Hubungi Kami
Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online bersama Peraih BHACA: Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat

Pandemi Covid-19 adalah masalah yang berdampak pada setiap elemen masyarakat, mulai dari adanya aturan baru yang mengadaptasi situasi, perubahan situasi ekonomi, hingga terujinya rasa kemanusiaan untuk saling membantu. Berbagai inisiatif dalam merespons pandemi dilakukan, baik itu oleh negara, sektor swasta, hingga masyarakat akar rumput. Namun, bagaimana dan apa peran masing-masing sektor masyarakat ini untuk memastikan akuntabilitas dalam kebijakan, inisiasi, gerakan, maupun program yang merespons pandemi?

Bung Hatta Anti-Corruption Award mengundang Heru Pambudi (Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, Peraih BHACA 2017), Alissa Wahid (Koordinator Jaringan Gusdurian), dan Karaniya Dharmasaputra (Presiden Direktur OVO, Peraih BHACA 2003) dalam diskusi berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat”

Merespons pandemi Covid-19, Jaringan Gusdurian yang dikoordinasi oleh Alissa Wahid menargetkan bantuan untuk pekerja sektor informal dengan menggerakkan anggota jaringan yang mampu mendistribusikan bantuan hingga menyentuh akar rumput. Untuk memastikan akuntabilitas distribusi bantuan sosial, Jaringan Gusdurian membentuk lembaga formal bernama Yayasan Gusdurian Peduli dan menerapkan mekanisme audit serta pelaporan pengumpulan dan penggunaan keuangan masing-masing program secara terbuka. Jaringan Gusdurian juga berkomitmen untuk menekan biaya operasional dengan memberdayakan pekerja informal (seperti ojek pangkalan untuk mendistribusikan bantuan). Alissa Wahid menekankan pentingnya akuntabilitas demi membangun kredibilitas suatu gerakan solidaritas.

Berbicara mewakili elemen pemerintah, Heru Pambudi menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah merespons pandemi, seperti pembebasan fiskal dan cukai untuk beberapa barang demi memastikan ketersediaan alat kesehatan dan bahan pangan, serta mempermudah birokrasi impor untuk instansi seperti rumah sakit atau kampus. Demi memastikan akuntabilitas dan transparansi, Dirjen Bea dan Cukai mengandalkan otomasi dan fasilitas trace and track yang juga dapat dipantau oleh masyarakat. Heru Pambudi melihat bahwa situasi pandemi memberikan peluang untuk membentuk kebiasaan baru seperti mengejar efisiensi tata kelola, penghematan anggaran, dan transparansi birokrasi.

Tidak hanya masyarakat akar rumput saja yang ingin turut membantu, namun juga sektor swasta. Karaniya Dharmasaputra membagikan pengalaman dan pelajaran dari Ovo, Tokopedia, dan Grab melalui pemanfaatan teknologi digital bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan untuk menghimpun dana masyarakat serta mendistribusikan bantuan dengan tetap meminimalkan kontak manusia. Melalui kacamata sektor swasta, Karaniya menggarisbawahi pasal-pasal karet yang meski memiliki semangat antikorupsi namun dapat menjadi alat korupsi baru dan melemahkan peran sektor swasta. Menurut Karaniya, negara dan demokrasi akan kuat jika tiga elemen (negara, masyarakat, dan swasta) dapat bersinergi dengan baik. Situasi baru yang dibentuk oleh pandemi ini memaksa kita untuk melihat dan membuat budaya baru dan sistem baru.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” yang diselenggarakan pada 7 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Berita

Akuntabilitas Penyaluran Bantuan Covid-19 Versi Jaringan Gusdurian

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah, swasta, dan masyarakat berkolaborasi saling membantu warga terdampak pandemi virus corona. Dalam penyalurannya, masih ditemukan ada bantuan yang tidak tepat sasaran. Di beberapa daerah, permukiman elite yang dihuni orang-orang mampu malah mendapat bantuan sembako. Alhasil bantuan itu dikembalikan agar disalurkan kepada mereka yang benar-benar terdampak.

Jaringan Gusdurian turut ambil bagian berkontribusi membagikan paket sembako oleh beberapa platform seperti BenihBaik.com, Kitabisa.com, Gerakan Islam Cinta, OVO, Grab hingga Tokopedia. Lantas bagaimana langkah jaringan Gusdurian ‎agar paket sembako yang disalurkan benar-benar tepat sasaran dan akuntabilitas sehingga dipercaya oleh publik ?

Koordinator Nasional Jaringan GusdurianAlissa Wahid menjelaskan untuk proses pendataan mereka yang layak mendapatkan bantuan sembako, pihaknya mendata sendiri dari lapangan.

“‎Untuk pengambilan data, kami awalnya mencoba bangun hubungan dengan Kementerian Sosial. Kami ingin dapat data terpadu kesejahteraan sosial atau data penerima program PKH. Asumsi kami mereka perlu dibantu, tapi kami analisis di lapangan tidak segampang itu. Banyak pekerja sektor informal yang tidak terdata,” tuturnya dalam diskusi online bersama Bung Hatta Award, Kamis (7/5/2020) malam.

