Hubungi Kami
Artikel, Kawan Bung Hatta

Konflik Kepentingan, Korupsi, dan Integritas Pelayanan Publik

Isu konflik kepentingan pejabat publik sering menjadi perbincangan. Paling aktual, keterlibatan perusahaan milik Staf Khusus Milenial Presiden dalam proyek pemerintah cukup menyita perhatian publik. Dalam kasus lain, perilaku pejabat seperti menteri juga banyak mendapat sorotan konflik kepentingan ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan partai politik. Bahkan dalam beberapa kasus, tak jarang konflik kepentingan bermuara pada praktik-praktik korupsi.

Secara umum, konflik kepentingan dapat didefinisikan sebagai kondisi yang dialami oleh pejabat publik ketika kewajibannya menjalankan fungsi publik berbenturan dengan kepentingan pribadi (OECD, 2005). Menurut Boyce (2008) kepentingan pribadi ini mencakup baik kepentingan finansial seperti kepemilikan perusahaan, kepemilikan saham, pemberian hadiah atau sumber pendapatan ganda serta kepentingan non-finansial yang identik dengan afiliasi personal seperti hubungan keluarga, organisasi politik maupun kelompok organisasi tertentu.

Konsep konflik kepentingan ini sebenarnya sudah dikenal lama dalam isu administrasi publik. Studi Ackerman (2014) menyebut kemunculan konflik kepentingan paling kentara terdapat dalam sistem monarki klasik, di mana kekuasaan raja yang tak terbatas membuat setiap kebijakan publik sangat kental dengan aroma kepentingan raja. Paradigma tersebut mulai bergeser seiring dengan sistem demokrasi modern saat ini. Pemerintahan yang demokratis dijalankan berdasar atas kehendak dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pejabat publik dituntut untuk membawa kepentingan publik dan menjauhkan segala pengambilan keputusan dari pengaruh kepentingan pribadi.

Dua Hal yang Berbeda

Pada prinsipnya konflik kepentingan dan korupsi adalah dua hal yang berbeda. Seperti diungkapkan oleh Bruno Speck (2006) dan Quentin Reed (2008) bahwa konflik kepentingan merupakan sebuah kondisi sementara korupsi merujuk pada tindakan yang aktual. Kondisi konflik kepentingan tidak serta membuat seorang pejabat publik menjadi seseorang yang buruk atau jahat. Namun, membiarkan pejabat publik dalam kondisi konflik kepentingan akan mengancam integritas pelayanan publik. Pejabat publik yang mengambil keputusan atau membuat kebijakan strategis dalam kondisi konflik kepentingan menjadi celah masuk praktik korupsi.

Hal ini tergambar jelas dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia. Misalnya korupsi yang menjerat Wali Kota Madiun serta korupsi PT Tradha yang dikendalikan oleh Bupati Kebumen. Keduanya dihukum berdasarkan Pasal 12 huruf I Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang konflik kepentingan dalam pengadaan. Bahkan jika melihat pola korupsi suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat publik, sebagian besar di antaranya berkaitan erat dengan dimensi konflik kepentingan.

Sebut saja beberapa kasus korupsi di sektor perizinan sumber daya alam yang didorong akibat konflik kepentingan pribadi pejabat publik dengan menerima hadiah (gratifikasi) atau uang suap. Begitu pula modus korupsi jual beli jabatan yang sebagian bersifat politik dinasti yaitu dengan mengedepankan kepentingan afiliasi keluarga atau kelompok politik. Berdasarkan pada fenomena ini, maka tidak berlebihan jika konflik kepentingan disebut sebagai akar dari praktik korupsi pejabat publik.

Sebenarnya beberapa kebijakan telah dibuat untuk mencegah konflik kepentingan pejabat publik. Hampir sebagian besar lembaga negara, kementerian, dan pemerintah daerah memiliki regulasi konflik kepentingan. Baik berupa peraturan maupun tercantum dalam kode etik. Dalam kerangka peraturan perundang-undangan, setidaknya terdapat tiga kebijakan yang menyangkut konflik kepentingan, yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB) Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (pasal 12 huruf i yang berkaitan dengan konflik kepentingan dalam pengadaan), serta Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Pasal 42-45).

Jika ditarik benang merah, ketiga regulasi tersebut memiliki semangat pemberantasan korupsi. Baik itu penindakan maupun pencegahan korupsi. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan bahkan telah secara tegas melarang pejabat publik untuk bertindak atau mengambil keputusan yang memiliki potensi konflik kepentingan. Terdapat enam komponen yang dikategorikan sebagai konflik kepentingan dalam peraturan tersebut, yaitu kepentingan pribadi dan/atau bisnis, hubungan kerabat dan keluarga, hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat, serta hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun sayangnya, hari ini kita masih dihadapkan pada berbagai fenomena konflik kepentingan. Banyak pejabat publik yang mengambil keputusan atau membuat kebijakan sembari dirinya merangkap jabatan di perusahaan maupun partai politik. Maraknya kasus korupsi, suap, dan gratifikasi juga merusak kebijakan pemerintah yang pada akhirnya banyak disetir oleh kepentingan finansial pejabat publik. Hal ini diperparah dengan tidak adanya transparansi pejabat publik yang berada dalam kondisi konflik kepentingan. Tentu kondisi ini mengakibatkan rawan terjadinya pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan publik tidak responsif sehingga merugikan publik secara luas.

Menjerumuskan

Salah satu alasan mengapa kondisi konflik kepentingan menjerumuskan pejabat publik dalam praktik korupsi adalah kurangnya perhatian instansi publik dalam mendeteksi konflik kepentingan. Berbagai studi dan praktik dari beberapa negara menyarankan mekanisme untuk mempermudah mendeteksi konflik kepentingan, yaitu dengan mengaturnya dalam beberapa tingkatan. Regulasi konflik kepentingan hendaknya mengadopsi tingkatan konflik kepentingan yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu konflik potensial (potential conflict), konflik yang terlihat (perceived conflict), dan konflik yang secara aktual terjadi (actual conflict).

Konflik potensial merujuk pada kemungkinan seorang pejabat publik memiliki konflik kepentingan di kemudian hari. Pada tahapan ini, upaya pencegahannya adalah dengan membuat kebijakan deklarasi atau pendaftaran sumber kepentingan. Seseorang saat diangkat menjadi penyelenggara negara perlu menyertakan daftar kepentingan pribadi yang berpotensi menjadi sumber konflik. Baik kepentingan pribadi yang bersifat finansial maupun afiliasi personal.

Jika semua itu didaftarkan dengan prosedur yang jelas dan transparan, maka akan tercipta proses pengawasan baik dari atasan, rekan kerja maupun publik secara luas. Sehingga, pejabat publik yang bersangkutan tidak dengan mudah dapat mengambil keputusan strategis yang berkaitan dengan kepentingan pribadinya.

