Hubungi Kami
Kawan Bung Hatta, Kawan Bung Hatta

KBH Bireuen Adakan Diskusi Pemuda Berintegritas

Kawan Bung Hatta (KBH) mengajak beberapa organisasi di kabupaten Bireuen, untuk diskusi tentang integritas dan kepemiluaan. Diskusi bertema “Urgensi Partisipasi Gerakan Sosial Mengawal Pemilu 2024”, yang didukung oleh Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA), dilakukan di destinasi wisata pantai Jangka, Bireuen, Aceh. Minggu (30/7/2023).

Murni M. Nasir selaku penanggungjawab kegiatan mengatakan, diskusi santai itu bertujuan untuk mendiskusikan urgensi pemuda dalam mempertahankan integritas ditengah gempuran perwujudan idealism.

“Betapa pentingnya menjalani kehidupan dengan penuh integritas. Makna integritas ialah memegang teguh prinsip moral untuk bersikap jujur, adil, tulus, ikhlas, dapat dipercaya, komitmen dalam membela kebenaran, tegas dan berani bertindak dalam menegakkan keadilan”, tegasnya.

Diawal diskusi Murni mengisahkan secara singkat tentang sosok kepemimpinan Bung Hatta, figur bapak bangsa yang memberikan teladan perilaku jujur, baik dalam hubungan pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Diskusi tersebut turut menghadirkan dua narasumber, yaitu Wildan Zacky selaku ketua Panwaslih Bireuen, dan Zulfikar Muhammad dari pengamat politik dan sosial Aceh.

Wildan Zacky, mengajak peserta untuk ikut berpartisipasi mengawas Pemilu yang bersih, berintegritas, dan minim kecurangan.

“dibutuhkan pelibatan masyarakat untuk ikut aktif dalam proses pengawasan pemilu, guna memperkuat dan memaksimalkan proses pelaksanaan pemilu. Agar Pemilu 2024 berjalan sesuai dengan amanah konstitusi”, ujar Wildan.

Zulfikar Muhammad menambahkan, segala permasalahan yang terjadi dewasa ini di Indonesia seperti korupsi yang kian merajalela, penyalahgunaan wewenang, lemahnya penegakan hukum, inefisiensi birokrasi, harga bahan-bahan pokok yang naik, ancaman perpecahan bangsa, dan lain-lain adalah sebagian besar disebabkan lemahnya integritas para pemimpin.

Diskusi tersebut dihadiri sekitar 30 peserta. KBH berkolaborasi dengan Universitas Almuslim (Umuslim), Pemerintah Mahasiswa (PEMA) Umuslim, Generasi Demokrasi Resiliensi (DemRes) Bireuen, Komunitas Daweut Apui/ Jurnalis Warga Bireuen, dan Sekolah Anti Korupsi (SAK) Bireuen.

Kegiatan mayoritas dihadiri oleh mahasiwa Umuslim, beberapa Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) tingkat kecamatan, dan masyarakat umum lainnya.

Sumber: https://www.kabarjw.com/2023/07/kbh-bireuen-adakan-diskusi-pemuda.html

Acara, Agenda, Berita, News

Karya Peserta Lomba Video Melawan Korupsi

Kebersamaan merupakan modal melawan korupsi yang telah menjadi kejahatan serius. Dalam rangka memperingati 20 Tahun Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award, Perkumpulan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam melawan korupsi dengan membuat video. Dalam video yang dibuat, peserta peserta mengelaborasi topik seputar: (1) Internalisasi nilai-nilai antikorupsi; (2) Membangun budaya antisuap & gratifikasi; (3) Mewujudkan Pemilu Berintegritas dan Demokrasi Bermartabat. Video dapat berupa vlog harian, video musik orisinal, film pendek, video naratif, video animasi, dll.

Melalui karya-karya tersebut, harapannya tersebarluaskan nilai-nilai dan semangat untuk melawan setiap bentuk penyimpangan sehingga tujuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat tercapai. Video peserta diupload ke platform seperti Instagram, Tiktok, Facebook, dan Youtube. Periode pendaftaran & pengiriman karya dimulai dari 13 Maret – 30 April 2023.

Berikut karya-karya peserta yang dikirimkan kepada panitia:

Nama Lengkap Peserta Judul Video
Luqman Hakim (MTs. Ma’arif Sidomukti) Sebelum 5 menit
Nazri Membangun Budaya Antisuap & gratifikasi
Rijal Hasyim Rifai Amanah
Rizki nurdiana JELAS
Ifsan Massa Karundeng, S.H Korupsi bukan hanya soal uang
Arnoldus Leo Karra Korupsi Harus Mati!!
Puji Ananda Putranto INTEGRITAS
HAIDAR SYAHM AZZURA RACHMAN BERDIKARI
Putu Dhea Lian Cahyani Terbelenggu
ZACH RYAN TEGAR
Rena Selvia Mewujudkan Pemilu Berintegritas dan Demokrasi Bermartabat
Umar Al Masjid PERCENTAGE
Anggun Aisyifa Zahara Sincerus
Fajar Oktober Telaumbanua Biasakan diri untuk jujur
Hasnah Penyesalan
Alfin Nihayatul Islamiyah Melawan Gratifikasi, Harus Mulai dari Mana sih?
Lintang Nurcahyo Melawan Sistem
FEBRIANTO WIJAYA JAHIT IMAN
M. Dzikri Maulana Menerapkan nilai-nilai antikorupsi di kehidupan sehari-hari
Aprizal Yogi Syaputra KRUPSI
Doni Chairullah Demokrasi Bermartabat Melalui Pemilu Tanpa Korupsi
Akbar Fernando Ndabung KENA MENTAL
Nathania keyzia Suhandi ( SDN 55 Palembang) Melawan korupsi
Muhammad Galih Prasetyo B.O.S
Abdul Basith Bayar

Karya-karya peserta yang telah dikirimkan kepada panitia akan dilakukan penilaian/penjurian oleh Dewan Juri. Pengumuman pemenang pada tanggal 15 Mei 2023.

