Di samping pandemi Covid-19 yang mengacaukan segala hal, kinerja pemerintah dan DPR dalam membentuk undang-undang atau legislasi sepanjang tahun 2020 begitu buruk. Indikatornya ada beberapa. Pertama, bongkar pasang Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020.
Sebenarnya merevisi Prolegnas Prioritas bukan sesuatu yang haram. Prolegnas merupakan suatu bangunan arah pembentukan undang-undang. Maka, penetapannya menjadi dasar bagi pembentuk undang-undang untuk bekerja dalam kaitannya dengan fungsi legislasi. Tetapi persoalannya, apa isi Prolegnas Prioritas 2020.
Kalau kita mengikuti niatan pemerintah untuk melakukan penyederhanaan atau pemangkasan regulasi, maka Proglegnas Prioritas 2020 secara kuantitas masih over regulasi dengan total 50 RUU. Dari sisi kualitas, beberapa RUU sebetulnya tidak semestinya diajukan, seperti RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, RUU Perlindungan Kiai dan Guru Ngaji, atau RUU tentang Ketahanan Keluarga.
Sedangkan, RUU yang justru mendesak dipinggirkan seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU Perubahan UU ITE. Tentu di luar ini masih banyak lagi kritik terhadap penetapan Prolegnas Prioritas 2020 dan revisi terhadapnya. Penetapan ini pada dasarnya memperhitungkan aspek jumlah, bukan substansi. Pembentuk UU belum belajar dari hasil evaluasi tahun lalu.
Kedua, terkait dengan aspek kualitas/substansi, dapatlah dikatakan bahwa DPR dan pemerintah sesungguhnya belum menghasilkan UU yang berkualitas. Hal ini salah satunya dilihat dari tingkat akseptasi masyarakat terhadap UU tersebut. Artinya, apakah kemudian UU itu merupakan kristalisasi problematika masyarakat sehingga dianggap menjadi solusi bagi persoalan masyarakat.Yang terjadi sebaliknya, beberapa UU yang dihasilkan menuai kontroversi hebat, bahkan memicu gerakan demonstrasi besar. Misalnya, UU Cipta Kerja atau UU Minerba. Selain itu, ada Perppu Covid-19 yang menjadi UU No. 2 Tahun 2020 dan UU MK.
Ketiga, proses pembentukan UU sepanjang tahun 2020 sarat pelanggaran terhadap kaidah dan asas hukum pembentukan undang-undang yan baik. Pelanggaran seperti tidak transparan atau tertutup, tidak melibatkan masyarakat atau kelompok kepentingan yang lebih luas, tidak dapat dipertanggungjawabkan dari sisi naskah akademik atau alasan-alasan perlunya UU tersebut, hingga belum ada metode penyusunan RUU dalam perundang-undang Indonesia. Misalnya, metode omnibus law untuk penyusunan UU Cipta Kerja dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Perencanaan dan Perhatian
Adapun alasan yang dapat diteropong dari buruknya tata kelola legislasi kita adalah karena kurangnya perencanaan dan perhatian. Apa maksudnya? Pertama, soal perencanaan belum dikorelasikan dengan semangat deregulasi.Selanjutnya, seperti telah disebutkan di atas bahwa orientasi DPR dan pemerintah adalah mengejar kuantitas tapi tidak memperhitungkan kemampuan dan berkaca dari sejarah selama ini di mana target legislasi tidak pernah tercapai. Kemudian, baik DPR maupun pemerintah tidak melihat kondisi pandemi sebagai sesuatu hal yang turut berpengaruh terhadap bangunan Prolegnas. Seharusnya dilakukan simplifikasi sehingga lebih mengedepankan yang paling penting untuk rakyat.
Kedua, kurang perhatian atau penangkapan terhadap aspirasi publik. Proglegnas kita tidak disusun berdasarkan isu-isu yang krusial dan mendesak seperti isu korupsi, kebebasan, dan kekerasan seksual. Akhirnya, Proglegnas kita tidak pernah menjadi Proglegnas anti-korupsi. Pun bukan Proglegnas yang berangkat dari keresahan sosial yang mendesak.
Lalu, apa bentuk Proglegnas kita? Prolegnas Prioritas kita adalah Prolegnas politik. Artinya, hendak diarahkan untuk mencapai tujuan politik saja, dan menjauhkan dari semangat penataan hukum nasional yang lebih baik. Hal ini dapat dipahami juga karena agenda koruptif parlemen dan pemerintah masih banyak.
Menurut hemat saya, tantangan tahun depan adalah bagaimana menyusun sebuah bangunan politik hukum nasional minimal setahun dalam Proglegnas Prioritas yang anti-korupsi. Prioritas pada isu-isu krusial tak bisa lagi dibiarkan begitu saja. Semakin pembiaran terjadi, korban-korban berjatuhan lebih banyak. DPR setidak-tidaknya harus bisa menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka benar-benar wakil rakyat yang mewakili kepentingan rakyat.
Penulis: Korneles Materay
Recent Comments