Hubungi Kami
Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online BHACA: Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19

Para ahli memprediksi bahwa perang melawan virus korona dapat memakan waktu yang tidak sebentar. Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah yang strategis dan berorientasi jangka panjang tidak hanya untuk menekan laju persebaran virus korona namun juga memitigasi dampak pandemi. Bagaimana evaluasi dari langkah-langkah yang sudah dilakukan serta strategi berkelanjutan apa yang perlu dilakukan setelahnya?

Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award mengundang Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta 2001-2011, Peraih BHACA 2010), Ita F. Nadia (Komisioner Komnas Perempuan 1999-2006, Koordinator Solidaritas Pangan Jogja), dan dr. Pandu Riono (Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) dalam diskusi online berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” pada Kamis, 14 Mei 2020

Pada awal ditemukan kasus positif, tentu semua orang menginginkan agar virus tidak menyebar luas, apa lagi dalam waktu yang singkat. Pengujian dan pelacakan menjadi pakem yang disepakati ahli kesehatan seluruh dunia untuk menekan laju penyebaran virus dan kemudian meredam dampak sosial dan ekonomi dari pandemi. Sayangnya, menurut dr. Pandu Riono, ketidaksigapan pemerintah membuat Indonesia terlambat dalam menangani pandemi hingga tidak lagi bisa melacak persebaran virus. Fokus pemerintah untuk memitigasi dampak ekonomi dengan bersikap lunak terhadap pembatasan sosial justru dapat meningkatkan potensi kerugian ekonomi yang jauh lebih besar. Dr. Pandu melihat bahwa narasi new normal yang mulai digaungkan seharusnya berorientasi jangka panjang, yakni membudayakan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), pembatasan sosial, serta membangun kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Pandemi bukanlah semata-mata problem kesehatan, melainkan juga berdampak secara ekonomi dan sosial. Dampak ini juga secara timpang lebih besar dialami oleh kelompok marjinal, yakni masyarakat yang bekerja di sektor informal. Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) memutuskan untuk membentuk dapur umum untuk menyuplai pasokan makanan kepada kelompok marjinal, terutama yang tidak terdaftar sebagai penerima bansos pemerintah karena tidak memiliki KTP maupun yang tidak memiliki rumah untuk memasak sembako. Selain kompleksitas pemetaan penerima bantuan, tantangan lain yang dialami SPJ adalah represi dari aparat penegak hukum atas nama pemberlakuan protokol jaga jarak. Atas alasan tersebut, koordinator SPJ, Ita F. Nadia, melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan tindakan-tindakan represif atas nama pencegahan penularan Covid-19 dan melindungi rakyat yang bergotong-royong saling membantu di situasi pandemi ini, seperti yang dilakukan oleh SPJ. Solidaritas untuk menghidupkan dapur umum dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari penjual nasi kucing, peternak, mahasiswa, hingga pekerja seks.

Solidaritas antar warga inilah yang juga dinilai Herry Zudianto sebagai kunci untuk membangun resiliensi warga menghadapi bencana, terlebih hal serupa sudah pernah berhasil menggerakkan Yogyakarta bangkit dari bencana gempa dan erupsi Gunung Merapi. Yang membuat bencana pandemi lebih menantang adalah ketidakpastian berapa lama bencana ini akan berlangsung. Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang tegas dan berorientasi jangka panjang, sebab melalui kebijakanlah nasib hidup banyak orang bergantung. Sebagai warga sipil yang pernah memiliki pengalaman mengemban kursi eksekutif lokal, Herry menilai bahwa pemerintah perlu menggunakan pendekatan dialog dengan masyarakat ketimbang represi.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan pada 14 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online bersama Peraih BHACA: Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat

Pandemi Covid-19 adalah masalah yang berdampak pada setiap elemen masyarakat, mulai dari adanya aturan baru yang mengadaptasi situasi, perubahan situasi ekonomi, hingga terujinya rasa kemanusiaan untuk saling membantu. Berbagai inisiatif dalam merespons pandemi dilakukan, baik itu oleh negara, sektor swasta, hingga masyarakat akar rumput. Namun, bagaimana dan apa peran masing-masing sektor masyarakat ini untuk memastikan akuntabilitas dalam kebijakan, inisiasi, gerakan, maupun program yang merespons pandemi?

