Hubungi Kami
Berita

Diskusi Online BHACA “Pemberantasan Korupsi Kala Pandemi”

Tantangan di tengah pandemi covid-19 tidak hanya persoalan kesehatan tetapi juga masalah pemberantasan korupsi. Tertangkapnya Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta sejumlah politisi yang terseret dalam pusaran beberapa kasus korupsi merupakan sesuatu hal yang sangat memprihatinkan. Di satu sisi, terungkapnya kasus-kasus ini mengonfirmasi indikasi bahwa banyak kebijakan negara yang dibancak dan banyak pula pejabat pengelolanya yang tidak berintegritas. Di sisi lain, ini merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mengusut semua yang terkait tanpa pandang bulu sampai tuntas.

Pada 22 Februari 2020 lalu, BHACA menggelar diskusi online dengan tajuk “Pemberantasan Korupsi Kala Pandemi,” menghadirkan dua narasumber utama yaitu Dewi Anggraeni NP (Peneliti ICW) dan Laode M Syarif (Direktur Eksektuf Kemitraan, Wakil Ketua KPK 2015 – 2019). Diskusi ini sekaligus memperingati Hari Keadilan Sosial yang bertujuan untuk mempromosikan keadilan sosial.

Dalam paparannya, LMS menyampaikan berdasarkan pengalaman empirik, dana untuk bantuan sosial atau penanganan bencana kerapkali dikorupsi. “Setiap dana besar untuk bantuan sosial atau subsidi sering dikorupsi.” LMS mencontohkan anggaran Tsunami Aceh dimana uang Rp5 triliun tidak jelas juntrungannya. Begitupula, dana flu burung & pengadaan alat kesehatan sekitar Rp12,33 miliar raib. Kasus BLBI yang dikorupsi Rp138 triliun hingga Bank Century nilai korupsi mencapai 6,742 triliun. Anggaran penanganan Tsunami Jawa Barat dan Gempa Lombok juga dikorupsi hingga anggaran Gempa Likuifaksi Palu dikorupsi Rp 2,9 miliar,” paparnya.

Mengapa korupsi terhadap dana-dana kemanusiaan dikorupsi? Menurut LMS penyebabnya adalah dasar hukum yang longgar dan kurangnya pengawasan. Korupsi dana darurat sebelum bansos memang tidak mengenal dasar hukum yang khusus dan mekanismenya normal. Dalam konteks korupsi bansos di tengah pandemi, problemnya terletak pada UU yang membuka ruang korupsi. Sebagaimana diketahii bahwa dalam UU No 2 Tahun 2020 khususnya Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) mengamanatkan penyesuaian, pergeseran, dan pengeluaran anggaran tanpa persetujuan DPR.

Problem lain ialah terletak padaa data orang miskin tidak lengkap, penunjukan langsung diperbolehkan, pengawasan lemah, pemanfaatan dana bansos untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, menurutnya, ke depan harus segera  dilakukan perbaikan data, memperkuat koordinasi, dan pengawasan harus ketat dan melekat.  Selain itu, LMS menyarankan untuk diwaspadai dana insentif usaha, pembiayaan koorporasi,dan UMKM yang belum jelas realisasinya.

Dewi Anggraeni dari ICW memaparkan hal-hal yang dilakukan ICW untuk melihat korupsi di pandemi. Ia menjelaskan bansos ada banyak masalah dari hulu-hilir, dari pendataan, pengadaan, proses pengadaan, realisasi hingga distribusi sampai informasi anggaran. Berdasarkan pemantauan ICW terhadap distribusi bansos sepanjang Juni – Agustus 2020, distribusi bansos belum tepat sasaran dan penuh persoalan termasuk pungli dan politisasi. Dari survei distribusi bansos di Kupang, Bandung, dan DKI ditemukan permasalah-permasalah sebagai berikut:

  • Pendataan penerima bansos penyandang disabilitas masih bermasalah dan tidak akurat (inclussion dan exclussion error)
  • Adanya pemotongan bansos
  • Penerimaan bansos tidak tepat waktu
  • Informasi mengenai adanya bansos belum diketahui penyandang disabilitas, serta belum ramah disabilitas, lengkap, dan mudah dimengerti
  • Informasi kanal pengaduan bansos belum banyak diketahui penyandang disabilitas
  • Bentuk dan jumlah bansos yang diberikan belum sesuai dengan informasi yang diketahui, termasuk kualitas bansos yang tidak layak konsumsi.

