Hubungi Kami
Artikel, Berita

Buku – Demokrasi, HAM, Antikorupsi Bung Hatta

Buku ini memuat 20 artikel terbaik dari lomba menulis artikel dalam rangka memperingati HUT ke-77 RI sekaligus HUT ke-120 Bung Hatta dengan tema “Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta” yang diadakan Perkumpulan BHACA pada 9-30 Agustus 2022. Para penulis yang berasal dari berbagai kalangan profesi dan lintas daerah telah berupaya untuk menggali pemikiran, gagasan, dan sikap hidup Bung Hatta.

Besar harapan buku ini menjadi rujukan belajar dan sumber inspirasi yang mampu membawa pembaca pada pengenalan pribadi dengan Bung Hatta. Terima kasih kepada seluruh peserta yang berusaha keras menyelami Bung Hatta lebih dalam melalui tulisan-tulisan ini.

 

 

Download Buku Kumpulan Artikel Demokrasi, HAM, Antikorupsi Bung Hatta

Artikel, Berita

Asketisme Politik Hatta

Oleh: Milki Amirus Sholeh

Berbicara soal ruang hidup Hatta, kita akan berhenti pada titik renung sosok administratur yang handal dan ideologis. Sebagai dwitunggal yang lahir dari arus pergulatan sejarah besar kebudayaan ”Indonesia dalam” dengan bercorak pertanian beririgasi dipengaruhi langsung oleh semangat Hinduisme dan stimulus peradaban China, serta kebudayaan ”Indonesia luar” dengan corak perdagangan pesisir yang secara kuat dipengaruhi Islam dan kemudian oleh stimulus pembaratan (Hildred Geertz, 1963). Dirinya membuktikan amanah dan kebanggan menjadi manusia Indonesia.

Besar dalam pendidikan barat yang mengkultulkan individualisme dan liberalisme tidak lantas Hatta mengadopsi pikiran untuk mengeruk peruntungan lebih besar. Sebagai bapak proklamator, dia mungkin saja menaruh sikap permisif tanpa mesti menoleh agenda dan aktor lain pada momen kemerdekaan itu. Sebagai salah satu ekonom par-excellence dia mungkin saja menata administrasi dan pola keuangan negara yang berdiri itu dengan konstruk cara pandanganya saja.

Dalam pemahaman demokrasi yang dia letakkan berdasarkan tiga sumber gagasan, yaitu ajaran Islam, asas kekeluargaan dan kebersamaan, serta sosialisme Barat. Hatta melihat kebebasan harus dilepaslandaskan tetapi individualisme yang mengarah pada kehendak bebas untuk berbuat sesuka hati tidak diperkenankan. Politik sarat kepentingan pribadi hanya mengyokong prinsip demokrasi berpolitik, tanpa demokrasi dan berkeadilan ekonomi.

Sejak remaja Hatta begitu menelaah sebuat ayat suci menyebutkan “Dia (Yusuf) berkata, jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (jujur) dan berpengetahuan”( Q.S:Yusuf:55). Bangsa yang baru berdiri tidak boleh diserahkan pada kelompok orang yang hanya dapat teriak, namun harus juga bisa mengelola. Pilihan itu terbilang aneh untuk sekelas bapak bangsa, namun justru alasan itulah yang membuat Hatta merawat penataan negara dengan baik dan transparan hingga dia dikenang. Sosok yang selalu berusaha tidak membuka identitas berlebihan dari fase-fase awal capaian kenegaraan. Dirinya memahami dengan baik nilai-nilai berdasarkan Islam inklusif, yang menitikberatkan pada kebenaran dan keadilan sosial. Tidak ada relasi kuasa total, yang ada adalah kekuatan rakyat yang tidak bisa dikalahkan ataupun dikamuflasekan. Tidak boleh ada permainan di balik layar, kejelasan adalah sikap kebesaran mental pribadi. Hatta tidak pernah mentolerir siapapun, jabatan, bahkan rekannya sendiri.

Asketisme bagi Korupsi

Asketisme dalam politik biasa diwujudkan sistem kekuasaan yang lebih mengutamakan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban di mana hukum menjadi panglima dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Terjadilah aktualisasi nilai, etika, moral, dan penguatan etos tingkah laku yang tidak menghendaki merampas atau mengalihkan hak seseorang menjadi milik pribadi (Hatta, 2014). Sebagai wakil presiden pertama, dirinya dapat dianggap kesatria konstitusi yang berjiwa brahmana, resi, atau basah kuyup nilai-nilai profetik. Presiden bertanggung jawab secara etik dan moral membebaskan rakyat dari kemiskinan material dan kultural sekaligus meninggikan eksistensi rakyat menjadi bermartabat.

Walaupun sikap asketis Hatta terlihat dalam tangan dingin kerjanya, bukan berarti dirinya tidak berani bersikap. Kritik atas rekannya Presiden Soekarno yang dianggap telah menjadikan kekuasaan sebagai alat pribadinya, merupakan sikap kesatria dari bilik kursi kekuasaan langsung. Pendangkalan dan pemiskinan politik telah mendegradasi etika kekuasaan serta etika politik kekuasaan sehingga menyuburkan tindakan korupsi (Deliar, 2018).

Politik yang dijalankan dengan mekanisme pasar menggadaikan naluri bahwa politik adalah jalan satu-satunya memejerial organisasi “negara” agar dapat membuat pilihan keputusan atas masalahnya. Rente kuasa elite telah meletakkan pondasi yang tidak menempatkan rakyat sebagai subyek (people based) dan sebagai pusat dari kegiatan ekonomi (people centered) (Macridis & Brown, 1986). Dalam gebyar politik yang bertautan dengan kapitaisme pasar, elite ekonomi maupun politik tidak takut mengadakan kongsi secara transparan untuk menanamkan pengaruhnya.

Miki Amirus Sholeh, lahir di Pamekasan 21 September 1993, menyelesaikan pendidikan sarjana Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta magisternya di Universitas Indonesia kajian Cultural Studies. Pernah bekerja sebagai kontributor kolom politik Asumsi.co, Rakyat Merdeka, Prime Comm, tenaga ahli Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta, Media Monitoring Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), serta Kepala tim riset Ide Cipta Research and Consulting (ICRC) hingga sekarang. Dirinya juga aktif di sejumlah organisasi seperti kajian politik perempuan Estetika Institute, Perempuan Mahardhika, dan Pusat Studi Desa Indonesia (PUSDI), DPP Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Beberapa tulisannya pernah dimuat di koran nasional seperti Koran SINDO dan lain-lain. Pernah terlibat dalam penulisan buku bersama Perempuan dan Perubahan dan Hak Politik Perempuan. Dirinya bisa dihubungi melalui melqy93@gmail.com.

Artikel ini meraih Juara I pada Lomba Menulis “Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta” yang diselenggarakan Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Awad dalam rangka HUT ke-77 RI dan HUT ke-120 Bung Hatta pada 9-30 Agustus 2022.

