktulah yang akan meledak dan akan menurunkan lagi IPK. Kalau turun lagi, kita sudah lemah,” pungkasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” yang diselenggarakan pada 4 Februari 2021 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan Youtube Bung Hatta Award BHACA

Berita

Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum

Sebagaimana diketahui bahwa pada 20 Januari 2021 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah melakukan fit & proper test terhadap Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo selaku calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesiai yang diajukan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk menggantikan posisi Jenderal Polisi Idham Azis yang akan purna tugas pada 21 Februari 2021. Untuk mendiskusikan mengenai penunjukan Kapolri dan pekerjaan rumah Kapolri baru tersebut, Serial Diskusi Online BHACA dihadirkan dengan tajuk “Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum,” dengan narasumber: Kurnia Ramadhana (Peneliti ICW) & Iftitahsari (Peneliti ICJR)

Iftitahsari memberikan catatan dari beberapa aspek yaitu terkait kebijakan pidana, kebebasan berekspresi, intruisi terhadap ranah privasi, dugaan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya pada tingkat penyidikan, penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) dan catatan pamungkas ialah soal rekomendasi untuk Kapolri baru. Mengenai kebijakan pidana selama pandemi, ia menyatakan bahwa ICJR berpandangan dalam merespon penanganan darurat pandemi, sebisa mungkin kebijakan penegakan hukum atau penjatuhan sanksi pidana tidak digunakan terlebih dahulu dan diterapkan sebagai upaya terakhir. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah langkah persuasif dan penyadaran kepada masyarakat. Namun, selama pandemi, masih sering terjadi upaya pemidanaan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Pasal 218 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 212 KUHP dianggap yang paling sering dipakai untuk menakut-nakuti atau mengancam masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya pasal-pasal ini juga tidak tepat digunakan. “Dari sisi hukum pidana, pasal 212 KUHP harus ada ancaman kekerasan dulu. Pasal 218 & pasal 216 KUHP yang berkaitan dengan kerumuman sebenarnya bukan dimaksudkan untuk yang damai dan tenteram,” papar perempuan yang sering disapa Tita ini (21/1).

Selain itu, penerbitan peraturan selama pandemi juga dianggap merupakan praktik yang kurang baik karena tidak sesuai dengan peraturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Misalnya, penerbitan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 yang memuat ketentuan sanksi. Peraturan ini berlandaskan pada Instruksi Mendagri yang juga tidak sesuai kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Pun terkait pelibatan TNI/Polri dalam menegakan peraturan daerah sebagai sesuatu yang keliru. “Seharusnya yang menegakan adalah Satpol PP,” ujarnya.

Terkait kebijakan pemidaan penolak vaksin, dilihat dari payung hukum belum ada. Pemerintah pusat seharusnya mengklaim secara nasional sehingga menjadi dasar aturan daerah. Menurut Tita, selama ini, Pemerintah daerah saja yang baru menginisiasi. Secara aturan, Pemerintah daerah melangkahi. Dari sisi ancaman kebebasan berekspresi, salah satu beleid yang disorot, misalnya, munculnya Surat Telegram Kapolri yang menyasar kebebasan berekspresi. Surat tersebut bertentangan dengan putusan MK. Praktik penegakan hukum masih keliru menerapkan pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi seperti dalam kasus Jerinx.

Disamping itu, pengadilan juga belum mampu mengoreksi kekeliruan penerapan aturan. Padahal aturan banyak yang multitafsir dan problematik. Hal ini dikhawatirkan menjadi preseden yang buruk. Soal intruisi terhadap ranah privasi, perlu pemahaman dari sisi konteks penerapan hukum pidana. Kemudian sisi dugaan penyiksaan dan perlakuan tidak manusia. Menurutnya, kasusnya seringkali berulang dan tidak pernah diselesaikan alias menguap. Selama pandemi beberapa kasus telah terjadi.

Selanjutnya, penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force). Pemberian kewenangan pelumpuhan pelaku kejahatan dimaksudkan agar pelaku tidak melarikan perbuatan pidananya. Dalam praktiknya, konsep seperti ini tidak diterapkan. Seharusnya ini menjadi upaya terakhir, tetapi seolah-olah dipromosikan dalam praktik. Peneliti ICJR ini mengharapkan juga bahwa kedepannya, masukan, kritik dan sebagainya dapat diterima dengan baik untuk mewujudkan institusi Polri yang akuntabel, profesional dan juga transparan dengan menghormati hak asasi manusia. Bahwa kritikan bukan berarti membenci melainkan kerjasama untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang efektif untuk pemidanaan.