Monitoring terhadap pengadaan barang dan jasa juga sarat problema mulai dari rencana pengadaan terlalu umum, uraian, spesifikasi, bentuk tidak terjelaskan secara detail dan sulit diakses. Identifikasi kebutuhan yang tidak berdasarkan kebutuhan lapangan. Terjadi jual beli penunjukan penyedia dan Surat Perintah Kerja (SPK) dari PPK. Sehingga penunjukan penyedia tidak sesuai ketentuan yaitu berpengalaman di pengadaan sejenis, dan juga penunjukan penyedia didasarkan suap atau konflik kepentingan. Potensi penyedia yang ditunjuk PPK, hanya mempunyai modal kemudian melakukan subcon pekerjaan utama kepada pihak lain. Melakukan pelunasan pembayaran padahal pekerjaan belum selesai. Ironisnya, korupsi juga menyasar bansos  untuk penyandang disabilitas.

Masalah dalam PBJ, antara lain:

  • Pengadaan alat kesehatan dan bantuan sosial belum transparan
  • Perencanaan pengadaan (alat uji, alat pelindung diri, dll) tidak terinformasi dengan baik dan transparan, baik di RUP, LPSE, maupun website resmi Badan Publik. Bahkan terkait bansos, tidak ada informasinya sama sekali yang bisa dengan mudah diakses publik.
  • Metode pengadaan tidak terinformasi dengan jelas sehingga tidak dapat dipantau oleh publik atau masyarakat. Meski ada Peraturan LKPP No 13 Tahun 2018 dan Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengadaan Darurat, tetapi tidak serta merta informasi perencanaan dan pengadaannya minim informasi.
  • Data-data dan informasi tidak valid/minim menyebabkan kebingungan atau keacuhan oleh publik, bahkan hingga menyebabkan kematian para tenaga medis.
  • Distribusi alat material kesehatan dan bantuan sosial
  • Informasi penerima dan jenis barang yang didistribusi tidak diinformasikan dengan baik.
  • Anggaran belanja kesehatan dan bantuan sosial
  • Hanya diinformasikan secara gelondongan. Terkait bantuan sosial sebagai salah satu upaya pemulihan ekonomi masyarakat

Bagaimana ke depan? Dewi merekomendasikan:

  • Membuat perencanaan PBJ dan realisasinya secara transparan di SiRUP dan LPSE.
  • Melibatkan publik dalam pengawasan secara maksimal sejak dari perencanaan (identifikasi kebutuhan) hingga realisasi pengadaan.
  • Penanganan korupsi terkait pandemi Covid-19 patut dijadikan prioritas.
  • APH menelusuri pihak/kementerian lain yang berpotensi terlibat atau mempunyai peluang penyelewengan pengadaan publik

Rekaman lengkap: https://www.youtube.com/watch?v=97REJzPxZ-4

Artikel, Berita, OPINI PENELITI

Korupsi Sebagai Sebuah Krisis

Pada 28 Januari 2021, Transparency International (TI) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 dari 180 negara di dunia. Survei tersebut memperlihatkan sekitar 60% negara nilainya di bawah skor 50. Mayoritas negara mengalami penurunan dan/atau stagnasi pemberantasan korupsi. IPK Indonesia 2020 jeblok dengan defisit 3 poin sehingga skor akhir ialah 37 dan terlempar jauh ke ranking 102 dunia. Ini kemerosotan terbesar sepanjang sejarah. Padahal pada 2019 silam, IPK Indonesia positif menanjak dari skor 38 ke 40 dan terakhir ranking 85 dunia.

Hal ini dapat dipahami sebab ada pergeseran yang signifikan dalam politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, pergeseran perspektif korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bahkan komisioner KPK saat ini ketika fit and propert test di DPR “mengamini” perspektif ini. Kalau sekarang berbeda, itu cerita lain. Kedua, revisi UU KPK. Revisi yang mengena jantung UU seperti independensi merupakan pergeseran besar dalam politik penguatan institusi pemberantasan korupsi. Ketiga, komitmen yang semakin merosot. Dulu Presiden punya pilihan untuk menolak revisi, tapi pada akhirnya harus berkompromi. DPR tidak bisa diharapkan soal komitmennya karena justru lembaga perwakilan ini yang terkorup.

