Pemberantasan korupsi kembali berada di titik nadir. Betapa tidak, regulasi yang dianggap pro terhadap pemberantasan korupsi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) malah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman.
Perlu diketahui, PP 99/2012 pada dasarnya sudah cukup baik mengakomodir pengetatan syarat pemberian remisi bagi koruptor. Dalam PP tersebut, khususnya Pasal 34A ayat (1) telah menyebutkan bahwa syarat untuk terpidana korupsi mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal, yakni bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti. Ini menunjukkan bahwa PP 99/2012 telah mempertimbangkan dengan sangat baik pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang membutuhkan cara-cara luar biasa dalam penanganannya, salah satunya memperketat pemberian remisi.
Setidaknya ada tiga isu yang dijadikan pertimbangan oleh MA ketika membatalkan PP 99/2012. Pertama, PP 99/2012 dianggap tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice. Kedua, regulasi itu juga dipandang diskriminatif, karena membeda-bedakan perlakuan kepada para terpidana. Ketiga, kehadiran peraturan tersebut mengakibatkan situasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan.
Menanggapi pertimbangan tersebut, setidaknya ada tiga poin besar yang penting untuk disampaikan. Pertama, MA inkonsisten terhadap putusannya sendiri. Betapa tidak, sebelumnya melalui putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana. Lagi pula, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan UUD 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime.
Kedua, pandangan hakim MA yang menilai bahwa pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice juga keliru. Mesti dipahami, pemaknaan model restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan. Secara konsep, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan. Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya.
Ketiga, MA keliru dalam melihat persoalan overcrowded di lembaga pemasyarakatan. Sebab, problematika terkait overcrowded bukan pada persyaratan pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya terkait narkotika. Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen (1.906 orang). Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal.
Adanya putusan MA ini semakin mengkhawatirkan, terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim juga sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada para koruptor. ICW mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS). Tidak hanya itu, Menkumham sendiri juga pernah mengeluarkan SE MenkumHAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 yang pada intinya memberikan kemudahan bagi koruptor yang dipidana sebelum berlakunya PP 99/2012.
Maka dari itu, merujuk dari catatan-catatan di atas, ICW mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor.
Indonesia Corruption Watch – Pusat Kajian Antikorupsi UGM – Bung Hatta Anti Corruption Award
Recent Comments