Acara, Agenda, Berita, News

Lomba Video Melawan Korupsi (TOR)

Bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-20 Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 9 April 2023, kami mengajak seluruh anak-anak bangsa untuk turut menginternalisasikan dan menyebarluaskan nilai dan semangat kebaikan melawan setiap bentuk korupsi/penyimpangan. Kebersamaan merupakan modal melawan korupsi yang telah menjadi kejahatan serius atau kejahatan kemanusiaan.

Peran masyarakat memiliki kedudukan penting dalam tata hukum Indonesia salah satunya adalah kewajiban untuk melaporkan/mengadukan adanya tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum. Hal lain ialah turut menyebarluaskan nilai-nilai antikorupsi, terlibat pendidikan dan sosialisasi melawan korupsi. Selama ini, BHACA juga telah menggunakan pendekatan pencegahan, pendidikan/sosialisasi, dan advokasi menentang korupsi.

Melalui lomba bertajuk “Video Melawan Korupsi,” kami mendorong agar setiap orang yang peduli pada negeri ini berani dan mulai bersuara. Berikut term of reference (TOR) lomba: download video melawan

Acara, Agenda, SIARAN PERS

Lomba Menulis Artikel bertema: “Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta”

Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) mengadakan lomba artikel bertajuk “Gagasan Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta.” Lomba ini dalam rangka memperingati HUT ke-77 RI sekaligus HUT ke-120 Mohammad Hatta atau akrab disapa Bung Hatta.

Lomba artikel ini bertujuan untuk menggali gagasan atau pemikiran, prinsip maupun praktik hidup Bung Hatta dalam aspek demokrasi, hak asasi manusia, dan antikorupsi. Peserta didorong untuk menyelami dan mengaitkannya dengan situasi dan praktik demokrasi, pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi saat ini dan mendatang. Dengan mengirimkan artikel untuk mengikuti lomba ini peserta dianggap memahami dan mematuhi syarat dan ketentuan yang dibuat oleh panitia. Artikel juara dan artikel terpilih akan diterbitkan di website www.bunghattaaward.org.

Syarat dan Ketentuan

  • Peserta usia 16 – 30 tahun;
  • Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 1 artikel;
  • Artikel yang dikirim harus merupakan karya orisinil peserta, bukan hasil plagiarisme (karya hasil plagiarisme akan didiskualifikasi);
  • Artikel belum pernah dipublikasikan atau diikutkan dalam ajang perlombaan lain;
  • Judul artikel bebas asal sesuai tema. Artikel menggali pemikiran atau gagasan, prinsip maupun praktik hidup Bung Hatta dalam aspek demokrasi, HAM, dan antikorupsi serta mengaitkannya dengan situasi sekarang dan proyeksi masa depan;
  • Kutipan/penggunaan data dari pihak lain diperkenankan, tetapi wajib mencantumkan sumber/referensi;
  • Artikel mengikuti gaya peserta/penulis asalkan sesuai dengan kaidah dan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam segi ejaan, tanda baca, pemakaian huruf besar kecil, maupun susunan kata-kata;
  • Artikel diketik dalam bentuk Ms.Word. Panjang artikel 600 – 800 kata (=2-3 halaman); font “Times New Roman,” font size “12PT,” spasi “1,5), batas pengetikan: 4433;
  • Artikel tidak boleh mengandung unsur SARA, pornografi, menganjurkan tindakan kekerasan, menyudutkan kelompok atau golonga tertentu, dan menyiarkan kebencian atau tidak memenuhi ketentuan penulisan artikel di atas;
  • Artikel yang dikirim dilengkapi dengan ringkasan profil singkat penulis;
  • Hak cipta artikel tetap menjadi milik penulis. Semua isi artikel baik berupa teks, tabel, maupun foto yang dikirim adalah tanggungjawab penulis sepenuhnya;
  • Segala tuntutan atas keaslian artikel menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada tuntutan terhadap keaslian artikel terbukti benar maka panitia berhak mendiskualifikasi artikel dan mencabut gelar juara peserta;
  • Keputusan juri bersifat final dan tidak dapat diganggu-gugat
  • Pendaftaran lomba artikel GRATIS.

Pengumpulan Karya

  • Mengisi formulir pendaftaran dan mengupload artikel secara lengkap melalui: bit.ly/LombaArtikelBungHatta
  • Pengumpulan artikel mulai dari 9 – 24 Agustus 2022

Linimasa

  • Pendaftaran dan pengumpulan karya : 9 – 24 Agustus 2022
  • Penjurian : 25-30 Agustus 2022
  • Pengumuman juara : 31 Agustus 2022

Aspek Penilaian

  • Kesesuaian dengan tema (keselarasan dan fokus tulisan seputar tema besar yang ditentukan);
  • Gaya penulisan (alur penulisan, diksi, dan tata bahasa);
  • Kualitas dan value artikel (kedalaman, kemenarikan, dan nilai guna yang dimiliki artikel).

Tim Juri

  • SABIR LALUHU, Wartawan Senior Sindo & Penulis Buku “Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi” dan “Membendung Korupsi Demi Negeri”

  • TATANG HIDAYAT POHAN, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Labuhanbatu & Kawan Bung Hatta

  • KORNELES MATERAY, Peneliti BHACA

Hadiah

  • Juara 1 = Rp.1.000.000 + Merchandise
  • Juara 2 = Rp. 750.000 + Merchandise
  • Juara 3 = Rp. 500.000 + Merchandise
Acara, Berita

Diskusi “Napak Tilas Pengelolan SDM KPK & Pemberantasan Korupi”

Diskusi Napak Tilas Pengelolaan SDM KPK dan Pemberantasan Korupsi  adalah suatu upaya untuk melihat perjalanan sejarah pembangunan kelembagaan KPK, pengelolaan SDM, dan budaya kerja. Diskusi ini merupakan kerjasama Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award, Transparency International Indonesia, dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang diselenggarakan pada 7 Juni 2021. Hadir sebagai narasumber: 1. Erry Riyana Hardjapamekas – Wakil Ketua KPK 2003 – 2007, Peraih BHACA 2003; 2. Judhi Kristantini – Konsultan SDM & Organisasi KPK 2003 – 2010; 3. Waluyo – Deputi Pencegahan KPK 2004 – 2008; dan 4.  Gita Putri Damayana – Direktur Eksekutif PSHK, Pengajar STIH Jentera. Bertindak selaku moderator: Natalia Soebagjo – Pansel Capim KPK 2015-2019, Dewan Pendiri BHACA, International Council of Transparency International.

