Hubungi Kami
Artikel

Menakar Pengadilan In Absentia “Koruptor”

Keberadaan Harun Masiku dan Nurhadi cs hingga kini masih misteri. Sejak berstatus buron, penuntasan kasus korupsi mereka bergerak di tempat. KPK nampak tak berdaya mengurusi dua orang yang konon keberadaannya hanya di wilayah Republik ini. Entah memang KPK tidak mampu atau enggan mengungkapnya, hanya KPK dan Tuhan yang tahu. Di tengah turbulensi penegakan hukum korupsi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, KPK membuka kemungkinan untuk membawa kasus Harun Masiku dan Nurhadi cs ke pengadilan meski tanpa kehadiran mereka (in absentia).

Seperti diketahui, Harun Masiku ialah eks caleg PDI-P yang ditetapkan tersangka tanggal 9 Januari 2020 terkait pergantian antarwaktu DPR yang turut menyeret eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sedangkan, Nurhadi adalah eks Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011 – 2016, bersama menantunya Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra ditetapkan tersangka sejak 16 Desember 2019 terkait dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA.

Pengadilan in absentia adalah proses pemeriksaan suatu perkara tanpa kehadiran tergugat dalam jenis perkara perdata dan tata usaha negara atau tanpa kehadiran terdakwa untuk perkara pidana. Dalam konteks pengadilan pidana, disebutkan bahwa pemeriksaan perkara harus dihadiri terdakwa sebagaimana bunyi Pasal 196 ayat (1) KUHAP dan SEMA No. 6 Tahun 1988. Memang asas umumnya menyatakan demikian karena terdakwa dilindungi hak asasi manusianya untuk membela diri atas suatu tuntutan hukum terhadapnya. Dengan perspektif KUHAP, maka jika Masiku dan Nurhadi cs tidak hadir, tetapi pemeriksaan dilanjutkan itu melanggar hak asasi manusia atau merugikan mereka. Namun, KUHAP sendiri menganut perkecualian pada Pasal 213 jo 214 dalam hal kasus pelanggaran lalu lintas dan Pasal 205 untuk perkara tindak pidana ringan.

Hukum perdata dan hukum tata usaha negara juga mengatur pengadilan in absentia. Pengadilan perdata bisa digelar tanpa tergugat seperti diatur pada Pasal 125 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), sedangkan hukum tata usaha negara diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 junctis UU No. 51 Tahun 2009. Tidak hanya itu, pengaturan persidangan in absentia juga diatur pada undang-undang khusus yaitu Pasal 79 ayat (1) UU No. Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan jis SEMA No. 03 Tahun 2007 dan Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang merupakan dasar hukum KPK hendak membawa perkara Masiku dan Nurhadi cs ke pengadilan Tipikor. Meski fisik Masiku dan Nurhadi cs bak ditelan bumi. Maka, pandangan in absentia melanggar hak asasi tidak lagi diperdebatkan karena untuk perkara korupsi boleh dilakukan.

Pengadilan Bukan Tempat Pelarian

Jika dibaca penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor, disebutkan “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.” Inti pasal tersebut ialah pada usaha menyelamatkan kekayaan negara. Untuk dua kasus ini tidak cocok in absentia. Karena dalam praktik suap-menyuap tidak ada unsur kerugian negara. Namun, perbuatan suap menyuap dapat saja menggangu perekoniman negara atau kerugian negara.

Kalaupun dipaksakan, pertanyaan mendasarnya, apa keuntungan dan kerugian pengadilan in absentia Masiku dan Nurhadi cs? Apa target akhir dari in absentia? Apakah untuk menghukum para pelaku? Tidak mungkin, mereka tidak ada. Apakah ingin mengembangkan kasus ini? Lagi-lagi konyol saja harapan tersebut karena para pelaku tidak ada, bagaimana cara mendapatkan informasinya?