Akhirnya Jaringan Gusdurian ‎memutuskan tidak menggunakan data dari Kementerian Sosial melainkan menggunakan assesmen lapangan dari Jaringan Gusdurian yang ada di 130 kota di seluruh Indonesia.

Dari hasil assemen di lapangan, Alissa Wahid tidak memungkiri banyak temuan-temuan seperti yang kini viral di media sosial yakni rumah layak mendapat stampel keluarga miskin.

“Kami dapati di lapangan banyak kelompok informal tidak terdata oleh pemerintah. ‎Sebagian kami temukan penerima bantuan pemerintah ada kolusi di tingkat lokal. Termasuk rumah yang bangunannya bagus ditempel stiker keluarga miskin. Itu realita di lapangan,” tegasnya.

Lebih lanjut sebagai bagian dari akuntabilitas, Alissa Wahid selalu membuat ‎reporting yang diposting di media sosial baik itu jumlah sembako yang sudah disalurkan hingga kisah-kisah penerima sembako di lapangan.

Reporting berkala ini sangat penting agar masyarakat dan pihak-pihak yang mempercayakan Jaringan Gusdurian menyalurkan bantuan merasa senang karena bantuannya tepat sasaran.

“Kalau kita rajin buat laporan sementara itu menandakan oh, kita serius kerjanya. Termasuk bisa memberitahu ke donator kalau bantuan mereka diberikan ke mereka yang berhak.‎ Saya selalu menekankan pada Jaringan Gusdurian, jaga kredibilitas, ingat amanah publik,” katanya.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Akuntabilitas Penyaluran Bantuan Covid-19 Versi Jaringan Gusdurian, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/05/07/akuntabilitas-penyaluran-bantuan-covid-19-versi-jaringan-gusdurian edisi 7 Mei 2020

Berita

Mantan Komisioner KPK: Omnibus Law Jadi Ancaman Jangka Panjang

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menarik kembali draf Omnibus Law RUU cipta kerja. Menurut Busyro, Omnibus Law hanya menguntungkan investor, tapi tidak melindungi masyarakat pekerja. Hal tersebut disampaikan Busyro dalam diskusi daring bertajuk Covid-19: Problematika Kebijakan & Dilema Antikorupsi Negara, Jumat (1/5/2020).

“Intinya, Omnibus Law ini sebuah ancaman yang berdampak jangka panjang,” kata Busyro.

Busyro khawatir bila pembahasan Omnibus Law dilanjutkan akan mendapatkan reaksi penolakan yang keras dari masyarakat. Dia tak mau penolakan itu berujung pada kekacauan.

Menurut Busyro, perumusan naskah Omnibus Law juga dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa melibatkan masyarakat sipil. Dia mengingat bagaimana Presiden Jokowi bahkan sempat meminta agar pembahasan RUU ini di DPR dapat rampung dalam 100 hari. Menurut dia, itu adalah wujud sikap angkuh seorang pejabat dan antidemokrasi. “Mudah-mudahan ini disadari dengan cara presiden bersedia menarik naskah tersebut dan kemudian diskusi secara terbuka,” kata dia.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam draf RUU Cipta Kerja. Keputusan presiden itu merupakan respons atas kontoversi yang muncul terkait pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan.

“Kemarin pemerintah telah menyampaikan kepada DPR dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini pembahasannya ditunda, sesuai dengan keinginan pemerintah,” ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (24/4/2020).

Dengan penundaan tersebut, Jokowi mengatakan pemerintah bersama DPR memiliki waktu lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan.

“Hal ini juga untuk memberikan kesempatan kepada kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan,” kata dia.

Secara terpisah, Wakil Ketua Panita Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja Achmad Baidowi mengatakan, permintaan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan oleh presiden sudah sesuai dengan keinginan panja di Baleg DPR.

Menurut Baidowi, saat pembahasan nanti segala kemungkinan bisa terjadi. Ia mengatakan klaster ketenagakerjaan bisa saja dihapus atau tetap menjadi bagian RUU Cipta Kerja dengan perbaikan.

“Apakah nantinya tetap menjadi bagian, di-drop, atau skemanya seperti apa, semuanya ditentukan di akhir. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada para stakeholder mencari simulasi dan solusi terbaik terkait masalah ketenaagakerjaan,” kata Baidowi, Jumat (24/4/2020).

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mantan Komisioner KPK: Omnibus Law Jadi Ancaman Jangka Panjang, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/05/02/mantan-komisioner-kpk-omnibus-law-jadi-ancaman-jangka-panjang?page=2. edisi 2 Mei 2020

Berita

Eks Pimpinan KPK: MK Harus Batalkan Pasal Imunitas Perpu Covid-19

TEMPO.COJakarta – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal imunitas dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Aturan imunitas di Pasal 27 Perpu Covid-19 harus dibatalkan demi moralitas.