Sedangkan konflik kepentingan yang terlihat adalah kondisi di mana pejabat publik atas dasar kewenangannya diperlukan mengambil keputusan, tetapi dalam kondisi yang sama berada pada area yang berkaitan dengan kepentingan pribadinya. Tentu idealnya seorang pejabat publik tidak boleh mengambil keputusan dalam kondisi konflik kepentingan. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kebijakan removed atau mengganti pejabat yang memiliki konflik kepentingan dari pengambilan keputusan. Metode yang hampir serupa adalah dengan pengunduran diri. Dalam kondisi tertentu saat konflik kepentingan yang terjadi sangat berisiko, maka mengganti atau mengundurkan pejabat terkait akan efektif untuk menghilangkan benturan kepentingan dalam pengambilan keputusan.

Namun, tidak semua kondisi konflik kepentingan dapat diselesaikan dengan metode seperti di atas. Penerapan metode penggantian atau pengunduran diri akan sulit bagi pejabat publik yang berasal dari proses pemilihan (elected official) seperti kepala daerah atau anggota dewan. Oleh karena itu, opsi yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan pembatasan kewenangan atau perekrutan pengawas independen dalam proses pengambilan keputusan.

Pembatasan dapat diberlakukan misalnya kepada anggota dewan yang memiliki konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan tertentu tidak dilibatkan atau dihilangkan hak suaranya. Sementara metode perekrutan adalah model manajemen konflik kepentingan dengan cara memasukkan pihak ketiga yang independen untuk mengawasi seluruh atau sebagian proses pengambilan keputusan. Pihak ketiga inilah yang akan menilai akuntabilitas keputusan yang dihasilkan oleh pejabat publik dalam kondisi konflik kepentingan.

Terakhir, adalah jenis konflik kepentingan yang secara aktual telah terjadi. Aktualisasi ini merujuk pada kondisi pejabat publik yang mengeluarkan keputusan saat dirinya memiliki kepentingan pribadi. Dalam tahapan ini, pejabat publik sama saja telah melanggar konsep konflik kepentingan sekaligus larangan yang ada dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Maka, setiap instansi perlu memiliki mekanisme sanksi yang tegas.

Tidak hanya sanksi terhadap pejabat publik yang bersangkutan, mekanisme akuntabilitas juga harus disediakan untuk menilai keputusan atau kebijakan yang diambil dalam kondisi konflik kepentingan. Instansi harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang diambil dalam kondisi konflik kepentingan kepada publik. Salah satunya dengan mekanisme evaluasi kebijakan yang terlanjur diambil oleh pejabat dengan konflik kepentingan.

Baik instansi maupun publik secara luas harus bisa mengakses mekanisme akuntabilitas tersebut. Bagaimanapun dampak dari kebijakan yang diambil dalam kondisi konflik kepentingan tidak hanya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga terkait, tetapi juga dapat berdampak pada kerugian publik secara luas.

Pada akhirnya, memang sangat sulit memilih pejabat publik yang sama sekali bersih dari kepentingan pribadi. Hampir sebagian orang akan selalu memiliki peran ganda; di satu sisi menjadi seorang pejabat publik, namun di sisi lain juga sebagai seseorang yang memiliki kepentingan pribadi. Namun kunci utamanya adalah tentang bagaimana mengelola kondisi konflik kepentingan yang transparan dan akuntabel sehingga mampu mencegah praktik korupsi. Melihat fenomena sekarang, maka tinggal bagaimana pemerintah dan setiap institusi negara serius membangun kebijakan pengelolaan konflik kepentingan bagi pejabat publik.

Yuris Rezha adalah Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM dan Kawan Bung Hatta Yogyakarta
Tulisan ini pertama kali terbit di Kolom Detik.com dengan judul “Konflik Kepentingan, Korupsi, dan Integritas Pelayanan Publik” edisi 27 April 2020

Artikel, Berita, Kawan Bung Hatta

Korupsi dan Penumpang Gelap Pandemik

Penumpang gelap (free rider) selalu ada disetiap momemtum. Disetiap peristiwa, akan ada yang berusaha mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadinya sendiri. Bahkan dimasa pergolakan revolusi kemerdekaan, tindakan mengambil keuntungan untuk kepentingan diri sendiri ini sudah sering ditemui. Ajip Rosidi (2006), menggambarkan bagaimana roman-roman Pramoedya Ananta Toer (Di Tepi Kali Bekasi) dan Mochtar Lubis (Maut dan Cinta) bercerita tentang orang-orang yang mengambil keuntungan dari kekayaan negara bagi dirinya sendiri ketika yang lain berjuang mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara[1].

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesenangan untuk mengambil keuntungan ini disebut sebagai opurtunisme, yakni paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu[2]. Dalam dunia politik, diksi “kaum opurtunis” disematkan kepada orang-orang yang gemar menyelamatkan diri sendiri, pandai berkamuflase, tidak punya prinsip, inkonsisten, dan tak punya rasa malu mengakui jerih payah orang lain.

Lantas di tengah bangsa Indonesia berjibaku melawan pandemik virus corona atau Covid-19, apakah ada penumpang gelap? Jika dilihat dari perspektif gerakan anti korupsi, maka potensi munculnya penumpang gelap ini sangat terbuka lebar. Setidaknya ada dua regulasi yang bisa jadi digunakan oleh para penumpang gelap ini dalam melancarkan aksi ambil untung.

Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancama Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (PERPPU Nomor 1 Tahun 2020).

Pemerintah menggelontorkan anggaran untuk mengatasi Covid-19 melalui APBN 2020 sebesar 405,1 triliun. Ini tentu jumlah yang tidak sedikit. Kalau penggunaannya tidak diawasi dengan ketat, maka ruang tindak pidana korupsi terbuka lebar. Keharusan kita untuk merespon pandemik corona, seharusnya tidak menghalangi upaya kita untuk mengawasi anggaran negara. Anehnya, PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, justru mengatur ketentuan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Pasal 27 ayat (1) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 tersebut menyatakan bahwa, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara“. Frase “bukan merupakan kerugian negara” ini, jelas adalah bentuk pengingkaran terhadap semangat pemberantasan korupsi.

Ini tentu saja bertolakbelakang dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mengatur mengenai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, yang salah satunya adalah terhadap korupsi dana bencana alam.

PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan secara eksplisit bahwa pembiayaan yang dikeluarkan bukanlah bagian dari kerugian keuangan negara, tentu akan menjadi pintu masuk bagi penumpang gelap. Kita paham jika ini adalah situasi dan kondisi darurat. Kerena itu, maka memungkinkan pengaturan khusus yang terkadang betentangan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya (conflict of norm). Tapi ini perkara kejahatan luar biasa yang jika katup-nya dibuka, maka akan menyebabkan kebocoran dimana-mana.