Artikel, Berita, PUBLIKASI

Menjaga Uang Rakyat Ala Bung Hatta

Oleh: Janwan Tarigan

Kepergian Mohammad Hatta (bung Hatta) menyisakan rasa kehilangan mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Tepat pada tanggal 14 Maret 1980, 42 tahun silam, Bung Hatta meninggal di usianya ke-77 tahun. Ibu pertiwi kehilangan sosok Bapak Proklamator sekaligus Wakil Presiden Pertama Indonesia; sosok pemimpin jujur nan sederhana, serta pribadi yang selalu berdiri bersama rakyat telah berpulang. 

Suasana haru tatkala kepergian bung Hatta itu dituliskan Iwan Fals dalam lirik lagu berjudul Bung Hatta: “Hujan air mata dari pelosok negeri, saat melepas engkau pergi, berjuta kepala tertunduk haru… Terbayang baktimu terbayang jasamu, terbayang jelas jiwa sederhanamu… Jujur lugu dan bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia”. Sepenggal lirik tersebut mencerminkan betapa bung Hatta sangat mencintai dan dicintai rakyat Indonesia. (Iwan Fals, 2021). 

Semasa hidup, impian bung Hatta tidak sesederhana lakunya. Ia mencita-citakan kemerdekaan sejati, yaitu terwujudnya kemakmuran dan kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia. Baginya, makna kemerdekaan tidak semata lepas dari penjajahan, melainkan bagaimana agar bangsa Indonesia mampu mengisi kemerdekaan itu. Atas dasar itulah bung Hatta menggagas dan giat membangun ekonomi kerakyatan (Litbang Kompas, 2019: 2). Tujuannya agar tercipta persamaan dan kesetaraan politik dan ekonomi rakyat Indonesia. Secara tegas bung Hatta menyatakan bahwa demokrasi politik harus dijalankan berdampingan dengan demokrasi ekonomi yang berlandaskan perikemanusiaan dan keadilan sosial (M. Hatta, 1966: 24).

Sayangnya, praktik hari ini berbanding terbalik dengan cita-cita demokrasi ekonomi bung Hatta. Tampak dari lebarnya jurang kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia. Data Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNPK) pada tahun 2019 menyebut “1 persen orang terkaya menguasai 50 persen aset nasional” (Egi Adyatama, 2019). Betapa demokrasi yang sedang berlangsung sudah melenceng dari tujuan semula. Demokrasi kini dibajak-dikuasai segelintir elite penguasa. Kekuasaan diperalat untuk mengakumulasi kapital penguasa, akibatnya korupsi merajalela. Konsekuensi logisnya, korupsi akan melahirkan kesenjangan sosial-ekonomi. Bagaimana tidak, uang rakyat dan kekayaan alam Indonesia yang seharusnya digunakan bagi kepentingan rakyat justru ditilap demi kepentingan pribadi dan golongan. 

Bung Hatta menyadari betul bahaya korupsi. Oleh karenanya ia begitu serius memberantas korupsi. Bung Hatta tak pernah berhenti melawan setiap penyimpangan kekuasaan, meskipun dengan menanggung resiko besar (Litbang Kompas, 2019: vi). Karena dengan melawan korupsi berarti membuka jalan keadilan ekonomi.

Menjaga Uang Rakyat

Kisah bung Hatta melawan korupsi tidak perlu diragukan lagi, segala daya upaya ditempuhnya. Ia tidak hanya berkata-kata tapi dibuktikannya dengan perbuatan. Bung Hatta misalnya begitu berhati-hati dalam menggunakan uang rakyat, bahkan untuk urusan kesehatan sekalipun. 

Ada cerita menarik sepulang bung Hatta berobat dari negeri Belanda pada tahun 1971. Saat ia mengembalikan dana sisa akomodasi pengobatan dan perjalanan ke Sekretariat Negara, karena menurut bung Hatta uang sisa itu tetap milik rakyat Indonesia sehingga harus dikembalikan. Padahal, peraturan saat itu mengamanatkan seluruh dana akomodasi yang sudah diberikan tersebut dianggap sah menjadi milik orang yang dibiayai dan tak perlu dikembalikan (Albin Sayyid Agnar, 2020). Begitulah ketatnya bung Hatta dalam menggunakan uang rakyat.

Kekinian, penggunaan uang rakyat oleh pemerintah semakin tidak karuan. Hampir setiap hari kita mendengar kabar korupsi uang rakyat atau anggaran publik (APBN dan APBD). Sejalan dengan itu, hasil penelitian Malang Corruption Watch pada tahun 2022 menunjukkan, bahwa dari 16 kasus korupsi kepala daerah di Jawa Timur sejak 2004‒2021 selalu menyasar uang rakyat yang tertuang dalam APBD (MCW, 2022). Belum lagi secara berkelanjutan dan terang-terangan penggunaan anggaran publik paling banyak terkuras untuk kepentingan birokrasi. Data Kemenkeu tahun 2019-2021 memperlihatkan sebanyak 59 persen belanja daerah dihabiskan untuk belanja operasional birokrasi (Maryono, 2021). Dalam kondisi demikian tentu mencapai tujuan bernegara menjadi sangat sulit.

Peranan anggaran publik memang sangat strategis dalam pembangunan baik dalam konteks nasional maupun di daerah. Anggaran sebagai politik teknis kebijakan pemerintah dapat menggambarkan prioritas pembangunan yang dijalankan pemerintah. Anggaran juga bisa menjadi indikator kualitas demokrasi dalam kacamata partisipasi sebagai roh demokrasi. Berkaitan dengan bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan anggaran publik mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawabannya. Melihat realitas saat ini, anggaran publik masih dikelola secara tertutup dan seolah menjadi rahasia pemerintah. Minimnya partisipasi publik tersebut mencerminkan bahwa kebijakan anggaran belum mementingkan kebutuhan rakyat. Hal itu juga turut membuka ruang-ruang korupsi uang rakyat sebab lemahnya kontrol publik.

Oleh karenanya ke depan, demokratisasi anggaran publik sangat penting dilakukan. Pengelolaan anggaran publik haruslah partisipatif, agar setiap kebijakan pemerintah berdasar dan berasal dari rakyat (otonomi rakyat). Dengan demikian pembangunan dan pelayanan publik bisa tepat sasaran, pun akan menutup celah korupsi. Sepatutnya kita belajar dari bung Hatta perihal bagaimana memaknai dan menjaga uang rakyat. Kini, saatnya kita, rakyat Indonesia, bergotong royong meneruskan perjuangan bung Hatta melawan korupsi. Jasad bung Hatta memang telah tiada, tapi warisan teladan dan gagasannya akan tetap hidup bersemai mengiringi perjalanan Republik. Merdeka!

Referensi:

Janwan Tarigan, lahir pada 01 Januari 1998. Menyelesaikan studi S-1 Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya tahun 2020. Peneliti Malang Corruption Watch (MCW) dan editor naskah buku Intrans Publishing. 

Artikel ini meraih Juara II pada Lomba Menulis “Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta” yang diselenggarakan Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Awad dalam rangka HUT ke-77 RI dan HUT ke-120 Bung Hatta pada 9-30 Agustus 2022.

