Dalam perspektif extra-ordinary treatment terhadap extra-ordinary crime, revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) merupakan proses pengamputasian terhadap KPK secara kelembagaan sekaligus membuka ruang impunitas bagi koruptor. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat Reformasi dan alasan di balik pendirian KPK.
Seperti diketahui, setelah kita berhasil meruntuhkan Orde Baru, dalam rangka pengentasan korupsi, pemerintah awal era Reformasi membangun perangkat norma hukum untuk membentuk ekosistem pemberantasan korupsi. Adapun beberapa norma yang telah dikeluarkan yaitu TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN; UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Norma-norma tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa KPK secara sadar diciptakan karena tindak pidana korupsi meluas dalam masyarakat dan meningkat tiap tahun dari sisi jumlah kasus dan jumlah kerugian negara dengan kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat (vide penjelasan UU KPK). Sementara itu, pemberantasannya belum dapat dilaksanakan secara optimal. Lembaga pemerintah (baca: kepolisian dan kejaksaan) ditambah pengadilan yang menangani korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi (vide diktum).
KPK lantas mampu menembus ruang-ruang gelap yang selama ini luput dari pandangan mata aparat penegak hukum lain. Di tangan KPK banyak kasus-kasus besar terungkap dan masih terus diproses. Sebut saja BLBI, bailout Bank Century, Hambalang, E-KTP, dan lainnya. Pelaku yang terjerat bahkan dari kalangan anggota parlemen, menteri, pejabat BUMN, aparat penegak hukum, kepala daerah, serta pihak swasta lainnya. Semua ini telah menjadi cause célèbre selama ini membuktikan keberadaan KPK menjadi sangat penting.
Belum Waktunya
Kita bukan tidak menginginkan perbaikan atau perubahan di tubuh KPK. Dengan mengingat pernyataan bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, dapat dipahami kondisi psikologi banyak pihak baik pemerintah, politisi/politikus, pemerhati/praktisi hukum, ahli politik, penggiat korupsi, penggiat HAM, sosiolog, masyarakat sipil, bahkan koruptor sendiri. Jangan-jangan dengan wewenang yang besar itu, KPK juga melanggar hukum dengan bertindak sewenang-wenang selama ini.
Dilihat dari perspektif UU KPK, setiap tindakan KPK wajib dilakukan dengan level kehati-hatian yang tinggi dan wajib beralasan hukum kuat, karena konsekuensinya yang sangat besar. Oleh karena itu, kita tetap setuju KPK perlu evaluasi kinerja, hanya saja tingkat merevisi UU KPK belum waktunya. Jangan lupa, KPK bisa setiap saat ditiadakan, jika penegak hukum lainnya yaitu jaksa, polisi, dan hakim sudah bisa diandalkan dalam pemberantasan korupsi. Kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum ini sudah kian tinggi (Indrayana, 2009). Menurut saya terhadap kekurangan KPK saat ini penanganannya dapat diperbaiki melalui instrumen koreksi yang ada seperti pengawas internal dan pengujian di pengadilan.
Kehilangan Jati Diri
Menurut saya, terdapat tiga kemungkinan besar dampak dari merevisi UU KPK yang akan ditanggung pada masa mendatang. Pertama, secara perlahan-lahan KPK menjadi “macan ompong” atau lembaga pemberantasan korupsi yang tidak bisa memberantas korupsi. Kita bisa memeriksa kebenarannya dari poin-poin RUU KPK, antara lain: (1) KPK bukan lagi lembaga negara independen; (2) pembentukan Dewan Pengawas KPK yang diisi unsur pemerintah dan DPR; (3) KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); (4) Penyadapan dan penyitaan KPK harus atas izin Dewan Pengawas; (5) Penyelidik KPK wajib dari kepolisian dan penyidik wajib dari kejaksaan dan kepolisian, artinya KPK dilarang mengangkat penyelidik dan penyidik independen; (6) Penuntutan di KPK harus dengan koordinasi Kejaksaan Agung; (7) Umur penanganan perkara dibatasi hanya boleh satu tahun.
Sinyalemen yang ditangkap dari poin-poin revisi ini sebetulnya adalah bahwa KPK hanya boleh bertindak memberantas korupsi jika diperintah atau diperbolehkan oleh kekuasaan lain. Di samping itu, hal yang terlampau penting lagi dari pesan yang dikirim dari proses ini adalah bahwa korupsi telah dipersepsikan sama dengan kejahatan biasa sehingga pemberantasannya boleh dilakukan secara biasa pula. Maka, kinerja pemberantasan korupsi sama dengan bekerja ABS (Asal Bapak Senang), kiranya sudah cukup menjadi laporan kinerja yang baik.
