Hubungi Kami

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) seyogianya bukan lagi opsi terakhir bagi Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan bangsa ini dari rongrongan oligarkhi.

Publik masih terus berkabung atas pembunuhan KPK, tetapi di tangan Presiden duka cita bisa menjadi suka cita atau kematian bisa menjadi kebangkitan/kehidupan baru. Melalui Perppu-lah keselamatan KPK dan penegakan hukum korupsi bangsa ini sangat mungkin terjadi.

State of Exception

Kewenangan Presiden menetapkan Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Dalam perspektif hukum konstitusi, Perppu merupakan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif (president’s legislative power).

Perppu praksis dianggap sebagai suatu produk hukum yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal (state of exception) yaitu suatu keadaan di mana negara dihadapkan pada ancaman hidup atau mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan (Scheppele, 2004: 1004).

Hingga kini, Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila syarat kegentingan memaksa telah terpenuhi (pandangan subyektif) dengan wajib memperhatikan 3 (tiga) kriteria obyektif sebagaimana tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, yaitu: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Syarat Terpenuhi

Menurut saya, syarat Presiden menerbitkan Perppu KPK telah terpenuhi dengan beberapa alasan. Pertama, dilihat dari konteks politik dimulainya revisi UU KPK, yakni konteks bagaimana sikap seluruh anggota DPR dan/atau fraksi partai politik di Senayan bersepakat terhadap perubahan UU KPK. Sebenarnya, mendukung atau menolak revisi UU KPK oleh siapapun tidak masalah. Yang bermasalah adalah revisi itu semacam proyek kolektif seluruh anggota DPR dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita.

Usulan revisi UU KPK tersebut kemudian dikebut pembahasannya sehingga hanya dalam kurun waktu 12 hari saja sudah disahkan. Hal ini terkesan seperti kinerja DPR melampaui kebiasaannya yang sering lamban dan agak kemalas-malasan merespon kebutuhan masyarakat. Benar saja! Walaupun telah rajin bekerja, DPR tidak pandai membaca mana yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat. Tetapi memang karena ini adalah hajatan komunal DPR untuk memproteksi dirinya atau kroni-kroninya di masa depan dari jeratan pasal-pasal anti-rasuah.

Kedua, praksis DPR melakukan pelanggaran serius terhadap norma prosedur pembentukan undang-undang. Dalam konteks prosedur, secara gamblang kita bisa melihat pelanggaran dilakukan sejak tahapan pembahasan hingga pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK. Norma prosedur yang jelas dilanggar dalam hal ini, yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum. Pengambilan keputusan harus 50% plus 1 yang berarti dari 560 anggota DPR wajib 281 anggota hadir, tapi faktanya hanya 80 orang anggota DPR di pembukaan sidang dan 102 orang dalam pengesahan. Walaupun dalam daftar kehadiran terdapat 289 orang anggota DPR. Semestinya, kehadiran dimaknai secara fisik bukan tanda tangan saja, karena ini berkaitan dengan perbuatan hukum masing-masing anggota.

Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak awal, DPR berangkat dari pemikiran bahwa aspek penguatan pencegahan korupsi akan menyelesaikan persoalan korupsi. DPR naif apabila menyalahkan KPK dalam hal kurangnya pencegahan. Sebab pencegahan bukan hanya kewajiban KPK atau lembaga penegak hukum, tetapi juga semua lembaga dan pejabat negeri ini.

Menurut catatan ICW per 15 September 2019, sepanjang 2015 – 2019 terdapat 254 legislator atau mantan legislator pusat dan daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Artinya, di parlemen baik pusat maupun daerah belum membangun sistem pencegahannya sendiri dan tidak pernah mau belajar untuk merubah diri. Pada hal ketika berbicara dalam politik penanggulangan korupsi, aspek pemberantasan korupsi itu terdiri dari pencegahan, penindakan dan peran serta masyarakat.

Ternyata ini hanya akal bulus DPR semata. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain:

  1. KPK bukan lembaga independen;
  2. Pegawai KPK merupakan ASN;
  3. Pimpinan KPK bukan penanggungjawab tertinggi;
  4. Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, tetapi syarat menjadi DP gampang;
  5. Penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas;
  6. Dewan pengawas boleh menjabat profesi lain;
  7. Dewan Pengawas bisa dari aparat penegak hukum aktif yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun;
  8. Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum;
  9. Penyelidik tidak boleh melarang seseorang ke luar negeri;
  10. Penyadapan tidak boleh dilakukan pada tahap penuntutan;
  11. OTT semakin sulit karena soal birokrasi penyadapan;
  12. Adanya ketentuan yang bisa disalahpahami tugas KPK hanya pencegahan;
  13. Penuntutan wajib koordinasi Kejaksaan Agung;
  14. Adanya resiko kriminalisasi pegawai KPK terkait penyadapan;
  15. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun yang tentu saja menyulitkan penanganan perkara lintas negara;
  16. Hilangnya kewenangan menangani perkara yang meresahkan publik;
  17. Kewenangan supervisi berkurang;
  18. Tidak dilakukannya penguatan dari aspek pencegahan terkait pelaporan LHKPN,
  19. Tertutupnya kesempatan generasi muda menjadi pimpinan KPK karena harus berumur minimal 50 tahun), dst (vide. rilis KPK & masyarakat anti-korupsi).

