Hubungi Kami

Pada 28 Januari 2021, Transparency International (TI) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 dari 180 negara di dunia. Survei tersebut memperlihatkan sekitar 60% negara nilainya di bawah skor 50. Mayoritas negara mengalami penurunan dan/atau stagnasi pemberantasan korupsi. IPK Indonesia 2020 jeblok dengan defisit 3 poin sehingga skor akhir ialah 37 dan terlempar jauh ke ranking 102 dunia. Ini kemerosotan terbesar sepanjang sejarah. Padahal pada 2019 silam, IPK Indonesia positif menanjak dari skor 38 ke 40 dan terakhir ranking 85 dunia.

Hal ini dapat dipahami sebab ada pergeseran yang signifikan dalam politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, pergeseran perspektif korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bahkan komisioner KPK saat ini ketika fit and propert test di DPR “mengamini” perspektif ini. Kalau sekarang berbeda, itu cerita lain. Kedua, revisi UU KPK. Revisi yang mengena jantung UU seperti independensi merupakan pergeseran besar dalam politik penguatan institusi pemberantasan korupsi. Ketiga, komitmen yang semakin merosot. Dulu Presiden punya pilihan untuk menolak revisi, tapi pada akhirnya harus berkompromi. DPR tidak bisa diharapkan soal komitmennya karena justru lembaga perwakilan ini yang terkorup.

Selama kurang lebih 2 tahun belakangan, kita menyaksikan penurunan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sederhana saja, dalam rentang waktu tersebut, sektor legislasi, misalnya, terus menelurkan UU bermasalah seperti UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Mengapa bermasalah? Karena dari sisi prosesnya, mekanisme prosedural yang antikorupsi dan demokratis ditabrak. Belum lagi, substansi pasal-pasal yang menuai polemik. Haluan politik hukum pemerintahan lebih menonjolkan pembangunan ekonomi. Praktik-praktik koruptif dianggap lumrah dengan catatan untuk kemaslahatan umum di mana perspektif itu diadopsi dari kalangan elite semata.

Menarik melihat tema besar yang diusung TI yaitu korupsi dan Covid-19 memperburuk kemunduran demokrasi. Sebetulnya ini mengonfirmasikan bahwa korupsi sama berbahayanya dengan Covid-19. Jadi, di samping Covid-19, korupsi adalah krisis bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas perspektif korupsi sebagai sebuah krisis dan bagaimana seharusnya negara menyikapinya?

Krisis Korupsi

Korupsi sebagai sebuah krisis telah berlangsung lama. Hanya saja dengan adanya pandemi Covid-19, skalanya semakin meningkat. Lantas kita bisa melihatnya lebih gamblang. Apa dasarnya korupsi disebut krisis?

Menurut hemat Penulis, terdapat beberapa indikator krisis korupsi. Pertama, korupsi telah dideklarasikan dan dinormatifkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sebagaimana dalam UU Tipikor atau kejahatan serius (serious crime) sebagaimana dimaksudkan dalam Statuta Roma. Hal ini menunjukan bahwa secara nasional dan global terjadi konsensus terkait kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang berbahaya dan wajib diperangi bersama dengan cara-cara yang luar biasa.

Kedua, pada level korupsi politik dilakukan dengan cara sistematik dan terorganizir yang melibatkan individu atau kelompok berlatarbelakang high class profile. Apakah itu pejabat negara, penyelenggara negara, aparat penegak hukum ataukah pengusaha kakap. Pada praktik, hampir semua organ kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan setiap tingkat jabatan publik (desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, kementerian dan lembaga) terlibat korupsi.

Tujuan yang hendak dicapai bukan saja mengeruk keuangan atau kekayaan negara untuk keperluan pemenuhan finansial/ekonomi melainkan untuk mengendalikan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka ini kemudian membentuk sebuah kelompok eksklusif dengan “hak istimewa” dalam mengontrol pasar/ekonomi dan kekuasaan di masyarakat. Padahal sejatinya tanggungjawab moral, sosial, dan hukumnya adalah untuk mewujudkan tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan menciptakan kesejahteraan.

Ketiga, korupsi mengakibatkan multi varian dampak seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan, kemiskinan, melambatnya pertumbuhan ekonomi, terhambatnya pembangunan nasional dan daerah, dan sebagainya. Karena obyek korupsi adalah keuangan negara atau perekonomian negara. Negara dibangun dengan keuangan negara dan hanya perekonomian negara yang maju negara dapat mencapai cita-citanya. Penggerogotian terhadap keuangan dan ekonomi negara terbukti menghambat terwujudnya tujuan negara dan melumpuhkan kehidupan sebuah negara.

Keempat, korupsi merupakan masalah sosial yang acapkali menggerakan perlawanan rakyat melalui demonstrasi besar-besaran yang dapat berujung penggulingan pemerintahan berkuasa. Sebagai misal, Reformasi 1998 atau aksi #ReformasiDikorupsi 2019. Hal ini bermakna bahwa pemerintahan korup tidak dikehendaki rakyat.