Bung Hatta Anti-Corruption Award mengundang Heru Pambudi (Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, Peraih BHACA 2017), Alissa Wahid (Koordinator Jaringan Gusdurian), dan Karaniya Dharmasaputra (Presiden Direktur OVO, Peraih BHACA 2003) dalam diskusi berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat”

Merespons pandemi Covid-19, Jaringan Gusdurian yang dikoordinasi oleh Alissa Wahid menargetkan bantuan untuk pekerja sektor informal dengan menggerakkan anggota jaringan yang mampu mendistribusikan bantuan hingga menyentuh akar rumput. Untuk memastikan akuntabilitas distribusi bantuan sosial, Jaringan Gusdurian membentuk lembaga formal bernama Yayasan Gusdurian Peduli dan menerapkan mekanisme audit serta pelaporan pengumpulan dan penggunaan keuangan masing-masing program secara terbuka. Jaringan Gusdurian juga berkomitmen untuk menekan biaya operasional dengan memberdayakan pekerja informal (seperti ojek pangkalan untuk mendistribusikan bantuan). Alissa Wahid menekankan pentingnya akuntabilitas demi membangun kredibilitas suatu gerakan solidaritas.

Berbicara mewakili elemen pemerintah, Heru Pambudi menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah merespons pandemi, seperti pembebasan fiskal dan cukai untuk beberapa barang demi memastikan ketersediaan alat kesehatan dan bahan pangan, serta mempermudah birokrasi impor untuk instansi seperti rumah sakit atau kampus. Demi memastikan akuntabilitas dan transparansi, Dirjen Bea dan Cukai mengandalkan otomasi dan fasilitas trace and track yang juga dapat dipantau oleh masyarakat. Heru Pambudi melihat bahwa situasi pandemi memberikan peluang untuk membentuk kebiasaan baru seperti mengejar efisiensi tata kelola, penghematan anggaran, dan transparansi birokrasi.

Tidak hanya masyarakat akar rumput saja yang ingin turut membantu, namun juga sektor swasta. Karaniya Dharmasaputra membagikan pengalaman dan pelajaran dari Ovo, Tokopedia, dan Grab melalui pemanfaatan teknologi digital bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan untuk menghimpun dana masyarakat serta mendistribusikan bantuan dengan tetap meminimalkan kontak manusia. Melalui kacamata sektor swasta, Karaniya menggarisbawahi pasal-pasal karet yang meski memiliki semangat antikorupsi namun dapat menjadi alat korupsi baru dan melemahkan peran sektor swasta. Menurut Karaniya, negara dan demokrasi akan kuat jika tiga elemen (negara, masyarakat, dan swasta) dapat bersinergi dengan baik. Situasi baru yang dibentuk oleh pandemi ini memaksa kita untuk melihat dan membuat budaya baru dan sistem baru.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” yang diselenggarakan pada 7 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Berita

Akuntabilitas Penyaluran Bantuan Covid-19 Versi Jaringan Gusdurian

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah, swasta, dan masyarakat berkolaborasi saling membantu warga terdampak pandemi virus corona. Dalam penyalurannya, masih ditemukan ada bantuan yang tidak tepat sasaran. Di beberapa daerah, permukiman elite yang dihuni orang-orang mampu malah mendapat bantuan sembako. Alhasil bantuan itu dikembalikan agar disalurkan kepada mereka yang benar-benar terdampak.

Jaringan Gusdurian turut ambil bagian berkontribusi membagikan paket sembako oleh beberapa platform seperti BenihBaik.com, Kitabisa.com, Gerakan Islam Cinta, OVO, Grab hingga Tokopedia. Lantas bagaimana langkah jaringan Gusdurian ‎agar paket sembako yang disalurkan benar-benar tepat sasaran dan akuntabilitas sehingga dipercaya oleh publik ?

Koordinator Nasional Jaringan GusdurianAlissa Wahid menjelaskan untuk proses pendataan mereka yang layak mendapatkan bantuan sembako, pihaknya mendata sendiri dari lapangan.

“‎Untuk pengambilan data, kami awalnya mencoba bangun hubungan dengan Kementerian Sosial. Kami ingin dapat data terpadu kesejahteraan sosial atau data penerima program PKH. Asumsi kami mereka perlu dibantu, tapi kami analisis di lapangan tidak segampang itu. Banyak pekerja sektor informal yang tidak terdata,” tuturnya dalam diskusi online bersama Bung Hatta Award, Kamis (7/5/2020) malam.

Akhirnya Jaringan Gusdurian ‎memutuskan tidak menggunakan data dari Kementerian Sosial melainkan menggunakan assesmen lapangan dari Jaringan Gusdurian yang ada di 130 kota di seluruh Indonesia.

Dari hasil assemen di lapangan, Alissa Wahid tidak memungkiri banyak temuan-temuan seperti yang kini viral di media sosial yakni rumah layak mendapat stampel keluarga miskin.