“Kalau imunitas dilegalkan dalam pasal 27 itu dibatalkan, artinya MK sudah menegakkan moralitas konstitusi,” kata dia dalam diskusi daring Perkumpulan Bung Hatta Anticorruption Award, Jumat, 1 Mei 2020.

Busyro mengatakan MK tak boleh menilai Perpu Covid-19 hanya dengan standar konstitusi. Menurut dia, konstitusi bisa ditafsirkan sesuai kepentingan.

Dia meminta MK juga menggunakan hati nurani dalam menilai pasal Imunitas dalam Perpu Covid-19. “Tafsir terhadap moralitas konstitusi itu mendasarkan pada hati nurani,” kata dia.

Sebelumnya, sudah ada tiga pihak yang mengajukan gugatan ke MK terhadap Perpu Covid-19. Ketiga penggugat sama-sama meminta MA membatalkan sejumlah pasal, salah satunya pasal 27. Salah satu penggugat, Masyarakat Antikorupsi Indonesia menilai pasal itu melanggar Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang sama di mata hukum. MAKI juga khawatir adanya pasal itu dapat mengulang terjadinya skandal seperti kasus Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Pasal 27 mengatur bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi Covid-19 tak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara. Pasal itu juga mengatur bahwa pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan sejumlah pejabat di bidang ekonomi tak bisa digugat baik secara perdata atau pidana saat menjalankan Perpu itu.

Disebutkan pula bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan Perpu Covid-19 bukan obyek gugatan yang bisa diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Artikel ini telah diterbitkan Tempo sebelumnya dengan judul “Eks Pimpinan KPK: MK Harus Batalkan Pasal Imunitas Perpu Covid-19” edisi 2 Mei 2020

Berita

Busyro Muqoddas Sebut RUU Cipta Kerja Hanya Untungkan Investor

TEMPO.COJakarta – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi menarik usulan Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja.

Menurut dia, aturan omnibus law ini hanya menguntungkan investor, tapi tidak melindungi pekerja. “Intinya, Omnibus Law ini sebuah ancaman yang berdampak jangka panjang,” kata Busyro dalam diskusi daring Perkumpulan Bung Hatta Anticorruption Award, Jumat, 1 Mei 2020.

Busyro khawatir masyarakat akan bereaksi keras bila pembahasan aturan sapu jagat itu dilanjutkan. Dia tak mau penolakan itu berujung pada kekacauan.

Menurut Busyro, perumusan naskah RUU Cipta Kerja juga dilakukan tergesa-gesa, tanpa melibatkan masyarakat sipil. Dia ingat Presiden Jokowi juga sempat meminta agar DPR menyelesaikan pembahasan RUU ini dalam 100 hari.

Menurut dia, itu adalah wujud sikap angkuh seorang pejabat dan antidemokrasi. “Mudah-mudahan ini disadari dengan cara presiden bersedia menarik naskah tersebut dan kemudian diskusi secara terbuka,” kata dia.

Artikel ini telah diterbitkan Tempo sebelumnya dengan judul “Busyro Muqoddas Sebut RUU Cipta Kerja Hanya Untungkan Investor” edisi 2 Mei 2020

Berita

Mantan Pimpinan KPK: Jika MK Batalkan Perppu Corona Artinya Tegakkan Moralitas Konstitusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mendukung langkah yang dilakukan sejumlah pihak menggugat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Busyro menyoroti Pasal 27 ayat (1) dalam Perppu tersebut. Dia setuju jika pasal itu disebut sebagai pasal imunitas terhadap pejabat yang tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana selama mengerjakan tugas didasarkan pada iktikad baik. Hal tersebut disampaikan Busyro dalam diskusi daring bertajuk Covid-19: Problematika Kebijakan & Dilema Antikorupsi Negara, Jumat (1/5/2020).

“Pasal (Pasal 27) yang tadi saya sebut sudah jelas sekali, kalau imunitas yang dilegalkan dalam pasal 27 itu dibatalkan, itu artinya Mahkamah Konstitusi menegakkan moralitas konstitusi,” kata Busyro.

Kata dia, dalam menguji sebuah Perppu MK memiliki alat ukur yakni konstitusi dan Undang-Undang Dasar (UUD). Busyro berharap MK dapat menegakkan konstitusi lewat UUD 1945 tersebut. “Tentu saja kita sangat berharap, kedaulatan yang berada di tangan rakyat, UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), itu ada di dalam konstitusi dasar,” kata dia.

“Karena itu kita positif thinking terhadap MK, judicial review ini, pasal-pasal yang diajukan, termasuk Pasal 27 itu dengan mudah ada landasannya untuk dibatalkan,” kata Busyro.

Diketahui, setidaknya ada 3 pihak yang mengajukan gugatan ke MK. Pertama, permohonan gugatan nomor 23/PUU-XVIII/2020 diajukan Din Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dkk. Kemudian, permohonan 24/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA. Serta permohonan 25/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan Damai Hari Lubis.

Pasal yang digugat adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 27, dan Pasal 28. Pasal ini digugat karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sebagian besar pemohon menggugat Pasal 27.