Kelima, dibentuknya lembaga super body untuk memerangi korupsi, seperti KPK. Meskipun kini tidak lagi super body, KPK merupakan hasil sejarah penting untuk melihat bahwa pembentuk kala itu menyadari betul korupsi perlu diperangi dengan memperkuat institusionalitas dan wewenang besar. Pasalnya, kalau ditarik ke belakang, sederet lembaga-lembaga antikorupsi pernah didirikan tapi hanya seumur jagung. Tentu saja karena dipengaruhi banyak faktor, salah duanya adalah institusionalitasnya lemah dan mudah diintervensi.

Keenam, bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi selalu dijegal oleh koruptor dan kroninya dengan pelbagai cara. Bisa dengan cara fisik dan non fisik, misalnya, penganiayaan, penyiram air keras, pencurian atau perampasan barang penyidik, teror bom, atau ancaman pembunuhan. Cara hukum atau politis, misalnya, kriminalisasi, penggunaan hak angket, revisi UU, dan seterusnya. Istilah yang kerapkali dipakai untuk menggambarkan situasi ini adalah corruptor’s fight back.

Pengalaman membuktikan bahwa corruptor’s fight back di Indonesia telah sampai pada tataran rekayasa yang amat tinggi dan cukup berhasil melumpuhkan garda pemberantasan korupsi. Ironi ini tergambarkan dalam pelumpuhan lembaga KPK dan pegawai-pegawainya serta para pegiat antikorupsi dan/atau akademisi yang selalu menjadi korban. Pasca reformasi, belum ada lembaga penegak hukum lain yang diteror karena mengusut perkara korupsi kecuali disebutkan di atas. Hingga kini pula, mayoritas para korban belum mendapatkan keadilan hukum dari negara.

Ketujuh, korupsi membentuk moral buruk bangsa terutama di kalangan pejabat negara atau aparat penegak hukum. Alih-alih menjalankan amanat jabatan, mereka terperosok dalam lingkar kejahatan. Jabatan publik yang adrestnya pengabdian berubah menjadi percukongan. Seolah-olah mengambil yang bukan hak adalah sah bila tidak diketahui, bila sudah bekerja untuk rakyat. Persoalan moralitas misalnya, persepsi bagi-bagi proyek kepada sanak famili, atau bagi-bagi jabatan di BUMN untuk eks tim sukses, dan seterusnya. Ini adalah konflik kepentingan dan kini marak terjadi. Tapi kita seolah-olah menetralisirnya.

Masa Depan

Bagaimana masa depan IPK Indonesia? Bagaimana masa depan negara yang korup? Pertama, beberapa orang memang masih melihat IPK hanya soal angka. Namun, lupa bahwa IPK adalah sebuah studi ilmiah yang merupakan refleksi masyarakat sebagai respondennya. Misalnya, kategori Global Insight (Country Risk Rating) yang melihat pengalaman pebisnis/perusahaan dalam proses perizinan dan regulasi. Apakah mereka harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Temuan TI menunjukan GI-CRR ini penyumbang terbesar penurunan IPK Indonesia yaitu 12 poin. Artinya, sektor perizinan usaha kita masih menjadi sarang korupsi. Berarti tidak terjadi perbaikan alias kemunduran pada sektor ini selama paling tidak setahun masa survei diadakan.

Contoh lain dalam sektor demokrasi yang juga mengalami penurunan 2 poin. Indikator Varieties Democracy Project ini mengukur 7 prinsip demokrasi suatu negara, yakni elektoral, liberal, partisipatif, deliberatif, egalitarian, majoritarian, dan konsensual. Kita dapat mengetahui bahwa saat ini kemunduran demokrasi berlangsung karena tidak konsekuennya negara terhadap implementasi prinsip-prinsip demokratis.

Natalia Soebagjo (2021) mengatakan dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. IPK memberikan suatu masukan penting bagi negara/pemerintah untuk berbenah dalam perbuatan nyata. Maka, dalam konteks ini, tantangan ke depan adalah menciptakan sistem perizinan berusaha yang rendah korupsi. Kemudian, nilai-nilai demokrasi dijalankan dengan baik.

Kedua, negara yang korup tidak akan pernah mampu menghadirkan keadilan sosial. Dalam konteks pandemi, sengkarut bantuan sosial akan terus berlangsung kalau tidak ada perbaikan. Jika tak antikorupsi, pengadaan bisa bersifat favourtism. Lebih-lebih lagi, pengambilan keputusan sarat dengan tarik menarik kepentingan. Dan, perilaku koruptif akan semakin membekam dalam sistem birokrasi dan wajah aparatur negara/pemerintahan. Kita semua berkepentingan untuk mencegah jatuhnya negara ini karena korupsi. Dalam perspektif sistem, tugas pemberantasan korupsi tanggungjawab bersama. Namun, tanggungjawab utamanya ada pada negara dan/atau aparat penegak hukum yang ditugaskan untuk itu.

Di hadapan kita ada empat rekomendasi penting TI, negara perlu mengadopsinya. (1) Memperkuat peran & fungsi lembaga pengawas; (2) Memastikan transparansi kontrak pengadaan; (3) Merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik: dan (4) Mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan. Diharapkan ini dapat mendongkrak IPK Indonesia 2021 dan kelak kita menjadi Negara bersih. Mari kita lawan krisis korupsi dengan menciptakan sistem yang antikorupsi.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt602cc45e30058/korupsi-sebagai-sebuah-krisis-oleh–korneles-materay?page=3

Penulis: Korneles Materay

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Donasi