Butuh perjuangan panjang nan berliku untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL-BLBI) yang merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara sebesar Rp 4,58 triliun sesuai hasil audit BPK 2002. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan, namun akhirnya dihentikan. KPK kemudian mengambil alih. KPK memerlukan hampir satu dasawarsa dan melewati tiga kali periode kepemimpinan untuk menetapkan tersangka pertama yakni Syafruddin Arsyad Tumenggung, eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 25 April 2017.
Siapa sangka, pada 9 Juli 2019, KPK dan dunia antikorupsi nasional bagai dilanda sebuah bencana besar ketika mengetahui majelis kasasi MA menyatakan Syafruddin melakukan perbuatan sesuai dakwaan JPU pada KPK, namun perbuatan itu bukan merupakan pidana korupsi. Akibatnya, majelis hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana bunyi amar Putusan Kasasi No. 1555 K/PID.SUS/2019.
Hingga detik ini, publik mungkin belum percaya, bahkan salah satu Wakil Ketua KPK mengatakan aneh bin ajaib terhadap putusan tersebut. Pasalnya baru saja dua Pengadilan Tipikor sebelumnya menyatakan ia bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pertama, menurut Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dalam Dakwaan Alternatif Kesatu. Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara 13 tahun dan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan,” tertanggal 14 September 2018.
Syafruddin dinilai bersalah karena menerbitkan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004. Seyogianya, pada waktu itu ia tak menerbitkan SKL tersebut karena Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI (kini tersangka), belum menyetor semua kewajibannya. Sebelumnya, saat krisis moneter 1997-1998 melanda Indonesia, BDNI mendapatkan suntikan dana BLBI senilai Rp 30,9 triliun.
Disparitas putusan antara dua pengadilan ini dengan pengadilan kasasi memicu polemik di tengah masyarakat. Berbagai kalangan merespons secara beragam. ICW bahkan mendesak KY memeriksa hakim MA pembebas terdakwa tersebut. Sejauh ini publik belum bisa mengkritisi secara komprehensif putusan tersebut karena akses putusan belum dibuka. Menurut hemat saya, seharusnya MA dalam wajah reformasi peradilan cepat untuk menyediakan secara digital putusan sebagai pemenuhan hak masyarakat atas informasi publik. Tentu saja kebutuhan terhadap informasi putusan selain bagi KPK menentukan langkah hukum atau upaya perlawanan sesuai aturan hukum, juga sebagai bahan diskusi atau kajian para pakar hukum atau pun masyarakat awam.
Terhadap suatu putusan hakim berlaku asas putusan hakim harus dianggap benar. Asas ini mengajak kita semua untuk tetap menghormati apapun bunyi dan konsekuensi yang ditimbulkan dari putusan tersebut. Selain itu, menegaskan kembali bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas dan merdeka. Namun demikian seperti dikatakan Yahya Harahap, makna “kebebasan hakim harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum.”
Maka, persoalannya bukan mengenai asas atau prinsip kehakiman semata sebagai suatu kondisi, tetapi bagaimana dengan menjadikannya sebagai landasan suatu pengadilan, hakim mampu menciptakan keadilan yang substansif. Tentu saja kita dilarang mengintervensi proses teknis yustisial, pun hal itu telah diselesaikan majelis hakim. Namun, secara moral kita tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap praktik hukum di depan mata. Sewajarnya, kritik boleh disampaikan atas putusan demikian.
Bagi saya, sangat mengherankan pelepasan terdakwa kasus BLBI ini. Persoalannya, persidangan mengenai fakta tindak pidana korupsi ini terbukti dalam dua tingkat pengadilan yang majelis hakimnya diberikan mandat oleh undang-undang untuk mengadili fakta-fakta suatu perbuatan itu merupakan delik korupsi atau tidak (hakim fakta/yudex factie). Majelis hakim setidak-tidaknya melakukan dua hal. Pertama, menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil membuktikan. Masing-masing hakim akan mengkonstantir fakta-fakta sebagai jalan untuk menetapkan hukumnya.
Kedua, menetapkan hak-hak dan hubungan hukum di antara para pihak. Setelah hakim menetapkan fakta-fakta yang terjadi, lalu hakim mengajukan konklusi yang dapat berupa menetapkan siapa berhak atas apa juga menetapkan hubungan hukum di antara para pihak (Asnawi, 2014:15). Total 10 (sepuluh) yudex factie dari pengadilan tingkat pertama dan banding menyatakan perbuatan tersebut merupakan delik korupsi. Secara materiil, yudex factie menilai terdakwa bersalah karena menerbitkan SKL BLBI untuk BDNI yang mengakibatkan kerugian negara. Perbuatan tersebut lantas merupakan obyek dari pada dakwaan JPU.