Dari norma-norma hasil revisi di atas, kita dapat melihat bahwa UU KPK baru memuat norma pelemahan KPK karena mengamputasi semua kewenangannya dan memperkecil ruang penegakan hukum korupsi. Selain itu, bila ditelaah dalam konteks pencegahan, maka sama sekali tidak terlihat penguatan dari aspek pencegahan sebagaimana didengungkan DPR. Artinya, memang ini semua proyek membuka tabir kejahatan korupsi lebih luas.

Dengan instrumen hukum seperti ini, alih-alihan memberantas korupsi, KPK periode lima tahun ke depan bisa tidak bekerja optimal baik dalam ranah pencegahan maupun penindakan. Karena spirit UU KPK baru tidak mencerminkan suatu prinsip korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga perlu ditanggulangi dengan cara yang luar biasa pula (extra ordinary treatment). Pun tidak membangun suatu budaya anti-korupsi di dalam masyarakat karena mempersepsikan korupsi bukan suatu kejahatan yang perlu diperangi bersama secara serius.

Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Kita semua adalah pengkritik sekaligus saksi bahwa revisi UU KPK dikritik dan ditolak habis-habisan oleh berbagai elemen masyarakat. Realitanya memang selepas revisi UU KPK disahkan suasana semakin mencekam di tengah masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda.

Kalau bukan soal kecurigaan terhadap proses revisi dan muatan materi yang disinyalir melemahkan KPK serta upaya menggagalkan agenda pemberantasan korupsi, maka semua bentuk perlawanan rakyat dalam gerakan bertajuk “demokrasi dikorupsi” hanyalah tindakan yang sia-sia. Urgensi penolakan ini karena produk legislasi yang disahkan hanya merepresentasikan kehendak (will) dan kepentingan (interestelite semata. Pengesahan UU KPK itu seperti mengumumkan pemenang proyek melindungi koruptor.

Bila keempat alasan di atas di pandang dari aspek keabsahan filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan peraturan perundang-undangan, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Suatu undang-undang yang dianggap sah dari sisi filosofis bila nilai-nilai, pandangan-pandangan, atau cita-cita di dalamnya sesuai dengan yang dianut masyarakat dan negara tersebut.

Kita menyongsong era reformasi dengan semangat pemberantasan korupsi dan pendirian KPK. Dengan harapan besar, korupsi dibumihanguskan. Kita tidak menganut nilai mentoleransikan korupsi atau membentuk oligarkhi untuk menguasai jabatan dan sumber-sumber ekonomi. UU KPK baru tidak bernafaskan semangat pemberantasan korupsi yang tinggi dan berpotensi tidak berdaya menghadapi pengerukan kekayaan di sektor sumber daya alam, dan lain sebagainya.

Dari sisi yuridis, mestinya suatu undang-undang itu mengatasi persoalan di masyarakat guna menjamin tercapainya cita-cita hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Secara eksplisit kita bisa melihat persoalan prosedur dan substansi UU KPK baru sebagaimana telah dijelaskan di atas. UU KPK baru tidak menyelesaikan silang sengkarut persoalan korupsi dan penegakan korupsi. UU ini tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Sedangkan, sisi sosiologis menitikberatkan pada bagaimana undang-undang itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Faktanya, revisi UU KPK telah menimbulkan gejolak di masyarakat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ada suatu keadaan genting yang memaksa dari sisi pemberantasan korupsi sehingga Presiden harus menerbitkan Perppu KPK.

Realisasi Janji

Jika Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Perppu KPK, maka sebetulnya di samping menjadi penyelamat juga merealisasikan janjinya terhadap penguatan KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Pertama, dilihat dari sisi Nawacita. Selaku Presiden yang berkuasa dimulai kurang lebih lima tahun lalu bersama Jusuf Kalla, pria yang akrab disapa Jokowi ini telah berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia untuk “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya” (vide. Nawacita poin 4).

Keteguhannya masih terlihat sama beberapa waktu lalu, tetapi belakangan sungguh dirindukan. Dalam hitungan hari lagi, ia akan mengakhiri periode pertamanya memimpin Indonesia. Pembunuhan KPK adalah sebuah tragedi bila tidak diselamatkan. Maka, Perppu bisa menjadi legasi manis Jokowi menutup detik terakhir kekuasaannya terhadap komitmen Nawacita-nya.

Kedua, menggenapi janji menerbitkan Perppu itu sendiri. Setelah sebelumnya didahului demonstrasi berjilid-jilid dari mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah, pada tanggal 26 September 2019 Presiden berinisiatif mengundang dan menggelar pertemuan dengan para tokoh bangsa di Istana Negara untuk membahas khusus terkait isu terkini bangsa salah satunya adalah mengenai revisi UU KPK.

Pasca pertemuan tersebut, Presiden memberikan isyarat segera menerbitkan Perppu terhadap pengesahan revisi UU KPK yang kontroversial itu. Namun, memasuki pekan kedua Perppu KPK itu tak tiba jua. Dalam konteks yang lain, Jokowi semakin dekat dengan periode keduanya. Kita semua bisa memproyeksikan komitmen anti-korupsi Jokowi dengan indikator keberpihakannya terhadap penguatan lembaga anti-rasuah dan keingingan publik agar korupsi tetap diberantas sampai ke akar-akarnya.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Hukumonline.com edisi 14 Oktober 2019, dengan judul “Perppu yang Menyelamatkan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Donasi