Adapun rekomendasi yang disampaikan untuk Kapolri baru adalah sebagai berikut:Sumber: presentasi Iftitahsari (2021)

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana memberikan catatan dari beberapa aspek:

Sumber: presentasi Kurnia Ramadhana (2021)

Menurutnya, kepolisian harus membenahi intitusinya terlebih dahulu sebelum bertindak lebih jauh. Salah satu hal yang harus dibenahi ialah masalah integritas anggota kepolisian. Contoh kecil, dari lima perwira tinggi yang dikirimkan Kompolnas ke Presiden untuk kontestasi calon Kapolri, hanya satu yang patuh dalam melaporkan LHKPN. Pun perwira tinggi berulang kali terlibat dalam kasus korupsi atau kasus lain yang terkait dengan korupsi.

Sumber: presentasi Kurnia Ramadhana (2021)

Soal koordinasi antar penegak hukum diharapkan juga harus lebih baik. Salah satu persoalan adalah konflik kepentingan. Untuk mengatasi masalah konflik kepentingan, Kapolri baru harus memitigasinya melalui komitmen yang tegas. Salah satu upaya yang bisa dilaksanakan untuk memperkuat koordinasi yaitu dapat diinisiasi sebuah forum ekspose bersama untuk kasus korupsi besar dan menarik perhatian publik. Kepolisian juga diharapkan menjadi institusi yang terbuka. Salah satu informasi penting yang seharusnya diwajibkan keterbukaannya ke depan ialah penerbitan SP3.

Kurnia menilai, kepolisian masih kabur dalam menetapkan indikator penilaian promosi jabatan. Karena selama ini, kerap ditemukan anggota-anggota Polri yang memiliki rekam jejak bermasalah justru terpilih menempati jabatan-jabatan strategis. Karena itu, Kapolri baru diharapkan untuk menginisiasi desain kebijakan terkait promosi jabatan yang berlandaskan nilai-nilai integritas, professional, partisipatif, transparan, akuntabel, dan independen. Catatan lain terkait meningkatnya anggota Polri aktif yang menduduki jabatan publik. Praktik ini melanggar UU Kepolisian dan UU Pelayanan Publik. Dan, yang terpenting hal tersebut berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Ia juga mengkritisi kepolisian yang seringkali mengirimkan calon-calon yang tidak memenuhi ekspektasi publik karena rekam jejaknya yang bermasalah untuk menduduki jabatan publik.

Dari sisi penindakan kasus korupsi, menurut data ICW, ada tren penurunan pengentasan kasus korupsi. Dari sisi aktor, tidak juga menyentuh aktor besar. Maka, Kapolri baru diharapkan memperhatikan sektor pemberantasan korupsi tanpa mengecilkan sektor lain. Kurnia merekomendasikan agar Kapolri baru fokus pada agenda reformasi penguatan institusi kepolisian khususnya penguatan personal dan kelembagaan serta peningkatan kinerja pemberantasan korupsi. Ia juga mendorong agar dibentuk tim satuan tugas khusus di internal kepolisian untuk akselerasi penanganan kasus korupsi. Selain itu, perlu revisi peraturan Kapolri terkait jabatan-jabatan strategis diwajibkan melaporkan LHKPN guna menjamin integritas anggota-angota Polri tersebut.

Kurnia menilai memang ada begitu banyak permasalah di institusi kepolisian tetapi tidak ada alasan bagi Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo untuk tidak mengetahuinya karena banyak DIPA yang bisa menjembatani antara isu di tubuh institusi tersebut. Ia juga mengingatkan Presiden bahwa Presiden bisa mengevaluasi (memberhentikan) Kapolri jika kinerjanya tidak tercapai.

“Harusnya Presiden itu bisa mengevaluasi bahkan ketika kekeliruan itu sangat mendasar mengenai publik bahkan presiden mempunyai kewenangan untuk bisa memberhentikan Kapolri itu sendiri dan rasanya itu yang tidak pernah kita lihat ada pengawasan yang klir dari eksekutif maupun legislatif. Di masa kepemimpinan Pak Idham Azis, Pak Tito Karnavian banyak catatan yang harusnya bisa dijadikan pegangan bagi Presiden Jokowi untuk bisa memastikan kinerja Polri di tahun 2021 di bawah kepemimpinan Pak Listyo Sigit dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku,” pungkasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Kapolri Baru dan Masa Depan Penegakan Hukum” yang diselenggarakan pada 21 Januari 2021 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan Youtube Bung Hatta Award BHACA