Artikel

Gotong Royong Wujudkan Demokrasi yang Adil (Refleksi Kritis atas Pemikiran Bung Hatta)

Oleh: Epifanius Solanta

Prolog
Dalam sebuah karyanya berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Ali Sastroamidjojo mengutip pernyataan Bung Hatta sebagai berikut “Kalau mandi, janganlah memakai air sesukanya sendiri. Saya sudah mengukur isi tempat air mandi dan ternyata airnya cukup kalau saudara-saudara masing-masing hanya memakai 10 gayung tiap-tiap kali mandi”. Apa yang disampaikan oleh Bung Hatta dalam gaya bahasanya yang paling sederhana setidaknya menjadi penegas awal akan makna demokrasi itu sendiri. Sejak awal, penulis meletakan tesis dasar dari tulisan ini bahwa demokrasi itu syarat dengan keadilan.

Demokrasi Kita Harus Adil
Sebagaimana yang ditegaskan pada prolog di atas, bahwa demokrasi itu syarat dengan keadilan. Tentu keadilan yang dimaksud bukan hanya pada satu dimensi saja, misalnya keadilan dalam politik atau keadilan dalam ekonomi. Keadilan harus mencerminkan seluruh aspek kehidupan manusia. Hal ini sudah sejak awal diamanatkan oleh Bung Hatta dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi Kita”. Hatta menegaskan bahwa demokrasi yang sehat menghendaki kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu soal pemenuhan hak-hak sipil dan politik, tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Jika kita bercermin pada Indeks Demokrasi 2021 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal Februari 2022, skor rata-rata Indonesia mencapai 6,71% dalam skala 0-10. Artinya, makin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi suatu Negara. Meski demikian, angka tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan wajah demokrasi Indonesia yang adil. Hal ini ditandai oleh masih banyaknya persoalan ketidakadilan dalam alam demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Berkeadilan di Indonesia?
Pertanyaan penting yang diajukan pada poin ini adalah sudah kita mempraktikan demokrasi yang adil di Indonesia? Tentunya pertanyaan ini tidak bermaksud untuk mengobarkan api pesimisme penulis akan kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia saat ini. Melainkan untuk memeriksa kembali beragam persoalan yang sejatinya tidak mencerminkan pemikiran demokrasi menurut Bung Hatta.

Bung Hatta sejatinya menjadi peletak awal konsep demokrasi yang adil. Bahkan, Hatta tak sekedar membumikan apa itu demokrasi yang adil, melainkan menampilkan sikap kritis dan tegasnya dengan jalan memilih mundur dari kursi wakil presiden karena Soekarno semakin otoriter. Hatta menyadari bahwa pemikiran-pemikiran baiknya sudah tidak sejalan lagi dengan pemikiran Soekarno. Bahkan Hatta dengan tegas mengkritik kerja pemerintah soal kesejahteraan rakyat. Berikut adalah kritikan Hatta “dimana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja. Sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banya sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang capital tampak dimana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya irosi, dan lain-lain”

Kritik Hatta di atas mendapatkan ruang pemenuhan dalam alam demokrasi di Indonesia saat ini. Hal ini dapat kita saksikan dari banyaknya persoalan yang menjadi penanda penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, misalnya, terdapat beberapa peristiwa kontroversial yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Sebagai contoh, kasus yang menimpa BEM Universitas Indonesia yang menjuluki Presiden Jokowi ”king of lip service” karena dianggap banyak mengumbar janji yang berakhir dengan dipanggilnya 10 anggota BEM oleh Rektorat UI sekaligus beberapa media sosial anggota BEM yang tidak bisa diakses. Belum lagi dengan adanya kriminalisasi para pendemo oleh polisi pada tahun 2021 silam yang bertepatan dengan HUT Kabupaten Tangerang. Mahasiswa di-smackdown hingga berakhir terbaring di rumah sakit, hal ini menunjukkan terjadi distorsi pengamanan yang ditunjukkan sikap represif aparat keamanan.  Fenomena represivitas tersebut bisa dikatakan merupakan konsep pembungkaman dan tidak bebasny masyarakat untuk berekspresi di muka umum.

Gotong Royong Wujudkan Demokrasi yang Adil
Bung Hatta dalam karyanya “Demokrasi Kita” berkali-kali menegaskan kembali spirit masyarakat Indonesia yaitu nilai gotong-royong. Bagi Hatta, nilai gotong royong sejatinya menjadi petunjuk dan pemandu dalam menghantarkan setiap kerja dan kebijakan menuju nilai keadilan dan kesejahteraan. Tentunya kita sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Bung Hatta. Nilai gotong-royong harus menjiwai hari-hari hidup kita, termasuk dalam memuluskan jalan mewujudkan demokrasi yang adil. Gotong-royong tak semestinya diterjemahkan dalam perilaku kerja bakti. Tetapi melampaui praktek itu, gotong-royong juga termasuk dalam kerja partisipatif dan kolaboratif antara pemerintah dan rakyat dalam mewujudkan demokrasi yang berkeadilan. Rakyat ikut berpartisipasi dalam mengkritisi dan mengawasi jalannya pemerintahan yang demokratis. Begitu juga, pemerintah ikut menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berlandaskan pada kebutuhan rakyat, bukan kepentingan politik segelintir orang.

Epilog
Demokrasi yang adil itu sejatinya harus ada dan datang sejak dalam pikiran dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi itu dikatakan adil tatkala ruang-ruang kebutuhan hidup (baik rakyat maupun pemerintah) senantiasa terpenuhi. Artinya tidak ada ketimpangan. Meskipun ini terlampau idealis, tetapi tawaran pemikiran Bung Hatta tentang demokrasi yang diselaraskan nilai gotong royong sebagai spirit masyarakat Indonesia, niscaya keadilan yang menjadi cita-cita bersama itu akan tercapai. Atas dasar itu, keberadaan demokrasi harus memperhatikan antara aspirasi kehendak ideal dan pilihan-pilihan kebijakan.

Epifanius Solanta, Lahir di Flores, 7 Agustus 1993. Setelah menamatkan pendidikan dari SMA Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur, Flores, NTT, melanjutkan pendidikannya di Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Lulus pada tahun 2017. Semasa kuliah, aktif menulis di berbagai media baik cetak maupun online. Salah satu buku yang pernah diterbitkannya adalah Dialektika Ruang Publik, Pertarungan Gagasan (Penerbit Beta Offset Yogyakarta, 2017).

Artikel ini meraih Juara III pada Lomba Menulis “Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta” yang diselenggarakan Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Awad dalam rangka HUT ke-77 RI dan HUT ke-120 Bung Hatta pada 9-30 Agustus 2022.

Artikel, Berita

Menyoal Komitmen Antikorupsi DPR dari Keengganan Membahas RUU PTUK

DPR keberatan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK). RUU tersebut sudah tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang tahun 2020-2024, tetapi belum masuk Prolegnas Prioritas tahun 2022.

