Penumpang gelap (free rider) selalu ada disetiap momemtum. Disetiap peristiwa, akan ada yang berusaha mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadinya sendiri. Bahkan dimasa pergolakan revolusi kemerdekaan, tindakan mengambil keuntungan untuk kepentingan diri sendiri ini sudah sering ditemui. Ajip Rosidi (2006), menggambarkan bagaimana roman-roman Pramoedya Ananta Toer (Di Tepi Kali Bekasi) dan Mochtar Lubis (Maut dan Cinta) bercerita tentang orang-orang yang mengambil keuntungan dari kekayaan negara bagi dirinya sendiri ketika yang lain berjuang mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara[1].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesenangan untuk mengambil keuntungan ini disebut sebagai opurtunisme, yakni paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu[2]. Dalam dunia politik, diksi “kaum opurtunis” disematkan kepada orang-orang yang gemar menyelamatkan diri sendiri, pandai berkamuflase, tidak punya prinsip, inkonsisten, dan tak punya rasa malu mengakui jerih payah orang lain.
Lantas di tengah bangsa Indonesia berjibaku melawan pandemik virus corona atau Covid-19, apakah ada penumpang gelap? Jika dilihat dari perspektif gerakan anti korupsi, maka potensi munculnya penumpang gelap ini sangat terbuka lebar. Setidaknya ada dua regulasi yang bisa jadi digunakan oleh para penumpang gelap ini dalam melancarkan aksi ambil untung.
Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancama Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (PERPPU Nomor 1 Tahun 2020).
Pemerintah menggelontorkan anggaran untuk mengatasi Covid-19 melalui APBN 2020 sebesar 405,1 triliun. Ini tentu jumlah yang tidak sedikit. Kalau penggunaannya tidak diawasi dengan ketat, maka ruang tindak pidana korupsi terbuka lebar. Keharusan kita untuk merespon pandemik corona, seharusnya tidak menghalangi upaya kita untuk mengawasi anggaran negara. Anehnya, PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, justru mengatur ketentuan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Pasal 27 ayat (1) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 tersebut menyatakan bahwa, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara“. Frase “bukan merupakan kerugian negara” ini, jelas adalah bentuk pengingkaran terhadap semangat pemberantasan korupsi.
Ini tentu saja bertolakbelakang dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mengatur mengenai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, yang salah satunya adalah terhadap korupsi dana bencana alam.
PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan secara eksplisit bahwa pembiayaan yang dikeluarkan bukanlah bagian dari kerugian keuangan negara, tentu akan menjadi pintu masuk bagi penumpang gelap. Kita paham jika ini adalah situasi dan kondisi darurat. Kerena itu, maka memungkinkan pengaturan khusus yang terkadang betentangan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya (conflict of norm). Tapi ini perkara kejahatan luar biasa yang jika katup-nya dibuka, maka akan menyebabkan kebocoran dimana-mana.
Dan mendeklarasikan jika segala pembiayaan yang timbul, bukan merupakan kerugian negara, hanya akan memancing para penumpang gelap untuk berdatangan. Biaya yang besar dalam penanganan pandemik virus corona ini, seharusnya membuat kita lebih mawas dan waspada, bukan justru sebaliknya. Berprasangka buruk tentu tidak boleh, tapi juga jangan sampai naif untuk mengawasi perbuatan curang di tengah bencana melanda.
Kedua, rencana revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP Nomor 99 Tahun 2012).
Meski pada akhirnya konon niat tersebut urung dilakukan, tapi rencana revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012 ini kadung menjadi isu kontroversial. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, memunculkan wacana revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012 tersebut seiring dengan rencana pembebasan 30.000 narapidana dalam rangka mencegah penyebaran Corona atau Covid-19 di lembaga pemasyarakatan diseluruh Indonesia.
Pembebasan narapidana ini sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Selain pembebasan 30.000 narapidana sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Corona, Yasonna juga mewacanakan pembebasan para koruptor. Pembebasan ini diperuntukkan kepada narapidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas, karena dianggap sebagai usia yang rentan tertular pandemik virus Corona.
Dari 4.789 napi koruptor yang ada diseluruh lembaga pemasyarakatan, 300 diantaranya berpotensi dibebaskan jika menggunakan syarat umur ini. Namun rencana ini terkendala oleh PP Nomor 99 Tahun 2012, yang memberlakukan syarat tertentu terhadap pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat, bagi narapidana korupsi, narkotika, dan terorisme.
Karena itulah, Yasonna nampak memiliki intensi atau niat yang begitu besar untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 ini, untuk melapangkan jalan pembebasan bagi para koruptor yang mendekam dibalik jeruji. Ini bukan kali pertama Yasonna mewacanakan revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012. Jika kita melacak rekam jejak digital, usulan ataun wacana revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012, sudah dilontarkan sekitar 4-5 kali oleh Yasonna.
Padahal selama ini, vonis terhadap para koruptor terbilang sangatlah ringan. Sungguh sangat aneh jika kemudian masih saja ada upaya untuk merubah regulasi demi menyenangkan para koruptor. Dan ini sudah berlangsung cukup lama. Zainal Arifin Mochtar (2018) meyebut jika berbagai fasilitas remisi dan pembebasan bresayarat yang diberikan kepada banyak koruptor, bahkan sering kali dengan melanggar aturan, sudah memberikan perlakuan yang menyenangkan bagi para koruptor[3]. Alih-alih mencoba memberika efek jera (deterrent effect), berbagai kebijakan Pemerintah, baik yang berlaku sekarang maupun yang akan diberlakukan kedepannya, justru cenderung menguntungkan para koruptor.
Rencana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012, tentu saja menjadi kabar gembira bagi para koruptor, namun menjadi kabar duka bagi publik. Karena itu, menjadi hal yang wajar ketika rencana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 ini mendapatkan reaksi penolakan dari kalangan masyarakat, terutama pegiat anti korupsi. Pembebasan narapidana dengan embel-embel alasan kemanusiaan, tentu akan menjadi angin segar bagi para penumpang gelap.
Siapa lagi kalau bukan para koruptor penjarah uang rakyat itu, jangan-jangan niat untuk membebaskan atau setidak-tidaknya meringankan hukuman para koruptor ini, adalah sesuatu yang memang sudah direncakan jauh hari sebelumnya. Dan pandemik virus corona ini, hanya dijadikan alasan dan momentum untuk mengeksekusi rencana yang mengusik rasa keadilan masyarakat tersebut
Herdiansyah Hamzah adalah Dosen dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman serta Kawan Bung Hatta Samarinda. Tulisan ini pertama kali terbit di Prokal.com dengan judul “Korupsi dan Penumpang Gelap Pandemik” edisi 15 April 2020
[1] Ajib Rosidi. 2006. Korupsi dan Kebudayaan, Sejumlah Karangan Lepas. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya. Hlm.24.
[2] Sumber : https://kbbi.web.id/oportunisme. Diakses pada tanggal 07 April 2020 Pukul 19.16 Wita.
[3] Zainal Arifin Mochtar. 2018. Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi. Yogyakarta : Genta Publishing. Hlm.68.