Pasal 27 dalam Perppu yang kerap disebut Perppu Corona atau Perppu Covid ini, dianggap memberikan kekebalan hukum pada pemerintah. Berikut bunyi pasalnya:

(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mantan Pimpinan KPK: Jika MK Batalkan Perppu Corona Artinya Tegakkan Moralitas Konstitusi, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/05/01/mantan-pimpinan-kpk-jika-mk-batalkan-perppu-corona-artinya-tegakkan-moralitas-konstitusi?page=2 edisi 1 Mei 2020

Artikel, Kawan Bung Hatta

Konflik Kepentingan, Korupsi, dan Integritas Pelayanan Publik

Isu konflik kepentingan pejabat publik sering menjadi perbincangan. Paling aktual, keterlibatan perusahaan milik Staf Khusus Milenial Presiden dalam proyek pemerintah cukup menyita perhatian publik. Dalam kasus lain, perilaku pejabat seperti menteri juga banyak mendapat sorotan konflik kepentingan ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan partai politik. Bahkan dalam beberapa kasus, tak jarang konflik kepentingan bermuara pada praktik-praktik korupsi.

Secara umum, konflik kepentingan dapat didefinisikan sebagai kondisi yang dialami oleh pejabat publik ketika kewajibannya menjalankan fungsi publik berbenturan dengan kepentingan pribadi (OECD, 2005). Menurut Boyce (2008) kepentingan pribadi ini mencakup baik kepentingan finansial seperti kepemilikan perusahaan, kepemilikan saham, pemberian hadiah atau sumber pendapatan ganda serta kepentingan non-finansial yang identik dengan afiliasi personal seperti hubungan keluarga, organisasi politik maupun kelompok organisasi tertentu.

Konsep konflik kepentingan ini sebenarnya sudah dikenal lama dalam isu administrasi publik. Studi Ackerman (2014) menyebut kemunculan konflik kepentingan paling kentara terdapat dalam sistem monarki klasik, di mana kekuasaan raja yang tak terbatas membuat setiap kebijakan publik sangat kental dengan aroma kepentingan raja. Paradigma tersebut mulai bergeser seiring dengan sistem demokrasi modern saat ini. Pemerintahan yang demokratis dijalankan berdasar atas kehendak dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pejabat publik dituntut untuk membawa kepentingan publik dan menjauhkan segala pengambilan keputusan dari pengaruh kepentingan pribadi.

Dua Hal yang Berbeda

Pada prinsipnya konflik kepentingan dan korupsi adalah dua hal yang berbeda. Seperti diungkapkan oleh Bruno Speck (2006) dan Quentin Reed (2008) bahwa konflik kepentingan merupakan sebuah kondisi sementara korupsi merujuk pada tindakan yang aktual. Kondisi konflik kepentingan tidak serta membuat seorang pejabat publik menjadi seseorang yang buruk atau jahat. Namun, membiarkan pejabat publik dalam kondisi konflik kepentingan akan mengancam integritas pelayanan publik. Pejabat publik yang mengambil keputusan atau membuat kebijakan strategis dalam kondisi konflik kepentingan menjadi celah masuk praktik korupsi.

Hal ini tergambar jelas dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia. Misalnya korupsi yang menjerat Wali Kota Madiun serta korupsi PT Tradha yang dikendalikan oleh Bupati Kebumen. Keduanya dihukum berdasarkan Pasal 12 huruf I Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang konflik kepentingan dalam pengadaan. Bahkan jika melihat pola korupsi suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat publik, sebagian besar di antaranya berkaitan erat dengan dimensi konflik kepentingan.

Sebut saja beberapa kasus korupsi di sektor perizinan sumber daya alam yang didorong akibat konflik kepentingan pribadi pejabat publik dengan menerima hadiah (gratifikasi) atau uang suap. Begitu pula modus korupsi jual beli jabatan yang sebagian bersifat politik dinasti yaitu dengan mengedepankan kepentingan afiliasi keluarga atau kelompok politik. Berdasarkan pada fenomena ini, maka tidak berlebihan jika konflik kepentingan disebut sebagai akar dari praktik korupsi pejabat publik.

Sebenarnya beberapa kebijakan telah dibuat untuk mencegah konflik kepentingan pejabat publik. Hampir sebagian besar lembaga negara, kementerian, dan pemerintah daerah memiliki regulasi konflik kepentingan. Baik berupa peraturan maupun tercantum dalam kode etik. Dalam kerangka peraturan perundang-undangan, setidaknya terdapat tiga kebijakan yang menyangkut konflik kepentingan, yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB) Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (pasal 12 huruf i yang berkaitan dengan konflik kepentingan dalam pengadaan), serta Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Pasal 42-45).