Pada 5 April 2022, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto menyatakan DPR keberatan membahas RUU ini karena dapat menyulitkan kehidupan mereka. Transaksi uang tunai sangat diperlukan untuk kegiatan-kegiatan politik. Uang dalam politik dinilai efektif untuk mendulang suara masyarakat.

Dari sini dapat dilihat bahwa dalil keberatan DPR sangat pragmatis dan tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat. Legislatif masih dominan mempertimbangkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa dan negara. Ini mengafirmasi komitmen politik dalam pemberantasan korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya masih rendah. Secara tidak langsung DPR kian melanggengkan budaya uang dalam perpolitikan untuk mencapai tujuan mendulang suara rakyat. Dapat pula dimaknai sektor politik belum menghendaki reformasi total.

Padahal amanat reformasi agar korupsi, kolusi dan nepotisme diberantas hingga ke akar-akarnya. Pun amanat United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah dirafikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006 agar setiap negara wajib mengambil langkah radikal untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang menggerogoti keuangan/perekonian negara dan sendi-sendi demokrasi. Menilik pascareformasi, korupsi di sektor politik tak terbendung dari pusat hingga daerah.

Korupsi politik adalah jenis korupsi yang melibatkan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi. Korupsi ini telah berdampak negatif terhadap kualitas pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, aktor-aktor politik mulai dari menteri, direktur jenderal, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil walikota, anggota MPR/DPR/DPD/DPRD, kepala dinas, hingga kepala desa dan aparatur desa tak luput dari jeratan kasus korupsi. Iklim perpolitikan di Indonesia kian sarat money politic di setiap tahapan prosesnya mulai dari proses pencalonan, masa kampanye, hingga proses pemilihan.

Korupsi sektor politik mulai dari suap, gratifikasi, jual beli pengaruh dan jabatan, beli suara, kursi/kandidat hingga korupsi kebijakan. Biaya politik yang tinggi memaksa aktor-aktor politik menggunakan segala sumber daya yang dimiliki atau melakukan penyimpangan dalam upaya mengakumulasi kekayaan untuk modal kontestasi bahkan berafiliasi dengan pemilik modal untuk mendanai kegiatan politik.

Menurut Badan Litbang Kemendagri, biaya politik menjadi wali kota/bupati mencapai Rp 20 miliar – Rp 30 miliar. Untuk level Gubernur berkisar Rp 20 miliar – Rp100 miliar. Kemudian, seorang calon anggota DPR RI membutuhkan Rp 1 miliar – Rp 2 miliar, calon anggota DPRD Provinsi sekitar Rp 500 juta – Rp 1 miliar, dan calon anggota DPRD Kab/Kota sekitar Rp 250juta – Rp300 juta. Biaya yang dikeluarkan calon tidak murni dari kantong pribadinya melainkan sokongan dari sponsor. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada donor di belakang semua parpol atau kandidat. Ada yang terdeteksi dan ada yang tidak sama sekali. Kerawanan adanya kesepakatan yang menyimpang maupun tindak pidana dari hubungan pendonor dan kandidat/parpol sangat tinggi. Dampaknya masih akan terasa pascakandidat terpilih karena ada politik balas budi. Contoh praktiknya pelepasan izin, pengelolaan proyek pengadaan pemerintah atau sumber daya alam dikooptasi kepada orang/korporasi pemodal.

Akibatnya, acapkali perizinan tidak sesuai peruntukan atau melanggar hukum, pengadaan pemerintah atau tata kelola sumber daya alam menjadi tidak sehat dan tidak maksimal berdampak pada pemasukan negara dan kesejahteraan masyarakat. Pola ini menjadi lingkaran setan yang melahirkan mafia dalam berbagai sektor. Garis tanggungjawab pejabat kepada rakyat makin absurd karena keberpihakan utama pejabat bukan kepada rakyat. Situasi seperti ini perlu kiranya penanganan serius. Harapan atas RUU yang dapat digunakan sebagai instrumen pencegahan dan pemberantasan kejahatan sepatutnya disambut baik legislatif demi kepentingan nusa dan bangsa.

Urgensi RUU PTUK

Pembatasan transaksi uang kartal (tunai) bukan berarti membatasi sepenuhinya semua transaksi karena hanya pada jumlah transaksi tertentu. Sisa transaksinya dapat dilakukan melalui transfer perbankan. Urgensi pengesahan RUU PTUK perlu dilihat dalam kepentingan yang lebih luas. Urgensi UU PTUK karena banyak manfaatnya.

Dari aspek politik, UU PTUK kelak memungkinkan kontrol yang jelas dan terukur terhadap peredaran uang dalam ranah politik. Pendanaan partai atau kandidat lebih transparan dan akuntabel. Tujuannya, transaksi dalam politik lebih bersih. Aktor-aktor politik lebih berorientasi pada inovasi dan kreativitas untuk mendulang suara, daripada menggunakan uang untuk membeli suara. Aktor-aktor politik lebih memiliki kesadaran untuk melaksanakan tanggungjawabnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan membenahi internalnya agar masyarakat yakin memilihnya. Garis hubungan antara kandidat, parpol atau pejabat publik dengan rakyat lebih jelas.

Dari aspek pencegahan dan pemberantasan kejahatan, RUU a quo sejatinya bisa menjadi opsi solutif memecah kemandekan penanggulangan pelbagai macam tindak pidana seperti korupsi, suap, pencucian uang, pendanaan terorisme, penghindaran pajak, pembuatan uang palsu, perdagangan narkotika dan lain sebagainya. Dalam skup yang lebih luas mencegah kejahatan yang melibat mafia dalam berbagai sektor. Modus kejahatan dengan transaksi tunai atau penyamaran aset kejahat melalui mekanisme perbankan sekalipun dapat dideteksi. Artinya, kehadiran UU PTUK mempermudah pelacakan asal usul uang hingga muara uang.

Transaksi tunai pada dasarnya modus menyamarkan atau mengelabui penegak hukum sehingga kejahatan tidak terdeteksi. Transaksi tunai memang modus yang sangat konvensional. Dalam banyak kasus operasi tangkap tangan baik oleh KPK, Kejaksaan atau Kepolisian, aparat turut menyita uang dalam jumlah hingga miliaran rupiah. Meskipun begitu, bila tidak ada tangkap tangan, nampaknya penegak hukum sulit membongkar kejahatan tersebut. Melalui mekanisme pembatasan, transaksi dengan jumlah besar terkontrol dan memudahkan penindakan aparat terhadap transaksi yang mencurigakan atau tidak seharusnya.

Aspek proporsionalitas antara pencegahan dan penindakan. RUU PTUK dapat mendudukan antara pencegahan dan penindakan lebih proporsional karena sistem bekerja untuk melakukan pencegahan. Pun penindakan dalam konteks mencari pelaku dan mengumpulkan bukti-bukti ketika terjadi tindak pidana lebih ringan. Hal ini memungkinkan biaya pencegahan dan penindakan jauh lebih ringan.

Dari aspek pemasukan negara/daerah, setiap transaksi yang berpotensi merupakan penerimaan pajak/retribusi bisa masuk ke kantong negara/daerah. Potensi kebocoran penerimaan negara/daerah dapat ditambal.

