Oleh: Korneles Materay, Peneliti BHACA
KELANGKAAN minyak goreng karena ulah mafia. Orang pertama yang menyebutnya adalah Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi di hadapan wakil rakyat pada 17 Maret 2022. Ia curhat tidak mampu menghadapi mafia tersebut. Akan tetapi, ia juga menyatakan akan ada penetapan tersangka.
Tak berselang lama, Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangka. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI, Indrasari Wisnu Wardhana ditetapkan sebagai tersangka tindakan melanggar hukum dalam Pemberian Fasilitas Ekspor Minyak Goreng Tahun 2021-2022. Mereka adalah Indrasari Wisnu Wardhana selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag), Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), dan Picare Tagore Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.
Tragisnya, Indrasari justru pembisik Lutfi bahwa akan ada tersangka. Para tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan permufakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam penerbitan izin ekspor; dikeluarkannya izin ekspor pada eksportir yang harusnya ditolak izinnya karena tidak memenuhi syarat, yaitu mendefinisikan harga tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri; dan tidak mendistribusikan minyak goreng ke dalam negeri sebagaimana kewajiban dalam DMO, yaitu 20 persen dari total ekspor. Belakangan ekonom Lin Che Wei juga menyandang status tersangka pada 17 Mei 2022.
Harapan publik kelihatannya ada untuk penegakan hukumnya. Maka, harus dikawal oleh semua pihak. Begitu besarnya ekspektasi publik, proses hukum ini patut untuk memperhatikan beberapa hal.
Pertama, apakah mungkin dalam sekejap, lima orang bisa mengendalikan seluruh Indonesia? Pertanyaan ini sebetulnya hendak menggali aktor-aktor dalam pusaran kasus. Pada derajat mana peran mereka, apakah aktor intelektual atau pelaku lapangan. Dalam konteks hukum pidana dikenal adanya penyertaan (deelneming). Bentuk-bentuk penyertaan dijelaskan di Pasal 55-56 KUHP. Singkatnya, dalam konteks ini, penegak hukum harus bisa membongkar siapa yang melakukan (pleger), yang menyuruh lakukan (doen pleger), yang turut melakukan (mede pleger), yang sengaja membujuk (uitlokker), dan pembuat pembantu (medeplichtige).
Hal ini penting dalam rangka mengungkap mafia karena biasanya ada peran-peran dari setiap anggota mafia tersebut. Tidak semua menjadi designer kejahatan, ada juga eksekutornya. Kita tahu bahwa kejahatan korupsi tidak pernah dilakukan oleh satu orang, tetapi berkelompok. Keterangan kelima tersangka yang ada akan sangat menentukan signifikansi pengungkapan mafia minyak goreng.
Tidak semua menjadi designer kejahatan, ada juga eksekutornya. Kita tahu bahwa kejahatan korupsi tidak pernah dilakukan oleh satu orang, tetapi berkelompok. Keterangan kelima tersangka yang ada akan sangat menentukan signifikansi pengungkapan mafia minyak goreng.
Kedua, apakah hanya sebatas peran orang per orangan atau juga melibatkan sumber daya korporasi. Kejahatan korporasi pada dasarnya bertujuan memberikan keuntungan bagi korporasi dan insan di dalamnya. Dilihat dari profil pelaku, ada keterlibatan pengawas dan top level management/middle level management korporasi. Profil para pelaku juga merepresentasikan perusahaan yang bergerak di bidang produksi minyak sawit. Patut diduga peran yang terstruktur dan sistematis dengan sumber daya yang masif mengendalikan pasar sehingga memungkinkan kelangkaan tersebut.
Perundang-undangan di Indonesia sudah bisa menjerat korporasi. Aturan jeratan pidana bagi korporasi yang melakukan korupsi sudah ada dalam Pasal 20 ayat (1) “dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya;” Ayat (2): “tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”
Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 3 Perma 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pasal 4 Perma menjelaskan bahwa kesalahan korporasi dapat dinilai dari tiga hal: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. Perma juga menjelaskan dalam Pasal 6 perihal pertanggungjawaban grup korporasi.
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi dengan melibatkan induk korporasi dan/atau korporasi subsidiari dan/atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran masing-masing. Perma ini bisa menjadi landasan dan kepastian hukum menjerat korporasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan pengurus, juga meliputi penerima manfaat (beneficial owners).
Ketiga, pidana maksimal dan kerugian negara. Tidak berlebihan jika menduga bahwa kasus ini sebenarnya sudah direncanakan. Betapa tidak, krisis minyak goreng muncul setelah adanya penetapan harga eceran tertinggi (HET) Permendag No. 6 Tahun 2022 pada 26 Januari 2022. Kebijakan ini bertujuan menjaga stabilitas dan kepastian harga serta keterjangkauan harga minyak goreng sawit di tingkat konsumen. Dalam konsep hukum pidana ini masuk dalam dolus premeditatus.
Aspek lain yang tidak boleh terlupakan ialah mengenai pengembalian kerugian negara. Setidaknya, pemerintah harus menggelontorkan dana sekitar Rp 5,9 triliun untuk bantuan langsung tunai kepada masyarakat. Ini kerugian bagi negara akibat penyimpangan tata kelola minyak goreng. Tentu saja, kepastian kerugian negara akan diketahui melalui perhitungan resmi BPK. Proses hukum kasus ini kelak harus bisa memulihkan kerugiaan tersebut.
Pada akhirnya, kasus ini merupakan pertarungan negara atas mafia minyak goreng. Agar menang, Kejagung sebagai representasi negara harus bisa memberantasnya sampai ke akar-akar. Kejagung harus komprehensif, tegas dan berani untuk mengambil pelbagai tindakan yang dibenarkan hukum untuk membongkarnya. Tidak boleh ada pandang bulu, apalagi menyisakan syak wasangka publik.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pertarungan Negara atas Mafia Minyak Goreng”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/05/28/09575731/pertarungan-negara-atas-mafia-minyak-goreng?page=all#page2.