Jika ditarik benang merah, ketiga regulasi tersebut memiliki semangat pemberantasan korupsi. Baik itu penindakan maupun pencegahan korupsi. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan bahkan telah secara tegas melarang pejabat publik untuk bertindak atau mengambil keputusan yang memiliki potensi konflik kepentingan. Terdapat enam komponen yang dikategorikan sebagai konflik kepentingan dalam peraturan tersebut, yaitu kepentingan pribadi dan/atau bisnis, hubungan kerabat dan keluarga, hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat, serta hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun sayangnya, hari ini kita masih dihadapkan pada berbagai fenomena konflik kepentingan. Banyak pejabat publik yang mengambil keputusan atau membuat kebijakan sembari dirinya merangkap jabatan di perusahaan maupun partai politik. Maraknya kasus korupsi, suap, dan gratifikasi juga merusak kebijakan pemerintah yang pada akhirnya banyak disetir oleh kepentingan finansial pejabat publik. Hal ini diperparah dengan tidak adanya transparansi pejabat publik yang berada dalam kondisi konflik kepentingan. Tentu kondisi ini mengakibatkan rawan terjadinya pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan publik tidak responsif sehingga merugikan publik secara luas.

Menjerumuskan

Salah satu alasan mengapa kondisi konflik kepentingan menjerumuskan pejabat publik dalam praktik korupsi adalah kurangnya perhatian instansi publik dalam mendeteksi konflik kepentingan. Berbagai studi dan praktik dari beberapa negara menyarankan mekanisme untuk mempermudah mendeteksi konflik kepentingan, yaitu dengan mengaturnya dalam beberapa tingkatan. Regulasi konflik kepentingan hendaknya mengadopsi tingkatan konflik kepentingan yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu konflik potensial (potential conflict), konflik yang terlihat (perceived conflict), dan konflik yang secara aktual terjadi (actual conflict).

Konflik potensial merujuk pada kemungkinan seorang pejabat publik memiliki konflik kepentingan di kemudian hari. Pada tahapan ini, upaya pencegahannya adalah dengan membuat kebijakan deklarasi atau pendaftaran sumber kepentingan. Seseorang saat diangkat menjadi penyelenggara negara perlu menyertakan daftar kepentingan pribadi yang berpotensi menjadi sumber konflik. Baik kepentingan pribadi yang bersifat finansial maupun afiliasi personal.

Jika semua itu didaftarkan dengan prosedur yang jelas dan transparan, maka akan tercipta proses pengawasan baik dari atasan, rekan kerja maupun publik secara luas. Sehingga, pejabat publik yang bersangkutan tidak dengan mudah dapat mengambil keputusan strategis yang berkaitan dengan kepentingan pribadinya.

Sedangkan konflik kepentingan yang terlihat adalah kondisi di mana pejabat publik atas dasar kewenangannya diperlukan mengambil keputusan, tetapi dalam kondisi yang sama berada pada area yang berkaitan dengan kepentingan pribadinya. Tentu idealnya seorang pejabat publik tidak boleh mengambil keputusan dalam kondisi konflik kepentingan. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kebijakan removed atau mengganti pejabat yang memiliki konflik kepentingan dari pengambilan keputusan. Metode yang hampir serupa adalah dengan pengunduran diri. Dalam kondisi tertentu saat konflik kepentingan yang terjadi sangat berisiko, maka mengganti atau mengundurkan pejabat terkait akan efektif untuk menghilangkan benturan kepentingan dalam pengambilan keputusan.

Namun, tidak semua kondisi konflik kepentingan dapat diselesaikan dengan metode seperti di atas. Penerapan metode penggantian atau pengunduran diri akan sulit bagi pejabat publik yang berasal dari proses pemilihan (elected official) seperti kepala daerah atau anggota dewan. Oleh karena itu, opsi yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan pembatasan kewenangan atau perekrutan pengawas independen dalam proses pengambilan keputusan.

Pembatasan dapat diberlakukan misalnya kepada anggota dewan yang memiliki konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan tertentu tidak dilibatkan atau dihilangkan hak suaranya. Sementara metode perekrutan adalah model manajemen konflik kepentingan dengan cara memasukkan pihak ketiga yang independen untuk mengawasi seluruh atau sebagian proses pengambilan keputusan. Pihak ketiga inilah yang akan menilai akuntabilitas keputusan yang dihasilkan oleh pejabat publik dalam kondisi konflik kepentingan.

Terakhir, adalah jenis konflik kepentingan yang secara aktual telah terjadi. Aktualisasi ini merujuk pada kondisi pejabat publik yang mengeluarkan keputusan saat dirinya memiliki kepentingan pribadi. Dalam tahapan ini, pejabat publik sama saja telah melanggar konsep konflik kepentingan sekaligus larangan yang ada dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Maka, setiap instansi perlu memiliki mekanisme sanksi yang tegas.

Tidak hanya sanksi terhadap pejabat publik yang bersangkutan, mekanisme akuntabilitas juga harus disediakan untuk menilai keputusan atau kebijakan yang diambil dalam kondisi konflik kepentingan. Instansi harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang diambil dalam kondisi konflik kepentingan kepada publik. Salah satunya dengan mekanisme evaluasi kebijakan yang terlanjur diambil oleh pejabat dengan konflik kepentingan.

Baik instansi maupun publik secara luas harus bisa mengakses mekanisme akuntabilitas tersebut. Bagaimanapun dampak dari kebijakan yang diambil dalam kondisi konflik kepentingan tidak hanya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga terkait, tetapi juga dapat berdampak pada kerugian publik secara luas.