Selama kurang lebih 2 tahun belakangan, kita menyaksikan penurunan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sederhana saja, dalam rentang waktu tersebut, sektor legislasi, misalnya, terus menelurkan UU bermasalah seperti UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Mengapa bermasalah? Karena dari sisi prosesnya, mekanisme prosedural yang antikorupsi dan demokratis ditabrak. Belum lagi, substansi pasal-pasal yang menuai polemik. Haluan politik hukum pemerintahan lebih menonjolkan pembangunan ekonomi. Praktik-praktik koruptif dianggap lumrah dengan catatan untuk kemaslahatan umum di mana perspektif itu diadopsi dari kalangan elite semata.

Menarik melihat tema besar yang diusung TI yaitu korupsi dan Covid-19 memperburuk kemunduran demokrasi. Sebetulnya ini mengonfirmasikan bahwa korupsi sama berbahayanya dengan Covid-19. Jadi, di samping Covid-19, korupsi adalah krisis bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas perspektif korupsi sebagai sebuah krisis dan bagaimana seharusnya negara menyikapinya?

Krisis Korupsi

Korupsi sebagai sebuah krisis telah berlangsung lama. Hanya saja dengan adanya pandemi Covid-19, skalanya semakin meningkat. Lantas kita bisa melihatnya lebih gamblang. Apa dasarnya korupsi disebut krisis?

Menurut hemat Penulis, terdapat beberapa indikator krisis korupsi. Pertama, korupsi telah dideklarasikan dan dinormatifkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sebagaimana dalam UU Tipikor atau kejahatan serius (serious crime) sebagaimana dimaksudkan dalam Statuta Roma. Hal ini menunjukan bahwa secara nasional dan global terjadi konsensus terkait kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang berbahaya dan wajib diperangi bersama dengan cara-cara yang luar biasa.

Kedua, pada level korupsi politik dilakukan dengan cara sistematik dan terorganizir yang melibatkan individu atau kelompok berlatarbelakang high class profile. Apakah itu pejabat negara, penyelenggara negara, aparat penegak hukum ataukah pengusaha kakap. Pada praktik, hampir semua organ kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan setiap tingkat jabatan publik (desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, kementerian dan lembaga) terlibat korupsi.

Tujuan yang hendak dicapai bukan saja mengeruk keuangan atau kekayaan negara untuk keperluan pemenuhan finansial/ekonomi melainkan untuk mengendalikan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka ini kemudian membentuk sebuah kelompok eksklusif dengan “hak istimewa” dalam mengontrol pasar/ekonomi dan kekuasaan di masyarakat. Padahal sejatinya tanggungjawab moral, sosial, dan hukumnya adalah untuk mewujudkan tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan menciptakan kesejahteraan.

Ketiga, korupsi mengakibatkan multi varian dampak seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan, kemiskinan, melambatnya pertumbuhan ekonomi, terhambatnya pembangunan nasional dan daerah, dan sebagainya. Karena obyek korupsi adalah keuangan negara atau perekonomian negara. Negara dibangun dengan keuangan negara dan hanya perekonomian negara yang maju negara dapat mencapai cita-citanya. Penggerogotian terhadap keuangan dan ekonomi negara terbukti menghambat terwujudnya tujuan negara dan melumpuhkan kehidupan sebuah negara.

Keempat, korupsi merupakan masalah sosial yang acapkali menggerakan perlawanan rakyat melalui demonstrasi besar-besaran yang dapat berujung penggulingan pemerintahan berkuasa. Sebagai misal, Reformasi 1998 atau aksi #ReformasiDikorupsi 2019. Hal ini bermakna bahwa pemerintahan korup tidak dikehendaki rakyat.

Kelima, dibentuknya lembaga super body untuk memerangi korupsi, seperti KPK. Meskipun kini tidak lagi super body, KPK merupakan hasil sejarah penting untuk melihat bahwa pembentuk kala itu menyadari betul korupsi perlu diperangi dengan memperkuat institusionalitas dan wewenang besar. Pasalnya, kalau ditarik ke belakang, sederet lembaga-lembaga antikorupsi pernah didirikan tapi hanya seumur jagung. Tentu saja karena dipengaruhi banyak faktor, salah duanya adalah institusionalitasnya lemah dan mudah diintervensi.

Keenam, bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi selalu dijegal oleh koruptor dan kroninya dengan pelbagai cara. Bisa dengan cara fisik dan non fisik, misalnya, penganiayaan, penyiram air keras, pencurian atau perampasan barang penyidik, teror bom, atau ancaman pembunuhan. Cara hukum atau politis, misalnya, kriminalisasi, penggunaan hak angket, revisi UU, dan seterusnya. Istilah yang kerapkali dipakai untuk menggambarkan situasi ini adalah corruptor’s fight back.