Selama tidak ada nyanyian mereka, KPK tidak bisa melakukan apa-apa. Nah, sebelum memikirkan in absentia, KPK sebaiknya menjelaskan kepada publik porsi maksimal dan optimal dari kinerja KPK selama mengusut perkara ini. Pengadilan bukan tempat pelarian karena ada tembok penghalau dalam tubuh KPK sendiri yaitu kemauan atau malah menimbulkan kesan ada campur tangan pihak eksternal yang mengintervensi proses. Jangan berpikir yang penting diperiksa hakim sehingga tergantung hakim dan terserah putusan hakim. Cara pandang di atas harus dihindari dari penegak hukum.

Perspektif demikian menyebabkan pemenuhan keadilan hukum tidak tercapai karena ada proses yang dipotong yaitu mengungkap keterlibatan aktor lainnya. Tentu saja dalam kondisi demikian, yang dikorbankan ialah kepentingan keadilan rakyat dan kepentingan hukum itu sendiri. Bahwa hukum harus ditegakan untuk semua orang tanpa pandang bulu. Jangan sampai, ada yang melihat hukum tidak adil terhadap mereka yang ditopang kekuatan politik dan duit.

Kasus Masiku itu potensial menjadi kasus yang luar biasa besar karena menyirat indikasi keterlibatan petinggi parpol berkuasa dan tentu saja terdapat irisan proses demokratisasi alias isu kepemiluan. Tak mungkin dapat disangkal begitu saja bahwa suap eks Komisioner KPU tidak ada kaitan dengan pemilu. Maka, untuk kepentingan siapa suap itu dilakukan, melibatkan siapa saja, dan telah terjadi apa, harus dibongkar. Begitu pula kasus Nurhadi cs, untuk memotret judicial corruption dalam periode tersebut. Apakah ada pembusukan yang parah di puncak kekuasaan kehakiman?

Rasanya tidak berlebihan anggapan publik bahwa KPK periode Firli cs enggan menemukan Masiku dan Nurhadi cs dibandingkan periode kepemimpinan KPK sebelumnya. Indikatornya, berdasarkan kasus konkrit yang pernah terjadi. Dulu, kondisinya bahkan jauh lebih kompleks dan rumit dari pada saat ini. Ambil contoh kasus Nazaruddin yang sempat menghilang ke luar negeri sekaligus berpindah-pindah. Prosesnya panjang dan koordinasinya lintas negara.

Nazarudin awalnya dari Indonesia ke Singapura tanggal 23 Mei 2011 dengan alasan berobat. Pada tangal 30 Juni 2011, ia ditetapkan tersangka kasus suap pembangunan Wisma Atlet, kemudian Presiden SBY meminta Singapura memulangkan dia. Singapura menyatakan Nazaruddin raib alias tidak berada lagi di negeri tersebut. Bayangkan, otoritas setempat juga kehilangan jejak yang bersangkutan, apalagi kita di Indonesia. Kehebatan KPK lama itu karena teknik investigasi yang luar biasa dan dengan bantuan interpol akhirnya menangkap Nazarudin bahkan jauh di Kolombia pada tanggal 7 Agustus 2011.

Setelah di Indonesia, penyidik bisa lebih mudah mengusut perkara-perkara yang berkaitan dengan dia, pun orang-orang terkaitnya. Pada tanggal 13 Februari 2012, KPK menetapkan dia lagi sebagai tersangka untuk kasus tindak pidana pencucian uang terkait pembelian saham PT Garuda Indonesia. Dari “nyanyian Nazarudin” beberapa orang turut dihukum seperti Neneng Sri Wahyuni, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Andi Zulkarnain “Choel” Mallarangeng, dst. Mestinya, Masiku dan Nurhadi cs bisa lebih muda ditangkap. Intinya adalah KPK mau atau tidak.

Momentum

Menyerahkan pada pengadilan in absentia laksana memotong kompas. Harus dipahami bahwa kasus Masiku dan Nurhadi cs saat ini menjadi indikator independensi dan profesionalisme KPK. Para tersangka ini orang-orang penting yang harus digali keterangannya lebih dalam. Pengembangan kasus sangatlah penting untuk menjerat semua yang menyalahgunakan kewenangan jabatan demi kepentingan diri sendiri dan kelompok serta menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang terdekat. Jalan pintas mengadili tanpa terdakwa bisa jadi sebuah kegagalan besar KPK  dalam penegakan hukum khususnya terhadap kasus ini.