Pada akhirnya, memang sangat sulit memilih pejabat publik yang sama sekali bersih dari kepentingan pribadi. Hampir sebagian orang akan selalu memiliki peran ganda; di satu sisi menjadi seorang pejabat publik, namun di sisi lain juga sebagai seseorang yang memiliki kepentingan pribadi. Namun kunci utamanya adalah tentang bagaimana mengelola kondisi konflik kepentingan yang transparan dan akuntabel sehingga mampu mencegah praktik korupsi. Melihat fenomena sekarang, maka tinggal bagaimana pemerintah dan setiap institusi negara serius membangun kebijakan pengelolaan konflik kepentingan bagi pejabat publik.

Yuris Rezha adalah Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM dan Kawan Bung Hatta Yogyakarta
Tulisan ini pertama kali terbit di Kolom Detik.com dengan judul “Konflik Kepentingan, Korupsi, dan Integritas Pelayanan Publik” edisi 27 April 2020

Artikel

Lepasnya Terdakwa BLBI dan Tantangan Pemberantasan Korupsi

Butuh perjuangan panjang nan berliku untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL-BLBI) yang merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara sebesar Rp 4,58 triliun sesuai hasil audit BPK 2002. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan, namun akhirnya dihentikan. KPK kemudian mengambil alih. KPK memerlukan hampir satu dasawarsa dan melewati tiga kali periode kepemimpinan untuk menetapkan tersangka pertama yakni Syafruddin Arsyad Tumenggung, eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 25 April 2017.

Siapa sangka, pada 9 Juli 2019, KPK dan dunia antikorupsi nasional bagai dilanda sebuah bencana besar ketika mengetahui majelis kasasi MA menyatakan Syafruddin melakukan perbuatan sesuai dakwaan JPU pada KPK, namun perbuatan itu bukan merupakan pidana korupsi. Akibatnya, majelis hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana bunyi amar Putusan Kasasi No. 1555 K/PID.SUS/2019.

Hingga detik ini, publik mungkin belum percaya, bahkan salah satu Wakil Ketua KPK mengatakan aneh bin ajaib terhadap putusan tersebut. Pasalnya baru saja dua Pengadilan Tipikor sebelumnya menyatakan ia bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pertama, menurut Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dalam Dakwaan Alternatif Kesatu. Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara 13 tahun dan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan,” tertanggal 14 September 2018.

Kedua, pengadilan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, setelah diperiksa majelis hakim banding kembali berpendapat sama dengan pengadilan tingkat pertama. Majelis Hakim PT DKI justru memperberat hukuman menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan tertanggal 12 Desember 2018.

Syafruddin dinilai bersalah karena menerbitkan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004. Seyogianya, pada waktu itu ia tak menerbitkan SKL tersebut karena Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI (kini tersangka), belum menyetor semua kewajibannya. Sebelumnya, saat krisis moneter 1997-1998 melanda Indonesia, BDNI mendapatkan suntikan dana BLBI senilai Rp 30,9 triliun.

Disparitas putusan antara dua pengadilan ini dengan pengadilan kasasi memicu polemik di tengah masyarakat. Berbagai kalangan merespons secara beragam. ICW bahkan mendesak KY memeriksa hakim MA pembebas terdakwa tersebut. Sejauh ini publik belum bisa mengkritisi secara komprehensif putusan tersebut karena akses putusan belum dibuka. Menurut hemat saya, seharusnya MA dalam wajah reformasi peradilan cepat untuk menyediakan secara digital putusan sebagai pemenuhan hak masyarakat atas informasi publik. Tentu saja kebutuhan terhadap informasi putusan selain bagi KPK menentukan langkah hukum atau upaya perlawanan sesuai aturan hukum, juga sebagai bahan diskusi atau kajian para pakar hukum atau pun masyarakat awam.

Terhadap suatu putusan hakim berlaku asas putusan hakim harus dianggap benar. Asas ini mengajak kita semua untuk tetap menghormati apapun bunyi dan konsekuensi yang ditimbulkan dari putusan tersebut. Selain itu, menegaskan kembali bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas dan merdeka. Namun demikian seperti dikatakan Yahya Harahap, makna “kebebasan hakim harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum.”

Maka, persoalannya bukan mengenai asas atau prinsip kehakiman semata sebagai suatu kondisi, tetapi bagaimana dengan menjadikannya sebagai landasan suatu pengadilan, hakim mampu menciptakan keadilan yang substansif. Tentu saja kita dilarang mengintervensi proses teknis yustisial, pun hal itu telah diselesaikan majelis hakim. Namun, secara moral kita tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap praktik hukum di depan mata. Sewajarnya, kritik boleh disampaikan atas putusan demikian.