Dan mendeklarasikan jika segala pembiayaan yang timbul, bukan merupakan kerugian negara, hanya akan memancing para penumpang gelap untuk berdatangan. Biaya yang besar dalam penanganan pandemik virus corona ini, seharusnya membuat kita lebih mawas dan waspada, bukan justru sebaliknya. Berprasangka buruk tentu tidak boleh, tapi juga jangan sampai naif untuk mengawasi perbuatan curang di tengah bencana melanda.

Kedua, rencana revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP Nomor 99 Tahun 2012).

Meski pada akhirnya konon niat tersebut urung dilakukan, tapi rencana revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012 ini kadung menjadi isu kontroversial. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, memunculkan wacana revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012 tersebut seiring dengan rencana pembebasan 30.000 narapidana dalam rangka mencegah penyebaran Corona atau Covid-19 di lembaga pemasyarakatan diseluruh Indonesia.

Pembebasan narapidana ini sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Selain pembebasan 30.000 narapidana sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Corona, Yasonna juga mewacanakan pembebasan para koruptor. Pembebasan ini diperuntukkan kepada narapidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas, karena dianggap sebagai usia yang rentan tertular pandemik virus Corona.

Dari 4.789 napi koruptor yang ada diseluruh lembaga pemasyarakatan, 300 diantaranya berpotensi dibebaskan jika menggunakan syarat umur ini. Namun rencana ini terkendala oleh PP Nomor 99 Tahun 2012, yang memberlakukan syarat tertentu terhadap pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat, bagi narapidana korupsi, narkotika, dan terorisme.

Karena itulah, Yasonna nampak memiliki intensi atau niat yang begitu besar untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 ini, untuk melapangkan jalan pembebasan bagi para koruptor yang mendekam dibalik jeruji. Ini bukan kali pertama Yasonna mewacanakan revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012. Jika kita melacak rekam jejak digital, usulan ataun wacana revisi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012, sudah dilontarkan sekitar 4-5 kali oleh Yasonna.

Padahal selama ini, vonis terhadap para koruptor terbilang sangatlah ringan. Sungguh sangat aneh jika kemudian masih saja ada upaya untuk merubah regulasi demi menyenangkan para koruptor. Dan ini sudah berlangsung cukup lama. Zainal Arifin Mochtar (2018) meyebut jika berbagai fasilitas remisi dan pembebasan bresayarat yang diberikan kepada banyak koruptor, bahkan sering kali dengan melanggar aturan, sudah memberikan perlakuan yang menyenangkan bagi para koruptor[3]. Alih-alih mencoba memberika efek jera (deterrent effect), berbagai kebijakan Pemerintah, baik yang berlaku sekarang maupun yang akan diberlakukan kedepannya, justru cenderung menguntungkan para koruptor.

Rencana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012, tentu saja menjadi kabar gembira bagi para koruptor, namun menjadi kabar duka bagi publik. Karena itu, menjadi hal yang wajar ketika rencana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 ini mendapatkan reaksi penolakan dari kalangan masyarakat, terutama pegiat anti korupsi. Pembebasan narapidana dengan embel-embel alasan kemanusiaan, tentu akan menjadi angin segar bagi para penumpang gelap.

Siapa lagi kalau bukan para koruptor penjarah uang rakyat itu, jangan-jangan niat untuk membebaskan atau setidak-tidaknya meringankan hukuman para koruptor ini, adalah sesuatu yang memang sudah direncakan jauh hari sebelumnya. Dan pandemik virus corona ini, hanya dijadikan alasan dan momentum untuk mengeksekusi rencana yang mengusik rasa keadilan masyarakat tersebut

Herdiansyah Hamzah adalah Dosen dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman serta Kawan Bung Hatta Samarinda. Tulisan ini pertama kali terbit di Prokal.com dengan judul “Korupsi dan Penumpang Gelap Pandemik” edisi 15 April 2020

[1] Ajib Rosidi. 2006. Korupsi dan Kebudayaan, Sejumlah Karangan Lepas. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya. Hlm.24.

[2] Sumber : https://kbbi.web.id/oportunisme. Diakses pada tanggal 07 April 2020 Pukul 19.16 Wita.

[3] Zainal Arifin Mochtar. 2018. Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi. Yogyakarta : Genta Publishing. Hlm.68.

 

Artikel, Berita

Corruption: Its Representations and Psychology in Indonesia 

Introduction 

Corruption is a moral and legal issue that has caused not only financial loss but also damage to all aspects of life, including cultural and political life. The most frequent question is “What kind of corruption do we try to prevent and eradicate?” The question is concerned with a definitional issue of corruption. In fact, corruption has lots of definitions, and each of it contains its own strengths and weaknesses. Pellegrini (2011), for example, showed that (1) the definition of corruption in a moral perspective would have “a discordancy” if it turns out that it generates social benefits; (2) the definition of corruption in a legal perspective could change according to the political interests of the authority; (3) the definition of corruption in a social science perspective would be “chaotic” if interfered with moral aspect, for social science is only concerned with behavior. 

Studies in corruption in the world are marked with a number of debates, for example between the moralist’s view and the revisionist’s (Farrales, 2005). The moralists condemn corruption because they believe it harms the welfare of society socially, economically, and politically. Criticism to the definition is considered as biased to the Western tendency, being insensible to cultural differences. For example, for the Western social standard, the nepotistic-relative practice is considered corruptive, but not every society sees that way. Some societies seemingly accept and implement corruptive living as rooted in implicit awareness or tacit knowledge. Particularly in Indonesia, as a historic and cultural origin, there are (1) a tribute-giving culture to the Sultanate or authorities (for the purposes of a job promotion or passing a civil servant screening test), and (2) no rigorous specialization in social roles. While the regional heads (holding political power) serve well as judges, chieftain, warlords (giving social, economic, and legal functions); it is problematic when they work in a system that stresses impersonality (Pryhantoro, 2016). For the revisionists, corruption is not necessarily harmful. Instead, it is an inevitable fact, functional in the adjustment process, and even beneficial in improving the efficiency of the bureaucracy. The perspective is still held in Indonesia, as corruption was ever mentioned by Fadli Zon, Vice Chairman of the Indonesian House of Representatives, as “the lubricant of development” (Khafifah, 2015). 

A number of debates still prevail regarding the definition of corruption. One of which is that between public opinion-based definition and legal definition (Farrales, 2005). The public opinion-based definition emphasizes the fact that the definition of corruption should be determined by the public norms and opinion, as what is considered corruptive in a society is not always the same in another. The legal definition highlights the breach of law by a public official for own advantages. If the official has not breached the law, or if there is not any behavioral regulation breached, then the corruption does not occur. 

