Hubungi Kami
Berita

Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum

Sebagaimana diketahui bahwa pada 20 Januari 2021 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah melakukan fit & proper test terhadap Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo selaku calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesiai yang diajukan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk menggantikan posisi Jenderal Polisi Idham Azis yang akan purna tugas pada 21 Februari 2021. Untuk mendiskusikan mengenai penunjukan Kapolri dan pekerjaan rumah Kapolri baru tersebut, Serial Diskusi Online BHACA dihadirkan dengan tajuk “Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum,” dengan narasumber: Kurnia Ramadhana (Peneliti ICW) & Iftitahsari (Peneliti ICJR)

Iftitahsari memberikan catatan dari beberapa aspek yaitu terkait kebijakan pidana, kebebasan berekspresi, intruisi terhadap ranah privasi, dugaan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya pada tingkat penyidikan, penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) dan catatan pamungkas ialah soal rekomendasi untuk Kapolri baru. Mengenai kebijakan pidana selama pandemi, ia menyatakan bahwa ICJR berpandangan dalam merespon penanganan darurat pandemi, sebisa mungkin kebijakan penegakan hukum atau penjatuhan sanksi pidana tidak digunakan terlebih dahulu dan diterapkan sebagai upaya terakhir. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah langkah persuasif dan penyadaran kepada masyarakat. Namun, selama pandemi, masih sering terjadi upaya pemidanaan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Pasal 218 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 212 KUHP dianggap yang paling sering dipakai untuk menakut-nakuti atau mengancam masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya pasal-pasal ini juga tidak tepat digunakan. “Dari sisi hukum pidana, pasal 212 KUHP harus ada ancaman kekerasan dulu. Pasal 218 & pasal 216 KUHP yang berkaitan dengan kerumuman sebenarnya bukan dimaksudkan untuk yang damai dan tenteram,” papar perempuan yang sering disapa Tita ini (21/1).

Selain itu, penerbitan peraturan selama pandemi juga dianggap merupakan praktik yang kurang baik karena tidak sesuai dengan peraturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Misalnya, penerbitan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 yang memuat ketentuan sanksi. Peraturan ini berlandaskan pada Instruksi Mendagri yang juga tidak sesuai kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Pun terkait pelibatan TNI/Polri dalam menegakan peraturan daerah sebagai sesuatu yang keliru. “Seharusnya yang menegakan adalah Satpol PP,” ujarnya.

Terkait kebijakan pemidaan penolak vaksin, dilihat dari payung hukum belum ada. Pemerintah pusat seharusnya mengklaim secara nasional sehingga menjadi dasar aturan daerah. Menurut Tita, selama ini, Pemerintah daerah saja yang baru menginisiasi. Secara aturan, Pemerintah daerah melangkahi. Dari sisi ancaman kebebasan berekspresi, salah satu beleid yang disorot, misalnya, munculnya Surat Telegram Kapolri yang menyasar kebebasan berekspresi. Surat tersebut bertentangan dengan putusan MK. Praktik penegakan hukum masih keliru menerapkan pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi seperti dalam kasus Jerinx.

Disamping itu, pengadilan juga belum mampu mengoreksi kekeliruan penerapan aturan. Padahal aturan banyak yang multitafsir dan problematik. Hal ini dikhawatirkan menjadi preseden yang buruk. Soal intruisi terhadap ranah privasi, perlu pemahaman dari sisi konteks penerapan hukum pidana. Kemudian sisi dugaan penyiksaan dan perlakuan tidak manusia. Menurutnya, kasusnya seringkali berulang dan tidak pernah diselesaikan alias menguap. Selama pandemi beberapa kasus telah terjadi.

Selanjutnya, penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force). Pemberian kewenangan pelumpuhan pelaku kejahatan dimaksudkan agar pelaku tidak melarikan perbuatan pidananya. Dalam praktiknya, konsep seperti ini tidak diterapkan. Seharusnya ini menjadi upaya terakhir, tetapi seolah-olah dipromosikan dalam praktik. Peneliti ICJR ini mengharapkan juga bahwa kedepannya, masukan, kritik dan sebagainya dapat diterima dengan baik untuk mewujudkan institusi Polri yang akuntabel, profesional dan juga transparan dengan menghormati hak asasi manusia. Bahwa kritikan bukan berarti membenci melainkan kerjasama untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang efektif untuk pemidanaan.

