Hubungi Kami
Artikel, Berita, OPINI PENELITI

Menyoal Komitmen Antikorupsi DPR dari Keengganan Membahas RUU PTUK

Oleh: Korneles Materay, Peneliti Bung Hatta Anti Corruption Award

DPR keberatan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK). RUU tersebut sudah tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang tahun 2020-2024, tetapi belum masuk Prolegnas Prioritas tahun 2022.

Pada 5 April 2022, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto menyatakan DPR keberatan membahas RUU ini karena dapat menyulitkan kehidupan mereka. Transaksi uang tunai sangat diperlukan untuk kegiatan-kegiatan politik. Uang dalam politik dinilai efektif untuk mendulang suara masyarakat.

Dari sini dapat dilihat bahwa dalil keberatan DPR sangat pragmatis dan tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat. Legislatif masih dominan mempertimbangkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa dan negara. Ini mengafirmasi komitmen politik dalam pemberantasan korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya masih rendah. Secara tidak langsung DPR kian melanggengkan budaya uang dalam perpolitikan untuk mencapai tujuan mendulang suara rakyat. Dapat pula dimaknai sektor politik belum menghendaki reformasi total.

Padahal amanat reformasi agar korupsi, kolusi dan nepotisme diberantas hingga ke akar-akarnya. Pun amanat United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah dirafikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006 agar setiap negara wajib mengambil langkah radikal untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang menggerogoti keuangan/perekonian negara dan sendi-sendi demokrasi. Menilik pascareformasi, korupsi di sektor politik tak terbendung dari pusat hingga daerah.

Korupsi politik adalah jenis korupsi yang melibatkan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi. Korupsi ini telah berdampak negatif terhadap kualitas pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, aktor-aktor politik mulai dari menteri, direktur jenderal, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil walikota, anggota MPR/DPR/DPD/DPRD, kepala dinas, hingga kepala desa dan aparatur desa tak luput dari jeratan kasus korupsi. Iklim perpolitikan di Indonesia kian sarat money politic di setiap tahapan prosesnya mulai dari proses pencalonan, masa kampanye, hingga proses pemilihan.

Korupsi sektor politik mulai dari suap, gratifikasi, jual beli pengaruh dan jabatan, beli suara, kursi/kandidat hingga korupsi kebijakan. Biaya politik yang tinggi memaksa aktor-aktor politik menggunakan segala sumber daya yang dimiliki atau melakukan penyimpangan dalam upaya mengakumulasi kekayaan untuk modal kontestasi bahkan berafiliasi dengan pemilik modal untuk mendanai kegiatan politik.

Menurut Badan Litbang Kemendagri, biaya politik menjadi wali kota/bupati mencapai Rp 20 miliar – Rp 30 miliar. Untuk level Gubernur berkisar Rp 20 miliar – Rp100 miliar. Kemudian, seorang calon anggota DPR RI membutuhkan Rp 1 miliar – Rp 2 miliar, calon anggota DPRD Provinsi sekitar Rp 500 juta – Rp 1 miliar, dan calon anggota DPRD Kab/Kota sekitar Rp 250juta – Rp300 juta. Biaya yang dikeluarkan calon tidak murni dari kantong pribadinya melainkan sokongan dari sponsor. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada donor di belakang semua parpol atau kandidat. Ada yang terdeteksi dan ada yang tidak sama sekali. Kerawanan adanya kesepakatan yang menyimpang maupun tindak pidana dari hubungan pendonor dan kandidat/parpol sangat tinggi. Dampaknya masih akan terasa pascakandidat terpilih karena ada politik balas budi. Contoh praktiknya pelepasan izin, pengelolaan proyek pengadaan pemerintah atau sumber daya alam dikooptasi kepada orang/korporasi pemodal.

Akibatnya, acapkali perizinan tidak sesuai peruntukan atau melanggar hukum, pengadaan pemerintah atau tata kelola sumber daya alam menjadi tidak sehat dan tidak maksimal berdampak pada pemasukan negara dan kesejahteraan masyarakat. Pola ini menjadi lingkaran setan yang melahirkan mafia dalam berbagai sektor. Garis tanggungjawab pejabat kepada rakyat makin absurd karena keberpihakan utama pejabat bukan kepada rakyat. Situasi seperti ini perlu kiranya penanganan serius. Harapan atas RUU yang dapat digunakan sebagai instrumen pencegahan dan pemberantasan kejahatan sepatutnya disambut baik legislatif demi kepentingan nusa dan bangsa.