In Indonesia, there is a book that describes the definition of corruption comprehensively, which is “Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi” or “Understanding for Eradicating: A Pocket Book to Gain Insight on Criminal Act of Corruption” (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006). According to the book, based on the Law of the Republic of Indonesia No. 31 Year 1999 ref. Law of the Republic of Indonesia No. 20 Year 2001, there are seven categories of criminal act of corruption, namely (1) the state financial loss; (2) bribery; (3) embezzlement in office; (4) extortion; (5) manipulation; (6) conflict of interests in procurement of goods and services; and (7) gratification. The seven categories also apply to the prevailing corruption practices at private sectors (non-public). In this context, Pope (2008) reminded that an individual or a group of individuals work at private sectors could conduct corruption by manipulating the organization’s legal status or its reputation to misuse the public trust under the transactional circumstances with public institutions or public officials, which, in fact, brings adverse impacts to the public interest, but benefits their own personal interests. Wijayanto (2009) stated that the Indonesian Republic regulation includes actions like embezzlement. Although not involving public officials or institutions, it can be categorized as corruption as it indirectly harms the public by reducing the inland revenues in terms of taxes. The extended definition is critical due to the fact that although bribery at the private sectors seems irrelevant with the political system of a country and does not as well occur at the public settings, it could, however, fuel the corruption culture which is later generalized into many aspects of society. Hence, to gain insight on the corruptive behavior, it is necessary to consider first the essence or substance of the act, not only its behavior or its formal regulations. 

In short, the definition of corruption is subject to criticism, evolved along with the corresponding symptoms, and contextualized according to the study field (Farrales, 2005; Pellegrini, 2011). Examining a variety of corruption definitions in the history, the author sees it necessary to conduct a particular study on corruption definitions prevailing on the minds of Indonesian people. It is important to recognize a variety of perceptions developing in the society on the definition of corruption, as through perceptions human make understanding and perceive the world in a coherent, logical, and meaningful way, as well as predict behavior in accordance with the established perception (Moskowitz, 2005). The information about these perceptions is very important to design an intervention scheme to prevent and eradicate corruption. 

This present study aims to obtain a collectively definitional representation, instead of individually cognitive representation, of corruption (Verheggen & Baerveldt, 2007; Wagner & Hayes, 2005). The collective representation is important as corruption is in fact “a site for contested meaning” (Pavarala, 1993, p. 145). Theoretically, the study is also beneficial to develop a corruption-psychology theory with typical characteristics of Indonesia. The urgency of the benefits becomes prominent as there has been no study about the Indonesians’ perception on corruption so far. Often, the understanding of the community about “corruption” is merely assumed because we have the law and regulations regarding this practice. 

Methods 

The number of participants in this study was 2,104 persons (48% males, 52% females), recruited by using the convenience sampling technique. The demographic and professional backgrounds were as follows: 42.3% were from West Kalimantan, and of Catholic High school students; 39.2% were from Greater Jakarta, and of company employees and undergraduate students (mixed religion and ethnicity); 12% were from North Sumatera, and of Catholic high school students (Catholic school); and 6.5% were from North Sulawesi, and of Preachers of Protestant Churches. The age mean of participants was 22.29 years old with the standard deviation of age was 9.91 years. The education backgrounds ranged from junior high school level to master’s degree. 

Instruments used were questionnaires with only one open-ended question, which is “If you hear the word ‘corruption’, what comes first to your mind?” The data of the study was calculated by using IBM SPSS for text analysis. 

Results and Discussion 

First of all, the author conducted an analysis of words using IBM SPSS for text analysis. Based on the frequency the word (in Indonesian) that emerged, the vast majority were (1) People (“orang”; but it is not yet clear, whether it referred to self or others), (2) money (“uang”), (3) ownself/personal (“sendiri” atau “pribadi”), (4) steal or take (“mengambil”), (5) harmful (“merugikan”), and (6) country (“negara”) (see Figure 1). The entire response is derived from 1,314 (or 62.45%) of the 2,104 samples; or more than half the number of samples. The first finding of the study revealed that in the minds of Indonesian people, the object of corruption is money, neither mentality nor time. 

To obtain more meaningful responses, the author further analyzed the phrases. Apparently, based on the frequency response, the top five concepts of corruption for Indonesian people are (1) related to others (“harmful to others”, “the rights of others”); (2) stealing; (3) self-interest; (4) an action; and (5) country (see Figure 2).

The first concept: Corruption is related to others. The concept might be relevant with an influential Confucian teaching in the East, in Asia, that states that “The value or importance of virtues such as truth, honesty, fairness, and rationality are subject to or depend upon the quality of human relationships” (Moon & McLean, 2003, p. 306). However, when in Korea the concept means that rationality and justice may be defeated by “the value of friendship or nepotism” causing corruption (hence corruption has a positive connotation) (Moon & McLean, 2003), this study found a different interpretation to the collectivistic Indonesian people. They view that corruption can cause degradation in others, and therefore, just based on truly consideration of others, corruption gained a negative connotation.

All this time, the most common and acceptable definition of corruption is “the abuse of entrusted power for private gain” (Transparency International, 2016). In this definition, the most notorious one is personal interest. However, this study found that the most obvious things of corruption in the minds of Indonesian people are the consideration towards others, the loss inflicted on others due to his/her actions, and the concerns over the rights of others. The finding was further also supported by research in other part of the world, in Europe, by Pisor and Gurven (2015), which showed that there is a negative correlation between one’s primary geographic identity and his/her permissibility towards corruption by controlling variables of gender, age, education, household dependency, and belief in God. The stronger the geographic identity (e.g. country vs. local) held by someone, the less likely he or she becomes permissive towards corruption. The assumption is that the corruption actors consider the number of people (kin, authorities, members of his/her super-ordinate group) impacted by his/her actions. Pisor and Gurven described the finding by using evolutionary psychology, in which the history of natural selection has allowed someone to be able to anticipate emotions of other people who shared the same identity with him or her. 

The second concept: Corruption is stealing. The use of the term “stealing” as a synonym of corruption is also used by Wedeman (1997, “stealing from the farmers”), O’Neil (2012; “stealing from the city”), and, a bit metaphoric, Meier and Griffin (2015, “stealing the future”). In the original definition, corruption is not identical to stealing. Stealing is not corruption if not entailing the issue of public power abuse. Nevertheless, this study revealed that in the minds of Indonesian people, corruption is similar to stealing. In fact, there were others who gave a similar statement (Agbaje, as cited in Odunayo, 2015):

“Ultimately, every act of corruption is an act of stealing. There is no question about it. There is no moral or ethical difference between them. Both are criminal, immoral and anti-social acts and nobody should attempt to make one look lighter than the other. People who commit either should be dealt with seriously.” 

However, stealing can be separated from corruption. Stealing is more fittingly a synonym of theft, which means “taking any property by a person with no right to it … [e.g.] steals aid packages from a truck is committing theft but not corruption” (UNEP, 2004, p. 14). Corruption occurs if there are stealing actions over something (money, products, or other valuable items) mandated or entrusted to him or her. Hence, stealing is wider in scope than corruption, and therefore, this kind of understanding, though less accurate, is, in fact, more advantageous in practice: corruption prevention and eradication. This is because, actually, not all stealing actions are corruption, but all corruption is definitely stealing actions. 

