Revisi UU KPK yang dikhawatirkan akan menghambat kinerja pemberantasan korupsi telah terbukti kini. Dalam dua peristiwa Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pekan pertama tahun 2020 ini, KPK tidak mampu bertindak menggunakan kewenangan hukumnya melakukan penggeledahan dan penyitaan guna kepentingan pembuktian. KPK tumpul melancarkan aksi geledah dan sita terhadap orang atau benda sebagaimana terhadap kantor DPP PDIP dan khususnya lagi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku yang diduga terkait perkara rasuah.
OTT pertama dilakukan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada Selasa, 7 Januari 2020. Saiful ditetapkan tersangka bersama Kadis PU Bina Marga dan SDA Sidoarjo Sunarti Setyaningsih, PPK di Dinas PU Bina Marga dan SDA Sidoarjo Judi Tetrahastoto, dan Kabag ULP Sanadjihitu Sangaji karena diduga menerima suap untuk memenangkan pemberi suap dari pihak swasta dalam proyek infra-struktur di Kab. Sidoarjo. Ibnu Ghopur dan Totok Sumedi disebut KPK sebagai pemberi suap.
Sedangkan, OTT kedua berhasil menjerat Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan pada Rabu, 8 Januari 2020. Wahyu diduga menerima suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari PDIP. Ia ditersangkakan bersama mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina sebagai penerima suap. Sedangkan, Saeful bersama-sama dengan Harun Masiku sebagai pemberi suap.
Tidak Diakomodir
Secara khusus, kasus suap Wahyu Setiawan dapat dikatakan terjadi karena ada kepentingan yang tidak diakomodir. Kepentingan dimaksud milik Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR PAW pasca meningalnya Nazarudin Kiemas. Kiemas merupakan pemilik suara terbanyak di daerah pemilihan Sumatera Selatan I pada Pemilihan Legislatif 2019 lalu.
Sayangnya, menurut peraturan yang ada, PAW Kiemas jatuh pada calon anggota DPR yang memperoleh suara sah terbanyak berikutnya dari Parpol yang sama dan Dapil yang sama. Sederhananya, KPU bakal menetapkan pemilik suara kedua terbanyak, dalam hal ini KPU telah menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Kiemas, apalagi suara Harun hanya di posisi kelima.
Namun Harun bersama PDI Perjuangan lebih menginginkan dirinya bukan Riezky. Tiga permohonan sudah dilayangkan ke KPU soal preferensi Parpol akan Harun. Namun, KPU tetap pada pendirian dan keputusannya sehingga upaya Harun sia-sia. Tak putus harapan, Harun memberanikan diri mencari peruntungan lewat menyuap Wahyu dengan harapan keputusan tersebut bisa diubah. Barang bukti suap Wahyu senilai Rp 600 juta diamankan KPK. Angka ini selisih Rp300 juta dari harga yang ditawarkan Wahyu sebelumnya yakni Rp900 juta.
Tiga surat permohonan itu secara resmi ditandatangani Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDI Perjuangan. Hasto disinyalir turut terseret dalam pusaran kasus. Bukti-bukti mengarah kepadanya. Karena itu, penyidik beralih mengejar Hasto. Sayangnya, ditengarai Hasto telah dilindungi pihak tertentu.
Begitu gamblang menyimpulkan penegakan hukum korupsi pincang pasca berlakunya revisi UU KPK dilihat dari dua perkara OTT ini. Kepincangan di sini ialah suatu kondisi tidak adanya keseimbangan untuk menegakan hukum secara optimal. Pertama, kinerja penyidik KPK mengalami perlambatan. Usai OTT Wahyu, meski penyidik hanya berniat menyegel kantor DPP PDI Perjuangan dengan memasang KPK line pun tidak bisa karena tidak dilengkapi surat izin. Hal yang sama, apalagi terhadap upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan. Syamsudin Haris, salah satu Dewan Pengawas membantah mereka tidak segera memberi izin. Menurutnya, justru Dewan Pengawas menunggu sejak tanggal 9 Januari, tetapi izin baru diajukan KPK pada Jumat, 10 Januari malam hari.
Bagaimanapun juga, Penulis menilai penyidik dan Dewan Pengawas dalam hal ini berfokus pada birokrasi perizinan sehingga membikin repot dan bertele-tele eksekusinya. Semua ini sebagai akibat berlakunya UU KPK hasil revisi (UU No. 19 Tahun 2019), yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pengawas masuk dalam ranah pro justitia. Idealnya, pro justitia dilakukan hanya oleh aparat penegak hukum, bukan Dewan Pengawas. Menurut UU, Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Sejak awal, penolakan terhadap pembentukan Dewan Pengawas dan kewenangannya telah disuarakan dengan alasan utama yakni kewenangan yang diberikan masuk dalam ranah projustitia sehingga dikhawatirkan menghambat proses penegakan hukum. Dengan wewenang itu, Dewan Pengawas bisa dikatakan paling berwenang menentukan masa depan suatu perkara. Kini keraguan itu terbukti. Selain tentu saja, Dewan ini dinilai tidak sesuai dengan konsep lembaga negara independen.
