Indonesia mencatatkan rekor buruk dalam Corruption Perception Index atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang diukur oleh Transparency International. Survei menunjukan bahwa disamping krisis pandemi, korupsi semakin menggeliat dan demokrasi mengalami kemunduran secara signifikan. Membahas hal tersebut, BHACA menggelar diskusi “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” Sebagai narasumber adalah Natalia Soebagjo International Council of Transparency International dan Dewan Pendiri BHACA dan Zainal Arifin Mochtar Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) UGM sekaligus Dewan Juri BHACA.
Sebagaimana diketahui IPK 2020 Indonesia jeblok ke skor 37 dan terlempar ke ranking 102 dunia dari 180 negara yang disurvei. IPK disusun berdasarkan 13 sumber data. Khusus untuk Indonesia dipergunakan 9 sumber data. Masing-masing indeks melihat hal yang berbeda-beda.
Natalia menjelaskan mayoritas mengalami penurunan. “Penurunan kita yang paling besar di Global Insight Country Risk Rating, turun 12 poin. Ini melihat apakah perusahaan-perusahaan itu harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Political Risk Service juga turun 8 poin. Apakah harus menyuap atau disuap untuk mendapatkan layanan publik? Bribery and corruption, apakah masih ada atau tidak? Ternyata juga turun 5 kalau melihat World Competitiveness Yearbook. Yang turun lagi di Political and Economic Risk Consultancy. Ditanyakan responden sejauh mana mereka melihat korupsi di negara di mana mereka mempunyai bisnis. Political corruption dapat kita lihat dari Varieties of Democrazy Project. Satu-satunya membaik di World Justice Project-Rule of Law. Tapi overall kinerja kita di rule of law rendah meskipun ada kenaikan. Tetapi di World Economic Forum Executive Opinion Survey stagnan, tidak ada perubahan, tidak membaik tapi juga tidak memburuk. Di Berstelsmann Stiftung-Transformation Index juga stagnan. Economic Intelligence-Unit Country Risk Service juga stagnan,” paparnya.
Kemudian indeks tersebut diklasifikasikan dalam tiga kluster besar, yaitu ekonomi & investasi, penegakan hukum dan politik dan demokrasi. Menurut Natalia, kluster yang berkaitan dengan ekonomi dan investasi mayoritas turun. Soal penegakan hukum yang naik yaitu rule of law index, tetapi melihat kualitas layanan publik atau interaksi pelaku bisnis dan birokrasi turun. Sedangkan, kalau melihat demokrasi maka political corruption masih merupakan sesuatu yang harus dihadapi di mana sektor politik masih rentan terhadap korupsi.
Natalia memaparkan bahwa jika dikaitkan dengan demokrasi dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. Di sini terlihat bagaimana korupsi dan demokrasi terjadi.
Sejak tahun 2019, TI menilai political corruption sebagai problem yang melanda semua negara yang disurvei. Pada waktu itu rekomendasi yang diajukan berkaitan dengan political corruption.
Natalia menilai rekomendasi tersebut masih relevan. Namun, ia mempertanyakan soal implementasinya. “Menurut saya ini rekomendasi yang sampai sekarang pun masih sangat valid. Hanyalah dengan adanya covid, semua kelemahan yang terlihat di tahun lalu semakin di-amplifies semakin terlihat.” Sejak tahun 2019, apakah rekomendasi TII sudah berhasil dijalankan?”
Dalam tataran praktis, merujuk ke survei Lembaga Survei Indonesia praktik politik uang masih tinggi.
Oleh karena itu, menurut Natalia, dalam situasi seperti ini tantangan negara untuk mengontrol isu political corruption dan partai politik semakin berat dan belum tertangani dengan baik. Menurutnya perlu penanganan komprehensif dan hal tersebut sebenarnya telah tertuang dalam hasil kajian KPK dan LIPI (2018) yang memetakan 5 (lima) aspek yaitu kode etik, demokrasi internal, keuangan parpol, kaderisasi, dan rekruitmen.
Natalia menutup paparannya dengan menyampaikan rekomendasi umum TI:
Menurut Zainal, jebloknya IPK ini terburuk sepanjang sejarah Indonesia khususnya pasca reformasi. Jika dibaca secara rezim, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan indeks persepsi korupsi. Pertama, kelahiran KPK di mana terbukti menaikan indeks persepsi korupsi. “Terbukti di zaman Megawati akhir begitu KPK lahir sampai terakhir Jokowi 2019, kenaikan 21 poin, dari 19 ke 40. Tidak ada negara di duniapun yang mengalami kenaikan secara ajaib,” paparnya. Jadi faktor penting menurut Zainal adalah KPK. Nafas pemberantasan korupsi ada karena KPK.
“Ketika KPK dikerdilkan di tahun 2019, saya sudah menduga bahwa ini akan mengalami penurunan,” ujar Zainal. Menurutnya, cara berpikir saat ini mengarah ke korupsi bukan kejahatan luar biasa. Terjadi signifikansi cara berpikir soal pemberantasan korupsi. Hal itu juga diamini oleh hampir seluruh komisioner karena melayangkan surat dukungan terhadap revisi UU KPK. Logika berpikir UU KPK, korupsi bukan extra-ordinary.