Bagaimana KPK membangun kelembagaan, manajemen SDM, dan budaya kerjanya? Menurut Wakil Ketua KPK 2003 – 2007 Erry Riyana Hardjapamekas, dalam membangun kelembagaan yang kuat, KPK melibatkan banyak pihak yang memiliki rekam jejak baik seperti pakar SDM, pakar strategis, dan lain-lain. Sampai pada akhirnya disepakati nilai, budaya dan strategi kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.

Sejak Pimpinan jilid pertama, KPK fokus menyelesaikan pembangunan sistem dan manajemen SDM. SDM dikreasikan sebagai pondasi utama implementasinya. SDM yang dihadirkan dalam KPK adalah yang multi-disiplin dan beragam. Manajemen SDM dibentuk berdasarkan nilai-nilai keberagaman & keilmuwan. Organisasi KPK dibangun bak melting pot. Karena itu pula, budaya kerja KPK dikonsepsikan sebagai budaya kerja yang egaliter. Di dalam-nya integritas merupakan sesuatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar, papar Erry.

Mantan Deputi Pencegahan KPK 2004 – 2008 Waluyo merefleksikan bahwa pembangunan kelembagaan KPK meletakan integritas sebagai hal esensial, tidak semata-mata soal kompetensi teknis. Menurut Waluyo awal membangun nilai, budaya, strategi KPK, Pimpinan KPK egaliter, terbuka, memberikan kesempatan yang sama kepada insannya untuk memberikan pendapat & usulan. Walaupun situasi sulit, tetapi nilai yg terpenting dipegang adalah kejujuran & kepercayaan (trust). Selama menangani proses seleksi, assement atau rekruitmen di KPK, semua proses penuh dng idealisme, Pimpinan KPK mengikuti setiap proses & memahaminya. Secara prinsip proses dan tujuan untuk antikorupsi, ujar Konsultan SDM & Organisasi KPK 2004 – 2010 Judhi Kristantini.

Rekaman diskusi selengkapnya di Youtube Bung Hatta Award BHACA

Acara, Berita

Kuliah Umum Online “Jejak Pemikiran Bung Hatta: Konstitusi, Demokrasi, dan Kedaulatan Rakyat”

“Pemikiran-pemikiran Bung Hatta bagaikan tunas yang senantiasa tumbuh, makin tinggi dan berkembang di seluruh Indonesia. Bukan hanya melalui para senior tetapi juga melalui para pemikir-pemikir muda yang tersebar di berbagai kelompok masyarakat,” demikian pernyataan Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.

Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang menjadi narasumber Kuliah Umum Online dalam rangka memperingati hari wafat Bung Hatta dengan tajuk “Jejak Pemikiran Bung Hatta: Konstitusi, Demokrasi, dan Kedaulatan Rakyat,” Selasa, (16/3/2021)

Pokok pembahasan yang disampaikan:

  • Pendahuluan
  • Pemikiran Bung Hatta mengenai Konstitusi
  • Pemikiran Bung Hatta mengenai Kedaulatan Rakyat
  • Pemikiran Bung Hatta mengenai Demokrasi
  • Uraian diakhiri dengan Pidato “Tanggungjawab Moril Kaum Intelegensia”

Pemikiran Bung Hatta dalam konstitusi sangat banyak mulai dari preambule sampai materi muatan di pasal-pasal konstitusi. Materi muatan hak asasi manusia merupakan kontribusi terpenting Bung Hatta dalam konstitusi. Bagi Bung Hatta, konstitusi jangan sampai menjadi alat kekuasaan.

Negara yang dikehendaki Bung ialah negara pengurus atau negara yang melayani rakyat (the service state). Bung Hatta menghendaki bahwa janganlah rakyat memberikan seluruh kekuasaan tidak terbatas kepada negara. Sebab itu, ada baiknya ada pasal terkait warga negara agar tiap-tiap warga negara tidak takut mengeluarkan suara, berkumpul, bersidang atau menyurat.

Pemikiran kedaulatan rakyat Bung Hatta ialah kekuasaan untuk mengatur pemerintahan negeri pada rakyat. Rakyat yang berdaulat berkuasa menentukan cara bagaimana ia harus diperintah. Putusan rakyat yang dapat menjadi peraturan pemerintah bagi semuanya adalah keputusan dengan cara mufakat yang diatur bentuk dan jalannya dimana mereka yang ikut di dalamnya mempunyai kedududakan yang setara.

Di dalam kedaulatan rakyat/demokrasi harus disertai tanggung jawab. Kalau rakyat berkuasa menentukan peraturan tentang hidup bersama dalam negara, maka rakyat bertanggung jawab pula tentang segala akibat dari peraturan yang diperbuatnya. Dasar pemerintahan yang adil ialah, siapa yang mendapat kekuasaan dia itulah yang bertanggung jawab.

Kedaulatan rakyat membutuhkan keinsafan politik yang akan menimbulkan rasa tanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi rakyat itu penting dilaksanakan baik oleh pemerintah atau rakyat itu sendiri. Jika rakyat sendiri maka dilaksanakan oleh partai politik. Gunanya partai politik bukan semata-mata untuk mencari pengaruh kepada rakyat, bukan sebagai alat kepentingan untuk mencapai kekuasaan. Kedaulatan rakyat dengan tidak ada keinsafan pada rakyat akan menjadi anarki.

Bung Hatta sangat mengkritisi praktik demokrasi dan mengajukan pemikiran demokrasi yang cocok bagi Indonesia. Demokrasi Indonesia yang dikehendaki bukan hanya demokrasi politik melainkan juga demokrasi sosial/ekonomi. Kalau tidak manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Demokrasi sosial meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib bangsa. Bangunan demokrasi Indonesia haruslah suatu perkembangan daripada demokrasi asli yang berlaku di dalam desa di Indonesia.

