Hubungi Kami
Artikel, Berita, OPINI PENELITI

Absurditas Alasan Diskon Hukuman Koruptor

Alasan diskon hukuman kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (EP) menambah deretan absurditas pengadilan dalam menghukum koruptor. Vonis tingkat kasasi itu mengurangi hukuman dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Duduk sebagai majelis hakim kasasi yakni, Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.

Pertimbangan majelis hakim yakni bahwa terdakwa sebagai Menteri KKP sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan karena mencabut Permen Kelautan dan Perikanan No. 56/PERMEN-KP/2016 dan menggantinya dengan Permen No. 12/PERMEN-KP/2020. Ia dinilai menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil.

Mengada-ada

Banyak sekali pertanyaan kritis muncul menanggapi pertimbangan majelis hakim tersebut. Bagaimana mungkin terdakwa bekerja dengan baik tapi korupsi? Dalam konteks diskursus Permen 12/2020, pembentukan Permen sejak awal dinilai bermasalah karena pembahasannya tertutup dan tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.

Penetapan puluhan perusahaan ekspor benih lobster terafiliasi kepada sejumlah partai politik. Ombudsman Republik Indonesia menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster. Komisi Persaingan Pengawas Usaha mengindikasikan adanya monopoli yang dilakukan perusahaan jasa pengiriman logistik ekspor benur.

Tanda bahwa ada oligarki dalam kebijakan itu karena masuknya aktor-aktor yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik untuk menguasai dan memonopoli pemanfaatan sumber daya perikanan. Ini indikasi kuat kebijakan itu tidak berpihak pada masyarakat tetapi hasil fasilitasi atas kepentingan oligarki.

Lagi pula, hakim tidak dalam kapasitasnya menilai kinerja pejabat eksekutif itu baik atau tidak. Hakim seharusnya menilai bahwa yang bersangkutan tidak amanah sebagai pejabat negara untuk selanjutnya sepakat dengan vonis judex factie.

Bagaimana mungkin majelis hakim menyebut terdakwa memberikan harapan yang besar dan menyejahterakan rakyat khususnya nelayan? Atas kebijakan itu, EP menerima suap yang totalnya mencapai Rp25,7 miliar dari berbagai pengusaha/perusahaan eksportir benur. Kebijakan yang dikorupsi jelas dampaknya menyengsarakan rakyat.

Dengan gamblang bisa dikatakan justru EP-lah yang untung dan sejahtera, rakyat menjadi korban. Tujuan kesejahteraan tidak tercapai, malah yang terjadi ketidakpercayaan publik pada pemerintah dan tidak tercapai visi pemerintahan. Sejak kapan dalam sejarah peradilan, pertimbangan hakim atas dasar berkinerja baik sebagai alasan memotong hukuman?

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Mengacu pada ketentuan di atas, di manakah rasionalisasi putusan ini? Sepertinya, majelis hakim kehabisan akal dan pada titik itulah pertimbangannya mengada-ada.

Absurditas yang Berulang

Nampaknya, ada fenomena para hakim pengadilan tindak pidana korupsi di negeri ini mengulangi banyak sekali absurditasnya dalam hal mempertimbangkan hal meringankan dan keberpihakannya. Sebab, terkesan bahwa pengadilan justru lebih bersimpati pada pelaku korupsi dibanding korban korupsi yakni masyarakat.

Sebagian absurditas alasan meringankan hukuman koruptor antara lain adanya sifat kedermawanan; cercaan, hinaan dan makian masyarakat terhadap pelaku; alasan gender dan punya bayi, sudah mengembalikan uang korupsi, lanjut usia dan sudah pasti bersikap sopan.

Kedermawanan sebagai alasan mengkorting hukuman misalnya terjadi dalam kasus suap sel mewah di Lapas Sukamiskin. Penyuap Fahmi Darmawansyah dikorting hukumannya oleh MA di tingkat Peninjauan Kembali karena dianggap punya sifat kedermawanan. Darmawansyah memberikan ragam barang mewah kepada Kalapas Sukamismin Wahid Husen, di antaranya: uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, tas Louis Vuitton, sandal Kenzo senilai Rp39 juta, hingga mobil Mitsubishi Triton hitam seharga Rp427 juta.

