Hubungi Kami

Akhir-akhir ini, terhirup aroma ketidakberesan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) atau Omnibus law Lapangan Kerja yang diinisiasi Pemerintah. Semasa berproses di Pemerintah, draft resmi RUU Omnibus law begitu sukar diperoleh masyarakat. Informasi masyarakat didapatkan dari sumber tidak langsung berkat riset dan investigas khusus lainnya. Minimnya transparansi dan akuntabilitas prosedur dan substansi pembentukan RUU Omnibus law bagi masyarakat telah menyalahi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3). Hal ini menegaskan mal-prosedur oleh Pemerintah dan tentu saja memamerkan satu potret paripurna ketertutupan informasi dari Pemerintah di tengah tuntutan keterbukaan informasi publik.

Dengan demikian, mudah memvonis Omnibus law bermasalah dari sisi teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu ditekankan pula, Pemerintah mengabaikan hak konstitusional warga negara dan corak negara demokrasi dengan paham kedaulatan rakyat yang kita praktekan saat ini. RUU Omnibus law resmi diserahan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 13 Februari 2020. Tulisan singkat ini hendak menyoal kembali ketertutupan Omnibus law di Pemerintah tersebut. Apakah informasi RUU merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi masyarakat?

Menurut hemat penulis, informasi RUU sesuatu esensial karena diatur dalam konstitusi sebagai hak warga negara. Hak yang diatur dalam konstitusi biasanya punya kedudukan yang fundamental dan tertinggi. Hak informasi eksplisit diletakan dalam Pasal 28F UUD 1945. Hal ini membuktikan rupanya para pendiri bangsa kita sungguh telah menyadari hak informasi itu penting bagi rakyat. Derivasi hak informasi meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Sedianya informasi adalah materi pokok untuk mengembangkan diri pribadi maupun sosial. Masyarakat yang punya bank informasi tentulah pandai dan kritis mengisi demokrasinya. Negara yang membuka informasi publik mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan guna menuju tata kelola pemerintahan yang clean government, good governance dan/atau open governance. Pada akhirnya, akan terbangun legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan berkuasa. Rakyat wajib memberikan pandangan-pandangannya perihal kebijakan dan peraturan yang dibuat Pemerintahan dan DPR.

Sudah sangat jelas, Pasal 5 UUP3 menyatakan membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi antara lain asas keterbukaan. Penjelasan asas tersebut tegas menyatakan keterbukaan berlaku mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan peraturan perundang-undangan. Tujuan yang ingin dicapai sebetulnya supaya seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat sehingga seluruh tahapan proses harus bersifat transparan dan terbuka serta partisipatif. Selain itu, Pasal 96 ayat (1) dan ayat (4) juga tegas menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan untuk itu pemerintah harus setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sayangnya, Pemerintah masih lalai dalam hal ini.

Pada hal, membaca Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tidak ditemukan pernyataan bahwa informasi RUU merupakan informasi rahasia negara atau yang dikecualikan untuk umum. Lalu, atas dasar apa Pemerintah menutup informasi RUU Omnibus law? Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi karena hal tersebut akan menyalahi prinsip demokrasi partisipatif. Kita semua tahu, suatu keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR berlaku erga omnes. Kita tahu bahwa tiap keputusan negara ada konsekuensi recht fictie yang berarti semua orang dianggap tahu hukum. Bagaimana mungkin kita bisa mematuhi sesuatu yang kita sendiri tidak dipahami juntrungannya?

Karena itu memperjuangkan ketidakberlakuan RUU Omnibus law wajib hukumnya. Pemerintah harus menyadari bahwa rakyat adalah bagian penting dalam negara, maka jangan berjalan sendiri. Presiden dalam banyak kesempatan menyampaikan Omnibus law dibuat untuk rakyat sehingga harapannya agar dapat diselesaikan segera. Bahkan terbaru target Omnibus law rampung dalam 100 hari kerja. Namun, yang kita tidak boleh lupa ialah Omnibus law ini satu peraturan yang sungguh sangat besar dan dahsyat dampaknya.

Kita tidak boleh menyepelekan harmonisasi sekitar 79 UU dan 1.229 pasal ke dalam satu payung hukum saja. Kita harus belajar dari bagaimana perubahan revisi UU KPK yang memakan waktu hanya sekitar 12 hari. Pasca revisi terjadi perubahan atau pergeseran yang signifikan dalam pemberantasan korupsi Indonesia. UU KPK itu secara praktikal tidak bertaji menjerat pelaku korupsi sehingga lubang impunitas kembali menganga. Pada hal sebelumnya, pelbagai potensi masalah telah disuarakan publik dengan meminta penghentian proses revisi. Dalam Omnibus law adalah petunjuk yang sama. Tujuan Presiden sangat baik, tetapi itu saja tidak cukup.

Tidak boleh tergesa-gesa karena Omnibus law berisi hal yang substansial. Kali ini, kita tidak boleh kalah seperti dalam drama revisi UU KPK. Persoalan prinsipil dari sisi lingkungan, ketenagakerjaan, hingga penegakan hukum terdampak Omnibus law harus menjadi konsentrasi penuh. Kalau kita sekilas membikin perbandingan, sebetulnya yang hendak diharmonisasi dalam Omnibus law ini sudah ada undang-undang sektoral untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat selama ini terkait persoalan-persoalan di atas. Undang-undang Ketenagakerjaan sebagai contoh, masih menghormati buruh dengan memberi upah minimum dan hak-hak ketenagakerjaan yang kini terancam dihilangkan dalam Omnibus law.

Begitu pula, pelaku perusak lingkungan dihukum pidana supaya ada detterent effect. Namun, Omnibus law ini seperti memangkas atau menggampangkan masalah yang ada dengan dalil investasi. Menurut penulis, publik sangat rasional dan tidak menolak perubahan. Deretan pasal Omnibus law harus memancarkan maksud sebenarnya. Apakah Omnibus law akan menjadi baik secara substansi atau malah memburuk? Kita perlu duduk bersama untuk membongkar nilai di dalamnya.

Semoga DPR tidak terburu-buru dalam membahas Omnibus law ini, tetapi membuka pintu keterlibatan masyarakat. Menurut penulis, ini juga momentum bagi DPR untuk kembali mendudukan marwahnya sebagai lembaga perwakilan rakyat lagi setelah kegagalannya dalam revisi UU KPK.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Donasi