Bagi saya, sangat mengherankan pelepasan terdakwa kasus BLBI ini. Persoalannya, persidangan mengenai fakta tindak pidana korupsi ini terbukti dalam dua tingkat pengadilan yang majelis hakimnya diberikan mandat oleh undang-undang untuk mengadili fakta-fakta suatu perbuatan itu merupakan delik korupsi atau tidak (hakim fakta/yudex factie). Majelis hakim setidak-tidaknya melakukan dua hal. Pertama, menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil membuktikan. Masing-masing hakim akan mengkonstantir fakta-fakta sebagai jalan untuk menetapkan hukumnya.

Kedua, menetapkan hak-hak dan hubungan hukum di antara para pihak. Setelah hakim menetapkan fakta-fakta yang terjadi, lalu hakim mengajukan konklusi yang dapat berupa menetapkan siapa berhak atas apa juga menetapkan hubungan hukum di antara para pihak (Asnawi, 2014:15). Total 10 (sepuluh) yudex factie dari pengadilan tingkat pertama dan banding menyatakan perbuatan tersebut merupakan delik korupsi. Secara materiil, yudex factie menilai terdakwa bersalah karena menerbitkan SKL BLBI untuk BDNI yang mengakibatkan kerugian negara. Perbuatan tersebut lantas merupakan obyek dari pada dakwaan JPU.

Lazim dipahami dalam konteks administrasi pemerintahan, seorang pejabat negara memiliki kewajiban hukum untuk tidak bertindak melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana dalam setiap tindakannya. Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 diubah terakhir dengan UU No. 30 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor larangan ini semakin tegas dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Sehingga setiap pejabat yang menerobos rambu-rambu tersebut atau perbuatannya memenuhi unsur ketentuan ini menjadi patut dipersalahkan perbuatan tersebut.

Secara singkat melawan hukum mempunyai arti yang luas (formil dan materiil). Para ahli menyatakan melawan hukum dalam arti luas berarti meliputi perbuatan yang bertentangan dengan hukum objektif, bertentangan dengan hukum subjektif (hak orang lain), tanpa hak, dan bertentangan dengan hukum tak tertulis. Dalam rumusan delik, keberadaan sifat melawan hukum merupakan syarat mutlak dari dapat dipidananya tindakan. Jika sifat ini dinyatakan dengan tegas dalam suatu rumusan delik (sebagai suatu unsur), maka dia harus dicantumkan dalam dakwaan dan dibuktikan di persidangan (Agustina, dkk, 2016:83).

Mengenai menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan. Sebagai akibat dari melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara.

Secara administrasi, parameter korupsi dapatlah dikatakan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang. Oleh karena itu, menurut hemat saya, parameter korupsi di sini sudah sangat jelas. Perintah untuk tidak menerbitkan SKL harus dipahami sebagai kewajiban hukum yang wajib dilaksanakan seorang pejabat. Kita tahu bahwa dalam tindakan administrasi dalam konteks ini dibayangi korupsi. Perbuatan administrasi pejabat negara yang melawan hukum dan/atau menyalahi kewenangannya serta merugikan negara adalah korupsi. Maka dalam konteks ini unsur-unsur korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 terpenuhi sebagai sebuah delik korupsi.

Menambah Beban

Dengan adanya putusan lepas dari segala tuntutan ini tentu saja menambah beban tantangan pemberantasan korupsi semakin berat di masa yang akan datang. Beberapa hal yang perlu diantisipasi sehubungan dengan hal ini. Pertama, soal masa depan pengusutan lebih lanjut kasus SKL-BLBI. Tindak pidana korupsi Syafruddin dilakukan secara bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih, serta bekas Kepala Komite Kebijakan Sektor Keuangan Dorojatun Kuntjoro-Jakti. Implikasinya terhadap substansi perkara kemungkinan besar terganggu. Ini pekerjaan besar bagi KPK ke depan bila melanjutkan proses hukum terhadap pelaku-pelaku di atas. Namun tidak berarti KPK harus menghentikan karena putusan lepas dari Syafruddin. Sebab putusan lepas itu bukanlah alasan penghapusan pidana bagi pelaku lain.

Kedua, putusan lepas ini dapat saja menjadi semacam peluang bagi pelaku korupsi memperjuangkan kebebasan dari jerat pasal-pasal anti-rasuah. Kita tahu selama ini, perkara yang dipegang KPK tidak pernah kalah dalam ruang sidang, kecuali praperadilan. Jika tidak ada langkah progresif, praktik seperti ini bisa berlanjut terus-menerus. Jangan sampai malah menjadikan putusan ini sebagai rujukan dalam memutus perkara korupsi. Walaupun dalam sistem hukum kita tidak dikenal asas the binding force of precedent, tetapi nyatanya dipraktikkan. Kita butuhkan hakim yang gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terkorupsi.

Ketiga, perlunya pemahaman korupsi dan sikap anti-korupsi yang tinggi dimiliki oleh para hakim. Selain itu pentingnya memagari relasi yang anti-korupsi antarhakim dan terdakwa atau pihak berkepentingan lainnya. Putusan ini lonceng peringatan keras, jangan sampai terjadi judicial corruption. Keempat, urgensi dari putusan ini yaitu KPK ke depan harus meningkatkan lagi kehati-hatian dan kemantapan dalam bukti dan argumentasi hukum. Mengingat untuk kasus ini, waktunya semakin singkat terkait masa daluwarsa kasus, maka KPK harus tetap bekerja cepat dan tuntas.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di detik.com edisi 18 Juli 2019, dengan judul “Lepasnya Terdakwa BLBI dan Tantangan Pemberantasan Korupsi.”