Majelis hakim memotong hukuman Darmawansyah menjadi 1 tahun 6 bulan penjara dari sebelumnya 3 tahun 6 bulan penjara. Menurut hemat Penulis, tidak patut mendalilkan sifat kedermawanan itu. Selain “merusak” makna kedermawanan, agaknya majelis hakim naif untuk tidak mengaitkan pemberian itu dengan fasilitas sel mewah. Logikanya bisa dibalik, bagaimana bila pada waktu itu Wahid Husen bukan Kalapas, akankah ia diberikan barang-barang mewah itu? Secara implisit, alasan ini berbahaya karena memberikan kesan mulai ada upaya pengadilan menormalisasi pemberian yang dilarang.

Kemudian pada kasus eks Menteri Sosial Juliari P Batubara di mana majelis hakim yang diketuai Muhammad Damis serta hakim anggota Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo menilai Juliari sudah cukup menderita karena dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat, padahal ia belum tentu bersalah karena belum ada putusan pengadilan.

Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Sebelumnya, Juliari diajukan ke meja hijau karena melakukan korupsi pengadaan bantuan sosial covid-19. Ia terbukti menerima suap sebesar Rp32,4 miliar dari para rekanan penyedia bansos Covid-19 di Kementerian Sosial. Kembali hakim mempertontonkan dalil yang abnormal.

Di belahan dunia ini, semua koruptor mengalami dicela publik akibat perbuatannya. Hakim luput melihat konteks bahwa masyarakat kesal dalam situasi serba sulit, seorang pejabat yang dipercaya menjadi penolong justru memberi petaka bagi mereka. Dalam konteks itu, celaan adalah ekspresi tetapi sifatnya hanya sesaat, itu pun lebih banyak berseliweran di media sosial dan tidak mewakili pandangan masyarakat secara keseluruhan.

Kemudian, menyatakan masyarakat memperlakukannya seperti telah terbukti alias tidak sesuai prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocent) juga keliru. Andi Hamzah menjelaskan bahwa presumption of innocent harus ditempatkan dalam konteks hak-hak tersangka. Tidak bisa diartikan letterlijk.

Menurut Romli Atmasasmita, tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang sejalan dengan perubahan paradigma adalah negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding (Romli Atmasasmita: 2009). Dalam konteks itu, hak-hak tersangka telah dipenuhi oleh negara.

Cerita lain, alasan hakim banding di PT DKI Jakarta mendiskon hukuman pelaku korupsi, pencucian uang dan permufakatan jahat, Pinangki Sirna Malasari. Penjara 10 tahun di PN Tipikor Jakarta diturunkan menjadi 4 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik.

Salah satu pertimbangan yang cukup menarik perhatian adalah bahwa status Pinangki sebagai seorang ibu dan mempunyai anak berusia empat tahun. Sebagai wanita, ia harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil. Salah kaprahnya pertimbangan dengan alasan gender ini.

Rasanya, ini sebuah keistimewaan yang diperoleh Pinangki seorang karena hanya dalam pengadilannya ada pertimbangan semacam ini. Pinangki dapat dibandingkan dengan Angelina Sondakh yang ketika terjerat kasus korupsi, ia juga berstatus seorang ibu dan majelis hakim tidak mempertimbangkan hal itu.

Menurut hemat Penulis, memperhatikan kondisi perempuan dalam pengadilan bukan hal yang haram. Ada Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang menjadi alas hukumnya. Pedoman tersebut bertujuan membantu para hakim memahami dan menerapkan kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non-diskriminasi; membantu hakim mengidentifikasi situasi di mana terdapat perlakuan yang tidak setara atau dibedakan yang berujung pada diskriminasi terhadap perempuan; dan berkontribusi bagi pelaksanaan sistem peradilan yang menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam proses persidangan dan pengadilan.

Dalam putusan Nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI, majelis hakim tidak menjadikan Perma ini sebagai pijakan argumentasi. Bila diidentifikasi situasi yang melanggar tujuan Perma tersebut dalam perkara Pinangki tidak ditemukan. Akan tetapi, hal penting yang patut digarisbawahi adalah justru majelis hakim menciptakan putusan yang diskriminatif bagi pelaku korupsi perempuan lainnya.

Contoh terakhir yang dapat disimak pula ialah alasan pemotongan vonis Djoko Tjandra. Selama 11 tahun, terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali ini kabur dan tidak menjalani masa pemidanaannya. Dari kasus itu, ia memperoleh keuntungan mencapai Rp546,1 miliar. Ia tertangkap dan kali ini statusnya adalah penyuap Pinangki dalam pengurusan fatwa di Mahkamah Agung dan sejumlah jenderal polisi terkait red notice.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menurunkan hukuman Djoko Tjandra dari 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara. Alasan meringankan dari majelis hakim yang terdiri atas Muhamad Yusuf (Ketua) dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Reny Halida Ilham Malik bahwa Djoko Tjandra sudah pernah menjalankan hukuman kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Padahal, sebenarnya ada cukup alasan memperberat hukuman yang bersangkutan yakni buron yang artinya melawan putusan pengadilan/tidak taat hukum hingga menambah kerusakan integritas aparat penegak hukum. Selanjutnya, sebagai pelaku kejahatan, ia mengulangi perbuatannya yang mengindikasikan bahwa ia tidak jera. Pun, ini dua kasus yang berbeda di mana menjalani hukuman pada satu kasus tidak bisa menjadi alasan tidak menjalani atau mengurangi masa pemidanaan di kasus lain.