Buah hati Bung Hatta yang hadir yakni Gemala Hatta dan Meutia Hatta juga ikut berkomentar dalam diskusi ini. Menurut Gemala, Bung Hatta memiliki pemikiran yang melampaui zamanya. Namun, ia melihat pemikiran Bung Hatta tidak menjadi basis. Pasal 33 UUD, hak asasi manusia, banyak sekali yang dilanggar saat ini.

Menurut Meutia, sebelum Indonesia merdeka, Bung Hatta memang memikirkan bentuk negara federal, tetapi kemudian bentuk kesatuan yang dipilih. Namun, setelah Konferensi Meja Bundar, Bung Hatta memikirkan juga konsep NKRI. Pasal 18 UUD 45′ tentang otonomi daerah merupakan kesempatan daerah-daerah untuk menata daerahnya sendiri dan untuk kepentingan nasional. Menurutnya, Bung Hatta secara konsisten bahwa rakyatlah yang diutamakan. Bung Hatta juga mementingkan adat-istiadat, hukum adat yang berlaku di daerah tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Simak rekaman Kuliah Umum Online “Jejak Pemikiran Bung Hatta: Konstitusi, Demokrasi, dan Kedaulatan Rakyatselengkapnya di Youtube Bung Hatta Award BHACA.

Acara, Agenda, Berita

TOR Serial Diskusi BHACA: Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum

 A. Pendahuluan

Menurut Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian perihal fungsi adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief (2005), Polri dalam menjalankan tugasnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial (sosial worker) pada aspek sosial dan kemasyarakatan (pelayanan dan pengabdian). Penegakan hukum mensyarakat polisi harus berdiri di atas hukum. Sedangkan, dari sisi pelayanan polisi harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Acapkali kedua hal ini belum dapat dipenuhi dengan baik sehingga menimbulkan gap dalam implementasinya. Karena itu, pelaksanaan fungsi kepolisian harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Adanya kepolisian merupakan salah satu pilar penyangga negara hukum. Mendasarkan pada konsep negara hukum yang diungkapkan Julius Stahl, negara hukum (rechtstaat) paling tidak mencakup 4 (empat) elemen penting, yaitu: (1) perlindungan hak asasi manusia; (2) pembagian kekuasaan; (3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan (4) peradilan tata usaha negara. Sedangkan A.V Dicey (the rule of law) menguraikan adanya tiga ciri penting, yakni (1) supremacy of law; (2) equality before the law; (3) due process of law. Peran penegakan hukum adalah peran kunci karena merupakan standar maju mundurnya indeks negara hukum dan aspek hak asasi manusia serta indeks persepsi korupsi dalam sebuah negara. Penegakan hukum semestinya adressatnya ada pada masyarakat yaitu bagaimana hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat bukan sekadar menyesuaikan masyarakat dengan hukum.

Kepolisian sebagai salah satu lembaga yang membawahi sektor penegakan hukum selama ini belum maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terbukti dari masih kerapkali muncul permasalahan internal dan eksternal. Masalah internal berkaitan dengan tata kelola kelembagaan, kepegawaian, hingga keberpihakan lembaga sehubungan dengan fungsinya. Sedangkan, masalah eksternal terkait dengan penegakan hukum dan pelayanan kepada masyarakat sendiri. Permasalahan seperti kurangnya akuntabilitas penanganan perkara, anggota kepolisian yang tidak berintegritas, meningkatnya anggota Polri yang menduduki jabatan publik serta menurunya kinerja pemberantasan korupsi serta tindakan represif yang seringkali melibatkan anggota Polri sudah menjadi masalah yang “lumrah” terjadi dan menuai kritisisme dalam beberapa waktu belakangan ini. Secara filosofis, masalah-masalah tersebut bertentangan dengan cita-cita penegakan hukum yang berintegritas.

B. Tujuan Diskusi
Secara umum tujuan diskusi ini untuk mengupas permasalahan-permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah dalam penegakan hukum dan institusi kepolisian yang akan menjadi tanggungjawab Kapolri baru.

 C. Hasil yang Diharapkan
Adapun hasil yang diharapkan dari diskusi ini, yaitu:

  • Terpetakannya permasalah-permasalahan penegakan hukum dari sisi  korupsi, pandemi, dan hak asasi manusia;
  • Menjadi bahan perbaikan bagi Kapolri baru

 D. Sasaran Peserta
Sasaran peserta diskusi ini adalah mahasiswa, dosen, pengamat hukum, pengamat kepolisian, pegiat antikorupsi, hingga masyarakat umum yang memiliki kepedulian atau tertarik terhadap isu-isu penegakan hukum dan kelembagaan penegak hukum

E. Narasumber
Adapun narasumber dalam diskusi ini, yakni:

  • Kurnia Ramadhana, S.H. – Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW)
  • Iftitahsari, S.H., M.Sc – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

F. Metode dan waktu
Diskusi akan dilakukan secara daring melalui aplikasi video conferencing Zoom dan disiarkan langsung melalui Facebook Bung Hatta Award.
Hari & tanggal   : Kamis, 21 Januari 2021
Waktu                : 13.00 – 15.00 WIB

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online BHACA: Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19

Para ahli memprediksi bahwa perang melawan virus korona dapat memakan waktu yang tidak sebentar. Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah yang strategis dan berorientasi jangka panjang tidak hanya untuk menekan laju persebaran virus korona namun juga memitigasi dampak pandemi. Bagaimana evaluasi dari langkah-langkah yang sudah dilakukan serta strategi berkelanjutan apa yang perlu dilakukan setelahnya?

Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award mengundang Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta 2001-2011, Peraih BHACA 2010), Ita F. Nadia (Komisioner Komnas Perempuan 1999-2006, Koordinator Solidaritas Pangan Jogja), dan dr. Pandu Riono (Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) dalam diskusi online berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” pada Kamis, 14 Mei 2020

Pada awal ditemukan kasus positif, tentu semua orang menginginkan agar virus tidak menyebar luas, apa lagi dalam waktu yang singkat. Pengujian dan pelacakan menjadi pakem yang disepakati ahli kesehatan seluruh dunia untuk menekan laju penyebaran virus dan kemudian meredam dampak sosial dan ekonomi dari pandemi. Sayangnya, menurut dr. Pandu Riono, ketidaksigapan pemerintah membuat Indonesia terlambat dalam menangani pandemi hingga tidak lagi bisa melacak persebaran virus. Fokus pemerintah untuk memitigasi dampak ekonomi dengan bersikap lunak terhadap pembatasan sosial justru dapat meningkatkan potensi kerugian ekonomi yang jauh lebih besar. Dr. Pandu melihat bahwa narasi new normal yang mulai digaungkan seharusnya berorientasi jangka panjang, yakni membudayakan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), pembatasan sosial, serta membangun kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Pandemi bukanlah semata-mata problem kesehatan, melainkan juga berdampak secara ekonomi dan sosial. Dampak ini juga secara timpang lebih besar dialami oleh kelompok marjinal, yakni masyarakat yang bekerja di sektor informal. Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) memutuskan untuk membentuk dapur umum untuk menyuplai pasokan makanan kepada kelompok marjinal, terutama yang tidak terdaftar sebagai penerima bansos pemerintah karena tidak memiliki KTP maupun yang tidak memiliki rumah untuk memasak sembako. Selain kompleksitas pemetaan penerima bantuan, tantangan lain yang dialami SPJ adalah represi dari aparat penegak hukum atas nama pemberlakuan protokol jaga jarak. Atas alasan tersebut, koordinator SPJ, Ita F. Nadia, melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan tindakan-tindakan represif atas nama pencegahan penularan Covid-19 dan melindungi rakyat yang bergotong-royong saling membantu di situasi pandemi ini, seperti yang dilakukan oleh SPJ. Solidaritas untuk menghidupkan dapur umum dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari penjual nasi kucing, peternak, mahasiswa, hingga pekerja seks.

Solidaritas antar warga inilah yang juga dinilai Herry Zudianto sebagai kunci untuk membangun resiliensi warga menghadapi bencana, terlebih hal serupa sudah pernah berhasil menggerakkan Yogyakarta bangkit dari bencana gempa dan erupsi Gunung Merapi. Yang membuat bencana pandemi lebih menantang adalah ketidakpastian berapa lama bencana ini akan berlangsung. Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang tegas dan berorientasi jangka panjang, sebab melalui kebijakanlah nasib hidup banyak orang bergantung. Sebagai warga sipil yang pernah memiliki pengalaman mengemban kursi eksekutif lokal, Herry menilai bahwa pemerintah perlu menggunakan pendekatan dialog dengan masyarakat ketimbang represi.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan pada 14 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online BHACA: Kontroversi Revisi UU MK dan Implikasinya

DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU ini dianggap sarat kepentingan politik karena prosesnya yang cepat dan tak partisipatif serta tidak memuat hal yang substansial terkait penguatan kelembagaan MK. Praksis revisi dinilai merupakan kado bagi para hakim yang saat ini sedang menjabat.

Untuk mendiskusikan hal tersebut, Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award mengadakan diskusi berjudul “Kontroversi Revisi UU Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya” dengan dua narasumber, yaitu: (1) Violla Reininda (Koordinator Bidang Konstitusi dan Kenegaraan KoDe Inisiatif) dan Agil Octaryal (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia – PSHK).

Agil membuka pandangannya dengan melihat sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK merupakan perwujudan dari pandangan M. Yamin yang pertama kali dikemukannya dengan menawarkan 6 (enam) gagasan berkaitan dengan lembaga negara tingkat pusat di Indonesia atau the six Power of the Republic of Indonesia ketika berdebat di BPUPKI. Yamin ketika itu mengusulkan suatu lembaga yang diberi nama Balai Agung atau Mahkamah Agung yang tugasnya adalah untuk melakukan pengujian atau bahasa Yamin ketika itu adalah membanding suatu produk hukum dalam hal ini undang-undang terhadap undang-undang dasar yang dikenal hari ini dengan istilah judicial review. Praktek ini dimunculkan oleh Yamin ketika melihat beberapa praktik judicial review yang terjadi di Supreme Court Amerika Serikat dan Austria. Gagasan Yamin ditolak oleh Soepomo ketika itu. Alasan Soepomo menolak bukan karena menolak gagasan itu melainkan lebih karena persoalan teknis. Soepomo mengatakan bahwa Indonesia merdeka belum memiliki hakim yang mampu untuk melakukan fungsi tersebut dan kita juga belum punya pengalaman lembaga peradilan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Meskipun gagasan Yamin ditolak, ketika perubahan konstitusi pada tahun 2001 yaitu perubahan ketiga, gagasan Yamin itu kemudian diimplementasikan. Kewenangan itu tidak di Mahkamah Agung tetapi diberikan kepada satu lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi. Kehadiran MK penting seperti yang dinukilkan oleh John Agresto (1984) bahwa ketersediaan piranti berupa pengujian ini menjadi sebuah kebutuhan karena kalkulasi politik dan kepentingan sesaat para pembentuk undang-undang memberi peluang hadirnya undang-undang yang opresif dan despotik, artinya ketika undang-undang itu prosesnya tidak benar, materinya kacau, harus ada satu lembaga peradilan yang menguji itu. Oleh karena itu, hari ini kita mengenal MK, ujar Agil.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment)

Selain MK, lanjut Agil, perubahan konstitusi juga menghadirkan Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga ini dikenal sebagai anak kandung reformasi dengan porsi masing-masing. Komisi Yudisial dihadirkan dengan porsi atau tugasnya untuk mengawasi etika hakim, mengawasi pelaksanaan fungsi hakim, dan lain sebagainya. Kala itu, KY tidak hanya mengawasi hakim agung tapi hakim konstitusi karena memang praktik-praktik judicial corruption masih ada. KPK adalah lembaga yang ditugaskan khusus, selain membersihkan korupsi yang ada di kepolisian dan kejaksaan, juga membersihkan korupsi sampai ke akar-akarnya di Indonesia.