Kedua, rentang waktu yang lama rentan menyebabkan hilangnya barang bukti. Lagi-lagi rentang waktu dipengaruhi proses perizinan sehingga upaya paksa tidak segera dilakukan. Penggeledahan dan penyitaan di DPP PDIP belum juga dilaksanakan hingga hari ini tanggal 14 Januari 2020.
Siapa yang menjamin bukti-bukti yang mungkin bisa membuka tabir korupsi elektoral lebih masif lagi raib? Atau, siapa yang bisa menjamin, skenario lain justru diciptakan oknum atau pihak tertentu untuk menghilangkan bukti-bukti atau melindungi diri? Pelajaran paling penting dari keteledoran ini yakni kaburnya Harun ke luar negeri.
Padahal UU pra revisi memberikan keleluasaan bagi penyidik untuk mengeksplorasi wilayah dan orang yang terindikasi berkaitan dengan suatu perkara dalam waktu yang relatif singkat dan tuntas. Terlebih lagi dalam suatu OTT, UU tersebut membantu mengefektifkan penyidik memperoleh bukti dan menciduk pelaku atau pihak terkait yang diduga turut terlibat untuk dimintakan pertanggungjawaban hukum.
Ketiga, kepincangan selanjutnya ialah adanya dugaan impunitas. UU KPK oleh kaum pro revisi diproyeksikan menjadi suatu aturan yang mencegah kesewenang-wenangan KPK. Ternyata keliru, UU ini praktiknya jelas-jelas melindungi oknum tertentu. Sebagaimana informasi yang beredar luas, penyidik KPK berusaha meringkus Hasto hingga ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Penyidik justru diduga ditangkap oleh sekelompok polisi bahkan dipaksa melakukan tes urine. Seolah-olah mereka ini terduga kejahatan narkotika.
Apa yang dilakukan petugas keamanan itu, barangkali menghambat proses hukum dan tentu saja melindungi Hasto. Di samping itu, menjadi pertanyaan tersendiri pula, mengapa Hasto tidak saja ditetapkan sebagai tersangka jika bukti permulaan telah cukup keterlibatannya dalam kasus ini? Apakah telah berlangsung impunitas dalam kasus ini dilakukan baik oleh aparat keamanan juga Pimpinan KPK? Semoga tidak.
Pembatalan UU
Menurut hemat Penulis, solusi terbaik untuk mencegah kegagalan penegakan hukum korupsi dalam jangka panjang ke depan berkaca dari dua praktik OTT ini adalah pembatalan UU No. 19 Tahun 2019. Pembatalan UU bisa dilakukan melalui dua hal. Pertama, Perppu KPK. Perppu yang menjadi wilayah kekuasaan Presiden bisa dilakukan untuk jangka pendek. Oleh karena, Perppu akan melalui mekanisme persetujuan DPR. Kedua, pembatalan melalui mekanisme uji materiil.
Saat ini, UU tersebut sedang dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ada begitu cukup alasan bagi majelis hakim konstitusi untuk membatalkan UU tersebut. UU ini lahir dari kesewenang-wenangan pembentuk UU yakni Pemerintah dan DPR untuk melindungi diri dari jeratan rasuah. Alih-alih untuk membenahi KPK, malah mengakibatkan kesemrawutan penegakan hukum. Penulis dalam tulisan berjudul “Perppu yang Menyelamatkan” telah menjabarkan kekurangan dari revisi UU KPK. (Baca: Perppu yang Menyelamatkan)
Pertama, dari sisi konteks politik, revisi UU KPK semacam proyek kolektif DPR dan Pemerintah dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita. Kedua, secara norma prosedur pembentukan undang-undang, sejumlah pelanggaran telah terbukti dilakukan pembentuk undang-undang sendiri yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum.
Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain: KPK bukan lembaga independen; pegawai KPK berstatus ASN; Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas; Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum; dan seterusnya.
Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda. Ditinjau dari sisi keabsahan filosofis, yuridis dan sosiologis dari pada pembentukan undang-undang, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Dari sisi filosofis, UU KPK baru tidak pada ruh spirit antikorupsi yang tinggi. Dan, terkesan persoalan korupsi mudah diselesaikan dengan cara-cara biasa.
Secara yuridis, dengan berkaca pada problematika prosedur dan substansinya, kita bisa menarik benang merah, UU ini telah didesain untuk tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi secara holistik. Terakhir, pada tataran sosial kemasyarakatan (sosiologis), UU ini bukan jerih payah rakyat tetapi elite. Rakyat tidak membutuhkan UU yang koruptif dan berpihak pada perlindungan penguasa. Aksi #ReformasiDikorupsi bukti atas hal tersebut.
Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award
Tulisan ini terbit di Hukumonline.com edisi 22 Januari 2020, dengan judul “UU KPK Terbukti Menghambat Kinerja Pemberantasan Korupsi”