Acara, Agenda, Berita

TOR Serial Diskusi BHACA: Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum

 A. Pendahuluan

Menurut Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian perihal fungsi adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief (2005), Polri dalam menjalankan tugasnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial (sosial worker) pada aspek sosial dan kemasyarakatan (pelayanan dan pengabdian). Penegakan hukum mensyarakat polisi harus berdiri di atas hukum. Sedangkan, dari sisi pelayanan polisi harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Acapkali kedua hal ini belum dapat dipenuhi dengan baik sehingga menimbulkan gap dalam implementasinya. Karena itu, pelaksanaan fungsi kepolisian harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Adanya kepolisian merupakan salah satu pilar penyangga negara hukum. Mendasarkan pada konsep negara hukum yang diungkapkan Julius Stahl, negara hukum (rechtstaat) paling tidak mencakup 4 (empat) elemen penting, yaitu: (1) perlindungan hak asasi manusia; (2) pembagian kekuasaan; (3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan (4) peradilan tata usaha negara. Sedangkan A.V Dicey (the rule of law) menguraikan adanya tiga ciri penting, yakni (1) supremacy of law; (2) equality before the law; (3) due process of law. Peran penegakan hukum adalah peran kunci karena merupakan standar maju mundurnya indeks negara hukum dan aspek hak asasi manusia serta indeks persepsi korupsi dalam sebuah negara. Penegakan hukum semestinya adressatnya ada pada masyarakat yaitu bagaimana hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat bukan sekadar menyesuaikan masyarakat dengan hukum.

Kepolisian sebagai salah satu lembaga yang membawahi sektor penegakan hukum selama ini belum maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terbukti dari masih kerapkali muncul permasalahan internal dan eksternal. Masalah internal berkaitan dengan tata kelola kelembagaan, kepegawaian, hingga keberpihakan lembaga sehubungan dengan fungsinya. Sedangkan, masalah eksternal terkait dengan penegakan hukum dan pelayanan kepada masyarakat sendiri. Permasalahan seperti kurangnya akuntabilitas penanganan perkara, anggota kepolisian yang tidak berintegritas, meningkatnya anggota Polri yang menduduki jabatan publik serta menurunya kinerja pemberantasan korupsi serta tindakan represif yang seringkali melibatkan anggota Polri sudah menjadi masalah yang “lumrah” terjadi dan menuai kritisisme dalam beberapa waktu belakangan ini. Secara filosofis, masalah-masalah tersebut bertentangan dengan cita-cita penegakan hukum yang berintegritas.

B. Tujuan Diskusi
Secara umum tujuan diskusi ini untuk mengupas permasalahan-permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah dalam penegakan hukum dan institusi kepolisian yang akan menjadi tanggungjawab Kapolri baru.

 C. Hasil yang Diharapkan
Adapun hasil yang diharapkan dari diskusi ini, yaitu:

  • Terpetakannya permasalah-permasalahan penegakan hukum dari sisi  korupsi, pandemi, dan hak asasi manusia;
  • Menjadi bahan perbaikan bagi Kapolri baru

 D. Sasaran Peserta
Sasaran peserta diskusi ini adalah mahasiswa, dosen, pengamat hukum, pengamat kepolisian, pegiat antikorupsi, hingga masyarakat umum yang memiliki kepedulian atau tertarik terhadap isu-isu penegakan hukum dan kelembagaan penegak hukum

E. Narasumber
Adapun narasumber dalam diskusi ini, yakni:

  • Kurnia Ramadhana, S.H. – Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW)
  • Iftitahsari, S.H., M.Sc – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

F. Metode dan waktu
Diskusi akan dilakukan secara daring melalui aplikasi video conferencing Zoom dan disiarkan langsung melalui Facebook Bung Hatta Award.
Hari & tanggal   : Kamis, 21 Januari 2021
Waktu                : 13.00 – 15.00 WIB

Artikel, Berita

Tahun Legislasi Terburuk

Di samping pandemi Covid-19 yang mengacaukan segala hal, kinerja pemerintah dan DPR dalam membentuk undang-undang atau legislasi sepanjang tahun 2020 begitu buruk. Indikatornya ada beberapa. Pertama, bongkar pasang Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020.

Sebenarnya merevisi Prolegnas Prioritas bukan sesuatu yang haram. Prolegnas merupakan suatu bangunan arah pembentukan undang-undang. Maka, penetapannya menjadi dasar bagi pembentuk undang-undang untuk bekerja dalam kaitannya dengan fungsi legislasi. Tetapi persoalannya, apa isi Prolegnas Prioritas 2020.