Acara, Berita, Kawan Bung Hatta

Temu Nasional Alumni Panitia Bung Hatta Tour 2014 – 2019

Pada tanggal 8 – 11 Juli 2019, Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (P-BHACA) telah menyelenggarakan kegiatan Temu Nasional Alumni Panitia Bung Hatta Tour 2014 – 2019 dengan melibatkan 29 aktivis anti-korupsi yang tersebar di 25 perguruan tinggi, 3 organisasi dan 1 SMK pada 22 kota se-Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Bung Hatta Tour sendiri merupakan sebuah kegiatan pendidikan anti-korupsi yang dikemas dalam bentuk diskusi musikal sejak tahun 2014. Sebagai peserta kegiatan yaitu panitia yang membantu menyukseskan rangkaian tour tersebut.

Temnas ini bertujuan untuk melakukan konsolidasi dan menjalin sinergitas gerakan anti-korupsi dari berbagai perguruan tinggi dan daerah serta menjaga tali silahturahim antar alumni panitia diskusi musikal anti-korupsi.

Dibuka secara resmi oleh Ibu Sharmi Ranti, Sekretaris Dewan Pengurus P-BHACA pada Senin (8/7) malam. Dalam sambutannya, Sharmi mengajak semua peserta kegiatan untuk menjadikan kegiatan tersebut wadah belajar dan berjuang. Menurutnya, anti-korupsi dimulai dari sikap.

“Nilai-nilai anti-korupsi dimulai dari sikap, jangan mudah menyerah terhadap tekanan. Katakan yang benar untuk hal yang benar, tidak untuk tidak,” paparnya.

Sharmi menghembuskan harapan agar kegiatan ini dapat menjadi sebuah gerakan nasional. “Mudah-mudahan dimulai dari pertemuan ini dapat menjadi jaringan anti-korupsi yang menyebar dari Sabang sampai Merauke.”

Kegiatan ini berbentuk diskusi kelompok dan pleno yang mencoba memotret isu pemberantasan korupsi di Indonesia dan beragam isu sosial kemasyarakatan lainnya. Selain itu pula mengangkat bagaimana tantangan gerakan anti-korupsi yang dilakukan para aktivis anti-korupsi di berbagai daerah antara lain: Aceh, Padang, Lampung, Bukittinggi, Labuhan Batu, Bandung, Jember, Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Cirebon, Surabaya, Madura, Malang, Bali, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Palangkaraya, Tarakan, Gorontalo, Kendari, dan Makassar yang hadir dalam temnas ini.

P-BHACA juga menghadirkan para narasumber yang mumpuni di bidangnya, yaitu Erry Riyana Hardjapamekas (eks Wakil Ketua KPK & Peraih BHACA 2003), Adnan Topo Husodo (Koordinator Indonesia Corruption Watch), Natalia Soebagjo (co-founder P-BHACA), Giri Suprapdiono (Direktur Dikyanmas KPK), Judhi Kristantini (Koordinator Saya Perempuan Anti Korupsi), Ainun Chomsun (Pendiri Akademi Berbagi), Akhmad Agus Fajari (Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian), dan Ratna Pandjaitan & Yayoe Pribadi (eks Tim Komunikasi Europalia).

Secara keseluruhan kegiatan temu nasional berjalan dengan lancar dan dinamis karena semua pihak berpartisipasi aktif. Diakhir kegiatan, kami merampung beberapa rencana tindak lanjut untuk membumikan isu korupsi dan gerakan antikorupsi sekembalinya ke tengah kampus, sekolah, organisasi, maupun masyarakat. Kami juga membentuk sebuah jaringan komunikasi antikorupsi bersama yang disebut “Kawan Bung Hatta.”

Temnas ini secara resmi ditutup oleh Ibu Shanti L Poesposoetjipto, Ketua Dewan Pengurus P-BHACA, (10/7). Turut hadir Ibu Halida Hatta, putri Bung Hatta pada malam keakraban sembari menyantap makan malam, menyaksikan api unggun dan menikmati suguhan musik dan lagu dari band Simponi & Sisters In Danger.

Sebagai tambahan informasi, hingga tahun ini, Bung Hatta Tour telah menjangkau 48 kampus dan sektiar 12.000 mahasiswa yang menjadi peserta mendapatkan informasi tentang teladan Bung Hatta, apa dan dampak korupsi, siapa pelaku dan korban korupsi, dan berbagai informasi lainnya dari sekretariat P-BHACA yang didukung oleh pimpinan KPK, LSM anti-korupsi, keluarga Bung Hatta, dan musisi. Akhirnya, kami mengucapkan banyak terimakasih atas semua pihak yang telah membantu menyukseskan kegiatan ini.

1 2
Donasi