KPK juga harus memperhatikan indikator soal kepercayaan publik dan dukungan publik. Dua kasus ini berkontribusi besar mendegradasi kepercayaan publik pada KPK. Sejumlah lembaga survei awal 2020 menyajikan laporan yang menunjukan fakta kemerosotan tersebut. Lembaga Survei Alvara melaporkan KPK hanya menempati posisi 5 (lima) lembaga negara yang dipercayai. Sedangkan, survei Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di nomor empat, kalah dari TNI dan Polri.

Bandingkan dengan survei dari Lembaga Survei Indonesia pada pertengahan tahun 2019, yang menyatakan kepercayaan tertinggi dari masyarakat kepada KPK sekitar 84%. Kini, banyak orang yang mengkritisi KPK karena tidak kunjung menangkap Masiku dan Nurhadi cs. Apalagi pasca revisi UU KPK yang semangatnya membuat KPK semakin terkontrol oleh sistem dan kekuasaan pemerintahan. Momentum membalikan anggapan itu sekarang. KPK harus membuktikan diri.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Artikel

Perppu yang Menyelamatkan

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) seyogianya bukan lagi opsi terakhir bagi Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan bangsa ini dari rongrongan oligarkhi.

Publik masih terus berkabung atas pembunuhan KPK, tetapi di tangan Presiden duka cita bisa menjadi suka cita atau kematian bisa menjadi kebangkitan/kehidupan baru. Melalui Perppu-lah keselamatan KPK dan penegakan hukum korupsi bangsa ini sangat mungkin terjadi.

State of Exception

Kewenangan Presiden menetapkan Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Dalam perspektif hukum konstitusi, Perppu merupakan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif (president’s legislative power).

Perppu praksis dianggap sebagai suatu produk hukum yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal (state of exception) yaitu suatu keadaan di mana negara dihadapkan pada ancaman hidup atau mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan (Scheppele, 2004: 1004).

Hingga kini, Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila syarat kegentingan memaksa telah terpenuhi (pandangan subyektif) dengan wajib memperhatikan 3 (tiga) kriteria obyektif sebagaimana tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, yaitu: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Syarat Terpenuhi

Menurut saya, syarat Presiden menerbitkan Perppu KPK telah terpenuhi dengan beberapa alasan. Pertama, dilihat dari konteks politik dimulainya revisi UU KPK, yakni konteks bagaimana sikap seluruh anggota DPR dan/atau fraksi partai politik di Senayan bersepakat terhadap perubahan UU KPK. Sebenarnya, mendukung atau menolak revisi UU KPK oleh siapapun tidak masalah. Yang bermasalah adalah revisi itu semacam proyek kolektif seluruh anggota DPR dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita.

Usulan revisi UU KPK tersebut kemudian dikebut pembahasannya sehingga hanya dalam kurun waktu 12 hari saja sudah disahkan. Hal ini terkesan seperti kinerja DPR melampaui kebiasaannya yang sering lamban dan agak kemalas-malasan merespon kebutuhan masyarakat. Benar saja! Walaupun telah rajin bekerja, DPR tidak pandai membaca mana yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat. Tetapi memang karena ini adalah hajatan komunal DPR untuk memproteksi dirinya atau kroni-kroninya di masa depan dari jeratan pasal-pasal anti-rasuah.

Kedua, praksis DPR melakukan pelanggaran serius terhadap norma prosedur pembentukan undang-undang. Dalam konteks prosedur, secara gamblang kita bisa melihat pelanggaran dilakukan sejak tahapan pembahasan hingga pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK. Norma prosedur yang jelas dilanggar dalam hal ini, yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum. Pengambilan keputusan harus 50% plus 1 yang berarti dari 560 anggota DPR wajib 281 anggota hadir, tapi faktanya hanya 80 orang anggota DPR di pembukaan sidang dan 102 orang dalam pengesahan. Walaupun dalam daftar kehadiran terdapat 289 orang anggota DPR. Semestinya, kehadiran dimaknai secara fisik bukan tanda tangan saja, karena ini berkaitan dengan perbuatan hukum masing-masing anggota.

Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak awal, DPR berangkat dari pemikiran bahwa aspek penguatan pencegahan korupsi akan menyelesaikan persoalan korupsi. DPR naif apabila menyalahkan KPK dalam hal kurangnya pencegahan. Sebab pencegahan bukan hanya kewajiban KPK atau lembaga penegak hukum, tetapi juga semua lembaga dan pejabat negeri ini.

Menurut catatan ICW per 15 September 2019, sepanjang 2015 – 2019 terdapat 254 legislator atau mantan legislator pusat dan daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Artinya, di parlemen baik pusat maupun daerah belum membangun sistem pencegahannya sendiri dan tidak pernah mau belajar untuk merubah diri. Pada hal ketika berbicara dalam politik penanggulangan korupsi, aspek pemberantasan korupsi itu terdiri dari pencegahan, penindakan dan peran serta masyarakat.

Ternyata ini hanya akal bulus DPR semata. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain:

  1. KPK bukan lembaga independen;
  2. Pegawai KPK merupakan ASN;
  3. Pimpinan KPK bukan penanggungjawab tertinggi;
  4. Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, tetapi syarat menjadi DP gampang;
  5. Penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas;
  6. Dewan pengawas boleh menjabat profesi lain;
  7. Dewan Pengawas bisa dari aparat penegak hukum aktif yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun;
  8. Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum;
  9. Penyelidik tidak boleh melarang seseorang ke luar negeri;
  10. Penyadapan tidak boleh dilakukan pada tahap penuntutan;
  11. OTT semakin sulit karena soal birokrasi penyadapan;
  12. Adanya ketentuan yang bisa disalahpahami tugas KPK hanya pencegahan;
  13. Penuntutan wajib koordinasi Kejaksaan Agung;
  14. Adanya resiko kriminalisasi pegawai KPK terkait penyadapan;
  15. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun yang tentu saja menyulitkan penanganan perkara lintas negara;
  16. Hilangnya kewenangan menangani perkara yang meresahkan publik;
  17. Kewenangan supervisi berkurang;
  18. Tidak dilakukannya penguatan dari aspek pencegahan terkait pelaporan LHKPN,
  19. Tertutupnya kesempatan generasi muda menjadi pimpinan KPK karena harus berumur minimal 50 tahun), dst (vide. rilis KPK & masyarakat anti-korupsi).

Dari norma-norma hasil revisi di atas, kita dapat melihat bahwa UU KPK baru memuat norma pelemahan KPK karena mengamputasi semua kewenangannya dan memperkecil ruang penegakan hukum korupsi. Selain itu, bila ditelaah dalam konteks pencegahan, maka sama sekali tidak terlihat penguatan dari aspek pencegahan sebagaimana didengungkan DPR. Artinya, memang ini semua proyek membuka tabir kejahatan korupsi lebih luas.

Dengan instrumen hukum seperti ini, alih-alihan memberantas korupsi, KPK periode lima tahun ke depan bisa tidak bekerja optimal baik dalam ranah pencegahan maupun penindakan. Karena spirit UU KPK baru tidak mencerminkan suatu prinsip korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga perlu ditanggulangi dengan cara yang luar biasa pula (extra ordinary treatment). Pun tidak membangun suatu budaya anti-korupsi di dalam masyarakat karena mempersepsikan korupsi bukan suatu kejahatan yang perlu diperangi bersama secara serius.

Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Kita semua adalah pengkritik sekaligus saksi bahwa revisi UU KPK dikritik dan ditolak habis-habisan oleh berbagai elemen masyarakat. Realitanya memang selepas revisi UU KPK disahkan suasana semakin mencekam di tengah masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda.