Dari aspek ekonomi, para ekonom memperkirakan growth economic membaik bilamana kejahatan-kejahatan ekonomi seperti shadow economy dapat diberantas. Signifikansi pertumbuhan ekononi diperkirakan mencapai 20 persen-40 persen GDP.

Dari transformasi cashless society (masyarakat non tunai) dan keselamatan sistem pembayaran, kehadiran UU PTUK mengakselerasi terbentuknya cashless society. Sehingga mendorong perbankan dan lembaga-lembaga terkait yang mempunyai platform pembayaran non tunai menjamin keselamatan sistem pembayaran masyarakat ketika mengkonsumsi barang/jasa.

Beragam alasan di atas, sepatutnya dipertimbangkan DPR untuk membuka pembahasan RUU PTUK. Langkah pertama yang perlu dilakukan DPR ialah merevisi Prolegnas Prioritas 2022 dengan memasukan UU a quo. DPR seyogianya bisa menangkap kesulitan aparat penegak hukum dan kerisauan publik terhadap kejahatan yang terus bertransformasi. Komitmen politik DPR-lah, upaya pemberantasan kejahatan semakin lengkap.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Menyoal Komitmen Antikorupsi DPR dari Keengganan Membahas RUU PTUK”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/05/29/07050091/menyoal-komitmen-antikorupsi-dpr-dari-keengganan-membahas-ruu-ptuk?page=all#page2.

Artikel, Berita

Pertarungan Negara atas Mafia Minyak Goreng

Oleh: Korneles Materay, Peneliti BHACA

KELANGKAAN minyak goreng karena ulah mafia. Orang pertama yang menyebutnya adalah Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi di hadapan wakil rakyat pada 17 Maret 2022. Ia curhat tidak mampu menghadapi mafia tersebut. Akan tetapi, ia juga menyatakan akan ada penetapan tersangka.

Tak berselang lama, Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangka. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI, Indrasari Wisnu Wardhana ditetapkan sebagai tersangka tindakan melanggar hukum dalam Pemberian Fasilitas Ekspor Minyak Goreng Tahun 2021-2022. Mereka adalah Indrasari Wisnu Wardhana selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag), Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), dan Picare Tagore Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.

Tragisnya, Indrasari justru pembisik Lutfi bahwa akan ada tersangka. Para tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan permufakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam penerbitan izin ekspor; dikeluarkannya izin ekspor pada eksportir yang harusnya ditolak izinnya karena tidak memenuhi syarat, yaitu mendefinisikan harga tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri; dan tidak mendistribusikan minyak goreng ke dalam negeri sebagaimana kewajiban dalam DMO, yaitu 20 persen dari total ekspor. Belakangan ekonom Lin Che Wei juga menyandang status tersangka pada 17 Mei 2022.

Harapan publik kelihatannya ada untuk penegakan hukumnya. Maka, harus dikawal oleh semua pihak. Begitu besarnya ekspektasi publik, proses hukum ini patut untuk memperhatikan beberapa hal.

Pertama, apakah mungkin dalam sekejap, lima orang bisa mengendalikan seluruh Indonesia? Pertanyaan ini sebetulnya hendak menggali aktor-aktor dalam pusaran kasus. Pada derajat mana peran mereka, apakah aktor intelektual atau pelaku lapangan. Dalam konteks hukum pidana dikenal adanya penyertaan (deelneming). Bentuk-bentuk penyertaan dijelaskan di Pasal 55-56 KUHP. Singkatnya, dalam konteks ini, penegak hukum harus bisa membongkar siapa yang melakukan (pleger), yang menyuruh lakukan (doen pleger), yang turut melakukan (mede pleger), yang sengaja membujuk (uitlokker), dan pembuat pembantu (medeplichtige).

Hal ini penting dalam rangka mengungkap mafia karena biasanya ada peran-peran dari setiap anggota mafia tersebut. Tidak semua menjadi designer kejahatan, ada juga eksekutornya. Kita tahu bahwa kejahatan korupsi tidak pernah dilakukan oleh satu orang, tetapi berkelompok. Keterangan kelima tersangka yang ada akan sangat menentukan signifikansi pengungkapan mafia minyak goreng.

Tidak semua menjadi designer kejahatan, ada juga eksekutornya. Kita tahu bahwa kejahatan korupsi tidak pernah dilakukan oleh satu orang, tetapi berkelompok. Keterangan kelima tersangka yang ada akan sangat menentukan signifikansi pengungkapan mafia minyak goreng.

Kedua, apakah hanya sebatas peran orang per orangan atau juga melibatkan sumber daya korporasi. Kejahatan korporasi pada dasarnya bertujuan memberikan keuntungan bagi korporasi dan insan di dalamnya. Dilihat dari profil pelaku, ada keterlibatan pengawas dan top level management/middle level management korporasi. Profil para pelaku juga merepresentasikan perusahaan yang bergerak di bidang produksi minyak sawit. Patut diduga peran yang terstruktur dan sistematis dengan sumber daya yang masif mengendalikan pasar sehingga memungkinkan kelangkaan tersebut.

Perundang-undangan di Indonesia sudah bisa menjerat korporasi. Aturan jeratan pidana bagi korporasi yang melakukan korupsi sudah ada dalam Pasal 20 ayat (1) “dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya;” Ayat (2): “tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”

Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 3 Perma 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pasal 4 Perma menjelaskan bahwa kesalahan korporasi dapat dinilai dari tiga hal: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. Perma juga menjelaskan dalam Pasal 6 perihal pertanggungjawaban grup korporasi.

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi dengan melibatkan induk korporasi dan/atau korporasi subsidiari dan/atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran masing-masing. Perma ini bisa menjadi landasan dan kepastian hukum menjerat korporasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan pengurus, juga meliputi penerima manfaat (beneficial owners).

Ketiga, pidana maksimal dan kerugian negara. Tidak berlebihan jika menduga bahwa kasus ini sebenarnya sudah direncanakan. Betapa tidak, krisis minyak goreng muncul setelah adanya penetapan harga eceran tertinggi (HET) Permendag No. 6 Tahun 2022 pada 26 Januari 2022. Kebijakan ini bertujuan menjaga stabilitas dan kepastian harga serta keterjangkauan harga minyak goreng sawit di tingkat konsumen. Dalam konsep hukum pidana ini masuk dalam dolus premeditatus.

Aspek lain yang tidak boleh terlupakan ialah mengenai pengembalian kerugian negara. Setidaknya, pemerintah harus menggelontorkan dana sekitar Rp 5,9 triliun untuk bantuan langsung tunai kepada masyarakat. Ini kerugian bagi negara akibat penyimpangan tata kelola minyak goreng. Tentu saja, kepastian kerugian negara akan diketahui melalui perhitungan resmi BPK. Proses hukum kasus ini kelak harus bisa memulihkan kerugiaan tersebut.