Kalau kita mengikuti niatan pemerintah untuk melakukan penyederhanaan atau pemangkasan regulasi, maka Proglegnas Prioritas 2020 secara kuantitas masih over regulasi dengan total 50 RUU. Dari sisi kualitas, beberapa RUU sebetulnya tidak semestinya diajukan, seperti RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, RUU Perlindungan Kiai dan Guru Ngaji, atau RUU tentang Ketahanan Keluarga.
Sedangkan, RUU yang justru mendesak dipinggirkan seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU Perubahan UU ITE. Tentu di luar ini masih banyak lagi kritik terhadap penetapan Prolegnas Prioritas 2020 dan revisi terhadapnya. Penetapan ini pada dasarnya memperhitungkan aspek jumlah, bukan substansi. Pembentuk UU belum belajar dari hasil evaluasi tahun lalu.
Kedua, terkait dengan aspek kualitas/substansi, dapatlah dikatakan bahwa DPR dan pemerintah sesungguhnya belum menghasilkan UU yang berkualitas. Hal ini salah satunya dilihat dari tingkat akseptasi masyarakat terhadap UU tersebut. Artinya, apakah kemudian UU itu merupakan kristalisasi problematika masyarakat sehingga dianggap menjadi solusi bagi persoalan masyarakat.Yang terjadi sebaliknya, beberapa UU yang dihasilkan menuai kontroversi hebat, bahkan memicu gerakan demonstrasi besar. Misalnya, UU Cipta Kerja atau UU Minerba. Selain itu, ada Perppu Covid-19 yang menjadi UU No. 2 Tahun 2020 dan UU MK.

Ketiga, proses pembentukan UU sepanjang tahun 2020 sarat pelanggaran terhadap kaidah dan asas hukum pembentukan undang-undang yan baik. Pelanggaran seperti tidak transparan atau tertutup, tidak melibatkan masyarakat atau kelompok kepentingan yang lebih luas, tidak dapat dipertanggungjawabkan dari sisi naskah akademik atau alasan-alasan perlunya UU tersebut, hingga belum ada metode penyusunan RUU dalam perundang-undang Indonesia. Misalnya, metode omnibus law untuk penyusunan UU Cipta Kerja dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Perencanaan dan Perhatian
Adapun alasan yang dapat diteropong dari buruknya tata kelola legislasi kita adalah karena kurangnya perencanaan dan perhatian. Apa maksudnya? Pertama, soal perencanaan belum dikorelasikan dengan semangat deregulasi.Selanjutnya, seperti telah disebutkan di atas bahwa orientasi DPR dan pemerintah adalah mengejar kuantitas tapi tidak memperhitungkan kemampuan dan berkaca dari sejarah selama ini di mana target legislasi tidak pernah tercapai. Kemudian, baik DPR maupun pemerintah tidak melihat kondisi pandemi sebagai sesuatu hal yang turut berpengaruh terhadap bangunan Prolegnas. Seharusnya dilakukan simplifikasi sehingga lebih mengedepankan yang paling penting untuk rakyat.

Kedua, kurang perhatian atau penangkapan terhadap aspirasi publik. Proglegnas kita tidak disusun berdasarkan isu-isu yang krusial dan mendesak seperti isu korupsi, kebebasan, dan kekerasan seksual. Akhirnya, Proglegnas kita tidak pernah menjadi Proglegnas anti-korupsi. Pun bukan Proglegnas yang berangkat dari keresahan sosial yang mendesak.
Lalu, apa bentuk Proglegnas kita? Prolegnas Prioritas kita adalah Prolegnas politik. Artinya, hendak diarahkan untuk mencapai tujuan politik saja, dan menjauhkan dari semangat penataan hukum nasional yang lebih baik. Hal ini dapat dipahami juga karena agenda koruptif parlemen dan pemerintah masih banyak.
Menurut hemat saya, tantangan tahun depan adalah bagaimana menyusun sebuah bangunan politik hukum nasional minimal setahun dalam Proglegnas Prioritas yang anti-korupsi. Prioritas pada isu-isu krusial tak bisa lagi dibiarkan begitu saja. Semakin pembiaran terjadi, korban-korban berjatuhan lebih banyak. DPR setidak-tidaknya harus bisa menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka benar-benar wakil rakyat yang mewakili kepentingan rakyat.
Penulis: Korneles Materay
Artikel, Berita

Korupsi Era Pandemi adalah Korupsi Kemanusiaan

Dua operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi berturut-turut menjerat dua menteri aktif Kabinet Indonesia Maju yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Kasus ini merupakan pukulan keras terhadap Kabinet bentukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Kedua menteri yang diangkatnya ternyata korupsi. Padahal Presiden Jokowi sendiri telah mengultimatum kepada para menteri supaya tidak korupsi dan agar menciptakan sistem yang menutup celah korupsi kala memperkenalkan mereka ke publik. Inilah potret tentang korupsi, bahwa soal hasrat korupsi oleh pejabat korup tidak pernah mengenal ada kepercayaan yang besar kepadanya serta sedang dalam situasi darurat atau normal.