In Islamic religious laws, the difference between stealing and corruption is also highlighted. The penalty for stealing is hand cutting (if the stolen item is minimally worth 1.07 grams of gold), whereas the penalty for corruption is to pay money, or fines, or to be humiliated in public, or even to have a corporal punishment (whipping, or prison) (KonsultasiSyariah, 2012). The reasons are: (1) the experience of being stolen is very inevitable, but the experience of being betrayed for a mandate/trust given to someone is avoidable (for example, by not giving the mandate/trust); (2) Corruptors do not steal money directly from the treasury, but do it through the position granted to him or her; and (3) the corrupted money is not within the proper custody (KonsultasiSyariah, 2012). Obviously, there are still many Indonesian people who cannot clearly tell the difference between corruption and stealing, and thus, there comes an opportunity for education. 

The third concept: Corruption is associated with self-interest. As discussed before, the most common definition of corruption at first stresses on “private gain”. However, this study found that “self-interest” is in the third concept sequence which is mostly remembered and understood by Indonesian people. One definition of “self-interested behavior” is “actions that benefit the self and come at a cost to the common good” (DeCelles, DeRue, Margolis, & Ceranic, 2012, p. 681). Based on the definition, though it prioritizes self-interest, the consequence of such priority to the loss of common good (equals to “other people” in the first concept) is emphasized as its counterpart. Machiavelli (as cited in Robet, 2015) stated that the greatest destruction caused by corruption is not at first on the law, but on the common good, as the common good is falling, then the foundation and atmosphere for healthy and good politics is falling too; as a result, patriotism and love for motherland (as opposing to the priority of “private gain”) are weakening. It is obvious now that Indonesian people do not care about the issue of power abuse as it apparently occurs in corruption. What matters to them is the fact that corruption has harmed them, and stolen something from them.

The fourth concept: Corruption is an action. This means that corruption is not merely a behavior. Borrowing the concept of sociology, an action involves a sense of agency; in which the actors commit an activity based on intention, conscious process, subjective meaning, or deliberation (Blunden, 1999; van der Wal, 2012). In the recent psychology research, an action apparently can be equivalent to “motivated behavior”, in which the behavior performed by someone includes orienting attention and valuation processes (Suri & Gross, 2015). Hence, there are meaningful behaviors – called action – and mere behavior (not always being driven by a purpose or meaning) – called behavior. 

Therefore, according to the study results, for Indonesian people, there is no corruption which is free from its meaning-making of the actors. There is no such a “forced corruption”. First, we need to understand what the forced corruption means. The following is the description: 

“What is significant in Simis’ argument is the idea of forced corruption for both those who give bribes and those who take them …. Structural (both economic and cultural) forces or constraints of the Soviet over-controlling centre resulted in flourishing blat: life became impossible unless the rules were broken …. Despite the extent and frequency of blat, however, it received little formal acknowledgment. When publicized, it was treated as deviant acts of atypical people. In practice, the reverse seemed nearer to truth – in many jobs indeed it was often abnormal not to be involved in blat” (Ledeneva, 1998, p. 46). 

Some theoretical positions believe that corruption is truly an institutional and political issue that requires a structural solution (Mbaku, 2010; Sandoval-Ballesteros, 2013). Related to the third concept discussion, a corrupt system can be fought by individuals by not granting a mandate or trust to the system, or by willfully establishing the system reform. Those individuals also need to be strengthened and empowered to avoid “structural imbalances of social power” (Sandoval-Ballesteros, 2013, p. 60), so that the corrupt system would undergo a disincentive or punishment, instead of positive reinforcement. 

Nevertheless, the result of the present study matched perfectly with the situation in the Soviet community as described before by Ledeneva (1998). Public through its statement (either read or heard by other people) reveals that corruption is an abnormal action of someone, which cannot be attributed as a mandated thing given by its social structure. In this case, there are two possible explanations. First, when the questionnaires are filled in, there is a bias of social desirability. Whatsoever, there is no such a “forced corruption”. The statement that there is a “forced corruption” could damage somebody’s moral self-concept. An individual always has freedom to choose in joining or leaving a corrupt system. Second, Indonesian people have not fully realized the effects of structural forces to corruption. They think that an action by an individual is still considered the only entity responsible for his or her corruption behavior, for prevention of corruption, and corruption eradication. The thing is, if we accept the fact that the prevailing corruption is due to forcing by a social structure, how to decide the appropriate method to judge a situation that there is “forcing elements”, “excessive or extreme social pressures” (Upadhyay, 2003), or “entrapment” (remember the social trap concept of Platt, 1973) to do corruption. 

The fifth concept: Corruption is associated with the country. It can be understood as the phrase “the amount of state loss” is most frequently heard when a criminal act of corruption is publicized by the press. Corruption gives a bias to a country’s focus in its development (The World Bank, n.d.), and ruins a government’s credibility in implementing democracy (Upadhyay, 2003). The fifth concept shows that Indonesian people have an awareness that corruption is an issue that is wider at social rather than interpersonal or community levels. However, as clearly seen, the awareness is still ranked below the association of corruption with other-selves and the self, as shown from the first concept to the fourth. It may because that “the state” is still a more abstract concept (having a higher psychological distance; see also Snefjella & Kuperman, 2015), and “people” and “stealing” are a more concrete concept for Indonesian people who are the participants in this study.

Conclusion, Implication, and Limitation

This study concludes that there are typical concepts of corruption prevailing in the minds of Indonesian people, which are (1) related to other people; (2) stealing; (3) self-interest; (4) an action; and (5) country. This study is the first research in Indonesia to identify meanings of corruption which are mostly understood by Indonesian people. A number of parties have tried to do the mapping (see Figure 3), but it was based more on logical speculations or literature reviews, rather than empirical research. 

For the practical implication, the findings of the study can be used as the valuable material for education or anti-corruption campaign. Anti-corruption advertisements have so far emphasized at least several theme categories (see Figure 4): (1) Courage and/or honesty, for example “Berani Jujur Itu Hebat / Being Dare to be Honest is Great” ; (2) Crime, for example “Corruption: it’s a crime” ; (3) Disease, for example Corruption as “cancer of society” ; Corruption as the “worst disease” ; “Corruption is deadly” ; (4) Self-efficacy, for example “You can stop corruption” ; (5) Power, for example “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” ; and (6) Development, for example “Zero Corruption, 100% Development.

A number of campaign themes presented above have benefits to some extent. However, according to the present study results, the effective anti-corruption messages (being able to persuade as compatible to the minds of common people) are those that emphasize the destructive impacts of corruption towards others, for example, “With Corruption Everyone Pays” (see Figure 5). 

Limitations of this study is that it did not recruit the sample comes from all major islands in Indonesia, as well as more than half of the participants are young people who are educated in Catholic schools. Therefore, the generalizability of these study results might be limited. Further research could increase the number of samples and conduct multilevel analysis to the discovered representation.