Urgensi RUU PTUK

Pembatasan transaksi uang kartal (tunai) bukan berarti membatasi sepenuhinya semua transaksi karena hanya pada jumlah transaksi tertentu. Sisa transaksinya dapat dilakukan melalui transfer perbankan. Urgensi pengesahan RUU PTUK perlu dilihat dalam kepentingan yang lebih luas. Urgensi UU PTUK karena banyak manfaatnya.

Dari aspek politik, UU PTUK kelak memungkinkan kontrol yang jelas dan terukur terhadap peredaran uang dalam ranah politik. Pendanaan partai atau kandidat lebih transparan dan akuntabel. Tujuannya, transaksi dalam politik lebih bersih. Aktor-aktor politik lebih berorientasi pada inovasi dan kreativitas untuk mendulang suara, daripada menggunakan uang untuk membeli suara. Aktor-aktor politik lebih memiliki kesadaran untuk melaksanakan tanggungjawabnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan membenahi internalnya agar masyarakat yakin memilihnya. Garis hubungan antara kandidat, parpol atau pejabat publik dengan rakyat lebih jelas.

Dari aspek pencegahan dan pemberantasan kejahatan, RUU a quo sejatinya bisa menjadi opsi solutif memecah kemandekan penanggulangan pelbagai macam tindak pidana seperti korupsi, suap, pencucian uang, pendanaan terorisme, penghindaran pajak, pembuatan uang palsu, perdagangan narkotika dan lain sebagainya. Dalam skup yang lebih luas mencegah kejahatan yang melibat mafia dalam berbagai sektor. Modus kejahatan dengan transaksi tunai atau penyamaran aset kejahat melalui mekanisme perbankan sekalipun dapat dideteksi. Artinya, kehadiran UU PTUK mempermudah pelacakan asal usul uang hingga muara uang.

Transaksi tunai pada dasarnya modus menyamarkan atau mengelabui penegak hukum sehingga kejahatan tidak terdeteksi. Transaksi tunai memang modus yang sangat konvensional. Dalam banyak kasus operasi tangkap tangan baik oleh KPK, Kejaksaan atau Kepolisian, aparat turut menyita uang dalam jumlah hingga miliaran rupiah. Meskipun begitu, bila tidak ada tangkap tangan, nampaknya penegak hukum sulit membongkar kejahatan tersebut. Melalui mekanisme pembatasan, transaksi dengan jumlah besar terkontrol dan memudahkan penindakan aparat terhadap transaksi yang mencurigakan atau tidak seharusnya.

Aspek proporsionalitas antara pencegahan dan penindakan. RUU PTUK dapat mendudukan antara pencegahan dan penindakan lebih proporsional karena sistem bekerja untuk melakukan pencegahan. Pun penindakan dalam konteks mencari pelaku dan mengumpulkan bukti-bukti ketika terjadi tindak pidana lebih ringan. Hal ini memungkinkan biaya pencegahan dan penindakan jauh lebih ringan.

Dari aspek pemasukan negara/daerah, setiap transaksi yang berpotensi merupakan penerimaan pajak/retribusi bisa masuk ke kantong negara/daerah. Potensi kebocoran penerimaan negara/daerah dapat ditambal.

Dari aspek ekonomi, para ekonom memperkirakan growth economic membaik bilamana kejahatan-kejahatan ekonomi seperti shadow economy dapat diberantas. Signifikansi pertumbuhan ekononi diperkirakan mencapai 20 persen-40 persen GDP.

Dari transformasi cashless society (masyarakat non tunai) dan keselamatan sistem pembayaran, kehadiran UU PTUK mengakselerasi terbentuknya cashless society. Sehingga mendorong perbankan dan lembaga-lembaga terkait yang mempunyai platform pembayaran non tunai menjamin keselamatan sistem pembayaran masyarakat ketika mengkonsumsi barang/jasa.

Beragam alasan di atas, sepatutnya dipertimbangkan DPR untuk membuka pembahasan RUU PTUK. Langkah pertama yang perlu dilakukan DPR ialah merevisi Prolegnas Prioritas 2022 dengan memasukan UU a quo. DPR seyogianya bisa menangkap kesulitan aparat penegak hukum dan kerisauan publik terhadap kejahatan yang terus bertransformasi. Komitmen politik DPR-lah, upaya pemberantasan kejahatan semakin lengkap.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Menyoal Komitmen Antikorupsi DPR dari Keengganan Membahas RUU PTUK”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/05/29/07050091/menyoal-komitmen-antikorupsi-dpr-dari-keengganan-membahas-ruu-ptuk?page=all#page2.

Donasi