Sekelumit Problematika Dasar

Menurut Penulis memang ada persoalan mendasar mengapa terjadinya korupsi ini. Pertama, karena terbuka lebar kesempatan korupsi yang dijustifikasi pada peraturan yang ada. Misalnya, Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah menjadi UU No. 2 Tahun 2020 sedari awal bermasalah khususnya Pasal 27 ayat (1, 2 dan 3) yang dinilai pro perilaku koruptif. Jadi, seolah-olah pejabat merasa memiliki imunitas. Kondisi ini menstimulasi pejabat dengan agenda koruptif untuk menyalahgunakan kewenangan.

Kedua, praktik kebijakan sepihak oleh pemerintah yang mengabaikan suara/kritik dan kontrol publik yang terus berulang menjadikan para pejabat termasuk kedua menteri merasa lebih super power untuk menerbitkan kebijakan. ICW (2020) misalnya memetakan dan menganalisis potensi korupsi dalam program bansos. Ditemukan masalah sejak awal program bansos seperti belanja alat keselamatan kesehatan, pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung dan distribusinya yang berkelindan praktik pemotongan, pungutan liar, inclusion dan exclusion error akibat pendataan yang tidak update hingga politisasi.

Rekomendasi yang disampaikan termasuk ke Kementerian Sosial adalah agar dilakukan perbaikan tata kelola secara transparan. ICW juga menemukan ada indikasi permainan yang melibatkan pejabat-pejabat Kemensos. Selain itu, kritik masyarakat juga dilakukan terhadap kebijakan ekspor bayi lobster di Kementerian KKP seperti dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti dan media Tempo.

Dikutip dari Detik (26/11), Susan Herawati dari KIARA menyebutkan terdapat empat keganjilan kebijakan ekspor benih lobster Edhy Prabowo. Pertama, tidak adanya kajian ilmiah yang melibatkan Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) dalam penerbitan Peraturan Menteri KP No 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan. Bahkan pembahasannya cenderung tertutup serta tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.

Kedua, penetapan ekspor benih lobster sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri KP No 12 Tahun 2020 yang diikuti oleh penetapan puluhan perusahaan ekspor benih lobster yang terafiliasi kepada sejumlah partai politik, hanya menempatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster sebagai objek pelengkap. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bahkan menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut.

Ketiga, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis ekspor benih lobster di Indonesia. Salah satu temuan penting KPPU adalah pintu ekspor dari Indonesia ke luar negeri hanya dilakukan melalui Bandara Soekarno Hatta. Padahal mayoritas pelaku lobster berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatera. Keempat, KKP tidak memiliki peta jalan yang menyeluruh dan komprehensif dalam membangun kekuatan ekonomi perikanan (lobster) berbasis nelayan di Indonesia dalam jangka panjang. Sebaliknya, KKP selalu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan ekonomi jangka pendek yang tidak menguntungkan negara dan nelayan.

Ketiga, pelemahan sistematis KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang handal selama ini di mana pejabat dengan agenda koruptif semakin merasa di atas angin. Mungkin ada pemikiran, KPK telah habis. Memang faktanya secara kewenangan dan kelembagaan, KPK dikerdilkan, tapi masih ada personil-personil yang gigih dan teguh melawan korupsi. Terbukti bahwa penegakan hukum terhadap dua menteri tersebut dimotori oleh personil-personil yang hebat sekaliber Novel Baswedan dan kawan-kawan.

Kendatipun dalam situasi sulit, KPK juga sebenarnya telah memberikan saran-saran perbaikan kebijakan dan memperingati agar para pejabat berhati-hati menggunakan kewenangannya dalam pandemi. Seperti misal, pada April lalu, KPK mengeluarkan Surat Edaran No. 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat tertanggal 21 April 2020.

Pada Mei, KPK mengingatkan secara khusus agar bansos tidak dimanfaatkan untuk kepentingan praktis dalam Pilkada Serentak 2020. Kemudian, sekitar Agustus 2020, KPK secara terbuka memperingatkan pelaku tindak pidana korupsi di saat bencana bisa diancam hukuman mati sebagaimana tertera dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Benang merah yang dapat ditarik di sini bahwa saran dan rekomendasi perbaikan baik dari masyarakat sipil maupun KPK tidak dijalankan dan/atau tak dihiraukan.