Juneman Abraham, Bina Nusantara University, Indonesia
Yosef Dedy Pradipto, Bina Nusantara University, Indonesia 

Tulisan ini terbit pertama kali di The Asian Conference on Psychology and the Behavioral Sciences 2016 Official Conference Proceedings 

 

References 

Artikel, Berita

Mengapa Menolak Pembebasan Napi Korupsi

Niat Menteri Hukum dan HAM melakukan pembebasan bagi narapidana korupsi menuai perdebatan. Setelah melepaskan ribuan  narapidana umum, melalui percepatan asimilasi dan integrasi. Berhembus kabar, napi korupsi berusia minimal 60 tahun akan dibebaskan. Tentu terlebih dahulu melalui revisi PP 99 Tahun 2012.

Syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan seperti remisi dan pembebasan bersyarat diperketat setelah berlakunya PP99/2012. Bukan berarti diskriminasi atau bertentangan dengan UU Pemasyarakatan. Akan tetapi, langkah ini sebagai upaya membuat jera pelaku korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran HAM Berat, dan kejahatan transnasional terorganisir. Di saat yang sama, pengetatan diharapkan agar masyarakat tidak mau melakukan hal serupa.

Alasan Yasonna

Terdapat sedikitnya tiga alasan mengapa Menteri Hukum dan HAM berinisiatif untuk membebaskan narapidana korupsi. Pertama, mencegah penyebaran virus Covid 19. Langkah antisipasi diambil dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid 19. Dalam konsideran menimbang menyatakan bahwa Covid 19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional non alam, sehingga perlu dilakukan langkah cepat sebagai upaya penyelematan terhadap tahanan dan warga binaan pemasyarakatan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan.

Langkah konkritnya dengan keluarnya Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan dan penanggulangan penyebaran Covid 19. Tidak tanggung-tanggung proses asimilasi dan hak integrasi akan diberikan kepada 30.000 sampai 35.000 Narapidana se Indonesia.

Kedua, alasan over kapasitas. Salah satu upaya mengantisipasi virus corona dengan cara social distensing. Menjaga jarak antar satu orang dengan orang disekitarnya. Melihat tingkat hunian di Lembaga Pemasyarakatan tentu langkah tersebut tidak bisa terwujud. Ketiga, alasan kemanusiaan. Penyebaran virus corona yang sudah menyebabkan ratusan ribu orang meninggal seluruh dunia. Data gugus tugas percepatan penanggulangan COVID-19 Indonesia terkonfirmasi positif 2.491 orang, sembuh sebanyak 192 orang dan meninggal dunia 209 orang (7/4/2020). Atas dasar itulah, Yasonna dalam pernyataan disejumlah media, bahwa tindakan mengeluarkan narapidana termasuk niatan membebaskan napi korupsi usia minimal 60 tahun ke atas demi kemanusiaan.

Empat Alasan Penolakan

Menelisik perkembangan isu revisi PP99/2012, meskipun pemerintah melalui Menko Pulhukam Prof. Mahfud secara tegas menepis niatan Menteri Hukum dan HAM. Ada enam alasan mengapa kita musti menolak revisi PP/99/2012. Pertama, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Termaktub dalam penjelasan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka korupsitidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Nah, cara yang luar biasa itu termasuk dengan adanya pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

Kedua, setelah berlakunya PP99/2012 sudah ada beberapa kali dilakukan pengujian secara materil (Judicial Review). Pada tahun 2013, seorang terpidana korupsi mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Atas dasar bahwa syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi, pelnggaran HAM Berat, narkotika, terorisme dan kejahatan transnasional teroganisir sebagaimana diatur dalam PP99/2012 bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setali tiga uang, pada tahun 2017 narapidana OC Kaligis, Suryadharma Ali, Irman Gusman, Barnabas Suebu dan Waryana Karno mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, baik judicial review ke MA maupun MK menyatakan menolak gugatan para pemohon. Artinya sudah ada dua jurisprudensi yang menolak bila dikatakan bahwa PP99/2012 diskriminatif.

Ketiga, mengenai overkapasitas di Lapas. Alangkah naif bila tingginya tingkat hunian disebabkan karena napi korupsi. Berdasarkan data per februari 2020 tercatat 204.393 orang, napi khusus berjumlah 144.822 orang. Khusus napi korupsi hanya berjumlah kurang lebih 4.552 orang. Atau dengan kata lain, tidaklah signifikan mengurangi over kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Masih lebih rasional bila yang dibebaskan adalah napi umum dan narkotika. Terkonfirmasi untuk napi khusus paling banyak Lapas dihuni oleh napi narkotika, yang terdri dari pengedar/bandar berjumlah 138.052 orang dan pengguna berjumlah 446.740 orang.

Selain itu, solusi mengurai overkapasitas di Lapas harusnya dengan mengurangi kriminalisasi atas suatu perbuatan. Menerapkan pidana denda harian untuk mengganti pidana penjara bagi tindak pidana umum yang diancam pidana penjara 1,5 tahun ke bawah. Terakhir dengan menghilangkan pidana penjara bagi pengguna narkotika (bukan bandar/pengedar), cukup dengan rehabilitasi dan membayar denda. Meskipun keseriusan dari pemerintah sendiri untuk mengurangi overkapasitas di Lapas, ibarat jauh api dari panggang. Melihat RKUHP yang sementara digodok saat ini.

Keempat, bila betul pembebasan napi didasarkan atas prinsip kemanusiaan. Maka idealnya adalah Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan semua narapidana di lembaga pemasyarakatan. Nanti, setelah virus corona hilang baru para narapidana di kembalikan ulang ke Lembaga pemasyarakatan. Lamanya napi di luar wajib diganti setelah proses pengebalian (penangguhan pemidanaan). Bukankah prinsip kemanusiaan bersifat universal tidak diskriminatif. Apalagi cenderung berpihak kepada koruptor!

Jupri, SH.MH, Akademisi UNISAN & Pengurus DPD KNPI Provinsi Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Gorontalo Post, 8 April 2020

Artikel, Berita

Corona & Korupsi Dana Bencana

Seluruh dunia sementara berkabun. Virus corona telah mewabah. Kemampuan menularnya sangatlah cepat. Di Italia korban meninggal telah mencapai 10.000 orang. Ramai-ramai sejumlah negara di dunia menyuarakan Lockdown. Tujuannya agar Covid-19 tidak menyebar lagi.

Di Indonesia sendiri, masih menjadi perdebatan apakah Lockdown ataukah cukup dengan social distancing. Akan tetapi, bila melihat data penyebaran virus corona sudah menguatirkan. Per 29 Maret 2020 pukul 16.00 terkonfirmasi 1.285 kasus, 64 kasus sembuh dan meninggal dunia 114 orang. Olehnya sudah tepat bila pemerintah menyatakan bahwa Covid 19 merupakan bencana nasional non alam.

Pertanyaannya apa hubungannya dengan korupsi ? Apakah ada manusia yang tegah melakukannya ? Dalam kondisi bangsa terkena bencana ?

