Ketua Pansel Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Yenti Ganarsih mengatakan Pansel berencana akan menyerahkan 10 nama hasil seleksi kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 September 2019 seperti dikutip Antara, Jumat (9/8/2019). Penyerahan nama-nama calon Pimpinan KPK kepada Presiden merupakan amanat dari Keppres No. 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan Tahun 2019 – 2023 tertanggal 17 Mei 2019.
Tugas Pansel Capim KPK menurut Keppres huruf (f) ialah menentukan nama-nama capim KPK yang akan disampaikan kepada Presiden sebanyak dua kali jumlah Pimpinan KPK yang diperlukan sesuai undang-undang; dan huruf (g) menyampaikan nama-nama calon Pimpinan KPK sekaligus laporan pelaksanaan seleksi kepada Presiden. Ini artinya, tinggal beberapa hari lagi kita sudah mendapatkan informasi lengkap terkait sepuluh calon Pimpinan KPK Jilid V hasil akhir kerja tim Pansel.
Kesepuluh calon Pimpinan KPK di tangan Presiden nanti masih akan diserahkan kepada DPR guna melalui tahapan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), DPR memilih calon yang diusulkan Presiden.
Merujuk pada praktik, fit and proper test adalah bagian dari proses di DPR sebelum memilih pimpinan lembaga negara definitif. Sebelum beranjak lebih jauh, adapun pertanyaan di pusaran kinerja tim Pansel adalah sejauh mana kerja-kerja Pansel menjawab semua keraguan dan kecemasan publik terhadap seleksi para calon Pimpinan KPK terdaftar selama ini?
Ada fakta yang menurut saya sangat menggelitik yaitu ketika Pansel seringkali ditanyai awak media terkait ketidakpuasan publik dan responnya adalah bahwa Pansel bekerja bukan untuk memuaskan pihak manapun. Salah satu indikator sederhananya adalah bagaimana Pansel mempertimbangkan instrumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai kriteria fakultatif yang mana justru terbalik dari semangat pencegahan korupsi.
Dengan membaca tiga beleid umum saja yang mengatur soal kewajiban LHKPN yaitu UU No. 28 Tahun 1999, UU No. 30 Tahun 2002, dan Peraturan KPK No. 07 Tahun 2016, maka kesimpulannya jelas LHKPN merupakan kewajiban hukum pejabat negara yang bersifat imperatif. Alhasil, seorang calon Pimpinan KPK mencap LHKPN sebagai suatu konsep ‘ateis’.
Padahal kita tahu bahwa LHKPN punya manfaat yang besar yaitu sejatinya merupakan instrumen untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas pejabat negara. Lalu buat apa menjaga daftar pejabat yang melanggar kewajiban hukumnya? Pansel juga lupa bahwa sesuai Keppres huruf (d) berbunyi “melakukan seleksi administrasi dan mengumumkan hasilnya untuk mendapatkan tanggapan masyarakat; dan huruf (e) melakukan seleksi kualitas dan integritas capim KPK,” di mana ada hak masyarakat untuk terlibat dalam proses ini. Benar! Pansel bertanggungjawab kepada Presiden. Akan tetapi, sebagaimana dimaksud Keppres, Pansel tidak berada dalam ruang hampa dan interaksi sosialnya adalah bersama masyarakat/publik.
Kengototan Pansel meneruskan proses dengan mengabaikan suara publik sehingga membiarkan orang-orang “bermasalah” dari sisi integritas maju terus dalam tahapan selanjutnya merupakan pengingkaran terhadap amanat tugas Pansel sendiri. Dalam konteks tanggapan masyarakat ini pula, dengan tenggat waktu yang relatif singkat ini, Pansel masih harus memenuhi beberapa tahapan lagi seperti profile assessment, wawancara dan uji publik.
Pertanyaannya, apakah Pansel tetap memberikan ruang untuk publik? Harapannya ruang itu tetap ada, sehingga Pansel dibantu dengan dukungan publik. Jika secara murni mengikuti alur target Pansel yang akan menyerahkan nama-nama calon kepada Presiden di awal bulan September mendatang, maka kemungkinan Pansel benar-benar mendengarkan penilaian publik atas kesepuluh calon atau bisa jadi jika Pansel tetap mempertahankan gaya toleransinya maka ada calon-calon rentan masuk calon terpilih.