Pengalaman membuktikan bahwa corruptor’s fight back di Indonesia telah sampai pada tataran rekayasa yang amat tinggi dan cukup berhasil melumpuhkan garda pemberantasan korupsi. Ironi ini tergambarkan dalam pelumpuhan lembaga KPK dan pegawai-pegawainya serta para pegiat antikorupsi dan/atau akademisi yang selalu menjadi korban. Pasca reformasi, belum ada lembaga penegak hukum lain yang diteror karena mengusut perkara korupsi kecuali disebutkan di atas. Hingga kini pula, mayoritas para korban belum mendapatkan keadilan hukum dari negara.

Ketujuh, korupsi membentuk moral buruk bangsa terutama di kalangan pejabat negara atau aparat penegak hukum. Alih-alih menjalankan amanat jabatan, mereka terperosok dalam lingkar kejahatan. Jabatan publik yang adrestnya pengabdian berubah menjadi percukongan. Seolah-olah mengambil yang bukan hak adalah sah bila tidak diketahui, bila sudah bekerja untuk rakyat. Persoalan moralitas misalnya, persepsi bagi-bagi proyek kepada sanak famili, atau bagi-bagi jabatan di BUMN untuk eks tim sukses, dan seterusnya. Ini adalah konflik kepentingan dan kini marak terjadi. Tapi kita seolah-olah menetralisirnya.

Masa Depan

Bagaimana masa depan IPK Indonesia? Bagaimana masa depan negara yang korup? Pertama, beberapa orang memang masih melihat IPK hanya soal angka. Namun, lupa bahwa IPK adalah sebuah studi ilmiah yang merupakan refleksi masyarakat sebagai respondennya. Misalnya, kategori Global Insight (Country Risk Rating) yang melihat pengalaman pebisnis/perusahaan dalam proses perizinan dan regulasi. Apakah mereka harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Temuan TI menunjukan GI-CRR ini penyumbang terbesar penurunan IPK Indonesia yaitu 12 poin. Artinya, sektor perizinan usaha kita masih menjadi sarang korupsi. Berarti tidak terjadi perbaikan alias kemunduran pada sektor ini selama paling tidak setahun masa survei diadakan.

Contoh lain dalam sektor demokrasi yang juga mengalami penurunan 2 poin. Indikator Varieties Democracy Project ini mengukur 7 prinsip demokrasi suatu negara, yakni elektoral, liberal, partisipatif, deliberatif, egalitarian, majoritarian, dan konsensual. Kita dapat mengetahui bahwa saat ini kemunduran demokrasi berlangsung karena tidak konsekuennya negara terhadap implementasi prinsip-prinsip demokratis.

Natalia Soebagjo (2021) mengatakan dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. IPK memberikan suatu masukan penting bagi negara/pemerintah untuk berbenah dalam perbuatan nyata. Maka, dalam konteks ini, tantangan ke depan adalah menciptakan sistem perizinan berusaha yang rendah korupsi. Kemudian, nilai-nilai demokrasi dijalankan dengan baik.

Kedua, negara yang korup tidak akan pernah mampu menghadirkan keadilan sosial. Dalam konteks pandemi, sengkarut bantuan sosial akan terus berlangsung kalau tidak ada perbaikan. Jika tak antikorupsi, pengadaan bisa bersifat favourtism. Lebih-lebih lagi, pengambilan keputusan sarat dengan tarik menarik kepentingan. Dan, perilaku koruptif akan semakin membekam dalam sistem birokrasi dan wajah aparatur negara/pemerintahan. Kita semua berkepentingan untuk mencegah jatuhnya negara ini karena korupsi. Dalam perspektif sistem, tugas pemberantasan korupsi tanggungjawab bersama. Namun, tanggungjawab utamanya ada pada negara dan/atau aparat penegak hukum yang ditugaskan untuk itu.

Di hadapan kita ada empat rekomendasi penting TI, negara perlu mengadopsinya. (1) Memperkuat peran & fungsi lembaga pengawas; (2) Memastikan transparansi kontrak pengadaan; (3) Merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik: dan (4) Mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan. Diharapkan ini dapat mendongkrak IPK Indonesia 2021 dan kelak kita menjadi Negara bersih. Mari kita lawan krisis korupsi dengan menciptakan sistem yang antikorupsi.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt602cc45e30058/korupsi-sebagai-sebuah-krisis-oleh–korneles-materay?page=3