Korupsi Dana Bencana

Jawabannya “iya ada”, korupsi memang memiliki daya rusak yang luar biasa. Perilaku ini bukan hanya merugikan keuangan negara. Di saat yang sama korupsi juga merusak mental seseorang. Mematikan hati nurani.

Di Indonesia sendiri, korupsi dana bencana pernah terjadi di beberapa daerah. Pertama, korupsi dana rehabilitasi gempa Lombok. Terdakwa kasus korupsi “fee project” dana rehabilitasi pascagempa Lombok Nusa Tenggara Barat, Muhir di vonis 2 (dua) tahun penjara, denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan kurungan. Majelis hakim menyatakan bahwa Muhir terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, laporan pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada tahun 2005 mengungkap penyimpangan dana bencana Tsunami di Aceh dan Nias. Ketiga, korupsi proyek air minum bagi korban bencana alam di Palu dan Donggala. Pada tahun 2018, OTT KPK telah menetapkan 8 orang tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi suap kepada pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di daerah Palu dan Donggala Sulawesi Tengah.

Di Provinsi Gorontalo sendiri, mungkin masih ingat korupsi pada proyek pengendalian banjir yang didanai APBD sebanyak Rp 19,5 Miliar. Berawal dari rusaknya sejumlah jembatan dan tanggul sungai di Kabupaten Bone Bolango akibat terjangan banjir bandang. Majelis hakim kemudian menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Fakta-fakta di atas, merupakan bukti nyata bahwa di tengah mewabahnya corona virus. Perilaku koruptif bisa saja mengiringinya. Apalagi di “halalkannya” pergeseran pos-pos anggaran lain ke pos penanggulangan bencana wabah corona. Pertanyaan berikutnya, apakah pelaku korupsi dana wabah corona bisa dipidana mati?

Pidana Mati

Penanggulangan korupsi melalui hukum pidana (penal) masih sangat kita butuhkan. Apalagi bila kita berbicara perilaku koruptif dana bencana wabah corona. Dari segi regulasi, penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di atur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekenonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 miliar. Dalam hal tindak pidana korupsisebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Frasa “keadaan tertentu” dalam penjelasan Pasa 2 ayat 2 adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Pada penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 tahun 2001 terdapat frasa “bencana alam nasional”. Bila kita kaitkan dengan kondisi wabah corona di Indonesia, pemerintah telah menetapkan corona virus sebagai bencana nasional non alam (4/3/2020). Suatu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam alam hal ini yakni epidemi dan wabah penyakit. Konsekuensinya adalah bila ke depan terjadi tindak pidana korupsi dana bencana wabah corona, maka pidana mati sangat tepat untuk dijatuhkan.

Jupri, SH.MH, Akademisi UNISAN & Pengurus DPD KNPI Provinsi Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Gorontalo Post, 31 Maret 2020

Artikel, Berita

Korupsi Dipandang dari Sisi Psikologi Sosial

Korupsi adalah gejala kompleks. Terdapat sejumlah sudut pandang untuk membedahnya. Salah satunya adalah sudut pandang psikologis, yaitu psikologi orang yang takut mati. Apakah ada manusia yang tidak takut mati? Saya akan jelaskan. Kita semua menyimpan ketakutan akan kematian, setiap hari. Ketakutan itu kita simpan diam-diam, walau sesekali kita ungkapkan juga secara terbuka.

Bagaimanapun, rasa cemas akan kematian itu menyiksa batin seseorang. Orang merasa tidak berdaya di hadapan fakta kematian. Fakta itu berpotensi membawa kehampaan atau perasaan bahwa “saya dan hubungan-hubungan saya tidak akan berlanjut”, “saya akan menjadi nihil”. Nah, supaya pikiran seseorang tidak dibalut dengan rasa cemas akan kematian, orang membangun cara hidup. Tujuannya satu, yakni untuk melindungi diri dari kecemasan akan kematian itu, bahkan bila dapat, mengatasi kematian itu. Orang ingin “mengabadikan” hidupnya. Apakah mungkin? Bagaimana caranya?

Manusia adalah makhluk yang kreatif. Ia tidak mau dibatasi oleh kematian. Oleh karena itu “keabadian” dibangunnya secara psiko-simbolik karena badan pasti hancur. Dia membangun makna hidup, dia memeluk atau menganut pandangan hidup tertentu. Dengan cara tersebut, harga diri seseorang yang tadinya jatuh di hadapan fakta kematian yang tak terhindarkan dan tidak bisa dia kendalikan itu, kemudian ditegakkan kembali.

Persis di sinilah titik kritisnya. Pandangan hidup semacam apa yang bisa sukses mengatasi perasaan diri kecil, “bodoh”, dan tak berarti di hadapan fakta kematian? Ada orang-orang yang menyerahkan dirinya pada pandangan hidup yang menekankan penguasaan terhadap lingkungan. Dengan berkuasa dia merasa diri bermakna. Kekuasaan dipandang sebagai rantai yang menghubungkan segala macam hal, orang, dan peristiwa, yang membuat dia tidak gamang lagi. Dengan itu, dia merasa—sekali lagi: merasa—bahwa dia telah menggengam sesuatu yang tidak dapat dicuri atau diambil oleh kematian. Eksistensi dirinya merasa diteguhkan.

Hasrat berkuasa itu biasanya beriringan dengan hasrat akan materi. Bila kita cermati, materialisme dan konsumtivisme telah menjadi semangat zaman ‘now’, sayangnya, sebagai cara paling dangkal dan banal yang dipilih manusia untuk memulihkan dan meningkatkan makna dan harga diri yang dirusak oleh fakta tentang ancaman kematian. Dengan uang, kekuasaan, dan kepemilikan, kebanyakan orang merasa aman bahkan bahagia secara biologis, psikologis, dan kultural. Tidak heran bahwa orang-orang seolah sedang berlomba-lomba untuk secepat mungkin meraih hal-hal tersebut, dengan berbuat korupsi, supaya kecemasan akan kematian berhenti mengejarnya. Apakah kecemasan itu benar-benar berhenti, katakanlah jika orang mencapai puncak kekuasaan dan kepemilikan; itu persoalan yang lain lagi.

Oleh kreativitasnya itu, perasaan akan keabadian juga diciptakan manusia melalui pemikiran bahwa walaupun tubuh fisik ini hancur, namun gen yang dia warisi melalui putra-putri dan cucu-cicitnya akan melambangkan bahwa keberadaan dirinya berlanjut walau dia sudah mati. Secara kultural, gen itu berkorespondensi dengan nama keluarga. Itu sebabnya korupsi itu sangat egois. Pusat sebenarnya adalah diri sendiri, tetapi seolah-olah diabdikan untuk kepentingan orang lain.