Sedangkan, Violla Reininda mengatakan bahwa jika Bung Hatta masih hidup hingga saat ini atau jika sudah di surga kemudian melihat apa yang terjadi di Indonesia pada hari ini tentu beliau akan menjadi satu salah satu founding parent yang merasa prihatin dengan praktik-praktik kemunduran berkonstitusi yang sudah dijalankan oleh para penyelenggara negara terutama oleh legislator dan juga pihak pemerintah dalam hal ini dalam pembentukan/revisi undang-undang mahkamah konstitusi.

Bung memang dikenal salah salah founding parent yang mempunyai pemikiran yang luar biasa, yang menjadi tandem soal pemikiran demokrasi dan juga kedaulatan rakyat. Sejak dulu Bung Hatta mengimpikan bahwa negara Indonesia nanti berdiri di atas satu tatanan kedaulatan rakyat. Rakyat yang berdaulat bukan kedaulatan penguasa sehingga pembentukan hukum menurut Hatta harus bersandar pada keadilan dan kebenaran yang hidup di hati rakyat. Menurut Violla kalau kita bandingkan dengan praktik yang sedang dilakukan oleh para legislator pada hari ini, praktik-praktik itu sudah jauh dari apa yang diinginkan oleh Hatta.

Alasan Revisi
RUU MK ini diusulkan oleh DPR. Alasan DPR merevisi sebagai berikut. Pertama, perubahan UU MK ini adalah tindak lanjut dari Putusan MK sehingga dimasukan dalam RUU Kumulatif Terbuka. Ada tiga putusan yakni Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011, Putusan No. 34/PUU-X/2012, Putusan No. 7/PUU-XI/2013. Hal ini dinilai Agil tidak masuk akal. Karena sejak tahun 2011, Putusan MK sudah ada, tapi kenapa baru dieksekusi sekarang?

Kedua, DPR mengklaim bahwa revisi ini merupakan carry over sehingga dilakukan cepat. Carry over maksudnya pembahasan undang-undang yang sebelumnya sudah dibahas bisa dilanjutkan di periode berikutnya. Menurutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 71A Undang-Undang No. 15 Tahun 2019, syarat carry over suatu undang-undang itu dikatakan carry over apabila Daftar Inventaris Masalah (DIM) sudah pernah dibahas atau sudah selesai dibahas baru kemudian bisa dibawa di periode berikutnya.

“Tetapi kalau kita lihat di UU MK, Raker pada tanggal 24 Agustus itu, yang dibahas DPR masih DIM-nya. Artinya daftar kumulatif terbuka sudahlah tidak masuk logikanya. Carry over juga tidak,” katanya.

Selain itu, dari segi prosesnya juga tertutup dan tergesa-gesa. “Kalau kita lihat prosesnya, misalkan. Sidang DPR itu sangat cepat. Jadi Raker di Komisi III itu dilakukan pada tanggal 24 Agustus, Rapat Panja, 26-28 Agustus dan itu sifatnya tertutup tidak bisa diakses oleh publik dan kemudian keputusan tingkat pertama pada tanggal 31 Agustus 2020. Kemudian Paripurna pengesahan itu dilakukan pada 1 September 2020. Artinya hanya butuh 7 hari kerja bagi DPR dan presiden untuk mengesahkan revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi,” ujag Agil.

Dengan prosesnya yang tertutup dan sangat cepat tentunya ini kemudian bisa dipastikan telah melanggar beberapa ketentuan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Menurut Agil, proses juga melanggar melanggar prinsip-prinsip umum di dalam konstitusi, prinsip hak asasi manusia, dan prinsip demokrasi dalam proses pembentukan undang-undang. Prinsip demokrasi misalnya, dalam proses pembentukan undang-undang itu harus ada partisipasi publik, harus ada keterbukaan, DPR itu harus mengajak siapa saja yang berkemungkinan besar akan berdampak dari revisi undang-undang ini.

“Ketika kita terdampak dalam revisi undang-undang ini, maka kita diberikan beberapa hak misalkan hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan terakhirlah hak untuk diajak bicara mengambil keputusan. Tetapi ini tidak dilakukan dalam revisi undang-undang mahkamah konstitusi,”

Tak Menyentuh Kebutuhan MK
Menurut Agil, dari sekian banyak kebutuhan yang ada di Mahkamah Konstitusi, revisi UU MK itu sama sekali dilakukan tidak menjawab kebutuhan yang ada di Mahkamah Konstitusi. “revisinya dilakukan hanya untuk untuk memberikan hadiah kepada hakim saja tanpa kemudian menjawab kebutuhan,” katanya.

Paling tidak ada tujuh kebutuhan mendesak MK. Pertama, berkaitan dengan constitutional complain atau pengaduan konstitusional. Menurtu Agil, sebenarnya constitutional complain adalah kewenangan yang secara kelembagaan juga diminta oleh mahkamah konstitusi kepada DPR dan pemerintah. Awalnya DPR dan pemerintah menyepakati tapi dalam proses kemudian constitutional complaint itu tidak diakomodir artinya dihapuskan dalam proses itu.

Kedua, constitutional question atau pertanyaan konstitusional dari warga negara kepada Mahkamah Konstitusi apabila kemudian ada kebijakan atau ada regulasi yang dirasa melanggar hak konstitusional atau tidak. Ketiga, pengujian peraturan perundangan satu atap di Mahkamah Konstitusi. Saat ini, proses pengujian undang-undang itu masih tersebar di Mahkamah Agung dan di Mahkamah Konstitusi. Kadang-kadang dua pengadilan ini saling menegasikan. Misalkan, mantan napi korupsi untuk menjadi calon legislatif. Di MK dilarang tetapi kemudian di Mahkamah Agung diperbolehkan.