Kita pasti berharap dengan kolaborasi yang baik, Pansel mampu menyaring sepuluh orang dengan kualitas yang sama baik dari sisi integritas, kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme personal. Kesepuluh calon mestinya mereka yang terbaik dan tidak setengah hati dalam memandang korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa yang mempunyai daya rusak sistematis dan masif, bukan malah meremehkan instrumen penanggulangan korupsi hanya soal ideologi saja yang tidak mengikat siapapun.
Menakar Penanggulangan Korupsi
Menurut hemat saya, modal utama seorang pimpinan lembaga antirasuah adalah memiliki perspektif yang paripurna tentang korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) atau korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) serta punya tekad kuat untuk menggunakan segala perangkat hukum, kebijakan, dan mampu bersinergi dengan gerakan massa dari berbagai lini masyarakat untuk menanggulangi korupsi. Semangat ini pula yang seyogianya melandasi kinerja Pansel.
Negara Indonesia sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Spirit di balik perangkat aturan seperti UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002, tidak lepas dari semangat pemberantasan korupsi secara internasional. Untuk itu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa (Artidjo Alkostar, 2013: 1-2).
Secara faktual memang pasca diberlakukan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) berdasarkan Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, mayoritas negara di dunia mengadopsi norma UNCAC dalam aturan nasionalnya. Hingga kini kurang lebih 186 negara termasuk Indonesia telah menjadi Negara Pihak dalam UNCAC.
Indonesia meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Dalam perspektif hukum perjanjian internasional, konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditandatangani, selama materi dan substansi dalam perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional (Joenadi Effendi, dkk, 2009: 350).
Kaitannya dengan ratifikasi, UNCAC memiliki nilai positif bagi Indonesia, di antaranya UNCAC memfasilitasi dan memberi akses untuk mempermudah melakukan kerja sama dengan negara-negara lain, selain itu memiliki arti penting untuk harmonisasi perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai konvensi ini (Supardi, 2018: 199).
Dalam preamble UNCAC dinyatakan secara eksplisit bahwa negara-negara pihak dalam konvensi merasa prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi.
Dari keprihatinan yang tertuang dalam UNCAC di atas, kita dapat melihat bagaimana kadar kerusakan dari kejahatan korupsi dimana tidak semata-mata menyasar sisi ekonomi masyarakat, bangsa dan negara di dunia, namun juga terhadap nilai-nilai yang tinggal dan diyakini dalam membangun peradabannya. Dengan kata lain, dampak dari kejahatan korupsi dapat dihitung secara matematis atau ekonomi sampai tidak dapat dihitung lagi. Maka, korupsi adalah kejahatan yang bersifat merusak secara sistematis dan membunuh kemanusiaan. Sebagaimana dikatakan Artidjo bahwa kejahatan luar biasa perlu cara-cara memberantas yang luar biasa. Lalu bagaimana dalam konteks ini kita memahaminya?
Lingkup penanggulangan/pemberantasan korupsi di Indonesia menurut Pasal 1 ayat (3) UU KPK mencakup upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dengan peran serta masyarakat. Bila disederhanakan, secara umum strategi pemberantasan korupsi memiliki 3 (tiga) unsur utama yaitu pencegahan, penindakan dan peran serta masyarakat. Ketiga strategi tersebut harus dilakukan secara luar biasa agar menimbulkan efek jera (deterrence effect) dalam upaya meminimalkan penyebab dan peluang bagi orang terlibat dalam urusan atau kepentingan yang korupsi.
Bila dihubungkan kembali dengan instrumen dan kebijakan seperti LHKPN hanyalah salah satu bagian dari upaya atau strategi menanggulangi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, namun penting sekali untuk diterapkan. Demikian UNCAC dalam Pasal 5 ayat (1) menegaskan agar “negara pihak wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, mengembangkan dan melaksanakan atau memelihara kebijakan anti korupsi yang efektif dan terkoordinasi yang meningkatkan partisipasi masyarakat dan mencerminkan prinsip-prinsip penegakan hukum, pengelolaan urusan publik dan kekayaan publik secara baik, integritas, transparansi dan akuntabilitas; dan ayat (2) Negara Pihak wajib mengupayakan untuk membangun dan meningkatkan praktik-praktik yang efektif untuk tujuan pencegahan korupsi.”
