Hubungi Kami
Artikel, Berita

Corona & Korupsi Dana Bencana

Seluruh dunia sementara berkabun. Virus corona telah mewabah. Kemampuan menularnya sangatlah cepat. Di Italia korban meninggal telah mencapai 10.000 orang. Ramai-ramai sejumlah negara di dunia menyuarakan Lockdown. Tujuannya agar Covid-19 tidak menyebar lagi.

Di Indonesia sendiri, masih menjadi perdebatan apakah Lockdown ataukah cukup dengan social distancing. Akan tetapi, bila melihat data penyebaran virus corona sudah menguatirkan. Per 29 Maret 2020 pukul 16.00 terkonfirmasi 1.285 kasus, 64 kasus sembuh dan meninggal dunia 114 orang. Olehnya sudah tepat bila pemerintah menyatakan bahwa Covid 19 merupakan bencana nasional non alam.

Pertanyaannya apa hubungannya dengan korupsi ? Apakah ada manusia yang tegah melakukannya ? Dalam kondisi bangsa terkena bencana ?

Korupsi Dana Bencana

Jawabannya “iya ada”, korupsi memang memiliki daya rusak yang luar biasa. Perilaku ini bukan hanya merugikan keuangan negara. Di saat yang sama korupsi juga merusak mental seseorang. Mematikan hati nurani.

Di Indonesia sendiri, korupsi dana bencana pernah terjadi di beberapa daerah. Pertama, korupsi dana rehabilitasi gempa Lombok. Terdakwa kasus korupsi “fee project” dana rehabilitasi pascagempa Lombok Nusa Tenggara Barat, Muhir di vonis 2 (dua) tahun penjara, denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan kurungan. Majelis hakim menyatakan bahwa Muhir terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, laporan pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada tahun 2005 mengungkap penyimpangan dana bencana Tsunami di Aceh dan Nias. Ketiga, korupsi proyek air minum bagi korban bencana alam di Palu dan Donggala. Pada tahun 2018, OTT KPK telah menetapkan 8 orang tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi suap kepada pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di daerah Palu dan Donggala Sulawesi Tengah.

Di Provinsi Gorontalo sendiri, mungkin masih ingat korupsi pada proyek pengendalian banjir yang didanai APBD sebanyak Rp 19,5 Miliar. Berawal dari rusaknya sejumlah jembatan dan tanggul sungai di Kabupaten Bone Bolango akibat terjangan banjir bandang. Majelis hakim kemudian menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Fakta-fakta di atas, merupakan bukti nyata bahwa di tengah mewabahnya corona virus. Perilaku koruptif bisa saja mengiringinya. Apalagi di “halalkannya” pergeseran pos-pos anggaran lain ke pos penanggulangan bencana wabah corona. Pertanyaan berikutnya, apakah pelaku korupsi dana wabah corona bisa dipidana mati?

Pidana Mati

Penanggulangan korupsi melalui hukum pidana (penal) masih sangat kita butuhkan. Apalagi bila kita berbicara perilaku koruptif dana bencana wabah corona. Dari segi regulasi, penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di atur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekenonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 miliar. Dalam hal tindak pidana korupsisebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Frasa “keadaan tertentu” dalam penjelasan Pasa 2 ayat 2 adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Pada penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 tahun 2001 terdapat frasa “bencana alam nasional”. Bila kita kaitkan dengan kondisi wabah corona di Indonesia, pemerintah telah menetapkan corona virus sebagai bencana nasional non alam (4/3/2020). Suatu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam alam hal ini yakni epidemi dan wabah penyakit. Konsekuensinya adalah bila ke depan terjadi tindak pidana korupsi dana bencana wabah corona, maka pidana mati sangat tepat untuk dijatuhkan.

Jupri, SH.MH, Akademisi UNISAN & Pengurus DPD KNPI Provinsi Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Gorontalo Post, 31 Maret 2020

Donasi