Kedua adalah berkaitan dengan kinerja pemerintah secara keseluruhan. Menurut Zainal, ada semacam anakronisme di tubuh pemerintahan. Bagaimana mungkin menganggap bahwa bisnis itu harus didorong lebih baik tapi yang dilakukan itu adalah dengan menghentikan atau membonsai KPK. Pemberantasan korupsi selalu menjadi syarat investasi sebagaimana misal disampaikan oleh World Economic Forum. Meskipun ada penangkapan menteri, tapi tidak berarti KPK kuat. “Itu hanya menunjukan KPK masih berdenyut, tapi bukan berarti KPK tidak sedang sekarat,” katanya.
Ketiga, kebiasaan partai politik kembali menggeliat liar di 2019 akhir dan 2020. IPK dipengaruhi kondisi politik, tatanan partai, kehidupan demokrasi dan lain-lain. Skor penegakan hukum yang naik tidak terlalu luar biasa karena itu tidak signifikan karena di riset lain menurun. Rentang 2019-2020, dari hulu ke hilir, alih-alih mengalami revolusi atau evolusi (perubahan secara pelan-pelan), menurut Zainal justru mengalami involusi atau pengruwetan dalam banyak hal.
Lalu, kemungkinan apa yang terjadi di 2021? Menurut Zainal, pertama, ada beberapa bom waktu yang akan meledak di 2021. Salah satunya adalah kewajiban alih fungsi semua penyidik KPK secara penuh di akhir Oktober 2021 (sesuai UU 19/2019, transisi 2 tahun). Geliat KPK dilakukan oleh penyidik yang belum penuh tertransisi menjadi ASN. Apa bahayanya penyidik KPK menjadi ASN? Salah satunya adalah penyidik non polisi dan kejaksaan menjadi penyidik PPNS yang pembinaannya di bawah kepolisian. “Denyut KPK akan menjadi tidak ada lagi,” kata Zainal.
Kedua, pembukaan keran investasi dan kemudahan perizinan yang tidak dilapisi dengan upaya pengaman pemberantasan korupsi. Misalnya, dalam logika sederhana UU Cipta Kerja bahwa untuk penyederhanaan semua di tarik dari daerah ke pusat. Kita belum mampu membangun sistem pengawasan. Tetapi ujug-ujug mempermudah perizinan dan sebagainya. “Katup pengamannya belum tersedia” Ketiga, kehidupan politik karena 2022-2024 ada agenda pemilu, ada kemungkinan parpol akan menyalakan mesin cepat.
Keempat, ketika agenda kenegaraan terbengkalai, maka perbaikan institusionalisasi tidak akan tercipta. Ada langkah berderap secara keliru (politis) untuk membunuh lembaga-lembaga yang sudah ada. “MK mau didomestikasi, KASN yang baik perannya dalam mengerem perdagangan jabatan publik juga mau dibonsai atau dibunuh. Bahkan ada usul KPU, Parpol, dan sebagainya,” tutur Zainal. Tugas institusionalitas yang tidak tercipta baik dari sisi lembaga atau peraturan sangat berbahaya.
Dari sisi peraturan, belakangan peraturan menjadi berantakan karena ketiadaan peran publik secara baik. Salah duanya, memang politisi semakin jauh dari fungsi kedaulatan rakyat. Dan, salah tiganya tentu saja karena perlawanan publik menjadi terbatas. Kelima, pragmatisnya pemerintahan secara keseluruhan untuk menyelesaikan masalah.
Negara diharapkan bisa mengambil langkah-langkah perbaikan. Menurut Zainal, pertama, Presiden membangun hubungan yang baik dengan pemerintahan daerah. Tidak bisa mengharapkan menteri-menteri yang kemungkinan di tahun politik akan cepat menyalakan mesin. Kedua, Presiden membuat terobosan untuk meluruskan kembali janji-janji pemberantasan korupsi dengan mengeluarkan Omnibus Pemberantasan Korupsi. Banyak peraturan pemberantasan korupsi banyak yang tidak menarik, tidak kuat atau malah mendorong ke arah tidak menyelesaikan pemberantasan korupsi. Omnibus Pemberantasan Korupsi itu memperbaiki UU Antikorupsi, menyesuaikan dengan UNCAC, mempersiapkan kelembagaan/institusi termasuk lembaga pengelola aset yang baik.
Kalau untuk kepentingan ekonomi bisa dengan omnibus, kenapa tidak dengan pemberantasan korupsi? Ketiga, berharap MK berani mengembalikan UU KPK sehingga pemberantasan kembali hidup dan menarik. “Jika tidak terjadi perubahan, jangan-jangan bom waktulah yang akan meledak dan akan menurunkan lagi IPK. Kalau turun lagi, kita sudah lemah,” pungkasnya.
Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” yang diselenggarakan pada 4 Februari 2021 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan Youtube Bung Hatta Award BHACA