Lazim dipahami dalam konteks administrasi pemerintahan, seorang pejabat negara memiliki kewajiban hukum untuk tidak bertindak melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana dalam setiap tindakannya. Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 diubah terakhir dengan UU No. 30 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor larangan ini semakin tegas dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Sehingga setiap pejabat yang menerobos rambu-rambu tersebut atau perbuatannya memenuhi unsur ketentuan ini menjadi patut dipersalahkan perbuatan tersebut.
Secara singkat melawan hukum mempunyai arti yang luas (formil dan materiil). Para ahli menyatakan melawan hukum dalam arti luas berarti meliputi perbuatan yang bertentangan dengan hukum objektif, bertentangan dengan hukum subjektif (hak orang lain), tanpa hak, dan bertentangan dengan hukum tak tertulis. Dalam rumusan delik, keberadaan sifat melawan hukum merupakan syarat mutlak dari dapat dipidananya tindakan. Jika sifat ini dinyatakan dengan tegas dalam suatu rumusan delik (sebagai suatu unsur), maka dia harus dicantumkan dalam dakwaan dan dibuktikan di persidangan (Agustina, dkk, 2016:83).
Mengenai menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan. Sebagai akibat dari melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara.
Secara administrasi, parameter korupsi dapatlah dikatakan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang. Oleh karena itu, menurut hemat saya, parameter korupsi di sini sudah sangat jelas. Perintah untuk tidak menerbitkan SKL harus dipahami sebagai kewajiban hukum yang wajib dilaksanakan seorang pejabat. Kita tahu bahwa dalam tindakan administrasi dalam konteks ini dibayangi korupsi. Perbuatan administrasi pejabat negara yang melawan hukum dan/atau menyalahi kewenangannya serta merugikan negara adalah korupsi. Maka dalam konteks ini unsur-unsur korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 terpenuhi sebagai sebuah delik korupsi.
Menambah Beban
Dengan adanya putusan lepas dari segala tuntutan ini tentu saja menambah beban tantangan pemberantasan korupsi semakin berat di masa yang akan datang. Beberapa hal yang perlu diantisipasi sehubungan dengan hal ini. Pertama, soal masa depan pengusutan lebih lanjut kasus SKL-BLBI. Tindak pidana korupsi Syafruddin dilakukan secara bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih, serta bekas Kepala Komite Kebijakan Sektor Keuangan Dorojatun Kuntjoro-Jakti. Implikasinya terhadap substansi perkara kemungkinan besar terganggu. Ini pekerjaan besar bagi KPK ke depan bila melanjutkan proses hukum terhadap pelaku-pelaku di atas. Namun tidak berarti KPK harus menghentikan karena putusan lepas dari Syafruddin. Sebab putusan lepas itu bukanlah alasan penghapusan pidana bagi pelaku lain.
Kedua, putusan lepas ini dapat saja menjadi semacam peluang bagi pelaku korupsi memperjuangkan kebebasan dari jerat pasal-pasal anti-rasuah. Kita tahu selama ini, perkara yang dipegang KPK tidak pernah kalah dalam ruang sidang, kecuali praperadilan. Jika tidak ada langkah progresif, praktik seperti ini bisa berlanjut terus-menerus. Jangan sampai malah menjadikan putusan ini sebagai rujukan dalam memutus perkara korupsi. Walaupun dalam sistem hukum kita tidak dikenal asas the binding force of precedent, tetapi nyatanya dipraktikkan. Kita butuhkan hakim yang gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terkorupsi.
Ketiga, perlunya pemahaman korupsi dan sikap anti-korupsi yang tinggi dimiliki oleh para hakim. Selain itu pentingnya memagari relasi yang anti-korupsi antarhakim dan terdakwa atau pihak berkepentingan lainnya. Putusan ini lonceng peringatan keras, jangan sampai terjadi judicial corruption. Keempat, urgensi dari putusan ini yaitu KPK ke depan harus meningkatkan lagi kehati-hatian dan kemantapan dalam bukti dan argumentasi hukum. Mengingat untuk kasus ini, waktunya semakin singkat terkait masa daluwarsa kasus, maka KPK harus tetap bekerja cepat dan tuntas.
Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award
Tulisan ini terbit di detik.com edisi 18 Juli 2019, dengan judul “Lepasnya Terdakwa BLBI dan Tantangan Pemberantasan Korupsi.”