Pembenahan

Adanya akrobat diskon hukuman koruptor dengan alasan-alasan yang absurd ini membuat banyak pihak mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi sektor peradilan. Bagi masyarakat, potongan hukuman yang terlalu tinggi mengindikasikan bahwa lembaga peradilan tidak mendukung usaha membasmi penggarong uang rakyat dan tidak memberikan keadilan yang semestinya.

Menurut hemat Penulis, atas kasus-kasus ini, pembenahan perlu dilakukan. Ke depan akselerasi reformasi pengadilan dalam menjamin kualitas hakim perlu segera diwujudkan. Perlu ada semacam pedoman khusus mengenai alasan-alasan meringankan dan memberatkan yang disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Alasan-alasan itu sebaiknya lebih banyak bobot yang obyektif daripada subyektif. Selain itu, pengawasan kepada hakim menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

*)Korneles Materay, Peneliti Bung Hatta Anti-Corruption Award.

Artikel

Diskon Hukuman Koruptor dan Komitmen MA

Di saat negeri ini masih dilanda duka akibat revisi UU KPK yang secara nyata mengerdilkan kelembagaan KPK dan agenda pemberantasan korupsi, kita malah disuguhkan dengan kabar memprihatinkan berupa diskon besar-besaran hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung. Idrus Marham yang notabene salah seorang koruptor proyek pembangunan PLTU Riau-1 dengan nilai suap Rp 2,25 miliar dikurangi sanksinya dari semula 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan (vide putusan PT DKI) turun menjadi 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan (vide putusan kasasi MA).

Gerangan dalil majelis hakim yang dipimpin Krisna Harahap (Ketua) beranggotakan Abdul Latief dan Suhadi ialah bahwa Idrus bukan unsur penentu yang berwenang mengambil putusan proyek tersebut. Bagi saya alasan hukum ini masih kurang kuat sebagai justifikasi memberi diskon sanksi hukuman untuk koruptor. Saya yakin bahwa dalam suatu perbuatan sekelas kejahatan korupsi, agaknya sulit menerima seorang elite politik sebagai bukan faktor penentu. Artinya, faktor Idrus selaku elite politik dalam konteks relasi kuasa atau wewenang ini kuat sebagai elemen kunci dimulainya perbuatan korupsi politik.Faktor Idrus memikat seorang pengusaha besar seperti pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo mau mengeluarkan uang miliaran untuk memenangkan proyeknya. Dengan cara pandangan dan pertanyaan lain, bagaimana bila proyek ini benar-benar bisa jatuh ke tangan Kotjo berkat seorang Idrus? Apakah korupsi yang tidak diketahui dan diproses bukan korupsi? Bukankah prosesnya terkorupsi?

Maka, saya lebih sependapat dengan pandangan hakim ikonik MA yang pernah menjadi momok menakutkan bagi koruptor yakni Artidjo Alkostar. Menurut Artidjo, korupsi yang berkualifikasi korupsi politik modus operandi dan implikasinya lebih komplek dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik. Korupsi politik memiliki dampak negatif yang merusak tata kehidupan negara dan melanggar hak dasar rakyat di negara yang bersangkutan.

Lebih lanjut, ia mengatakan korupsi politik mengindikasikan ada penyalahgunaan amanat, mandat, kewenangan yang dipercayakan oleh rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam negara demokrasi. Korupsi politik dilakukan oleh pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan yang melekat kepada kedudukan dan posisi sosial politik yang ada padanya. Penyalahgunaan posisi strategis pelaku korupsi politik berdampak pada bidang politik, ekonomi, hukum dan pendidikan sosial yang negatif bagi rakyat. Karena itu, mestinya Idrus dihukum pidana maksimum.

