Mengecawakan tapi tidak mengejutkan. Begitulah kalau kita melihat tuntutan pemidaan terhadap terdakwa kasus suap dan pencucian uang, Pinangki Sirna Malasari. Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung ini hanya dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Sebelum berangkat lebih jauh, sekadar mengingatkan saja bahwa tuntutan denda Rp500 juta Pinangki sama dengan tuntutan denda kepada guru honorer Baiq Nuril dalam kasus Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE beberapa waktu lalu. Yang menarik, JPU bekerja keras memperjuangkan kepentingan pelaku pelecehan seksual sampai ke Mahkamah Agung dan diputus 6 bulan penjara dan denda sebagaimana di atas. Padahal secara faktual Nuril adalah korban dan penerapan norma tersebut keliru. Hal mana telah diputus vrispraak oleh PN Mataram.
Contoh kecil ini untuk menggambarkan ironi dalam penegakan hukum kita. Bahwa JPU mati-matian dalam kasus yang sebetulnya secara normatif harus dituntut bebas atau mengesampingkan prosesnya sejak awal. Kerja keras semacam itu tidak terlihat dalam tuntutan Pinangki terkait kasus korupsi tingkat tinggi.
Kurang Pantas
Dari sudut keadilan masyarakat, kepentingan pemulihan wajah penegakan hukum, hingga citra profesi, rasanya tuntuan 4 tahun dan denda Rp500 juta masih kurang pantas. Mengapa? Pertama, tuntutan pidana itu termasuk ringan atau rendah. Seharusnya kalau dilihat dari jenis kejahatan dan konstruksi normanya, Pinangki bisa dituntut berat atau maksimal.
Kedua, bahwa Pinangki selaku penegak hukum menggunakan wewenang jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi sekaligus orang lain. Ia justru menjadi pelaku lapangan aktif yang menjalankan rencana misi Peninjauan Kembali dari terpidana kasus korupsi kelas kakap (baca: Djoko Tjandra).
Pengabaian yang Krusial
Pembacaan requisitoir JPU itu patut disayangkan. Secara filosofis-yuridis, JPU seyogianya mewakili kepentingan rakyat/negara dan hukum. Namun, terlihat jelas bahwa JPU mengabaikan beberapa hal yang krusial yaitu status terdakwa sebagai aparat penegak hukum, kerusakan sistem hukum, dan rasa keadilan masyarakat dalam merumuskan tuntutan ini.
Penuntutan pidana yang ringan tersebut mengesankan satu hal bahwa JPU tidak serius dan cenderung terbebani. Hal ini memantik pertanyaan mendasar, mengapa kejahatan yang begitu besar dengan pelaku penegak hukum hanya dituntut rendah? Jawabanya bisa bermacam-macam. Mulai dari spekulasi karena terdakwa adalah sejawat, konflik kepentingan, titipan, ada udang dibalik batu, dan seterusnya.
Pengadil harus Berani
Tuntutan Pinangki tersebut berpotensi menjadi petaka bagi masa depan pemberantasan korupsi terlebih terhadap kasus-kasus besar seperti ini. Kita semua tahu bahwa mau atau tidak mau, suka atau tidak suka tuntutan pidana acapkali berperan sebagai landasan penjatuhan vonis hakim selain dakwaan. Kendatipun majelis hakim tetap dapat memutuskan berbeda dari tuntutan pidana tersebut.
Dalam kasus Novel, pelaku adalah anggota Polri. Penyelidik dan penyidik adalah Polri. Dan, penuntut adalah kejaksaan. Penyerangan terhadap Novel sebagai aparat penegak hukum oleh aparat tidak direspon serius melalui dakwaan hingga tuntutan pidana di tangan JPU. Bahkan kita dibuat tercengang, tatkala JPU hanya menuntut para pelaku dengan hukuman 1 tahun penjara dengan alasan yang konyol yakni tidak sengaja menyiram mata Novel. Terlepas dari apakah keduanya merupakan korban dari sandiwara penuntasan kasus yang membusuk selama 3 tahun tersebut atau tidak.
Kasus Pinangki, praksis semuanya dikerjakan pihak kejaksaan. Kali ini alasan JPU karena Pinangki adalah ibu dari seorang anak berusia 4 tahun. Kita tentu prihatin karena buah hati kecil itu barangkali sudah terbebani dengan situasi ini. Namun, ada pula banyak kasus di mana ibu-ibu lain harus mengurusi anaknya di penjara. Anak-anak mereka terlantar karena proses hukum dan seterusnya, di mana mungkin saja hukum telah berlebihan menutup mata dan kupingnya.
Harapan kepada hakim kali ini tentu berbeda. Sebagai penengah, mahkota lembaga kehakiman sepatutnya adalah independensi dan imparsialitas. Kasus ini telah menjadi ujian penting sistem peradilan pidana yang berintegritas. Sistem peradilan pidana yang berintegritas berarti meletakan prinsip profesionalisme, independensi, dan imparsialitas di dalam setiap tahapan proses hukum.
Menurut hukum, hakim harus memutus berdasarkan bukti-bukti yang cukup dan keyakinannya. Bukti-bukti kejahatan semuanya sudah tersaji di hadapan meja hijau. Jika terbukti bersalah, dihukum sesuai derajat kejahatan dengan memperhatikan faktor pemberatan pidana karena aparat penegak hukum, motif kejahatan, hingga dampak kasus bagi bangsa dan negara khusus sektor penegakan hukum. Dari konstruksi pasal UU Tipikor dan UU TPPU yang dipergunakan, Pinangki paling tidak dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal yaitu 20 tahun penjara.
Jangan sampai peradilan pidana yang berintegritas runtuh karena ketidakberanian pengadil. Dampak keberanian tersebut ialah pulihnya wajah penegakan hukum dan kepercayaan publik. Kini, segenap rakyat Indonesia menunggu ketukan palu majelis hakim. Mari kita nantikan apakah majelis hakim mencegah petaka itu. Atau, sebaliknya menciptakan secercah harapan di tengah gersangnya vonis monumental hari ini.
Penulis: Korneles Materay