Transparency International Indonesia kembali merilis Corruption Perception Index 2019. Seluruh media maupun pegiat anti-korupsi se-Indonesia tertuju pada momentum kali ini. Hal yang wajar, di tengah menguatnya semangat pemberantasan korupsi. Telah terjadi persekongkolan melemahkan KPK lewat revisi UU.
Menariknya adalah Corruption Perception Index Indonesia justru mengalami kenaikan 2 poin. Bila pada tahun 2018 CPI Indonesia menduduki skor 38 dengan ranking 89 dari 180 negara. Maka, pada tahun 2019, skornya 40 dengan ranking 85 dari 180 negara. Khusus untuk negara-negara ASEAN, berada pada peringkat ke-4 mengungguli Thailand, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja, Laos dan Timor Leste. Akan tetapi, masih jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura.
Meluruskan Pemahaman
Mungkin pemerintah merasa bangga akan capaian Ini. Apalagi dengan berlakunya Undang-Undang KPK yang baru. Di saat yang sama, Indonesia naik ke posisi 85 dari 180 negara yang disurvei. Apakah ini pertanda revisi UU KPK menguatkan pemberantasan korupsi?
Tentu jawabannya TIDAK!! Kita keliru bila naiknya CPI dikaitkan dengan sukses revisi UU KPK. Sebab survei Transparency International sudah lama berjalan sebelum lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2019. Apalagi di akhir-akhir kepemimpinan KPK Jilid IV, banyak melakukan gebrakan. Misalnya, memeja-hijaukan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan Operasi Tangkap Tangan pasca pelantikan pimpinan KPK baru? Bukankah revisi UU KPK telah berlaku. Yah betul, revisi UU KPK telah berlaku. Hal itulah penyebab kerja-kerja penggeledahan KPK di kantor PDI Perjuangan terhambat. Revisi UU KPK terbukti ampuh melemahkan KPK yang dikenal tidak pandang bulu dalam pemberantasan korupsi.
Mengalami Penurunan
Melemahkan KPK lewat revisi undang-undang akhirnya terasa. Publik yang dihebohkan dengan OTT di awal kepemimpinan Firli Cs, ternyata mengalami anti-klimaks. Saling lempar kesalahan pun terjadi. Pimpinan KPK berdalih, penggeledahan di kantor PDI Perjuangan terhambat karena belum adanya izin Dewan Pengawas KPK. Meski pernyataan itu kemudian dibantah Tumpak Hatorangan Panggabean di program Mata Najwa bertema “Menakar Nyali KPK”.
Terlepas dari itu semua, penulis melihat bahwa hadirnya Dewan Pengawas KPK telah memperlambat kerja pemberantasan korupsi. Pertama, adanya Dewas cenderung melahirkan dualisme kepemimpinan di KPK. Tuduhan ini mendasar bila kita mengacu kepada tugas dan kewenangan Dewas. Misalnya memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/ atau penyitaan (vide: Pasal 37B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019).
Dalam konteks OTT KPK terhadap Komisioner KPU, penyidik KPK tidak bisa berbuat banyak. Izin penggeledahan tak kunjung turun. Operasi tangkap tangan yang sejatinya diikuti dengan upaya pengeledahan dan penyitaan tidak bisa dilakukan. Walhasil Dewas KPK kini menjelma menjadi Dewa di KPK.
Kedua, Dewan Pengawas telah bertindak sebagai aparat penegak hukum. Dewas telah memasuki ranah pro justicia. Padahal idealnya Dewas tidak boleh memiliki kewenangan tersebut. Berbeda halnya dengan penggeledahan harus seizin ketua Pengadilan. Karena ketua Pengadilan adalah Hakim, yang tentunya juga berwenang menilai apakah penggeledahan yang dilakukan oleh penegak hukum sah atau tidak.
Pelemahan dari sisi “menghancurkan” marwah KPK pun massif dilakukan dari internal. Pertama, mengubah budaya zero tolerance corruption. Misalnya menjaga nilai integritas setiap KPK melakukan kegiatan di daerah. Mulai dari KPK Jilid I-IV tidak pernah terdengar pegawai atau pimpinan KPK diantar jemput oleh panitia pelaksana, apalagi disambut nan dijamuh oleh pejabat daerah. Makanya kami di kalangan aktivis, biasa menyebutnya pola “Jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar”.
Kedua, telah terjadi “Operasi Bersih Bersih”. Ditengah sorotan publik terhadap kepemimpinan Firli Cs yang tak bernyali. Terjadi operasi “dadakan” mengembalikan Jaksa KPK (Yadyn dan Sugeng ) ke institusi asal. Padahal telah menjadi rahasia umum, bahwasanya Jaksa Yadyn mengetahui betul kasus suap Caleg PDI Perjuangan. Dari segi masa tugas pun di KPK belumlah usai.
Pembenahan Ke Depan
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan Corruption Perception Index Indonesia ke depan. Sekjend Tranparency International Indonesia mas Dadang Trisasongko mengharapkan Indonesia wajib pembenahan. Pertama, revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kedua, percepat reformasi di lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, modernisasi UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir, aturan donasi politik dan konflik kepentingan.
Sedangkan tawaran penulis adalah mendorong Mahkamah Konstitusi menyelamatkan KPK lewat putusan pro pemberantasan korupsi. Mengabulkan permohonan Uji Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Agar Komisi Pemberantasan Korupsi kembali ke khitahnya.
Jupri, S.H., M.H. Pegiat Anti-korupsi, Akademisi FH Universitas Ichsan Gorontalo dan Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 6 Februari 2020.