Kenyataannya, kreativitas manusia membuat perhatiannya tentang untung-rugi material menggunakan sarana yang disebut atau dianggapnya sebagai “keadilan sosial”. Dikaitkan dengan ungkapan sebelumnya, mengenai “kekuasaan sebagai rantai penghubung” untuk “mengatasi” kematian, akan sangat sulit rantai itu terbentuk dan terpelihara jika manusia tidak memperhatikan apa yang adil dan apa yang membahagiakan buat relasi-relasinya. Relasi atau hubungan itu justru penting untuk mengukuhkan identitas dan status seseorang. Oleh karenanya, membela harga diri kelompok dianggap sama pentingnya dengan membela harga diri orang per orang yang terancam oleh fakta tentang kematian. Ini menjadi pendorong “korupsi berjamaah”. Hal ini karena kelompok ikut menghadirkan kebanggaan dan kehormatan diri bagi seseorang yang bisa membuat orang tidak melulu terbalut oleh kecemasan akan kematian.

Kendati demikian, hal-hal di atas hanya segelintir dari sekian banyak pandangan hidup. Ada pandangan hidup yang jelas-jelas menilai bahwa perasaan abadi yang dihasilkan oleh materi dan kekuasaan yang dijustifikasi dengan persepsi “keadilan sosial” adalah sebuah ilusi psikologis. Kalaupun di atas disebut-sebut tentang adanya kebahagiaan, kebahagiaan itu dicurigai sebagai semu.

Ilusi itu berarti bahwa orang menghargai terhadap sesuatu yang sejatinya tidak berharga. Orang memberikan nilai tinggi akan sesuatu yang tidak setinggi itu nilainya. Sebagai contoh, orang yang menjalani gaya hidup “tampil” dengan segala fashion dan motif untuk dikagumi secara sosial (dan dengan demikian “sejenak” melupakan kematian), pada sejumlah momen dalam hidupnya akan mengirimkan sinyal kepada diri sendiri, dan mengatakan bahwa ada aspek diri yang lebih hakiki daripada sekadar impresi yang ada di permukaan itu. Diri yang ‘tampil’ itu ternyata bukan diri yang otentik, bukan diri yang sejatinya diinginkannya, dan dia harus membayar dengan memburuknya pandangan terhadap moralnya sendiri.

Terhadap sinyal itu, orang dapat berulang-ulang menyerahkan dirinya pada sesuatu yang dianggap sebagai “tekanan” semangat zaman yang tak terhindarkan. Dengan demikian, korupsi pun dibenarkan, bahkan diberikan kerangka makna sesukanya sendiri, misalnya “korupsi itu pelicin pembangunan dan untuk kepentingan kita yang lebih besar”. Sampai pada taraf psikologis ekstrim, emosi moral—yaitu rasa malu dan rasa bersalah—yang seharusnya fungsional untuk mengantisipasikan dan mengerem perilaku koruptif menjadi kendur dan mengalami erosi. Orang bahkan tidak segan untuk melakukan apa yang dalam masyarakat kita digambarkan sebagai “maling teriak (orang lain) maling” atau mengorbankan orang lain demi citra dirinya yang dibangun dengan mental korup.

Oleh karena itu, dinamika “psikologi orang yang takut mati” ini mesti dipahami dan diberikan implikasi sosial kalau kita ingin mencegah dan memberantas korupsi. Bukan dengan serta-merta menganjurkan dan menerapkan hukuman mati, apalagi jika kita belum mampu menjamin juga bahwa sistem hukum kita sudah bebas dari korupsi. Sekarang memang ada gejala yang namanya anti-intelektualisme, sederhananya: kemalasan berpikir, sehingga solusi-solusi yang bersifat simplistik, seperti hukuman mati, pun ditelurkan.

Saya mengajak kita semua untuk memeriksa pandangan-pandangan hidup apakah yang bekerja dalam diri dan masyarakat kita yang berguna untuk mengatasi kecemasan akan kematian. Kematian ternyata secara paradoksikal merupakan etos pertumbuhan karakter hidup seseorang, apakah ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Tetapi, pandangan-pandangan itu perlu disadari saling berkompetisi dan menciptakan apa yang oleh sosiolog disebut situasi anomik atau kesimpangsiuran norma. Mana sajakah yang berpotensi membungkam, atau sebaliknya, memfasilitasi moralitas positif? Persepsi tentang keadilan sosial seperti yang dipaparkan sebelumnya perlu dipikirkan ulang.

Wajib juga jujur dengan bahasa kita sendiri. Kalau pelicin sejatinya adalah pemorakporanda, apakah akan bertahan dengan sebutan pelicin? Contoh lain, dalam dunia Perguruan Tinggi (yang kata orang, disanalah “nurani masyarakat” terletak), praktik “bagi-bagi nama” (gift authorship) dalam penulisan artikel jurnal ilmiah tidak sedikit terjadi. Seorang guru/dosen yang disebut “pembimbing” namun tidak signifikan menyumbangkan gagasan maupun tulisan atas karya ilmiah bimbingannya tetapi menghasut siswa/mahasiswanya untuk mencantumkan namanya sebagai salah seorang penulis artikel jurnal/prosiding konferensi demi untuk memperoleh angka kredit kenaikan jabatan. Demikian juga terjadi di antara sesama sejawat dan hubungan atasan-bawahan di kampus. Bukankah ini wajah korupsi akademik yang dipoles dengan bahasa “gotong royong”, “kolaborasi”, dan “supervisi”? Apakah istilah “rasuah” yang digunakan oleh media massa mengecilkan pemahaman kita tentang “korupsi”?

Selanjutnya, mana yang bernilai dan mana yang tidak bermakna bagi kemanusiaan kita perlu dirumuskan sungguh-sungguh. Saya dengar, sedang direncanakan perumusan 25 butir Pancasila oleh Unit Kerja Presiden. Ini merupakan inisiasi yang bagus. Hanya saja problem “verbalisme Pancasila” selama ini perlu melibatkan studi-studi yang kreatif, supaya anti-intelektualisme tidak terjadi. Ada perbedaan yang jelas antara “kepatuhan (di mata) publik” (public compliance) dan “penerimaan batin” (private acceptance). Kalau suatu saat lahir “Indeks Keber-Pancasila-an”, apakah perbedaan tersebut telah diperhitungkan, supaya jangan sampai terjadi korupsi dalam makna dan pengamatan? Jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan mendekatkan kita pada pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Akhirnya, sama halnya bahwa pengatasan terhadap tendensi korup seseorang dimediasikan secara jelas oleh pandangan hidup dan bahasa, maka pencegahan dan pemberantasan kecenderungan korup secara sosial/institusional seharusnya dimediasikan secara tegas oleh perangkat sosial/institusional yang secara sengaja diciptakan untuk itu. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sentral dalam hal ini.

Juneman Abraham, Pakar Psikologi Sosial

Tulisan ini pertama kali terbit di Bernas.id dengan judul “Korupsi Dipandang dari Sisi Psikologi Sosial” edisi 22 November 2017

Donasi