Pemerintahan Jokowi-Maaruf Amin memiliki cita rasa tersendiri. Kuatnya arus oligarki politik bermain di sekeliling istana. Membuat suara-suara rakyat hilang tak terdengar. Semua atas kehendak penguasa. “Saya tak ada beban lagi!”.
Ironisnya, makna ucapan Jokowi itu bukan untuk mempertahankan yang baik. Membuang yang berkinerja jelek. Walhasil dari segi pemberantasan korupsi, KPK menjadi tumbal penguasa. Melemahkan KPK melalui proses “legislasi kilat”. Tok! Revisi UU KPK berlaku.
Perubahan UU Nomor 30Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah mempu menghilangkan taring KPK. Ibarat singa ompong, KPK tidak mampu lagi menggigit penguasa. Yah, bila Anda melawan! Kami berhentikan. Kurang lebih itulah yang dialami Kompol Rosa Purbo Bekti. Penyidik KPK yang berprestasi, tetapi tidak dikehendaki oleh penguasa.
Putusan MK Pro Pemberantasan Korupsi
Kini, harapan seluruh rakyat Indonesia berada dipundak 9 Hakim Mahkamah Konstitusi. Nafas panjang penolakan revisi UU KPK telah meninggalkan catatan kelam. Bangsa yang katanya demokratis sudah meninggalkan suara rakyatnya. Beberapa pejuang antikorupsi telah berpulang. Nama Yusuf-Randi telah abadi di gedung KPK. Tanda pengingat bahwa demi Indonesia Bersih, kaum muda siap untuk mati.
Babak baru perjuangan menolak revisi UU KPK kembali bergemah. Harapan Perpu Penyelematan KPK dari Presiden Jokowi tak kunjung nampak. Mahkamah Konstitusi menjadi harapan terakhir para penjuang antikorupsi. Salah satu lembaga negara yang juga lahir dari rahim reformasi.
Bila menelusuri rekam jejak putusan Mahkamah Konstitusi terkait isu pemberantasan korupsi. Maka harapan menyelamatkan KPK sangatlah besar. Pertama, KPK berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Penguatan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109/PUU-XIII/2015.
Kedua, MK tegaskan KPK berwenang menuntut kasus korupsi dan pencucian uang. Mahkamah berpendapat bahwa penuntut umum merupakan satu kesatuan sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau bertugas di KPK adalah sama. Kemudian demi peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, penuntut oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke kejaksaan negeri. Apalagi tindak pidana pencucian uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Demikianlah pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 77/PUU-XII/2014.
Ketiga, mantan napi koruptor tidak boleh langsung mencalonkan Kepala Daerah. Sebagaimana dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, menyatakan Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, Pasal 7 ayat 2 huruf g berbunyi (a) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa. (b) Bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. (c) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Mengabulkan Permohonan
Dalam konteks uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Para pemohon diantaranya Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, Moch Jasin, Abdul Fickar Hadjar dengan kuasa hukum bang Feri Amsari. Adapun permohonan para pemohon agar Hakim MK menyatakan UU KPK baru cacat hukum.
UU Nomor 19 Tahun 2019 yang digodok secepat kilat ini, pembuatannya tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 serta Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Sebagai masyarakat yang gerah terhadap laku korupsi pasti sepakat. Bahwa revisi UU KPK sangat sarat kepentingan para penguasa dan korporasi.
Sehingga harapan satu-satunya tinggallah Mahkamah Konstitusi. Para Hakim MK yang merupakan sosok negarawan sejati, tentu akan selalu berdiri memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Menyelamatkan negara dari para oligar-oligar korup. Demi terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD NKRI Tahun 1945.
Jupri, S.H., M.H. Pegiat Anti-korupsi, Akademisi FH Universitas Ichsan Gorontalo dan Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 12 Februari 2020.
Recent Comments