Penulis: Korneles Materay

Artikel, Berita, OPINI PENELITI

​​​​​​​Mencegah Petaka Pemberantasan Korupsi dalam Kasus Pinangki

Mengecawakan tapi tidak mengejutkan. Begitulah kalau kita melihat tuntutan pemidaan terhadap terdakwa kasus suap dan pencucian uang, Pinangki Sirna Malasari. Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung ini hanya dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Sebelum berangkat lebih jauh, sekadar mengingatkan saja bahwa tuntutan denda Rp500 juta Pinangki sama dengan tuntutan denda kepada guru honorer Baiq Nuril dalam kasus Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE beberapa waktu lalu. Yang menarik, JPU bekerja keras memperjuangkan kepentingan pelaku pelecehan seksual sampai ke Mahkamah Agung dan diputus 6 bulan penjara dan denda sebagaimana di atas. Padahal secara faktual Nuril adalah korban dan penerapan norma tersebut keliru. Hal mana telah diputus vrispraak oleh PN Mataram.

Contoh kecil ini untuk menggambarkan ironi dalam penegakan hukum kita. Bahwa JPU mati-matian dalam kasus yang sebetulnya secara normatif harus dituntut bebas atau mengesampingkan prosesnya sejak awal. Kerja keras semacam itu tidak terlihat dalam tuntutan Pinangki terkait kasus korupsi tingkat tinggi.

Kurang Pantas

Dari sudut keadilan masyarakat, kepentingan pemulihan wajah penegakan hukum, hingga citra profesi, rasanya tuntuan 4 tahun dan denda Rp500 juta masih kurang pantas. Mengapa? Pertama, tuntutan pidana itu termasuk ringan atau rendah. Seharusnya kalau dilihat dari jenis kejahatan dan konstruksi normanya, Pinangki bisa dituntut berat atau maksimal.

Kedua, bahwa Pinangki selaku penegak hukum menggunakan wewenang jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi sekaligus orang lain. Ia justru menjadi pelaku lapangan aktif yang menjalankan rencana misi Peninjauan Kembali dari terpidana kasus korupsi kelas kakap (baca: Djoko Tjandra).

Perbuatan tersebut patut diduga turut melibatkan aktor penegak hukum level atas lainnya lintas lembaga penegak hukum. Yang artinya, dia tidak sendiri. Ini sungguh menginjak-injak wajah mulia profesi penegak hukum khususnya jaksa dan lembaga adhyaksaKetiga, perbuatan Pinangki dapat dikatakan termasuk komplikasi kejahatan karena terdiri dari beberapa seperti permufakatan jahat, suap, dan pencucian uang.

Pengabaian yang Krusial

Pembacaan requisitoir JPU itu patut disayangkan. Secara filosofis-yuridis, JPU seyogianya mewakili kepentingan rakyat/negara dan hukum. Namun, terlihat jelas bahwa JPU mengabaikan beberapa hal yang krusial yaitu status terdakwa sebagai aparat penegak hukum, kerusakan sistem hukum, dan rasa keadilan masyarakat dalam merumuskan tuntutan ini.

Penuntutan pidana yang ringan tersebut mengesankan satu hal bahwa JPU tidak serius dan cenderung terbebani. Hal ini memantik pertanyaan mendasar, mengapa kejahatan yang begitu besar dengan pelaku penegak hukum hanya dituntut rendah? Jawabanya bisa bermacam-macam. Mulai dari spekulasi karena terdakwa adalah sejawat, konflik kepentingan, titipan, ada udang dibalik batu, dan seterusnya.

Pengadil harus Berani

Tuntutan Pinangki tersebut berpotensi menjadi petaka bagi masa depan pemberantasan korupsi terlebih terhadap kasus-kasus besar seperti ini. Kita semua tahu bahwa mau atau tidak mau, suka atau tidak suka tuntutan pidana acapkali berperan sebagai landasan penjatuhan vonis hakim selain dakwaan. Kendatipun majelis hakim tetap dapat memutuskan berbeda dari tuntutan pidana tersebut.

Bak nasi telah menjadi bubur, tuntutan pidana telah dilayangkan. Muara harapan terakhir ada pada majelis hakim selaku pengadil. Majelis hakim harus berani berbeda dan menjawab tantangan penegakan hukum saat ini. Ada contoh kasus kemarin sore yang penting untuk disimak kembali dan jangan sampai terulang dalam penyelesaian kasus ini yaitu kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Kemiripan antara kasus Novel dan kasus Pinangki ialah melibatkan aparat, berkaitan dengan korupsi level atas, dan peran institusi asal pelaku kejahatan dalam proses penyelesaiannya.