Kurang Komitmen

Menelusuri vonis MA dalam kurun waktu yang belum lama selama ini, terlihat dengan jelas lembaga kehakiman tertinggi ini kurang dalam soal komitmen anti-korupsi. Kesimpulan singkat ini didukung dengan bukti-bukti berupa maraknya diskon vonis hukuman koruptor. Praktik diskon atau menyunat hukuman koruptor tersebut terjadi dalam beberapa kasus besar dan menarik masyarakat yang melibatkan elite politik, penguasa kakap dan aparat penegak hukum. Misalnya, dalam kasus eks mantan hakim MK Patrialis Akbar, eks Ketua DPD RI Irman Gusman, politisi Angelina Sondakh, eks anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi, pengusaha Choel Mallarangeng, dan advokat OC Kaligis.

Tak hanya mengurangi, MA bahkan berani melepaskan dan membebaskan mantan terdakwa kasus korupsi yang terbukti secara sah dan meyakinkan dalam pemeriksaan di tingkat yudex factie dan yudex yuris (PN dan PT). Misalnya, dalam perkara eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (lepas), eks Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir (bebas) dan yang paling terbaru eks Direktur Keuangan Pertamina Federick ST Siahaan (lepas).Bukti empirik lain adalah catatan penelitian ICW perihal vonis ringan koruptor masih terjadi hingga 2018. Pada 2018, besaran vonis rerata di semua tingkat yakni pengadilan tingkat pertama (PN), pengadilan tingkat banding (PT), dan tingkat kasasi/PK (MA) adalah 2 tahun 5 bulan. Angka ini hanya meningkat sedikit (baca: 3 bulan) dari rata-rata vonis pada 2017 yakni 2 tahun 2 bulan. Saya melihat MA tidak hanya ramah terhadap koruptor, tetapi juga gagal menciptakan keadilan dalam kasus korupsi.

Tentu tidak salah memperhatikan hak dan keadilan para pelaku. Tetapi, dalam perspektif korban korupsi, MA belakangan ini kembali merangkak. Tahun ini, dari beberapa kasus diproyeksikan tren vonis ringan masih melaju, apalagi tidak ada kejutan yang positif sama sekali.Masyarakat awam seringkali tidak menyadari korupsi sangat merugikan mereka karena dampaknya tidak terasa dengan cepat dan langsung tertuju pada individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat tersebut. Oleh karenanya, mereka tidak segera menuntut pelakunya dihukum dan supaya ada penggantian kerugian atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku. Tetapi, bahwa korupsi itu merusak secara sistematis dan menyeluruh ke seluruh lini kehidupan bukan lagi isapan jempol belaka.

Problem riil dari korupsi hanya menunggu waktu saja korban berjatuhan. Korupsi menimbulkan kemiskinan, ketidakadilan, dan terputusnya harapan hidup yang lebih baik. Korupsi mengakibatkan kematian, kerusakan lingkungan, kriminalitas meningkat dan dekadensi moral serta masih banyak lagi dampaknya yang telah fenomena umum dewasa ini. Lembaga pengadilan dan para hakimnya punya peran penting dalam hal memberikan keadilan bagi rakyat dalam kasus korupsi.

Pemaknaan tugas pengadilan dan para hakim di era modern telah bergeser tidak lagi menjadi sekedar penganut paham corong/mulut undang-undang (bouche de la loi), tetapi mulut dari keadilan rakyat, mulut bagi kemanfaatan hukum orang banyak. Hal ini sesungguhnya makna irah-irah putusan “demi keadilan” dalam setiap putusan hakim.Bertepatan dengan momentum Hari Anti Korupsi Internasional (Hakordia) 9 Desember, pelbagai lika-liku dunia penegakan hukum korupsi telah dilalui kiranya perlu untuk ditinjau ulang. Hakordia bertujuan untuk membangun kesadaran dan komitmen anti-korupsi yang diejahwantahkan dalam pengabdian dan karya. Saya melihat tantangan bagi para hakim terkhusus lagi MA ke depan adalah bagaimana menjawab keadilan dari setiap bunyi palu yang diketuk dalam perkara-perkara korupsi.

Untuk menuju ke sana, hakim harus lebih berani menyelami rasa keadilan dan kemanfaatan hukum di akar rumput, tidak melulu berhadapan dengan pasal-pasal mati, lebih kreatif dan inovatif, dan dengan argumentasi-argumentasi yang berbobot. Zaman berubah, kejahatan canggih, hakim harus menjadi motor perubahan. Saya yakin hakim bukan kaum gampangan memberikan diskon. Kalau hakim gampangan, MA mudah memberi potongan, jangan-jangan ada judicial corruption? Semoga tidak demikian.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Detik.com edisi 13 Desember 2019, dengan judul “Diskon Hukuman Koruptor dan Komitmen MA

Donasi