Keempat, mengatur standar rekrutmen Hakim Konstitusi. Sekarang ini, standar itu berbeda-beda. DPR prosesnya berbeda dengan Presiden. Presiden berbeda dengan Mahkamah Agung. Di Presiden menerapkan pansel dan lebih terbuka. Di DPR, prosesnya tidak menggunakan pansel tetapi lebih menggunakan panel ahli yang mana tidak memiliki hak untuk memutuskan siapa yang dipilih tapi lebih hanya bertanya kepada kepada calon-calon. Menurut Agil, paling parah di Mahkamah Agung karena prosesnya itu sangat tertutup.”Calon yang diajukan kita tidak tahu tiba-tiba saja namanya sudah disetujui, sudah disumpah, diangkat oleh presiden atau dilantik.

Kelima, melakukan penguatan terhadap dewan etik dan pengawasan MK. Keenam, pengaturan terkait kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Ketujuh, mengkompilasi peraturan yang berkaitan dengan hukum acara yang sekarang masih berserakan di peraturan mahkamah konstitusi dan levelnya kita menaikkan level undang-undang.


Sumber: presentasi Agil Octaryal

“Dari 7 (tujuh) kebutuhan MK tadi itu sama sekali tidak dijawab dalam revisi. Karena kalau ini dilakukan maka kita bilang bahwa MK akan semakin kuat. MK akan menjadi tempat bagi kita. Jadi semacam menjadi pohon pelindung bagi warga negara untuk melindungi hak konstitusionalnya. Tetapi itu tidak dilakukan oleh DPR dalam revisi undang-undang ini,” ujar Agil.

Revisi ini hanya ditujukan untuk merevisi masa jabatan Hakim. Yang diatur itu adalah usia Hakim itu harus minimal 55 tahun dan maksimal atau usia pensiun adalah 70 tahun atau tidak melebihi masa jabatannya selama 15 tahun. Artinya revisi ini sederhananya ingin bahwa masa jabatan hakim konstitusi itu hanya satu periode dan masanya adalah 15 tahun tanpa kemudian proses seleksi lagi di tiap 5 tahun. Kemudian yang diatur juga adalah jabatan ketua dan wakil ketua 5 tahun. Ketentuan sekarang dua setengah.

Dari sisi implikasi, Violla menyampaikan pandangannya bahwa revisi UU MK bermasalah baik dari segi prosedural maupun dari segi substansi karena dua-dua proses ini atau dua unsur ini tidak mengindahkan nilai-nilai konstitusi, tidak mengindahkan ruh konstitusi. Menurutnya, seharusnya semua hal yang berkenaan dengan aturan hukum kekuasaan kehakiman harus disusun secara komprehensif dan secara hati-hati karena revisi undang-undang kekuasaan kehakiman/pembentukan undang-undang kekuasaan kehakiman bukan hanya mempersoalkan hukum acara jabatan hakim, bagaimana putusan, bukan hanya soal itu ada hal yang lebih esensial lagi di dalamnya yaitu dia menjamin dan juga mengatur soal apa yang saat ini dipegang mahkamah sebagai mahkota yaitu independensi dan juga imparsialitas.

“Independen dan imparsial adalah dua hal yang sangat penting untuk dipegang satu lembaga peradilan. Sebab, dia ditempatkan sebagai satu lembaga netral yang kemudian dapat dimintakan untuk memberikan keadilan terhadap suatu hal kalau dalam dalam hal ini mahkamah konstitusi suatu hal yang dapat berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara dan juga mengoreksi produk legislasi yang dihasilkan jangan sampai setiap undang-undang yang ditelurkan oleh DPR dan juga pemerintah itu ada satu titik pun yang melanggar atau tidak mengindahkan nilai-nilai dari konstitusi sendir,” katanya.

Lanjut Violla, apa yang ini sangat berbeda sekali naskah yang ditawarkan di 2017-2018 dimana itu lebih komprehensif. Kala itu, juga membahas soal hukum acara Mahkamah Konstitusi. Adanya pertimbangan-pertimbangan soal kenapa kemudian periodisasi harus dihapus, kenapa usia/masa jabatan hakim harus diperpanjang dan sebagainya.

“Di periode lalu yang mengusulkan pemerintah maka yang harus dan menyusun adalah DPR itu tetapi yang periode sekarang DPR itu saja sudah tidak kompatibel”

Violla melihat, tidak ada aturan substantif lainnya yang diatur yang memberikan perubahan yang signifikan untuk penguatan Mahkamah Konstitusi. “Memang hanya berkutat pada memperpanjang masa jabatan ketua menjadi 5 tahun, kemudian memutuskan periodisasi hakim konstitusi dan jabatan hakim konstitusi menjadi di menjadi 15 tahun maksimal sampai usia pensiun 70 tahun.”

Dalam revisi yang sekarang DPR dan Pemerintah sama sekali tidak memberikan rasionalisasi dalam naskah akademik. Apa yang menjadi pertimbangan yuridis, filosofis, atau bahkan sosiologis kenapa aturan jabatan hakim ini harus di diubah seperti itu.

Menguntungkan Petahana
Violla mengatakan, pokok permasalahannya kenapa kemudian bisa sampai merenggut mahkota dari mahkamah konstitusi itu sendiri adalah di dalam aturan peralihan revisi undang-undang ini. “Di dalam Pasal 87, dijelaskan bahwa revisi undang-undang ini mengikat bagi hakim yang sedang menjabat sekarang.”

Menurut Data KoDe Inisiatif, nanti per tahun 2021 sampai 2025, setidaknya ada 6 orang hakim konstitusi yang sudah memenuhi masa jabatan dua periode dengan ukuran UU sebelum revisi ini. “Dengan disahkannya revisi undang-undang ini, ke-6 (enam) hakim tersebut bisa mendapatkan semacam insentif begitu untuk lanjut lagi, maksimal maksimal 15 tahun sampai usia pensiun di usia 70 tahun,” ungkapnya

Ia melihat ini bisa dijadikan satu komoditas untuk ditukar antara legislator dan juga Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut, ia melihat revisi secara lebih luas bukan hanya mengancam MK tetapi mengancam sistem ketatanegaraan secara keseluruhan. “Dalam hal ini check and balances yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah salah satunya dengan melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar jadi objek produk yang sudah dihasilkan oleh pemerintah dan DPR bisa diperiksakan konstitusionalitasnya. Ini sudah ada indikasi barter di dalam satu klausul pasal 87 tadi maka yang kami khawatirkan ini bisa menjadi berdampak pada Mahkamah Konstitusi diisi oleh partisanm” sebutnya.