Pada akhirnya, kasus ini merupakan pertarungan negara atas mafia minyak goreng. Agar menang, Kejagung sebagai representasi negara harus bisa memberantasnya sampai ke akar-akar. Kejagung harus komprehensif, tegas dan berani untuk mengambil pelbagai tindakan yang dibenarkan hukum untuk membongkarnya. Tidak boleh ada pandang bulu, apalagi menyisakan syak wasangka publik.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pertarungan Negara atas Mafia Minyak Goreng”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/05/28/09575731/pertarungan-negara-atas-mafia-minyak-goreng?page=all#page2.

Artikel, Berita

Policy Paper – Pemberantasan Korupsi Dalam Pengadaan Bantuan Sosial Pandemi Covid-19

Dalam implementasinya, bansos covid-19 mengalami banyak kendala seperti; data yang tidak valid, pemotongan dana bansos pungutan liar, dana bansos yang bocor ke ASN dan ibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki usaha, terbatasnya SDM untuk merealisasikan bansos, dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Bersamaan dengan munculnya berbagai permasalahan tersebut, korupsi bansos pun semakin menggeliat. Penyusunan policy paper ini berdasarkan observasi yang sebelumnya telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pemberantasan korupsi dalam pengadaan bansos pandemi covid-19.

Unduh policy paper

Artikel, Berita

Absurditas Alasan Diskon Hukuman Koruptor

Alasan diskon hukuman kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (EP) menambah deretan absurditas pengadilan dalam menghukum koruptor. Vonis tingkat kasasi itu mengurangi hukuman dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Duduk sebagai majelis hakim kasasi yakni, Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.

Pertimbangan majelis hakim yakni bahwa terdakwa sebagai Menteri KKP sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan karena mencabut Permen Kelautan dan Perikanan No. 56/PERMEN-KP/2016 dan menggantinya dengan Permen No. 12/PERMEN-KP/2020. Ia dinilai menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil.

Mengada-ada

Banyak sekali pertanyaan kritis muncul menanggapi pertimbangan majelis hakim tersebut. Bagaimana mungkin terdakwa bekerja dengan baik tapi korupsi? Dalam konteks diskursus Permen 12/2020, pembentukan Permen sejak awal dinilai bermasalah karena pembahasannya tertutup dan tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.

Penetapan puluhan perusahaan ekspor benih lobster terafiliasi kepada sejumlah partai politik. Ombudsman Republik Indonesia menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster. Komisi Persaingan Pengawas Usaha mengindikasikan adanya monopoli yang dilakukan perusahaan jasa pengiriman logistik ekspor benur.

Tanda bahwa ada oligarki dalam kebijakan itu karena masuknya aktor-aktor yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik untuk menguasai dan memonopoli pemanfaatan sumber daya perikanan. Ini indikasi kuat kebijakan itu tidak berpihak pada masyarakat tetapi hasil fasilitasi atas kepentingan oligarki.

Lagi pula, hakim tidak dalam kapasitasnya menilai kinerja pejabat eksekutif itu baik atau tidak. Hakim seharusnya menilai bahwa yang bersangkutan tidak amanah sebagai pejabat negara untuk selanjutnya sepakat dengan vonis judex factie.

Bagaimana mungkin majelis hakim menyebut terdakwa memberikan harapan yang besar dan menyejahterakan rakyat khususnya nelayan? Atas kebijakan itu, EP menerima suap yang totalnya mencapai Rp25,7 miliar dari berbagai pengusaha/perusahaan eksportir benur. Kebijakan yang dikorupsi jelas dampaknya menyengsarakan rakyat.

Dengan gamblang bisa dikatakan justru EP-lah yang untung dan sejahtera, rakyat menjadi korban. Tujuan kesejahteraan tidak tercapai, malah yang terjadi ketidakpercayaan publik pada pemerintah dan tidak tercapai visi pemerintahan. Sejak kapan dalam sejarah peradilan, pertimbangan hakim atas dasar berkinerja baik sebagai alasan memotong hukuman?

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Mengacu pada ketentuan di atas, di manakah rasionalisasi putusan ini? Sepertinya, majelis hakim kehabisan akal dan pada titik itulah pertimbangannya mengada-ada.

Absurditas yang Berulang

Nampaknya, ada fenomena para hakim pengadilan tindak pidana korupsi di negeri ini mengulangi banyak sekali absurditasnya dalam hal mempertimbangkan hal meringankan dan keberpihakannya. Sebab, terkesan bahwa pengadilan justru lebih bersimpati pada pelaku korupsi dibanding korban korupsi yakni masyarakat.

Sebagian absurditas alasan meringankan hukuman koruptor antara lain adanya sifat kedermawanan; cercaan, hinaan dan makian masyarakat terhadap pelaku; alasan gender dan punya bayi, sudah mengembalikan uang korupsi, lanjut usia dan sudah pasti bersikap sopan.

Kedermawanan sebagai alasan mengkorting hukuman misalnya terjadi dalam kasus suap sel mewah di Lapas Sukamiskin. Penyuap Fahmi Darmawansyah dikorting hukumannya oleh MA di tingkat Peninjauan Kembali karena dianggap punya sifat kedermawanan. Darmawansyah memberikan ragam barang mewah kepada Kalapas Sukamismin Wahid Husen, di antaranya: uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, tas Louis Vuitton, sandal Kenzo senilai Rp39 juta, hingga mobil Mitsubishi Triton hitam seharga Rp427 juta.

Majelis hakim memotong hukuman Darmawansyah menjadi 1 tahun 6 bulan penjara dari sebelumnya 3 tahun 6 bulan penjara. Menurut hemat Penulis, tidak patut mendalilkan sifat kedermawanan itu. Selain “merusak” makna kedermawanan, agaknya majelis hakim naif untuk tidak mengaitkan pemberian itu dengan fasilitas sel mewah. Logikanya bisa dibalik, bagaimana bila pada waktu itu Wahid Husen bukan Kalapas, akankah ia diberikan barang-barang mewah itu? Secara implisit, alasan ini berbahaya karena memberikan kesan mulai ada upaya pengadilan menormalisasi pemberian yang dilarang.

Kemudian pada kasus eks Menteri Sosial Juliari P Batubara di mana majelis hakim yang diketuai Muhammad Damis serta hakim anggota Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo menilai Juliari sudah cukup menderita karena dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat, padahal ia belum tentu bersalah karena belum ada putusan pengadilan.

Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Sebelumnya, Juliari diajukan ke meja hijau karena melakukan korupsi pengadaan bantuan sosial covid-19. Ia terbukti menerima suap sebesar Rp32,4 miliar dari para rekanan penyedia bansos Covid-19 di Kementerian Sosial. Kembali hakim mempertontonkan dalil yang abnormal.

Di belahan dunia ini, semua koruptor mengalami dicela publik akibat perbuatannya. Hakim luput melihat konteks bahwa masyarakat kesal dalam situasi serba sulit, seorang pejabat yang dipercaya menjadi penolong justru memberi petaka bagi mereka. Dalam konteks itu, celaan adalah ekspresi tetapi sifatnya hanya sesaat, itu pun lebih banyak berseliweran di media sosial dan tidak mewakili pandangan masyarakat secara keseluruhan.

