Oleh: Epifanius Solanta
Prolog
Dalam sebuah karyanya berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Ali Sastroamidjojo mengutip pernyataan Bung Hatta sebagai berikut “Kalau mandi, janganlah memakai air sesukanya sendiri. Saya sudah mengukur isi tempat air mandi dan ternyata airnya cukup kalau saudara-saudara masing-masing hanya memakai 10 gayung tiap-tiap kali mandi”. Apa yang disampaikan oleh Bung Hatta dalam gaya bahasanya yang paling sederhana setidaknya menjadi penegas awal akan makna demokrasi itu sendiri. Sejak awal, penulis meletakan tesis dasar dari tulisan ini bahwa demokrasi itu syarat dengan keadilan.
Demokrasi Kita Harus Adil
Sebagaimana yang ditegaskan pada prolog di atas, bahwa demokrasi itu syarat dengan keadilan. Tentu keadilan yang dimaksud bukan hanya pada satu dimensi saja, misalnya keadilan dalam politik atau keadilan dalam ekonomi. Keadilan harus mencerminkan seluruh aspek kehidupan manusia. Hal ini sudah sejak awal diamanatkan oleh Bung Hatta dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi Kita”. Hatta menegaskan bahwa demokrasi yang sehat menghendaki kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu soal pemenuhan hak-hak sipil dan politik, tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Jika kita bercermin pada Indeks Demokrasi 2021 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal Februari 2022, skor rata-rata Indonesia mencapai 6,71% dalam skala 0-10. Artinya, makin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi suatu Negara. Meski demikian, angka tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan wajah demokrasi Indonesia yang adil. Hal ini ditandai oleh masih banyaknya persoalan ketidakadilan dalam alam demokrasi di Indonesia.
Demokrasi Berkeadilan di Indonesia?
Pertanyaan penting yang diajukan pada poin ini adalah sudah kita mempraktikan demokrasi yang adil di Indonesia? Tentunya pertanyaan ini tidak bermaksud untuk mengobarkan api pesimisme penulis akan kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia saat ini. Melainkan untuk memeriksa kembali beragam persoalan yang sejatinya tidak mencerminkan pemikiran demokrasi menurut Bung Hatta.
Bung Hatta sejatinya menjadi peletak awal konsep demokrasi yang adil. Bahkan, Hatta tak sekedar membumikan apa itu demokrasi yang adil, melainkan menampilkan sikap kritis dan tegasnya dengan jalan memilih mundur dari kursi wakil presiden karena Soekarno semakin otoriter. Hatta menyadari bahwa pemikiran-pemikiran baiknya sudah tidak sejalan lagi dengan pemikiran Soekarno. Bahkan Hatta dengan tegas mengkritik kerja pemerintah soal kesejahteraan rakyat. Berikut adalah kritikan Hatta “dimana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja. Sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banya sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang capital tampak dimana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya irosi, dan lain-lain”
Kritik Hatta di atas mendapatkan ruang pemenuhan dalam alam demokrasi di Indonesia saat ini. Hal ini dapat kita saksikan dari banyaknya persoalan yang menjadi penanda penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, misalnya, terdapat beberapa peristiwa kontroversial yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Sebagai contoh, kasus yang menimpa BEM Universitas Indonesia yang menjuluki Presiden Jokowi ”king of lip service” karena dianggap banyak mengumbar janji yang berakhir dengan dipanggilnya 10 anggota BEM oleh Rektorat UI sekaligus beberapa media sosial anggota BEM yang tidak bisa diakses. Belum lagi dengan adanya kriminalisasi para pendemo oleh polisi pada tahun 2021 silam yang bertepatan dengan HUT Kabupaten Tangerang. Mahasiswa di-smackdown hingga berakhir terbaring di rumah sakit, hal ini menunjukkan terjadi distorsi pengamanan yang ditunjukkan sikap represif aparat keamanan. Fenomena represivitas tersebut bisa dikatakan merupakan konsep pembungkaman dan tidak bebasny masyarakat untuk berekspresi di muka umum.
Gotong Royong Wujudkan Demokrasi yang Adil
Bung Hatta dalam karyanya “Demokrasi Kita” berkali-kali menegaskan kembali spirit masyarakat Indonesia yaitu nilai gotong-royong. Bagi Hatta, nilai gotong royong sejatinya menjadi petunjuk dan pemandu dalam menghantarkan setiap kerja dan kebijakan menuju nilai keadilan dan kesejahteraan. Tentunya kita sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Bung Hatta. Nilai gotong-royong harus menjiwai hari-hari hidup kita, termasuk dalam memuluskan jalan mewujudkan demokrasi yang adil. Gotong-royong tak semestinya diterjemahkan dalam perilaku kerja bakti. Tetapi melampaui praktek itu, gotong-royong juga termasuk dalam kerja partisipatif dan kolaboratif antara pemerintah dan rakyat dalam mewujudkan demokrasi yang berkeadilan. Rakyat ikut berpartisipasi dalam mengkritisi dan mengawasi jalannya pemerintahan yang demokratis. Begitu juga, pemerintah ikut menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berlandaskan pada kebutuhan rakyat, bukan kepentingan politik segelintir orang.
Epilog
Demokrasi yang adil itu sejatinya harus ada dan datang sejak dalam pikiran dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi itu dikatakan adil tatkala ruang-ruang kebutuhan hidup (baik rakyat maupun pemerintah) senantiasa terpenuhi. Artinya tidak ada ketimpangan. Meskipun ini terlampau idealis, tetapi tawaran pemikiran Bung Hatta tentang demokrasi yang diselaraskan nilai gotong royong sebagai spirit masyarakat Indonesia, niscaya keadilan yang menjadi cita-cita bersama itu akan tercapai. Atas dasar itu, keberadaan demokrasi harus memperhatikan antara aspirasi kehendak ideal dan pilihan-pilihan kebijakan.
Epifanius Solanta, Lahir di Flores, 7 Agustus 1993. Setelah menamatkan pendidikan dari SMA Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur, Flores, NTT, melanjutkan pendidikannya di Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Lulus pada tahun 2017. Semasa kuliah, aktif menulis di berbagai media baik cetak maupun online. Salah satu buku yang pernah diterbitkannya adalah Dialektika Ruang Publik, Pertarungan Gagasan (Penerbit Beta Offset Yogyakarta, 2017).
Artikel ini meraih Juara III pada Lomba Menulis “Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta” yang diselenggarakan Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Awad dalam rangka HUT ke-77 RI dan HUT ke-120 Bung Hatta pada 9-30 Agustus 2022.
Recent Comments