Indonesia merdeka sudah 74 tahun. Usia yang sudah cukup matang dalam menata kehidupan berbangsa dan bertanah air. Namun, sampai detik ini tujuan kita bernegara belum jua terwujud. Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Api masih jauh dari panggang!
Salah satu akar persoalan, massifnya perilaku koruptif. Menggarog uang negara dari seluruh lembaga kekuasaa. Baik eksekutif, legisatif dan paling memiriskan kekuasaan yudikatif. Ia seharusnya mengadili, justru ikut menyeburkan diri dalam kubangan korupsi. Contohnya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap oknum Jaksa di Yogyakarta baru-baru ini.
Olehnya, setiap suksesi Kepala Negara. Visi pemberantasan korupsi menjadi agenda prioritas. Tak terkecuali masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Melalui kristalisasi Nawa Cita pada poin (1) menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hokum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Poin (5) membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratif dan terpercaya. Kedua poin Nawa Cita dari sembilan poin tersebut akan terealisasi, bila pemberantasan korupsi konsisten dilakukan oleh pemerintah.
Upaya Menyabotase
Berhasil tidaknya pemberantasan korupsi yang dilakukan Pemerintah, sangat ditentukan oleh hukumnya sendiri dan penegak hukumnya. Dalam teori sistem hukum yang diperkenalkan Lawrence M Friedman, kedua variabel tadi lazim disebut legal substance dan legal structure.
Upaya menyabotase dari segi legal substance terkonfirmasi dari “pemaksaan” mengsahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dimana Dewan Perwakilan Rakyat mendorong RKUHP disahkan pertengahan bulan September 2019. RKUHP yang telah memasukkan sejumlah tindak pidana khusus, yang selama ini diatur tersendiri dalam undang-undang.
Khusus delik korupsi dalam RKUHP mengalami perubahan yang sangat signifikan. Alih-alih pro pemberantasan korupsi, malah terihat jelas pro penggarong uang negara. Pertama, jenis-jenis pidana tambahan. Adapun pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/ atau tagihan, pengumumamn putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat (Vide: Pasal 66 ayat 1 RKUHP).
Sangatlah jauh berbeda dengan pidana tambahan yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yakni perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana dari tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Pidana tambahan sebagaimana Pasal 18 UU Nomor 13 Tahun 1999 tentunya sangat pro pemberantasan korupsi. Mulai dari menganut konsep pengembalian aset (asset recovery) terlihat pada pembayaran uang pengganti dan luasnya makna perampasan barang. Di saat yang sama juga menimbulkan efek jera terhadap koruptor karena pencabutan hak termasuk penghapusan hak yang dapat diberikan kepada pemerintah kepada terpidana. Artinya adalah penghapusan hak pemberian remisi bisa dikenakan kepada terdakwa, melalui putusan pengadilan.
Akan tetapi, bila RKUHP jadi disahkan pertengahan bulan September, maka pidana tambahan tidak berlaku bagi pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 13 UU Tipikor. Sebab telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal-pasal tersebut mengacu ke tindak pidana korupsi dalam KUHP baru. Walhasil KPK akan tunduk pada jenis-jenis pidana yang diatur dalam Buku Kesatu KUHP tersebut.
Kedua, menghapus dan meringankan pidana denda. Ancaman pidana denda pada sejumlah pasal yang dicabut dalam UU Tipikor karena dimasukkan ke dalam RKUHP mengalami perubahan. Yakni dihapusnya denda minimum pada Pasal 11 UU Tipikor dan makin ringannya pidana denda minimum bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, menjadi denda paling sedikit 10 Juta. Padahalnya sebelumnya denda paling sedikit 200 juta dan 50 juta.
Berikutnya, upaya menyabotase dari segi legal structure. Operasi senyap melumpuhkan KPK dengan cara meloloskan capim KPK yang memiliki track record buruk. Mulai dari ketidakpatuhan dalam pelaporkan LHKPN, dugaan menerima gratifikasi, dugaan melakukan pelanggaran kode etik saat bertugas di KPK, sampai meloloskan seseorang yang pernah menghambat kerja KPK. Anehnya lagi Pansel KPK tetap ngotot bahwa 20 nama yang lolos sangat dibutuhkan oleh KPK. Suatu ironi dalam pemberantasan korupsi.
Presiden Harus Bersikap
Pada kondisi darurat pemberantasan korupsi. Maka Presiden Jokowi selaku kepala pemerintahan harus bersikap tegas. Nawa Cita pada poin (1) dan poin (5) akan terealisasi. Caranya, Pertama Presiden kembali menunda mengsahkan RKUHP atas dasar tidak pro pemberantasan korupsi. Atau menghapus Bab Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP baru.
Kedua, mengevaluasi Pansel KPK kalau perlu melakukan perombakan. Atas dasar pertimbangan 20 capim KPK hasil seleksi, masih ada beberapa yang memiliki rekam jejak buruk tapi diloloskan. Buruknya hasil seleksi, disebabkan karena Pansel KPK memiliki konflik kepentingan. Mulai dari tenaga ahli lembaga penegak hukum lain sampai ada pansel berstatus pengacara perkara korupsi, yang kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena bagaimana mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu kotor.
JUPRI, S.H, M.H. Dosen Unisan & Pengurus DPD KNPI Prov. Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo
Tulisan ini pertama kali terbit di Gorontalo Post edisi 29 Agustus 2019