Keempat, yang pasti sirna komitmen anti-korupsi menteri dan rasa kemanusiaan karena hasrat korupsi semakin membabi-buta. Persoalan mendasarnya karena keterpilihan mereka pun tidak pruden. Semua adalah konsensus politik antar partai politik. Best practice yang pernah ditunjukan Presiden Jokowi dengan melibatkan KPK dalam pemilihan para menteri tidak diteruskan di periode kedua ini.  Akhirnya, saringan mengenai rekam jejak antikorupsi menteri-menteri tidak terpetakan dengan baik. Selain itu, berkelindannya kepentingan-kepentingan dalam pembuatan kebijakan era pandemi yang tak bisa dihalau karena berbenturan para pemain tidak lain merupakan afiliasi-afiliasi politik dan ekonomi.

Korupsi Kemanusiaan

Korupsi dalam bencana merupakan kisah maha pilu. Pejabat-pejabat negeri ini ternyata rakusnya tiada tara. Sementara rakyat direpotkan atau mungkin menderita akibat pembatasan sosial, PHK, kelangkaan barang kebutuhan rumah tangga, peningnya kuliah/sekolah online dengan segala tugas-tugasnya dan masih banyak lagi dalam tangis dan cucuran peluh, mereka justru bersekongkol dengan pelaku korupsi lainnya, minta diprioritaskan test kesehatan, minta kenaikan gaji dan tunjangan, minta pengadaan mobil dan fasilitas perkantoran baru bernilai milyaran, hingga asyik berbelanja keluar negeri. Dua korupsi a quo tentu mengentak sanubari. Korupsi pandemi layak dipersamakan dengan mengorupsi kemanusiaan. Korupsi ini merusak keadaban kemanusiaan. Korupsi kemanusiaan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam sebuah opini, Romo Benny Susetyo PR (2013) menuliskan bahwa korupsi merusak keadaban kemanusiaan karena tindakan korupsi menghancurkan nilai-nilai kejujuran serta menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kemiskinan. Penderitan bagi kehidupan masyarakat. Dalam literatur, korupsi disebut memiliki dampak negatif terhadap penikmatan hak asasi manusia (enjoyment of human rights) atau korupsi merongrong hak asasi manusia atau menekankan pada efek yang berat dan menghancurkan dari  korupsi terhadap penikmatan hak asasi manusia.

Secara hukum sangat penting melihat apakah kita memenuhi syarat situasi sebagai merongrong hak asasi manusia, atau apakah kita bisa mengklasifikasikannya sebagai pelanggaran hak yang harus dianggap melanggar hukum dan dapat ditangani dengan sanksi biasa (Lihat, Anne Peters, 2015:12). Untuk penentuan pelanggaran itu,  kita bisa melihat pandangan Kofi Annan mantan Sekretaris Jenderal PBB dalam pengantar UNCAC (2003). Annan mengatakan korupsi adalah wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada masyarakat. Ini merusak demokrasi dan supremasi hukum, mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup dan memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lain terhadap keamanan manusia untuk berkembang.

Di Afrika Selatan, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan menyatakan bahwa korupsi tidak sejalan dengan supremasi hukum dan nilai-nilai dasar konstitusi negara tersebut. Korupsi merusak komitmen konstitusional kepada manusia bermartabat, pencapaian kesetaraan, dan kemajuan hak asasi manusia dan kebebasan. Mahkamah Agung India (2012) pernah menyatakan korupsi merongrong hak asasi manusia, secara tidak langsung melanggarnya, dan bahwa korupsi sistematis adalah pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri. Secara doktrinal, korupsi telah dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) di mata masyarakat internasional. Korupsi tidak semata-mata dicap kejahatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, melainkan melanggar hak-hak fundamental rakyat.

Perubahan UU Tipikor tahun 2001 juga menyematkan paradigma korupsi yang terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat (vide, konsideran menimbang huruf a UU No. 20 Tahun 2001). Sebetulnya paradigma ini juga sudah terlihat dalam pembahasan DPR saat itu. Salah satu pernyataan mengenai korupsi sebagai pelanggaran hak asasi manusia disampaikan oleh H. Mutammimul ‘Ula dari Fraksi Reformasi.

“Realitanya bahwa secara kualitatif, perilaku korupsi memang telah menyengsarakan rakyat. Korupsi sudah menimbulkan kerugian immaterial berupa bobroknya moral sebagian penyelenggara negara, termasuk aparat penegak hukum. Paradigma tentang korupsi seyogianya diubah dari paradigma hukum, sosial, dan ekonomi kepada paradigma hak asasi manusia. Dengan paradigma baru ini, setiap perbuatan korupsi yang menyerang dan mengancam serta menghancurkan hajat hidup orang banyak merupakan pelanggaran hak asasi” (vide, Risalah Pandangan Umum Fraksi Reformasi Terhadap RUU Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 18 Juni 2001).