Pandangan senada dari Pieter Hoefnagels dalam “The Other Side of Criminology” yang mengatakan bahwa penanggulangan (kejahatan) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass media). Maka, Pansel dalam hal ini dapat dipandang memainkan peran prevention without punishment terhadap para calon Pimpinan yang patut diduga “bermasalah.”
Siapa yang Pantas?
Sebentar lagi, kita semakin dekat melihat sosok-sosok Pimpinan KPK baru. Siapakah yang pantas dan layak? Proses dan waktu akan menjawab semuanya. Tetapi meloloskan calon yang mengabaikan kewajiban hukumnya atau memiliki rekam jejak buruk di mata publik ibarat membiarkan KPK menjemput mautnya.
Kita perlu menyadari dengan menyitir pendapat Acemoglu dan Robinson (2012), bahwa KPK seumpama institusi yang menggerakan roda kemajuan peradaban. Peradaban dimaksud ialah bahwa KPK sudah menjadi pembangun peradaban anti-korupsi bangsa dengan pelbagai usaha penanggulangan anti-korupsi selama ini. KPK dengan jalannya sendiri memajukan peradaban melalui usaha menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara, memperbaiki nilai dan norma yang carut-marut dalam tata pemerintahan dan masyarakat.
Hal-hal mendasar yang sebetulnya bila disadari masing-masing orang, maka perjuangan korupsi tidaklah seberat saat ini. Karena orang memandang korupsi adalah sebuah dosa besar dan tidak punya ruang permaafan dan pembenaran dalam nilai dan perilaku hidup bangsa Indonesia sehingga mendorong sikap dan perilaku pun berubah ke arah lebih antikorupsi.
Kita boleh mendekati penghujung kinerja Pansel tetapi keberhasilan menyeleksi orang-orang terbaik yang tidak diragukan reputasi antikorupsinya adalah keberhasilan Pansel dalam mewujudkan impian seluruh bangsa ini, sekaligus mencegah berkuasanya mereka yang buruk sikap dan perilaku di dalam sistem. Begitu pula sebaliknya bila Pansel gagal. Karena kita ketahui bersama bahwaKPK merupakan sebuah lembaga negara di mana hampir semua elit politik, parpol, birokrat maupun pemilik modal di negeri ini berkepentingan terhadapnya. Kita tidak ingin ada kepentingan politik dan ekonomi yang masuk di sana.
Seandainya ada yang kebablasan masuk dengan motif selain memberantas korupsi, maka bisa jadi lembaga penegakan hukum ini berubah menjadi lembaga penegak politik, maka babak baru korupsi politik dapat saja terjadi. Sebagaimana dikatakan Carbonell-Catilo dalam Inge Amundsen (1999:3) bahwa korupsi politik tidak hanya mengarah pada misalokasi sumber daya, tapi juga mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Korupsi politik adalah manipulasi institusi politik dan peraturan prosedur, dan karena itu mempengaruhi institusi pemerintahan dan sistem politik, dan seringkali menyebabkan peluruhan institusional.
Oleh karena itu, korupsi politik lebih dari sekadar penyimpangan dari norma hukum formal dan tertulis, dari kode etik profesi dan keputusan pengadilan. Korupsi politik adalah ketika undang-undang dan peraturan disalahpahami secara sistematis oleh penguasa, diinjak, diabaikan, atau bahkan disesuaikan agar sesuai dengan kepentingan mereka. Kita juga belum tahu apakah Pansel berhasil mendapatkan sepuluh orang yang ideal?
Namun menurut saya untuk kepentingan ini Presiden harus mempertimbangkan dan mengantisipasi mengambil tindakan yang responsif dan tepat. Apakah itu dalam kondisi kuota sepuluh orang terpenuhi atau kurang dari sepuluh orang. Tentunya, kita serahkan skema keputusan selanjutnya kepada Presiden selaku otoritas tertinggi. Yang jelas, dengan mencegah dari syarat yang ada memberikan deterrence effect bagi stakeholder atau siapapun yang punya kepentingan lain terhadap KPK.
Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award
Tulisan ini terbit di detik.com edisi 30 Agustus 2019, dengan judul “Menakar Penanggulangan Korupsi dalam Kinerja Pansel KPK.”
Recent Comments