Oleh: Herdiansyah Hamzah*
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus bergulir. Bahkan cenderung dipaksakan di tengah masa pandemi COVID-19 yang tidak kunjung mereda. Aksi protes pun berdatangan dari berbagai kalangan. Mulai dari barisan buruh, petani, perempuan, nelayan, pekerja pers, pegiat lingkungan hidup, akademisi, hingga kelompok mahasiswa. Tidak hanya aspek formil atau proses pembentukannya yang dianggap cacat. Tetapi juga aspek materil atau substansi isinya. Yang dipersoalkan banyak kalangan. Kelompok yang berasal dari entitas bisnis diduga berada dibalik RUU Cipta Kerja ini. Kelompok ini berusaha menyandera negara. Guna membuat produk undang-undang untuk keuntungan mereka sendiri (state capture).
Mengutip Hellman, Jones, dan Kaufmann (2000), state capture diartikan sebagai kelompok tertentu. Umumnya berasal dari entitas bisnis atau perusahaan. Yang melakukan pembayaran pribadi yang ilegal dan tidak transparan kepada pejabat publik. Untuk mempengaruhi pembentukan undang-undang, aturan, peraturan atau keputusan oleh lembaga negara. Jika kita mengurai data, rasanya dugaan ini sulit dibantah. Sebab sedikitnya terdapat 262 orang atau sekitar 45,5 persen dari total 575 anggota DPR yang menduduki posisi penting atau terafiliasi dengan perusahaan. Nama mereka tercatat pada 1.016 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor. Namun yang sepertinya agak luput dari perbincangan soal RUU Cipta Kerja ini adalah, apakah ada irisan yang kuat antara RUU Cipta Kerja tersebut dengan upaya pelemahan gerakan anti korupsi?
LOGIKA INVESTASI
World Economic Forum (WEF) dalam laporannya yang bertajuk, The Global Competitiveness Report 2017-2018, menyebutkan, di antara 16 faktor yang menghambat investasi di Indonesia, korupsi menempati peringkat teratas dengan skor 13,8.
Jika kita menggunakan logika sederhana, maka untuk memperlancar dan memberikan jaminan bagi kegiatan investasi di Indonesia, persoalan korupsi harus diselesaikan. Namun yang dilakukan oleh negara justru sebaliknya. Negara tidak memperkuat seluruh peralatan yang kita miliki untuk memberantas korupsi. Tetapi malah cenderung berusaha berdamai dengan para koruptor. Bahkan terkesan melebarkan jalan kejahatannya. Mari kita lihat argumentasinya.
Pertama, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) justru cenderung memukul mundur upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh KPK. Bahkan sebelum revisi UU KPK yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, KPK adalah lembaga yang mendapatkan sokongan yang besar dari publik. Namun sejak revisi UU KPK, situasi tersebut berbalik arah. Hal ini karena upaya pelemahan terhadap KPK dalam revisi UU tersebut. Mulai dari KPK yang kehilangan independesinya akibat ditempatkan sebagai bagian dari lembaga ekselutif, pemangkasan kewenangan penyadapan yang selama ini menjadi mahkota KPK dalam melakukan OTT, hingga keberadaan dewan pengawas yang membuat kerja-kerja KPK semakin birokratis. Salah satu alasan revisi yang mengemuka ketika itu adalah, KPK dianggap sebagai penghambat investasi di Indonesia. Dan anehnya, pernyataan ini justru keluar dari pihak istana.
Kedua, usulan omnibus law RUU Cipta Kerja, justru tidak memfokuskan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi faktor pokok penghambat investasi. Sebaliknya, RUU Cipta Kerja malah berupaya melakukan “legalisasi korupsi”. RUU Cipta kerja seperti sedang mengambil jalan pintas dengan memberikan “stempel legitimasi” terhadap kejahatan korupsi melalui peraturan perundang-undangan. Ibarat pencuri yang masuk ke dalam rumah, bukannya digebukin, justru diajak berunding dan diberi makan enak. Ini jelas logika yang kebolak-balik. Sama persis dengan lirik lagu, “Di Atas Normal” Peterpan. Seperti menempatkan “kaki di kepala, kepala di kaki”.
