Oleh: Milki Amirus Sholeh
Berbicara soal ruang hidup Hatta, kita akan berhenti pada titik renung sosok administratur yang handal dan ideologis. Sebagai dwitunggal yang lahir dari arus pergulatan sejarah besar kebudayaan ”Indonesia dalam” dengan bercorak pertanian beririgasi dipengaruhi langsung oleh semangat Hinduisme dan stimulus peradaban China, serta kebudayaan ”Indonesia luar” dengan corak perdagangan pesisir yang secara kuat dipengaruhi Islam dan kemudian oleh stimulus pembaratan (Hildred Geertz, 1963). Dirinya membuktikan amanah dan kebanggan menjadi manusia Indonesia.
Besar dalam pendidikan barat yang mengkultulkan individualisme dan liberalisme tidak lantas Hatta mengadopsi pikiran untuk mengeruk peruntungan lebih besar. Sebagai bapak proklamator, dia mungkin saja menaruh sikap permisif tanpa mesti menoleh agenda dan aktor lain pada momen kemerdekaan itu. Sebagai salah satu ekonom par-excellence dia mungkin saja menata administrasi dan pola keuangan negara yang berdiri itu dengan konstruk cara pandanganya saja.
Dalam pemahaman demokrasi yang dia letakkan berdasarkan tiga sumber gagasan, yaitu ajaran Islam, asas kekeluargaan dan kebersamaan, serta sosialisme Barat. Hatta melihat kebebasan harus dilepaslandaskan tetapi individualisme yang mengarah pada kehendak bebas untuk berbuat sesuka hati tidak diperkenankan. Politik sarat kepentingan pribadi hanya mengyokong prinsip demokrasi berpolitik, tanpa demokrasi dan berkeadilan ekonomi.
Sejak remaja Hatta begitu menelaah sebuat ayat suci menyebutkan “Dia (Yusuf) berkata, jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (jujur) dan berpengetahuan”( Q.S:Yusuf:55). Bangsa yang baru berdiri tidak boleh diserahkan pada kelompok orang yang hanya dapat teriak, namun harus juga bisa mengelola. Pilihan itu terbilang aneh untuk sekelas bapak bangsa, namun justru alasan itulah yang membuat Hatta merawat penataan negara dengan baik dan transparan hingga dia dikenang. Sosok yang selalu berusaha tidak membuka identitas berlebihan dari fase-fase awal capaian kenegaraan. Dirinya memahami dengan baik nilai-nilai berdasarkan Islam inklusif, yang menitikberatkan pada kebenaran dan keadilan sosial. Tidak ada relasi kuasa total, yang ada adalah kekuatan rakyat yang tidak bisa dikalahkan ataupun dikamuflasekan. Tidak boleh ada permainan di balik layar, kejelasan adalah sikap kebesaran mental pribadi. Hatta tidak pernah mentolerir siapapun, jabatan, bahkan rekannya sendiri.
Asketisme bagi Korupsi
Asketisme dalam politik biasa diwujudkan sistem kekuasaan yang lebih mengutamakan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban di mana hukum menjadi panglima dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Terjadilah aktualisasi nilai, etika, moral, dan penguatan etos tingkah laku yang tidak menghendaki merampas atau mengalihkan hak seseorang menjadi milik pribadi (Hatta, 2014). Sebagai wakil presiden pertama, dirinya dapat dianggap kesatria konstitusi yang berjiwa brahmana, resi, atau basah kuyup nilai-nilai profetik. Presiden bertanggung jawab secara etik dan moral membebaskan rakyat dari kemiskinan material dan kultural sekaligus meninggikan eksistensi rakyat menjadi bermartabat.
Walaupun sikap asketis Hatta terlihat dalam tangan dingin kerjanya, bukan berarti dirinya tidak berani bersikap. Kritik atas rekannya Presiden Soekarno yang dianggap telah menjadikan kekuasaan sebagai alat pribadinya, merupakan sikap kesatria dari bilik kursi kekuasaan langsung. Pendangkalan dan pemiskinan politik telah mendegradasi etika kekuasaan serta etika politik kekuasaan sehingga menyuburkan tindakan korupsi (Deliar, 2018).
Politik yang dijalankan dengan mekanisme pasar menggadaikan naluri bahwa politik adalah jalan satu-satunya memejerial organisasi “negara” agar dapat membuat pilihan keputusan atas masalahnya. Rente kuasa elite telah meletakkan pondasi yang tidak menempatkan rakyat sebagai subyek (people based) dan sebagai pusat dari kegiatan ekonomi (people centered) (Macridis & Brown, 1986). Dalam gebyar politik yang bertautan dengan kapitaisme pasar, elite ekonomi maupun politik tidak takut mengadakan kongsi secara transparan untuk menanamkan pengaruhnya.
Miki Amirus Sholeh, lahir di Pamekasan 21 September 1993, menyelesaikan pendidikan sarjana Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta magisternya di Universitas Indonesia kajian Cultural Studies. Pernah bekerja sebagai kontributor kolom politik Asumsi.co, Rakyat Merdeka, Prime Comm, tenaga ahli Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta, Media Monitoring Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), serta Kepala tim riset Ide Cipta Research and Consulting (ICRC) hingga sekarang. Dirinya juga aktif di sejumlah organisasi seperti kajian politik perempuan Estetika Institute, Perempuan Mahardhika, dan Pusat Studi Desa Indonesia (PUSDI), DPP Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Beberapa tulisannya pernah dimuat di koran nasional seperti Koran SINDO dan lain-lain. Pernah terlibat dalam penulisan buku bersama Perempuan dan Perubahan dan Hak Politik Perempuan. Dirinya bisa dihubungi melalui melqy93@gmail.com.
Artikel ini meraih Juara I pada Lomba Menulis “Demokrasi, HAM, dan Antikorupsi Bung Hatta” yang diselenggarakan Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Awad dalam rangka HUT ke-77 RI dan HUT ke-120 Bung Hatta pada 9-30 Agustus 2022.
Recent Comments