“Kami dapati di lapangan banyak kelompok informal tidak terdata oleh pemerintah. ‎Sebagian kami temukan penerima bantuan pemerintah ada kolusi di tingkat lokal. Termasuk rumah yang bangunannya bagus ditempel stiker keluarga miskin. Itu realita di lapangan,” tegasnya.

Lebih lanjut sebagai bagian dari akuntabilitas, Alissa Wahid selalu membuat ‎reporting yang diposting di media sosial baik itu jumlah sembako yang sudah disalurkan hingga kisah-kisah penerima sembako di lapangan.

Reporting berkala ini sangat penting agar masyarakat dan pihak-pihak yang mempercayakan Jaringan Gusdurian menyalurkan bantuan merasa senang karena bantuannya tepat sasaran.

“Kalau kita rajin buat laporan sementara itu menandakan oh, kita serius kerjanya. Termasuk bisa memberitahu ke donator kalau bantuan mereka diberikan ke mereka yang berhak.‎ Saya selalu menekankan pada Jaringan Gusdurian, jaga kredibilitas, ingat amanah publik,” katanya.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Akuntabilitas Penyaluran Bantuan Covid-19 Versi Jaringan Gusdurian, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/05/07/akuntabilitas-penyaluran-bantuan-covid-19-versi-jaringan-gusdurian edisi 7 Mei 2020

Berita

Eks Pimpinan KPK: MK Harus Batalkan Pasal Imunitas Perpu Covid-19

TEMPO.COJakarta – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal imunitas dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Aturan imunitas di Pasal 27 Perpu Covid-19 harus dibatalkan demi moralitas.

“Kalau imunitas dilegalkan dalam pasal 27 itu dibatalkan, artinya MK sudah menegakkan moralitas konstitusi,” kata dia dalam diskusi daring Perkumpulan Bung Hatta Anticorruption Award, Jumat, 1 Mei 2020.

Busyro mengatakan MK tak boleh menilai Perpu Covid-19 hanya dengan standar konstitusi. Menurut dia, konstitusi bisa ditafsirkan sesuai kepentingan.

Dia meminta MK juga menggunakan hati nurani dalam menilai pasal Imunitas dalam Perpu Covid-19. “Tafsir terhadap moralitas konstitusi itu mendasarkan pada hati nurani,” kata dia.

Sebelumnya, sudah ada tiga pihak yang mengajukan gugatan ke MK terhadap Perpu Covid-19. Ketiga penggugat sama-sama meminta MA membatalkan sejumlah pasal, salah satunya pasal 27. Salah satu penggugat, Masyarakat Antikorupsi Indonesia menilai pasal itu melanggar Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang sama di mata hukum. MAKI juga khawatir adanya pasal itu dapat mengulang terjadinya skandal seperti kasus Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Pasal 27 mengatur bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi Covid-19 tak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara. Pasal itu juga mengatur bahwa pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan sejumlah pejabat di bidang ekonomi tak bisa digugat baik secara perdata atau pidana saat menjalankan Perpu itu.

Disebutkan pula bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan Perpu Covid-19 bukan obyek gugatan yang bisa diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Artikel ini telah diterbitkan Tempo sebelumnya dengan judul “Eks Pimpinan KPK: MK Harus Batalkan Pasal Imunitas Perpu Covid-19” edisi 2 Mei 2020

Berita

Busyro Muqoddas Sebut RUU Cipta Kerja Hanya Untungkan Investor

TEMPO.COJakarta – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi menarik usulan Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja.

Menurut dia, aturan omnibus law ini hanya menguntungkan investor, tapi tidak melindungi pekerja. “Intinya, Omnibus Law ini sebuah ancaman yang berdampak jangka panjang,” kata Busyro dalam diskusi daring Perkumpulan Bung Hatta Anticorruption Award, Jumat, 1 Mei 2020.

Busyro khawatir masyarakat akan bereaksi keras bila pembahasan aturan sapu jagat itu dilanjutkan. Dia tak mau penolakan itu berujung pada kekacauan.

Menurut Busyro, perumusan naskah RUU Cipta Kerja juga dilakukan tergesa-gesa, tanpa melibatkan masyarakat sipil. Dia ingat Presiden Jokowi juga sempat meminta agar DPR menyelesaikan pembahasan RUU ini dalam 100 hari.

Menurut dia, itu adalah wujud sikap angkuh seorang pejabat dan antidemokrasi. “Mudah-mudahan ini disadari dengan cara presiden bersedia menarik naskah tersebut dan kemudian diskusi secara terbuka,” kata dia.

Artikel ini telah diterbitkan Tempo sebelumnya dengan judul “Busyro Muqoddas Sebut RUU Cipta Kerja Hanya Untungkan Investor” edisi 2 Mei 2020

Donasi