Melawan korupsi yang kita kategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) harus diperlakukan selayaknya musuh di medan pertempuran. Bukan dengan merangkul dan mengajaknya berteman. Karena itu, upaya untuk melegalkan kejahatan korupsi ini adalah langkah yang jauh lebih berbahaya dibanding model korupsi konvensional yang lazim kita temui selama ini.
LEGALISASI KORUPSI
Dalam RUU Cipta Kerja terdapat ketentuan-ketentuan yang sarat dengan nuansa korupsi serta memberikan ruang bagi perampokan kekayaan negara secara terbuka. Pertama, legalisasi korupsi. Dalam ketentuan Pasal 160, disebutkan secara eksplisit, “Dalam hal terjadi penurunan nilai investasi dalam rangka pelaksanaan investasi pemerintah pusat, pemerintah pusat/pengurus lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian investasi dan/atau kerugian negara”. Artinya, frase “tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai kerugian negara” adalah karpet merah bagi penjarahan uang negara secara legal dengan dalih investasi.
Pasal 156 ayat (2) merujuk kepada pengurus lembaga pengelola investasi yang terdiri atas dewan pengarah dan dewan komisioner. Dewan pengarah sebagaimana disebutkan pada Pasal 157 ayat (1), ex-officio yang dijabat oleh Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara sebagai anggota.
Kedua, imunitas hukum. Pasal 154 ayat (3) menyebutkan, “Pengurus dan pegawai lembaga tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan tugas dan kewenangannya sepanjang pelaksanaan tugas dan kewenangannya dilakukan dengan itikad baik dan dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan tidak menyalahgunakan kewenangan”.
Ketentuan ini seperti memberikan jaminan kekebalan hukum kepada pengurus dan pegawai lembaga pengelola investasi. Termasuk agar tidak dituntut secara pidana terhadap dugaan korupsi yang dialamatkan kepadanya. Ini belum termasuk status pengurus dan pegawai lembaga pengelola investasi yang tidak dikualifikasikan sebagai penyelenggara negara.
Pasal 154 ayat (1) menyatakan, “Pengurus dan pegawai lembaga bukan merupakan penyelenggara negara, kecuali yang berasal dari pejabat negara atau ex-officio”. Dengan demikian, ketentuan ini memungkinkan mereka untuk melepaskan diri dari jerat korupsi. Karena dianggap sebagai bagian dari entitas bisnis.
Ketiga, bertentangan dengan prinsip perampasan aset. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Dalam Pasal 152 ayat (3), disebutkan, “Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan aset lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman”. Upaya perampasan aset berdasarkan ketentuan UU Tipikor dan UU TPPU memungkinkan penegak hukum, khususnya KPK, untuk melakukan perampasan aset-aset para koruptor yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Tanpa perlu menunggu penetapan hakim. Sepanjang mereka tidak dapat mempertanggungjawabkan dan menjelaskan asal muasal hartanya itu. Namun dengan klausul pelarangan perampasan aset tersebut, tentu saja akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Keempat, hal inilah yang dimaksud dengan upaya “legalisasi korupsi” dalam RUU Cipta Kerja. RUU ini mendesain agar kejahatan korupsi diberikan stempel resmi oleh negara. Walhasil, perampokan kekayaan negara akan terjadi secara masif dan semakin brutal. Dengan dalih investasi. Dan ketentuan khusus mengenai jeratan pasal-pasal korupsi dalam UU Tipikor akan tumpul di bawah RUU Cipta Kerja ini. Karena pembatalan RUU Cipta Kerja sangat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab pembatalan RUU Cipta Kerja ini bermakna menyelamatkan agenda-agenda pemberantasan korupsi yang diemban oleh angkatan sebelumnya, generasi hari ini, dan pewaris kita di masa yang akan datang.
Herdiansyah Hamzah adalah Dosen dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman serta Kawan Bung Hatta Samarinda. Tulisan ini pertama kali terbit di NomorSatu Kaltim dengan judul “Legislasi Korupsi dalam RUU Cipta Kerja” edisi 17 Juli 2020