Dalam kasus Novel, pelaku adalah anggota Polri. Penyelidik dan penyidik adalah Polri. Dan, penuntut adalah kejaksaan. Penyerangan terhadap Novel sebagai aparat penegak hukum oleh aparat tidak direspon serius melalui dakwaan hingga tuntutan pidana di tangan JPU. Bahkan kita dibuat tercengang, tatkala JPU hanya menuntut para pelaku dengan hukuman 1 tahun penjara dengan alasan yang konyol yakni tidak sengaja menyiram mata Novel. Terlepas dari apakah keduanya merupakan korban dari sandiwara penuntasan kasus yang membusuk selama 3 tahun tersebut atau tidak.

Kasus Pinangki, praksis semuanya dikerjakan pihak kejaksaan. Kali ini alasan JPU karena Pinangki adalah ibu dari seorang anak berusia 4 tahun. Kita tentu prihatin karena buah hati kecil itu barangkali sudah terbebani dengan situasi ini. Namun, ada pula banyak kasus di mana ibu-ibu lain harus mengurusi anaknya di penjara. Anak-anak mereka terlantar karena proses hukum dan seterusnya, di mana mungkin saja hukum telah berlebihan menutup mata dan kupingnya.

Ujung kasus Novel hanya membentangkan hasil yang seolah-olah asal ada vonisnya yaitu penjara 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan masing-masing kepada kedua pelaku. Hakim terlihat jelas tidak condong ke JPU, penuh beban dan tidak berani memutuskan berdasarkan hukum dan keadilan. Peran institusi asal sedikit banyak dapat kita pahami karena konflik kepentingan.

Harapan kepada hakim kali ini tentu berbeda. Sebagai penengah, mahkota lembaga kehakiman sepatutnya adalah independensi dan imparsialitas. Kasus ini telah menjadi ujian penting sistem peradilan pidana yang berintegritas. Sistem peradilan pidana yang berintegritas berarti meletakan prinsip profesionalisme, independensi, dan imparsialitas di dalam setiap tahapan proses hukum.

Menurut hukum, hakim harus memutus berdasarkan bukti-bukti yang cukup dan keyakinannya. Bukti-bukti kejahatan semuanya sudah tersaji di hadapan meja hijau. Jika terbukti bersalah, dihukum sesuai derajat kejahatan dengan memperhatikan faktor pemberatan pidana karena aparat penegak hukum, motif kejahatan, hingga dampak kasus bagi bangsa dan negara khusus sektor penegakan hukum. Dari konstruksi pasal UU Tipikor dan UU TPPU yang dipergunakan, Pinangki paling tidak dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal yaitu 20 tahun penjara.

Jangan sampai peradilan pidana yang berintegritas runtuh karena ketidakberanian pengadil. Dampak keberanian tersebut ialah pulihnya wajah penegakan hukum dan kepercayaan publik. Kini, segenap rakyat Indonesia menunggu ketukan palu majelis hakim. Mari kita nantikan apakah majelis hakim mencegah petaka itu. Atau, sebaliknya menciptakan secercah harapan di tengah gersangnya vonis monumental hari ini.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6010f9c8cdd4b/mencegah-petaka-pemberantasan-korupsi-dalam-kasus-pinangki-oleh–korneles-materay?page=3

Penulis: Korneles Materay

Agenda, Berita

IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi

Indonesia mencatatkan rekor buruk dalam Corruption Perception Index atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang diukur oleh Transparency International. Survei menunjukan bahwa disamping krisis pandemi, korupsi semakin menggeliat dan demokrasi mengalami kemunduran secara signifikan. Membahas hal tersebut, BHACA menggelar diskusi “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” Sebagai narasumber adalah Natalia Soebagjo International Council of Transparency International dan Dewan Pendiri BHACA dan Zainal Arifin Mochtar Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) UGM sekaligus Dewan Juri BHACA.