Kemudian, menyatakan masyarakat memperlakukannya seperti telah terbukti alias tidak sesuai prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocent) juga keliru. Andi Hamzah menjelaskan bahwa presumption of innocent harus ditempatkan dalam konteks hak-hak tersangka. Tidak bisa diartikan letterlijk.

Menurut Romli Atmasasmita, tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang sejalan dengan perubahan paradigma adalah negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding (Romli Atmasasmita: 2009). Dalam konteks itu, hak-hak tersangka telah dipenuhi oleh negara.

Cerita lain, alasan hakim banding di PT DKI Jakarta mendiskon hukuman pelaku korupsi, pencucian uang dan permufakatan jahat, Pinangki Sirna Malasari. Penjara 10 tahun di PN Tipikor Jakarta diturunkan menjadi 4 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik.

Salah satu pertimbangan yang cukup menarik perhatian adalah bahwa status Pinangki sebagai seorang ibu dan mempunyai anak berusia empat tahun. Sebagai wanita, ia harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil. Salah kaprahnya pertimbangan dengan alasan gender ini.

Rasanya, ini sebuah keistimewaan yang diperoleh Pinangki seorang karena hanya dalam pengadilannya ada pertimbangan semacam ini. Pinangki dapat dibandingkan dengan Angelina Sondakh yang ketika terjerat kasus korupsi, ia juga berstatus seorang ibu dan majelis hakim tidak mempertimbangkan hal itu.

Menurut hemat Penulis, memperhatikan kondisi perempuan dalam pengadilan bukan hal yang haram. Ada Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang menjadi alas hukumnya. Pedoman tersebut bertujuan membantu para hakim memahami dan menerapkan kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non-diskriminasi; membantu hakim mengidentifikasi situasi di mana terdapat perlakuan yang tidak setara atau dibedakan yang berujung pada diskriminasi terhadap perempuan; dan berkontribusi bagi pelaksanaan sistem peradilan yang menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam proses persidangan dan pengadilan.

Dalam putusan Nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI, majelis hakim tidak menjadikan Perma ini sebagai pijakan argumentasi. Bila diidentifikasi situasi yang melanggar tujuan Perma tersebut dalam perkara Pinangki tidak ditemukan. Akan tetapi, hal penting yang patut digarisbawahi adalah justru majelis hakim menciptakan putusan yang diskriminatif bagi pelaku korupsi perempuan lainnya.

Contoh terakhir yang dapat disimak pula ialah alasan pemotongan vonis Djoko Tjandra. Selama 11 tahun, terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali ini kabur dan tidak menjalani masa pemidanaannya. Dari kasus itu, ia memperoleh keuntungan mencapai Rp546,1 miliar. Ia tertangkap dan kali ini statusnya adalah penyuap Pinangki dalam pengurusan fatwa di Mahkamah Agung dan sejumlah jenderal polisi terkait red notice.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menurunkan hukuman Djoko Tjandra dari 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara. Alasan meringankan dari majelis hakim yang terdiri atas Muhamad Yusuf (Ketua) dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Reny Halida Ilham Malik bahwa Djoko Tjandra sudah pernah menjalankan hukuman kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Padahal, sebenarnya ada cukup alasan memperberat hukuman yang bersangkutan yakni buron yang artinya melawan putusan pengadilan/tidak taat hukum hingga menambah kerusakan integritas aparat penegak hukum. Selanjutnya, sebagai pelaku kejahatan, ia mengulangi perbuatannya yang mengindikasikan bahwa ia tidak jera. Pun, ini dua kasus yang berbeda di mana menjalani hukuman pada satu kasus tidak bisa menjadi alasan tidak menjalani atau mengurangi masa pemidanaan di kasus lain.

Pembenahan

Adanya akrobat diskon hukuman koruptor dengan alasan-alasan yang absurd ini membuat banyak pihak mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi sektor peradilan. Bagi masyarakat, potongan hukuman yang terlalu tinggi mengindikasikan bahwa lembaga peradilan tidak mendukung usaha membasmi penggarong uang rakyat dan tidak memberikan keadilan yang semestinya.

Menurut hemat Penulis, atas kasus-kasus ini, pembenahan perlu dilakukan. Ke depan akselerasi reformasi pengadilan dalam menjamin kualitas hakim perlu segera diwujudkan. Perlu ada semacam pedoman khusus mengenai alasan-alasan meringankan dan memberatkan yang disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Alasan-alasan itu sebaiknya lebih banyak bobot yang obyektif daripada subyektif. Selain itu, pengawasan kepada hakim menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

*)Korneles Materay, Peneliti Bung Hatta Anti-Corruption Award.

Artikel, Berita, SIARAN PERS

Menyoal Rencana Pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan Adik Presiden Joko Widodo: Potensi Konflik Kepentingan di Lembaga Kekuasaan Kehakiman

Rencana pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dan adik Presiden Joko Widodo, Idayati menjadi sorotan publik. Menikah adalah hak Ketua MK. Namun, pernikahan itu akan menjadi ujian sikap kenegarawanan Ketua MK. Potensi benturan kepentingan bakal jadi masalah krusial kelak karena terbentuknya relasi semenda antara Ketua MK dengan Presiden. Sederhananya publik akan bertanya, bagaimana sikap dan objektivitas Ketua MK saat menyidangkan perkara-perkara pengujian undang-undang, di saat yang sama ia memiliki relasi kekeluargaan dengan Presiden? Hakim MK harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun untuk memastikan benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi tetap terjaga.

Plato dalam bukunya yang berjudul The Statesman telah menekankan soal kemampuan negarawan (hakim) untuk bersikap adil dan baik serta mengutamakan kepentingan warga negara, ketimbang aspek pribadinya. Dalam beberapa waktu belakangan ini, MK dideru perkara-perkara pengujian undang-undang yang sarat muatan politis termasuk diantaranya UU IKN dan UU MK. MK juga sedang dalam fase juristocracy atau meminjam gagasan C Neil Tate, judicialization of politics, yakni ekspansi lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara yang memiliki unsur politis. Kondisi ini akan membawa implikasi yang fatal tatkala hakim terperangkap benturan kepentingan.

Paling tidak ada dua aturan yang berpotensi dilanggar bila Ketua MK tidak segera mengambil sikap yang bijaksana sebagai seorang negarawan. Pertama, Pasal 17 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 17 ayat (4) berbunyi “Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat;” Pasal 17 ayat (5)  berbunyi “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Perlu ditegaskan juga bahwa terdapat konsekuensi logis bila ketentuan ayat (5) dilanggar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (6) yaitu bahwa putusan dinyatakan tidak sah dan hakim akan dikenakan sanksi administratif atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Kedua, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Dalam perspektif peraturan a quo, terdapat 2 prinsip pokok yang rawan benturan kepentingan dan berpotensi dilanggar yakni prinsip independensi dan prinsip ketakberpihakan. Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara.