Mahkamah Agung RI (2013) pun ketika memutus kasus korupsi Angelina Sondakh menyatakan perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat yang menyebabkan telah terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dalam perkembangan selama ini, masih terjadi perdebatan mengenai korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan. Ada yang mengatakan tidak semua jenis korupsi dapat dikualifikasikan langsung merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi setiap korupsi berkontribusi terhadap terciptanya pelanggaran HAM.

Dalam literatur korupsi, jenis korupsi yang lebih mudah teridentifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ialah korupsi state capture. Mengapa korupsi state capture? Karena elemen-elemen korupsi state capture lebih dekat dengan elemen-elemen kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma. State capture dalam definisi yang sederhana adalah korupsi politik yang bersifat sistemik, yang mana, kepentingan pribadi, individu, maupun perusahaan, mempengaruhi secara signifikan pengambilan keputusan pemerintah untuk keuntungan sekelompok pihak tersebut (Edwards: 2017).

Kalau kita melihat korupsi dewasa ini, sulit bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa korupsi yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi, tidak melanggar HAM. Hal ini kalau kita memeriksa dari beberapa ciri-ciri korupsi, korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang (pejabat/penyelenggara/aparat penegak hukum), rencana dan eksekusi korupsi dilakukan dengan rahasia, dan ada keuntungan timbal balik dan seterusnya. Acapkali kita memang tidak benar-benar dapat menerka apakah hasil korupsi digunakan untuk apa, oleh siapa dan dampaknya seberapa besar serta bentuknya seperti apa.

Namun dalam konteks HAM, pada prinsipnya, setiap korupsi berdampak baik langsung atau tidak langsung bagi rakyat dan pemerintahan di suatu negara. Pengusutan yang mendalam diharapkan bisa membongkar rahasia korupsi itu. Dalam perspektif HAM, adalah negara yang bertanggungjawab atas pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Perwujudan tanggungjawab negara termanifestasikan melalui tindakan aparatur negara yang mengelola dana publik untuk kesejahteraan rakyat. Menteri adalah aparatur negara. Menteri yang korupsi sama dengan negara korupsi. Menteri korupsi bansos, negara mengorupsi bansos.

Menteri korupsi kebijakan, rakyat kecil kehilangan mata pencaharian atau ruang hidup. Artinya, korupsi seperti suap atau gratifikasi oleh menteri atau pejabat negara/publik lainnya akan selalu berpotensi besar melanggar HAM atau menghancurkan kemanusiaan. Korupsi di tengah wabah kesehatan ini menampakan fenomena kemanusiaan hilang dalam jiwa yang fana. Apakah korupsi akan abadi? Semoga bukan korupsinya melainkan nama koruptorlah yang abadi agar dikenang dalam sejarah bahwa mereka merampok uang rakyat di tengah bencana.

Hukum Berat

Korupsi kemanusiaan tak bisa ditoleransikan. Hukuman berat harus dijatuhkan terhadap para pelaku. Menurut hemat Penulis, penting untuk memastikan bahwa hukuman yang berat menjerakan pelaku sepanjang hayatnya. Hukuman seumur hidup layak dipertimbangkan dalam konteks ini. Selain itu, walaupun jenis korupsi suap/gratifikasi misalnya, tapi dilakukan oleh menteri terhadap bansos dalam situasi krisis, sangat layak dipertimbangan hukuman pemiskinan koruptor dan/atau hukuman denda yang besar.

Jika aparat penegak hukum (penyidik, penuntut, dan hakim) tidak mempunyai sensitivitas dalam merumuskan hukuman berat, maka pemberantasan korupsi hanya omong kosong belaka. Potret hukuman pelaku korupsi selama ini masih jauh dari harapan. Hal ini bisa dilihat dari studi ICW. Misalnya, dalam tiga tahun terakhir vonis akhir pelaku korupsi rata-rata dalam kategori ringan: 2 tahun 2 bulan (2017), 2 tahun 5 bulan (2018), dan 2 tahun 7 bulan (2019). Tahun 2020 ini, pada kuartal-I vonis ringan masih berlanjut dengan rata-rata 3 tahun penjara. Tak hanya itu, tren penyunatan hukuman koruptor justru lebih banyak dilakukan di tingkat MA dan tren vonis bebas koruptor marak pula terjadi. KPK pun sempat mengonfirmasikan keramahan MA dengan data bahwa sepanjang tahun 2019-2020, ada 20 koruptor kelas kakap mendapatkan kortingan hukuman dari lembaga peradilan tertinggi itu.