Adapun rekomendasi yang disampaikan untuk Kapolri baru adalah sebagai berikut:Sumber: presentasi Iftitahsari (2021)

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana memberikan catatan dari beberapa aspek:

Sumber: presentasi Kurnia Ramadhana (2021)

Menurutnya, kepolisian harus membenahi intitusinya terlebih dahulu sebelum bertindak lebih jauh. Salah satu hal yang harus dibenahi ialah masalah integritas anggota kepolisian. Contoh kecil, dari lima perwira tinggi yang dikirimkan Kompolnas ke Presiden untuk kontestasi calon Kapolri, hanya satu yang patuh dalam melaporkan LHKPN. Pun perwira tinggi berulang kali terlibat dalam kasus korupsi atau kasus lain yang terkait dengan korupsi.

Sumber: presentasi Kurnia Ramadhana (2021)

Soal koordinasi antar penegak hukum diharapkan juga harus lebih baik. Salah satu persoalan adalah konflik kepentingan. Untuk mengatasi masalah konflik kepentingan, Kapolri baru harus memitigasinya melalui komitmen yang tegas. Salah satu upaya yang bisa dilaksanakan untuk memperkuat koordinasi yaitu dapat diinisiasi sebuah forum ekspose bersama untuk kasus korupsi besar dan menarik perhatian publik. Kepolisian juga diharapkan menjadi institusi yang terbuka. Salah satu informasi penting yang seharusnya diwajibkan keterbukaannya ke depan ialah penerbitan SP3.

Kurnia menilai, kepolisian masih kabur dalam menetapkan indikator penilaian promosi jabatan. Karena selama ini, kerap ditemukan anggota-anggota Polri yang memiliki rekam jejak bermasalah justru terpilih menempati jabatan-jabatan strategis. Karena itu, Kapolri baru diharapkan untuk menginisiasi desain kebijakan terkait promosi jabatan yang berlandaskan nilai-nilai integritas, professional, partisipatif, transparan, akuntabel, dan independen. Catatan lain terkait meningkatnya anggota Polri aktif yang menduduki jabatan publik. Praktik ini melanggar UU Kepolisian dan UU Pelayanan Publik. Dan, yang terpenting hal tersebut berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Ia juga mengkritisi kepolisian yang seringkali mengirimkan calon-calon yang tidak memenuhi ekspektasi publik karena rekam jejaknya yang bermasalah untuk menduduki jabatan publik.

Dari sisi penindakan kasus korupsi, menurut data ICW, ada tren penurunan pengentasan kasus korupsi. Dari sisi aktor, tidak juga menyentuh aktor besar. Maka, Kapolri baru diharapkan memperhatikan sektor pemberantasan korupsi tanpa mengecilkan sektor lain. Kurnia merekomendasikan agar Kapolri baru fokus pada agenda reformasi penguatan institusi kepolisian khususnya penguatan personal dan kelembagaan serta peningkatan kinerja pemberantasan korupsi. Ia juga mendorong agar dibentuk tim satuan tugas khusus di internal kepolisian untuk akselerasi penanganan kasus korupsi. Selain itu, perlu revisi peraturan Kapolri terkait jabatan-jabatan strategis diwajibkan melaporkan LHKPN guna menjamin integritas anggota-angota Polri tersebut.

Kurnia menilai memang ada begitu banyak permasalah di institusi kepolisian tetapi tidak ada alasan bagi Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo untuk tidak mengetahuinya karena banyak DIPA yang bisa menjembatani antara isu di tubuh institusi tersebut. Ia juga mengingatkan Presiden bahwa Presiden bisa mengevaluasi (memberhentikan) Kapolri jika kinerjanya tidak tercapai.

“Harusnya Presiden itu bisa mengevaluasi bahkan ketika kekeliruan itu sangat mendasar mengenai publik bahkan presiden mempunyai kewenangan untuk bisa memberhentikan Kapolri itu sendiri dan rasanya itu yang tidak pernah kita lihat ada pengawasan yang klir dari eksekutif maupun legislatif. Di masa kepemimpinan Pak Idham Azis, Pak Tito Karnavian banyak catatan yang harusnya bisa dijadikan pegangan bagi Presiden Jokowi untuk bisa memastikan kinerja Polri di tahun 2021 di bawah kepemimpinan Pak Listyo Sigit dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku,” pungkasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Kapolri Baru dan Masa Depan Penegakan Hukum” yang diselenggarakan pada 21 Januari 2021 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan Youtube Bung Hatta Award BHACA

Donasi