Berdasarkan uraian di atas, jika nantinya terjadi pernikahan Anwar Usman dengan adik Presiden Joko Widodo, Idyati, maka Koalisi Masyarakat Selamatkan MK mendesak agar Ketua MK mengundurkan diri dari jabatannya.  Sebab jika tidak, hal tersebut tentu akan berimplikasi pada independensi dan imparsialitasnya sebagai hakim konstitusi yang berujung pada kualitas putusan yang tidak adil dan baik.

Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi 

  1. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
  4. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) 
  5. Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA)
  6. Konsitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) 
  7. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) 

Narahubung:

  1. Raden Violla Reninda (0821-1672-2151)
  2. Korneles Materay (0821-3887-0341)
Artikel, Berita

Kekerasan, Korupsi, dan PR Negara

Oleh: Korneles Materay
Peneliti Bung Hatta Anti Corruption Award

Tiap tanggal 9 dan 10 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari HAM Sedunia. Selain itu, pada hari ini berakhirnya Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Di tengah momentum peringatan ini masih ada pekerjaan rumah besar yang belum dikerjakan tuntas. Adalah kekerasan dalam upaya mengungkap, mencegah dan memberantas korupsi.

Kerja-kerja antikorupsi berisiko tinggi. Berulang kali kasus-kasus kekerasan menimpa pekerja antikorupsi. Namun, aparat penegak hukum sebagai representasi negara dalam mengusutnya tidak berbuah hasil yang maksimal. Sebagai contoh, serangan siber terhadap aktivis, mahasiswa dan akademisi yang kritis terhadap revisi UU KPK tak diketahui juntrungannya. Sejauh mana kasus itu diusut dan siapa pelaku serangan. Padahal jumlah korbannya sangat banyak.

Kekerasan dan Korupsi Dalam Lintas Sejarah

Korupsi dan kekerasan berkelindan dalam banyak kasus korupsi sudah lama terjadi. Tiap orde punya catatan kasusnya masing-masing. Era Orde Lama, Jaksa Agung RI pertama Gatot Tarunamiharja pernah mengalami percobaan pembunuhan oleh tentara dengan cara ditabrak hingga kakinya buntung. Salah satu kasus yang pada waktu itu ditanganinya adalah penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara dibawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan baret di Tanjung Priok yang melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo.

Di era Orde Baru, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono meninggal mendadak pada 29 Juni 1990. Ia telah berhasil membongkar beberapa kasus korupsi. Sebelum meninggal, ia menggagas kebijakan menayangkan wajah koruptor di televisi. Kemudian kasus yang cukup terkenal ialah meninggalnya wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin di Bantul. Udin dipukul orang tak dikenal hingga koma dan meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Pemberitaan kasus korupsi di Bantul diduga menjadi alasan tindak kekerasan menimpanya.

Memasuki Orde Reformasi, ada Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang ditembak empat orang tak dikenal pada 2001 silam. Ia tengah menangani kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang menyeret nama anak Presiden Soeharto. Meninggal mendadak juga terjadi atas mantan Jaksa Agung Baharudin Lopa. Banyak pihak menduga terkait kasus-kasus besar yang ia tangani. Tahun 2010, kekerasan bersenjata menimpa eks Peneliti ICW Tama Satrya Langkun. Kala itu, Tama mengungkap kasus rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi Polri kepada KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Pada 2017, mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan terkena siraman air keras di wajahnya oleh orang tak dikenal. Akibatnya mata kirinya mengalami cacat permanen. Diduga kuat aksi pelaku terkait dengan kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang besar yang ditangani Novel cs. Kekerasan terhadap insan KPK lainnya misal teror penabrakan kendaraan pegawai KPK, perusakan kendaraan, dan perampasan perlengkapan penyidik seperti yang dialami penyidik KPK Surya Tarmiani. Bahkan rumah eks Ketua KPK Agus Raharjdo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dilempari bom Molotov.

Asrul seorang jurnalis di Palopo dilaporkan karena menulis berita berjudul ‘Putra Mahkota Palopo Diduga “Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zero Rp11 Miliar’, yang dimuat Beritanews.com pada 10 Mei 2019. Ia bahkan telah divonis hakim dinilai melakukan penghinaan, pencemaran nama baik. Wartawan Tempo Nurhadi di Surabaya disekap dan dipukuli ketika menjalankan tugas jurnalistiknya pada 27 Maret 2021. Dia tengah melakukan konfirmasi perkara suap pajak yang ditangani KPK.

Selain itu, sejumlah aktivis ICW hingga para mantan pimpinan KPK mengalami peretasan dan teror ketika sedang berdiskusi menyikapi upaya pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Masih terkait TWK ialah pertanyaan-pertanyaan yang merendahkan martabat serta melecehkan perempuan. Kasus-kasus di atas hanya sebagian kecil dari begitu banyak kejadian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Pola Kekerasan

Kerja-kerja pemberantasan korupsi rentan mengalami kekerasan bahkan nyawa menjadi taruhannya. Lantas, bagaimana pola-pola kekerasannya? Jika membaca keberulangan yang terjadi, pola-pola kekerasan tersebut, antara lain: pertama, kekerasan fisik seperti penembakan, pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, penusukan, penyekapan, perampasan, hingga penyiraman air keras. Kedua, non-fisik dan serangan siber. Dalam konteks sekarang, peretasan akun media massa, akun lembaga mahasiswa, akun pribadi para aktivis/mahasiswa/akademisi; ancaman/teror berupa pesan singkat, doxing, pertanyaan-pertanyaan tes pegawai yang seksis, misoginis atau merendahkan/melecehkan hingga framing isu. Ketiga, memanfaatkan celah hukum seperti mengkriminalisasi.

Kekerasan fisik bertujuan untuk melukai atau mungkin sekaligus melenyapkan subyek secara langsung. Sedangkan, non-fisik dan serangan siber memainkan sisi emosi/mental subyek agar menghentikan aktivisnya karena ada konsekuensi yang akan dihadapi.

PR Negara

Secara prinsip, kekerasan itu merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Pelanggaran atas hak-hak dasar warga negara untuk berpikir, berpendapat dan berekspresi serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional. Sebagai negara hukum dan negara demokrasi, kekerasan demi kekerasan ini mengindikasikan kemunduran bernegara hukum dan berdemokrasi. Sebagaimana mandat konstitusi, maka negara utamanya pemerintah memiliki tanggungjawab untuk melindungi dan menjamin setiap warga negara bebas dari kekerasan fisik maupun non-fisik tatkala menjalankan hak-hak konstitusionalitasnya.

Hingga hari ini, puluhan hingga ratusan kasus kekerasan itu tidak diselesaikan aparat penegak hukum. Para korbannya menanti keadilan. Ini adalah pekerjaan rumah negara yang akan tercatat dalam sejarah. Adalah sebuah keniscayaan ketika prinsip-prinsip rule of law, prinsip-prinsip negara demokrasi dijalankan atau ditegakan, maka kita mampu memberantas korupsi dengan tuntas. Harapan kita akan negeri yang bersih, adil, dan makmur akan tercapai. Sebaliknya, bila tak berjalan rule of law, demokrasi disumbat, maka Indonesia bebas korupsi adalah utopia.

1 2 3 4
Donasi