Sebagaimana diketahui IPK 2020 Indonesia  jeblok ke skor 37 dan terlempar ke ranking 102 dunia dari 180 negara yang disurvei. IPK disusun berdasarkan 13 sumber data. Khusus untuk Indonesia dipergunakan 9 sumber data. Masing-masing indeks melihat hal yang berbeda-beda.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2020)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Natalia menjelaskan mayoritas mengalami penurunan. “Penurunan kita yang paling besar di Global Insight Country Risk Rating, turun 12 poin. Ini melihat apakah perusahaan-perusahaan itu harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Political Risk Service juga turun 8 poin. Apakah harus menyuap atau disuap untuk mendapatkan layanan publik? Bribery and corruption, apakah masih ada atau tidak? Ternyata juga turun 5 kalau melihat World Competitiveness Yearbook. Yang turun lagi di Political and Economic Risk Consultancy. Ditanyakan responden sejauh mana mereka melihat korupsi di negara di mana mereka mempunyai bisnis. Political corruption dapat kita lihat dari Varieties of Democrazy Project. Satu-satunya membaik di World Justice Project-Rule of Law. Tapi overall kinerja kita di rule of law rendah meskipun ada kenaikan. Tetapi di World Economic Forum Executive Opinion Survey stagnan, tidak ada perubahan, tidak membaik tapi juga tidak memburuk. Di Berstelsmann Stiftung-Transformation Index juga stagnan. Economic Intelligence-Unit Country Risk Service juga stagnan,” paparnya.

Kemudian indeks tersebut diklasifikasikan dalam tiga kluster besar, yaitu ekonomi & investasi, penegakan hukum dan politik dan demokrasi. Menurut Natalia, kluster yang berkaitan dengan ekonomi dan investasi mayoritas turun. Soal penegakan hukum yang naik yaitu rule of law index, tetapi melihat kualitas layanan publik atau interaksi pelaku bisnis dan birokrasi turun. Sedangkan, kalau melihat demokrasi maka political corruption masih merupakan sesuatu yang harus dihadapi di mana sektor politik masih rentan terhadap korupsi.

Natalia memaparkan bahwa jika dikaitkan dengan demokrasi dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. Di sini terlihat bagaimana korupsi dan demokrasi terjadi.

Sejak tahun 2019, TI menilai political corruption sebagai problem yang melanda semua negara yang disurvei. Pada waktu itu rekomendasi yang diajukan berkaitan dengan political corruption.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Natalia menilai rekomendasi tersebut masih relevan. Namun, ia mempertanyakan soal implementasinya. “Menurut saya ini rekomendasi yang sampai sekarang pun masih sangat valid. Hanyalah dengan adanya covid, semua kelemahan yang terlihat di tahun lalu semakin di-amplifies semakin terlihat.” Sejak tahun 2019, apakah rekomendasi TII sudah berhasil dijalankan?”

Dalam tataran praktis, merujuk ke survei Lembaga Survei Indonesia praktik politik uang masih tinggi.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Oleh karena itu, menurut Natalia, dalam situasi seperti ini tantangan negara untuk mengontrol isu political corruption dan partai politik semakin berat dan belum tertangani dengan baik.  Menurutnya perlu penanganan komprehensif dan hal tersebut sebenarnya telah tertuang dalam hasil kajian KPK dan LIPI (2018) yang memetakan 5 (lima) aspek yaitu kode etik, demokrasi internal, keuangan parpol, kaderisasi, dan rekruitmen.

Natalia menutup paparannya dengan menyampaikan rekomendasi umum TI:

Menurut Zainal, jebloknya IPK ini terburuk sepanjang sejarah Indonesia khususnya pasca reformasi. Jika dibaca secara rezim, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan indeks persepsi korupsi. Pertama, kelahiran KPK di mana terbukti menaikan indeks persepsi korupsi. “Terbukti di zaman Megawati akhir begitu KPK lahir sampai terakhir Jokowi 2019, kenaikan 21 poin, dari 19 ke 40. Tidak ada negara di duniapun yang mengalami kenaikan secara ajaib,” paparnya. Jadi faktor penting menurut Zainal adalah KPK. Nafas pemberantasan korupsi ada karena KPK.

“Ketika KPK dikerdilkan di tahun 2019, saya sudah menduga bahwa ini akan mengalami penurunan,” ujar Zainal. Menurutnya, cara berpikir saat ini mengarah ke korupsi bukan kejahatan luar biasa. Terjadi signifikansi cara berpikir soal pemberantasan korupsi. Hal itu juga diamini oleh hampir seluruh komisioner karena melayangkan surat dukungan terhadap revisi UU KPK. Logika berpikir UU KPK, korupsi bukan extra-ordinary.

Kedua adalah berkaitan dengan kinerja pemerintah secara keseluruhan. Menurut Zainal, ada semacam anakronisme di tubuh pemerintahan. Bagaimana mungkin menganggap bahwa bisnis itu harus didorong lebih baik tapi yang dilakukan itu adalah dengan menghentikan atau membonsai KPK. Pemberantasan korupsi selalu menjadi syarat investasi sebagaimana misal disampaikan oleh World Economic Forum. Meskipun ada penangkapan menteri, tapi tidak berarti KPK kuat. “Itu hanya menunjukan KPK masih berdenyut, tapi bukan berarti KPK tidak sedang sekarat,” katanya.