Partisan yang mendukung pemerintah dan juga mendukung legislator apapun produk legislasi yang dihasilkan kalau misalnya produk legislasi yang dihasilkan itu untuk kemaslahatan kemaslahatan publik dan masih konstitusional tentu didukung tetapi melihat kecenderungan pembentukan undang-undang di satu periode belakang bahkan di tahun ini seolah-olah pembentuk kehilangan orientasi, kehilangan prioritas. “Kalau kita biarkan saja seperti ini terus maka kita akan melegitimasi kebobrokan dari pembentukan legislasi.”

Judicial Review
Karena itu, menurut Violla, UU MK perlu kemudian diajukan pembatalannya. Opsi membatalkan undang-undang secara konstitusional itu sebenarnya ada dua yaitu legislative review dan constitutional review. Legislative review berarti kembali ditinjau DPR dan Pemerintah. Constitutional review ke Mahkamah Konstitusi. Namun, tidak mungkin opsi pertama sehingga JR ke MK suatu keniscayaan.

Violla menyampaikan, berdasarkan catatan KoDe Inisiatif, MK sudah memutus sekitar 40 pengujian tentang UU MK itu sendiri. Bahkan tidak hanya undang undang MK tetapi undang-undang lain yang ada kaitannya dengan kewenangan MK pun pernah juga diputus.

Ujian Kenegarawanan
Revisi UU MK ini akan menjadi satu ujian kenegarawanan bagi hakim konstitusi kelak ketika sudah diujikan di ruang MK nanti. “Jadi disini kita bisa melihat secara jelas hakim konstitusi itu masing-masing ketika memutus perkara ini akan membuka topengnya. Kita akan melihat siapa hakim konstitusi yang cukup negarawan dalam revisi undang-undang ini. Siapa juga yang akan merasa senang dengan revisi undang-undang ini. Karena ini akan menjadi satu ujian yang berat. Satu ujian yang menjadi penentu keberlangsungan praktik ketatanegaraan kita ke depan,” tandasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Kontroversi UU MK dan Implikasinya” yang diselenggarakan pada 10 September 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online bersama Peraih BHACA: Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat

Pandemi Covid-19 adalah masalah yang berdampak pada setiap elemen masyarakat, mulai dari adanya aturan baru yang mengadaptasi situasi, perubahan situasi ekonomi, hingga terujinya rasa kemanusiaan untuk saling membantu. Berbagai inisiatif dalam merespons pandemi dilakukan, baik itu oleh negara, sektor swasta, hingga masyarakat akar rumput. Namun, bagaimana dan apa peran masing-masing sektor masyarakat ini untuk memastikan akuntabilitas dalam kebijakan, inisiasi, gerakan, maupun program yang merespons pandemi?

Bung Hatta Anti-Corruption Award mengundang Heru Pambudi (Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, Peraih BHACA 2017), Alissa Wahid (Koordinator Jaringan Gusdurian), dan Karaniya Dharmasaputra (Presiden Direktur OVO, Peraih BHACA 2003) dalam diskusi berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat”

Merespons pandemi Covid-19, Jaringan Gusdurian yang dikoordinasi oleh Alissa Wahid menargetkan bantuan untuk pekerja sektor informal dengan menggerakkan anggota jaringan yang mampu mendistribusikan bantuan hingga menyentuh akar rumput. Untuk memastikan akuntabilitas distribusi bantuan sosial, Jaringan Gusdurian membentuk lembaga formal bernama Yayasan Gusdurian Peduli dan menerapkan mekanisme audit serta pelaporan pengumpulan dan penggunaan keuangan masing-masing program secara terbuka. Jaringan Gusdurian juga berkomitmen untuk menekan biaya operasional dengan memberdayakan pekerja informal (seperti ojek pangkalan untuk mendistribusikan bantuan). Alissa Wahid menekankan pentingnya akuntabilitas demi membangun kredibilitas suatu gerakan solidaritas.

Berbicara mewakili elemen pemerintah, Heru Pambudi menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah merespons pandemi, seperti pembebasan fiskal dan cukai untuk beberapa barang demi memastikan ketersediaan alat kesehatan dan bahan pangan, serta mempermudah birokrasi impor untuk instansi seperti rumah sakit atau kampus. Demi memastikan akuntabilitas dan transparansi, Dirjen Bea dan Cukai mengandalkan otomasi dan fasilitas trace and track yang juga dapat dipantau oleh masyarakat. Heru Pambudi melihat bahwa situasi pandemi memberikan peluang untuk membentuk kebiasaan baru seperti mengejar efisiensi tata kelola, penghematan anggaran, dan transparansi birokrasi.

Tidak hanya masyarakat akar rumput saja yang ingin turut membantu, namun juga sektor swasta. Karaniya Dharmasaputra membagikan pengalaman dan pelajaran dari Ovo, Tokopedia, dan Grab melalui pemanfaatan teknologi digital bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan untuk menghimpun dana masyarakat serta mendistribusikan bantuan dengan tetap meminimalkan kontak manusia. Melalui kacamata sektor swasta, Karaniya menggarisbawahi pasal-pasal karet yang meski memiliki semangat antikorupsi namun dapat menjadi alat korupsi baru dan melemahkan peran sektor swasta. Menurut Karaniya, negara dan demokrasi akan kuat jika tiga elemen (negara, masyarakat, dan swasta) dapat bersinergi dengan baik. Situasi baru yang dibentuk oleh pandemi ini memaksa kita untuk melihat dan membuat budaya baru dan sistem baru.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” yang diselenggarakan pada 7 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

1 2
Donasi