Oleh: Korneles Materay
Peneliti Bung Hatta Anti Corruption Award
Tiap tanggal 9 dan 10 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari HAM Sedunia. Selain itu, pada hari ini berakhirnya Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Di tengah momentum peringatan ini masih ada pekerjaan rumah besar yang belum dikerjakan tuntas. Adalah kekerasan dalam upaya mengungkap, mencegah dan memberantas korupsi.
Kerja-kerja antikorupsi berisiko tinggi. Berulang kali kasus-kasus kekerasan menimpa pekerja antikorupsi. Namun, aparat penegak hukum sebagai representasi negara dalam mengusutnya tidak berbuah hasil yang maksimal. Sebagai contoh, serangan siber terhadap aktivis, mahasiswa dan akademisi yang kritis terhadap revisi UU KPK tak diketahui juntrungannya. Sejauh mana kasus itu diusut dan siapa pelaku serangan. Padahal jumlah korbannya sangat banyak.
Kekerasan dan Korupsi Dalam Lintas Sejarah
Korupsi dan kekerasan berkelindan dalam banyak kasus korupsi sudah lama terjadi. Tiap orde punya catatan kasusnya masing-masing. Era Orde Lama, Jaksa Agung RI pertama Gatot Tarunamiharja pernah mengalami percobaan pembunuhan oleh tentara dengan cara ditabrak hingga kakinya buntung. Salah satu kasus yang pada waktu itu ditanganinya adalah penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara dibawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan baret di Tanjung Priok yang melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo.
Di era Orde Baru, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono meninggal mendadak pada 29 Juni 1990. Ia telah berhasil membongkar beberapa kasus korupsi. Sebelum meninggal, ia menggagas kebijakan menayangkan wajah koruptor di televisi. Kemudian kasus yang cukup terkenal ialah meninggalnya wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin di Bantul. Udin dipukul orang tak dikenal hingga koma dan meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Pemberitaan kasus korupsi di Bantul diduga menjadi alasan tindak kekerasan menimpanya.
Memasuki Orde Reformasi, ada Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang ditembak empat orang tak dikenal pada 2001 silam. Ia tengah menangani kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang menyeret nama anak Presiden Soeharto. Meninggal mendadak juga terjadi atas mantan Jaksa Agung Baharudin Lopa. Banyak pihak menduga terkait kasus-kasus besar yang ia tangani. Tahun 2010, kekerasan bersenjata menimpa eks Peneliti ICW Tama Satrya Langkun. Kala itu, Tama mengungkap kasus rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi Polri kepada KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Pada 2017, mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan terkena siraman air keras di wajahnya oleh orang tak dikenal. Akibatnya mata kirinya mengalami cacat permanen. Diduga kuat aksi pelaku terkait dengan kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang besar yang ditangani Novel cs. Kekerasan terhadap insan KPK lainnya misal teror penabrakan kendaraan pegawai KPK, perusakan kendaraan, dan perampasan perlengkapan penyidik seperti yang dialami penyidik KPK Surya Tarmiani. Bahkan rumah eks Ketua KPK Agus Raharjdo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dilempari bom Molotov.
Asrul seorang jurnalis di Palopo dilaporkan karena menulis berita berjudul ‘Putra Mahkota Palopo Diduga “Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zero Rp11 Miliar’, yang dimuat Beritanews.com pada 10 Mei 2019. Ia bahkan telah divonis hakim dinilai melakukan penghinaan, pencemaran nama baik. Wartawan Tempo Nurhadi di Surabaya disekap dan dipukuli ketika menjalankan tugas jurnalistiknya pada 27 Maret 2021. Dia tengah melakukan konfirmasi perkara suap pajak yang ditangani KPK.
Selain itu, sejumlah aktivis ICW hingga para mantan pimpinan KPK mengalami peretasan dan teror ketika sedang berdiskusi menyikapi upaya pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Masih terkait TWK ialah pertanyaan-pertanyaan yang merendahkan martabat serta melecehkan perempuan. Kasus-kasus di atas hanya sebagian kecil dari begitu banyak kejadian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Pola Kekerasan
Kerja-kerja pemberantasan korupsi rentan mengalami kekerasan bahkan nyawa menjadi taruhannya. Lantas, bagaimana pola-pola kekerasannya? Jika membaca keberulangan yang terjadi, pola-pola kekerasan tersebut, antara lain: pertama, kekerasan fisik seperti penembakan, pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, penusukan, penyekapan, perampasan, hingga penyiraman air keras. Kedua, non-fisik dan serangan siber. Dalam konteks sekarang, peretasan akun media massa, akun lembaga mahasiswa, akun pribadi para aktivis/mahasiswa/akademisi; ancaman/teror berupa pesan singkat, doxing, pertanyaan-pertanyaan tes pegawai yang seksis, misoginis atau merendahkan/melecehkan hingga framing isu. Ketiga, memanfaatkan celah hukum seperti mengkriminalisasi.
Kekerasan fisik bertujuan untuk melukai atau mungkin sekaligus melenyapkan subyek secara langsung. Sedangkan, non-fisik dan serangan siber memainkan sisi emosi/mental subyek agar menghentikan aktivisnya karena ada konsekuensi yang akan dihadapi.
PR Negara
Secara prinsip, kekerasan itu merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Pelanggaran atas hak-hak dasar warga negara untuk berpikir, berpendapat dan berekspresi serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional. Sebagai negara hukum dan negara demokrasi, kekerasan demi kekerasan ini mengindikasikan kemunduran bernegara hukum dan berdemokrasi. Sebagaimana mandat konstitusi, maka negara utamanya pemerintah memiliki tanggungjawab untuk melindungi dan menjamin setiap warga negara bebas dari kekerasan fisik maupun non-fisik tatkala menjalankan hak-hak konstitusionalitasnya.
Hingga hari ini, puluhan hingga ratusan kasus kekerasan itu tidak diselesaikan aparat penegak hukum. Para korbannya menanti keadilan. Ini adalah pekerjaan rumah negara yang akan tercatat dalam sejarah. Adalah sebuah keniscayaan ketika prinsip-prinsip rule of law, prinsip-prinsip negara demokrasi dijalankan atau ditegakan, maka kita mampu memberantas korupsi dengan tuntas. Harapan kita akan negeri yang bersih, adil, dan makmur akan tercapai. Sebaliknya, bila tak berjalan rule of law, demokrasi disumbat, maka Indonesia bebas korupsi adalah utopia.
Recent Comments