Kalau bukan soal kecurigaan terhadap proses revisi dan muatan materi yang disinyalir melemahkan KPK serta upaya menggagalkan agenda pemberantasan korupsi, maka semua bentuk perlawanan rakyat dalam gerakan bertajuk “demokrasi dikorupsi” hanyalah tindakan yang sia-sia. Urgensi penolakan ini karena produk legislasi yang disahkan hanya merepresentasikan kehendak (will) dan kepentingan (interestelite semata. Pengesahan UU KPK itu seperti mengumumkan pemenang proyek melindungi koruptor.

Bila keempat alasan di atas di pandang dari aspek keabsahan filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan peraturan perundang-undangan, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Suatu undang-undang yang dianggap sah dari sisi filosofis bila nilai-nilai, pandangan-pandangan, atau cita-cita di dalamnya sesuai dengan yang dianut masyarakat dan negara tersebut.

Kita menyongsong era reformasi dengan semangat pemberantasan korupsi dan pendirian KPK. Dengan harapan besar, korupsi dibumihanguskan. Kita tidak menganut nilai mentoleransikan korupsi atau membentuk oligarkhi untuk menguasai jabatan dan sumber-sumber ekonomi. UU KPK baru tidak bernafaskan semangat pemberantasan korupsi yang tinggi dan berpotensi tidak berdaya menghadapi pengerukan kekayaan di sektor sumber daya alam, dan lain sebagainya.

Dari sisi yuridis, mestinya suatu undang-undang itu mengatasi persoalan di masyarakat guna menjamin tercapainya cita-cita hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Secara eksplisit kita bisa melihat persoalan prosedur dan substansi UU KPK baru sebagaimana telah dijelaskan di atas. UU KPK baru tidak menyelesaikan silang sengkarut persoalan korupsi dan penegakan korupsi. UU ini tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Sedangkan, sisi sosiologis menitikberatkan pada bagaimana undang-undang itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Faktanya, revisi UU KPK telah menimbulkan gejolak di masyarakat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ada suatu keadaan genting yang memaksa dari sisi pemberantasan korupsi sehingga Presiden harus menerbitkan Perppu KPK.

Realisasi Janji

Jika Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Perppu KPK, maka sebetulnya di samping menjadi penyelamat juga merealisasikan janjinya terhadap penguatan KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Pertama, dilihat dari sisi Nawacita. Selaku Presiden yang berkuasa dimulai kurang lebih lima tahun lalu bersama Jusuf Kalla, pria yang akrab disapa Jokowi ini telah berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia untuk “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya” (vide. Nawacita poin 4).

Keteguhannya masih terlihat sama beberapa waktu lalu, tetapi belakangan sungguh dirindukan. Dalam hitungan hari lagi, ia akan mengakhiri periode pertamanya memimpin Indonesia. Pembunuhan KPK adalah sebuah tragedi bila tidak diselamatkan. Maka, Perppu bisa menjadi legasi manis Jokowi menutup detik terakhir kekuasaannya terhadap komitmen Nawacita-nya.

Kedua, menggenapi janji menerbitkan Perppu itu sendiri. Setelah sebelumnya didahului demonstrasi berjilid-jilid dari mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah, pada tanggal 26 September 2019 Presiden berinisiatif mengundang dan menggelar pertemuan dengan para tokoh bangsa di Istana Negara untuk membahas khusus terkait isu terkini bangsa salah satunya adalah mengenai revisi UU KPK.

Pasca pertemuan tersebut, Presiden memberikan isyarat segera menerbitkan Perppu terhadap pengesahan revisi UU KPK yang kontroversial itu. Namun, memasuki pekan kedua Perppu KPK itu tak tiba jua. Dalam konteks yang lain, Jokowi semakin dekat dengan periode keduanya. Kita semua bisa memproyeksikan komitmen anti-korupsi Jokowi dengan indikator keberpihakannya terhadap penguatan lembaga anti-rasuah dan keingingan publik agar korupsi tetap diberantas sampai ke akar-akarnya.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Hukumonline.com edisi 14 Oktober 2019, dengan judul “Perppu yang Menyelamatkan

Donasi