Penulis berharap ini menjadi catatan penting. Penegak hukum harus berani dan punya komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Tujuan pemberantasan korupsi tak dapat tercapai bila tak dibarengi upaya pencegahan dan pelibatan peran serta masyarakat. Korupsi bansos atau ekspor benur misalnya,  telah menunjukan bahwa upaya pencegahan korupsi oleh pemerintah belum maksimal. Penataan sistem pencegahan perlu juga bersamaan dengan komitmen antikorupsi. Dan, akhirnya keterbukaan dan transparansi kepada publik wajib sifatnya agar ada aspirasi dan kontrol publik sehingga lebih tetap tujuan atau sasaran kebijakan tersebut. Sebagai sebuah bangsa, solidaritas dan soliditas dalam situasi genting ini penting digalakan. Pemerintah jangan sampai terlihat sekonyong-konyong ingin mengambil peran sendirian dalam level pengambilan kebijakan tingkat atas.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5febfe4e11279/korupsi-era-pandemi-adalah-korupsi-kemanusiaan-oleh–korneles-materay?page=4

Penulis: Korneles Materay

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online BHACA: Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19

Para ahli memprediksi bahwa perang melawan virus korona dapat memakan waktu yang tidak sebentar. Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah yang strategis dan berorientasi jangka panjang tidak hanya untuk menekan laju persebaran virus korona namun juga memitigasi dampak pandemi. Bagaimana evaluasi dari langkah-langkah yang sudah dilakukan serta strategi berkelanjutan apa yang perlu dilakukan setelahnya?

Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award mengundang Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta 2001-2011, Peraih BHACA 2010), Ita F. Nadia (Komisioner Komnas Perempuan 1999-2006, Koordinator Solidaritas Pangan Jogja), dan dr. Pandu Riono (Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) dalam diskusi online berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” pada Kamis, 14 Mei 2020

Pada awal ditemukan kasus positif, tentu semua orang menginginkan agar virus tidak menyebar luas, apa lagi dalam waktu yang singkat. Pengujian dan pelacakan menjadi pakem yang disepakati ahli kesehatan seluruh dunia untuk menekan laju penyebaran virus dan kemudian meredam dampak sosial dan ekonomi dari pandemi. Sayangnya, menurut dr. Pandu Riono, ketidaksigapan pemerintah membuat Indonesia terlambat dalam menangani pandemi hingga tidak lagi bisa melacak persebaran virus. Fokus pemerintah untuk memitigasi dampak ekonomi dengan bersikap lunak terhadap pembatasan sosial justru dapat meningkatkan potensi kerugian ekonomi yang jauh lebih besar. Dr. Pandu melihat bahwa narasi new normal yang mulai digaungkan seharusnya berorientasi jangka panjang, yakni membudayakan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), pembatasan sosial, serta membangun kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Pandemi bukanlah semata-mata problem kesehatan, melainkan juga berdampak secara ekonomi dan sosial. Dampak ini juga secara timpang lebih besar dialami oleh kelompok marjinal, yakni masyarakat yang bekerja di sektor informal. Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) memutuskan untuk membentuk dapur umum untuk menyuplai pasokan makanan kepada kelompok marjinal, terutama yang tidak terdaftar sebagai penerima bansos pemerintah karena tidak memiliki KTP maupun yang tidak memiliki rumah untuk memasak sembako. Selain kompleksitas pemetaan penerima bantuan, tantangan lain yang dialami SPJ adalah represi dari aparat penegak hukum atas nama pemberlakuan protokol jaga jarak. Atas alasan tersebut, koordinator SPJ, Ita F. Nadia, melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan tindakan-tindakan represif atas nama pencegahan penularan Covid-19 dan melindungi rakyat yang bergotong-royong saling membantu di situasi pandemi ini, seperti yang dilakukan oleh SPJ. Solidaritas untuk menghidupkan dapur umum dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari penjual nasi kucing, peternak, mahasiswa, hingga pekerja seks.

Solidaritas antar warga inilah yang juga dinilai Herry Zudianto sebagai kunci untuk membangun resiliensi warga menghadapi bencana, terlebih hal serupa sudah pernah berhasil menggerakkan Yogyakarta bangkit dari bencana gempa dan erupsi Gunung Merapi. Yang membuat bencana pandemi lebih menantang adalah ketidakpastian berapa lama bencana ini akan berlangsung. Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang tegas dan berorientasi jangka panjang, sebab melalui kebijakanlah nasib hidup banyak orang bergantung. Sebagai warga sipil yang pernah memiliki pengalaman mengemban kursi eksekutif lokal, Herry menilai bahwa pemerintah perlu menggunakan pendekatan dialog dengan masyarakat ketimbang represi.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan pada 14 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

1 2 3 4 5 6
Donasi