Kedua, secara ekstrem diproyeksikan tentang pembubaran KPK. Kita paham betul bagaimana cara berpikir elite negeri ini bahwa KPK adalah lembaga ad-hoc yang superbody dengan cara kerja yang tidak sesuai dengan semangat ekonomi para elite. Kehadiran KPK telah menghambat perekonomian oknum aparat penegak hukum, pejabat negara, dan penyelenggara negara yang korup serta pihak terkait lain yang hendak mencari keuntungan dari bertindak korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Bila RUU KPK baru menjadi UU, korupsi di level kakap bisa saja tidak ditindak. Bagaimana tidak, yang duduk dalam jajaran KPK adalah orang-orang yang punya kepentingan terhadap kue korupsi baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada yang benar-benar independen karena aparatus adalah hasil relasi kekuasaan. Meskipun terjadi tindakan yang diduga sebagai korupsi, penindakannya wajib izin tuannya terlebih dahulu.
Ketiga, dengan mempreteli begitu banyak kewenangan KPK, berpotensi membuka tabir impunitas mengangga lebih lebar sehingga akan melahirkan orang atau kelompok korup yang tidak tersentuh hukum walaupun telah melanggar hukum dan merusak nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat. Terhadap hal tersebut, KPK tidak bisa mendeteksi dini adanya korupsi karena kewenangan penyadapannya telah dicabut. KPK tidak mampu menuntaskan suatu kasus karena dibatasi tenggat waktu satu tahun kendatipun kasus tersebut mempunyai suatu kompleksitas atau kerumitannya yang membutuhkan pengumpulan alat-alat bukti dan koordinasi yang cukup menyita waktu. Bisa saja KPK masih bertugas menangkapi pencuri uang rakyat, tetapi mudah pula melepaskan karena KPK mengobral SP3.
Dari tiga perspektif dampak di atas, kita kemudian perlu bergegas menuju satu pertanyaan kunci apakah masih ada urgensi keberadaan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi? Dari kacamata extra-ordinary treatment, maka tidak ada lagi alasan KPK eksis untuk membantu lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam memberantas korupsi. KPK tak ubahnya dengan lembaga-lembaga konvensional ini. KPK kehilangan jati dirinya sebagai suatu lembaga khusus. Lain halnya ketika yang direvisi bukanlah kewenangan yang menjadi taring KPK.
Jangan Dipaksakan
RUU KPK jangan dipaksakan lajunya. Kita perlu melihat permasalahan secara menyeluruh. Apakah memang tindakan revisi memiliki ratio decidendi (alasan keputusan) yang kuat atau pra-kondisi sebagai syarat telah terpenuhi? Menurut hemat saya, masih jauh bagai bumi dan langit. Faktanya lembaga-lembaga lain belum maksimal berbenah dan berprestasi lebih baik juga. KPK yang mengambil peran sebagai trigger mechanism belum dijadikan role model bagi lembaga lain. Malahan KPK masih menangkap dan memproses aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang terlibat kasus korupsi. Begitu pun soal fenomena korupsi yang melahirkan KPK tak kunjung surut.
Saya teringat, lima tahun lalu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji dalam Nawacita poin 4 (empat) bahwa “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Janji kampanye tersebut membawa harapan kuat bahwa pemerintahan baru yang terbentuk akan mendukung sepenuhnya agenda pemberantasan korupsi. Namun, ironisnya Presiden sendiri belum bersuara terhadap RUU KPK ini.
Ditambah lagi, di tengah arus penolakan hasil seleksi Capim KPK 2019–2024 yang begitu deras, Presiden nekat menyerahkan sepuluh nama calon pimpinan KPK kepada DPR untuk diuji dan dipilih. Sementara itu, DPR yang semestinya menjadi wakil rakyat tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Ukurannya sederhana, mayoritas rakyat masih menaruh harapan yang besar kepada KPK untuk memberangus koruptor, tetapi mayoritas pula fraksi di DPR menyetujui revisi. Hal ini menampakkan bahwa revisi UU KPK adalah kepentingan para anggota DPR dan kroninya.
KPK yang kuat secara kelembagaan dan dari aspek kepercayaan masyarakat masih didukung berada di garda depan perlawanan, dan DPR telah mengkhianati kepercayaan masyarakat. Maka, harapan kita adalah Presiden menolak revisi UU KPK. Caranya gampang, jangan mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) yang menyetujui pembahasan RUU KPK. Mungkin ini perbuatan paling mulia yang dilakukan Presiden untuk menutup periode pertamanya dengan menempati janji memperkuat KPK dan untuk mencegah berkuasanya koruptor.
Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award
Tulisan ini terbit di detik.com edisi 9 September 2019, dengan judul “Revisi UU KPK: Amputasi dan Impunitas.”
Recent Comments