Ketiga, kebiasaan partai politik kembali menggeliat liar di 2019 akhir dan 2020. IPK dipengaruhi kondisi politik, tatanan partai, kehidupan demokrasi dan lain-lain. Skor penegakan hukum yang naik tidak terlalu luar biasa karena itu tidak signifikan karena di riset lain menurun. Rentang 2019-2020, dari hulu ke hilir, alih-alih mengalami revolusi atau evolusi (perubahan secara pelan-pelan), menurut Zainal justru mengalami involusi atau pengruwetan dalam banyak hal.

Lalu, kemungkinan apa yang terjadi di 2021? Menurut Zainal, pertama, ada beberapa bom waktu yang akan meledak di 2021. Salah satunya adalah kewajiban alih fungsi semua penyidik KPK secara penuh di akhir Oktober 2021 (sesuai UU 19/2019, transisi 2 tahun). Geliat KPK dilakukan oleh penyidik yang belum penuh tertransisi menjadi ASN. Apa bahayanya penyidik KPK menjadi ASN? Salah satunya adalah penyidik non polisi dan  kejaksaan menjadi penyidik PPNS yang pembinaannya di bawah kepolisian. “Denyut KPK akan menjadi tidak ada lagi,” kata Zainal.

Kedua, pembukaan keran investasi dan kemudahan perizinan yang tidak dilapisi dengan upaya pengaman pemberantasan korupsi. Misalnya, dalam logika sederhana UU Cipta Kerja bahwa untuk penyederhanaan semua di tarik dari daerah ke pusat. Kita belum mampu membangun sistem pengawasan. Tetapi ujug-ujug mempermudah perizinan dan sebagainya. “Katup pengamannya belum tersedia” Ketiga, kehidupan politik karena 2022-2024 ada agenda pemilu, ada kemungkinan parpol akan menyalakan mesin cepat.

Keempat, ketika agenda kenegaraan terbengkalai, maka perbaikan institusionalisasi tidak akan tercipta. Ada langkah berderap secara keliru (politis) untuk membunuh lembaga-lembaga yang sudah ada. “MK mau didomestikasi, KASN yang baik perannya dalam mengerem perdagangan jabatan publik juga mau dibonsai atau dibunuh. Bahkan ada usul KPU, Parpol, dan sebagainya,” tutur Zainal. Tugas institusionalitas yang tidak tercipta baik dari sisi lembaga atau peraturan sangat berbahaya.

Dari sisi peraturan, belakangan peraturan menjadi berantakan karena ketiadaan peran publik secara baik. Salah duanya, memang politisi semakin jauh dari fungsi kedaulatan rakyat. Dan, salah tiganya tentu saja karena perlawanan publik menjadi terbatas. Kelima, pragmatisnya pemerintahan secara keseluruhan untuk menyelesaikan masalah.

Negara diharapkan bisa mengambil langkah-langkah perbaikan. Menurut Zainal, pertama, Presiden membangun hubungan yang baik dengan pemerintahan daerah. Tidak bisa mengharapkan menteri-menteri yang kemungkinan di tahun politik akan cepat menyalakan mesin. Kedua, Presiden membuat terobosan untuk meluruskan kembali janji-janji pemberantasan korupsi dengan mengeluarkan Omnibus Pemberantasan Korupsi. Banyak peraturan pemberantasan korupsi banyak yang tidak menarik, tidak kuat atau malah mendorong ke arah tidak menyelesaikan pemberantasan korupsi. Omnibus Pemberantasan Korupsi itu memperbaiki UU Antikorupsi, menyesuaikan dengan UNCAC, mempersiapkan kelembagaan/institusi termasuk lembaga pengelola aset yang baik.

Kalau untuk kepentingan ekonomi bisa dengan omnibus, kenapa tidak dengan pemberantasan korupsi? Ketiga, berharap MK berani mengembalikan UU KPK sehingga pemberantasan kembali hidup dan menarik. “Jika tidak terjadi perubahan, jangan-jangan bom waktulah yang akan meledak dan akan menurunkan lagi IPK. Kalau turun lagi, kita sudah lemah,” pungkasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” yang diselenggarakan pada 4 Februari 2021 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan Youtube Bung Hatta Award BHACA

Donasi