Hubungi Kami
Artikel

Masalah Konstitusi Dalam Penanganan Covid-19

Saat ini bangsa-bangsa di dunia tengah dihadapkan dengan pandemi corona. Data WHO dan John Hopkins University & Medicine menyebutkan bahwa lebih dari 400.000 orang yang terkonfirmasi positif corona dan lebih dari 16.000 orang meninggal dunia di mana wabah ini telah menyebarkan ke 196 negara atau teritorial per 25 Maret 2020. Tentunya, jumlah ini masih berpotensi terus bertambah. Dalam negeri, pasien wabah Covid-19 melonjak drastis sejak 2 Maret lalu. Penyebaran virus asal Wuhan ini memang luar biasa cepat dan tanpa pandang bulu. Virus ini bak pembunuh senyap karena terkadang gejalanya tak terlihat secara kasat mata. Orang yang kelihatannya sehat, tapi terinfeksi corona kerapkali tidak menyadarinya. Oleh karena itu, penanganan yang luar biasa, sistematik dan terpadu diperlukan dari pemerintah dibantu seluruh rakyat Indonesia.

Pelbagai upaya pemerintah yang didukung masyarakat telah dilakukan. Sembari kita bergotong-royong untuk memulihkan keadaan saat ini, kita juga dapat mengevaluasi diri dan kerja-kerja pemerintah secara berkesinambungan. Bagaimanapun juga dalam skala besar, persoalan penanganan Covid-19 ini menyisahkan banyak sekali catatan kritis dan hal itu dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah sudut pandang konstitusi. Menurut penulis, persoalan konstitusi dalam konteks ini adalah kesadaran aparatur pemerintahan untuk menginsersikan substansi konstitusi menghadapi masuknya wabah Covid-19 di Indonesia. Masalah konstitusi ini utamanya terjadi sebelum dan pekan awal ditemukannya kasus positif corona serta sebagian lagi masih berlangsung saat ini.

Pertama, sikap pejabat-pejabat pemerintahan yang cenderung menolak mentah-mentah atau mengabaikan fakta bahwa virus corona mengintai semua spesies manusia. Padahal senyatanya virus ini telah menyebar secara eksponensial. Mereka terkesan menutup mata pada fakta empirik dan saintis keberadaan virus corona. Singkatnya, ada sikap penolakan atau proses penolakan terhadap wabah tersebut. Kedua, kebijakan pemerintah untuk memberikan insentif di bidang pariwisata, membiayai buzzer/influencer, menggenjot investasi, hingga terus membahas regulasi omnibus law cipta lapangan kerja.

Jauh sebelum masuk ke Indonesia, Covid-19  telah menyebar hampir di seluruh China. Ribuan manusia meregang nyawa dan aktivitas ekonomi lumpuh di negeri tirai bambu itu. Wabah lantas menjalar ke berbagai belahan dunia dan sangat terasa dampak globalnya. Namun, pemerintah Indonesia jauh dari kata siap melawan. Seharusnya langkah pencegahan dari awal masif dilakukan. Karena ini wabah yang mengancam kehidupan dan sebagaimana diperintahkan konstitusi pemerintah harus selalu siap melindungi negara dan rakyat.

Perspektif konstitusi dimaksud ditemukan pada Preambule UUD 1945 alinea IV berbunyi “dibentuknya negara Republik Indonesia ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Kalau saja pemerintah menganggap keselamatan rakyat penting, maka prioritas utama kerjanya adalah melindungi rakyat. Hal ini juga sesuai dengan adagium yang pernah diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero yaitu “Salus populi suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Itu artinya segala hal yang tidak berhubungan dengan keselamatan rakyat dihentikan sementara.

Persoalan konstitusi berikutnya adalah hak hidup yang rasanya terus terancam karena corona (data per 24 Maret 2020: 55 orang meninggal dunia). Hak hidup termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (1) disebut sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Kemudian, hak untuk sehat dan hak atas fasilitas/pelayanan kesehatan yang layak, hak untuk tidak disiksa (dalam konteks ini secara psikologis), hak atas rasa aman dan nyaman. Dalam kacamata konstitusi murni, dapat dikatakan hak-hak tersebut telah terlanggar. Sejatinya, hak-hak itu dipenuhi, dijaga dan diproteksi eksistensinya oleh pemerintah sebagai pengejawantahan perintah Pasal 28I ayat (4) menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Korban jiwa akibat corona berpotensi terus bertambah. Fatality rate Indonesia disebut tertinggi kedua di dunia hingga hari ini. Memang ketika mengevaluasi seperti ini menjadi tidak berlebihan menganggap aparatur pemerintahan buta alias menabrak konstitusi ketika dihadapkan dengan penyebaran Covid-19. Namun, pelbagai upaya sudah dilakukan. Kita juga tidak tahu bencana ini akan berakhir kapan.

Hal penting patut menjadi fokus pemerintah ke depan adalah pemulihan dan pencegahan. Pencegahan tidak hanya untuk daerah yang sudah positif Covid-19, tapi juga yang belum.  Selama keadaan belum membaik, kiranya pengutamaan untuk perlindungan dan keselamatan kolektif rakyat Indonesia. Semoga aparatur pemerintahan dalam keadaan apapun menjadikan konstitusi sebagai pedoman bertindak dan bersikap untuk melayani negara dan rakyat dengan baik. Mari kita saling mendukung, mencegah, dan mengobati luka karena corona. Kita kuat dan tak terhentikan. #BERSATULAWANCORONA

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Artikel

Menakar Pengadilan In Absentia “Koruptor”

Keberadaan Harun Masiku dan Nurhadi cs hingga kini masih misteri. Sejak berstatus buron, penuntasan kasus korupsi mereka bergerak di tempat. KPK nampak tak berdaya mengurusi dua orang yang konon keberadaannya hanya di wilayah Republik ini. Entah memang KPK tidak mampu atau enggan mengungkapnya, hanya KPK dan Tuhan yang tahu. Di tengah turbulensi penegakan hukum korupsi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, KPK membuka kemungkinan untuk membawa kasus Harun Masiku dan Nurhadi cs ke pengadilan meski tanpa kehadiran mereka (in absentia).

Seperti diketahui, Harun Masiku ialah eks caleg PDI-P yang ditetapkan tersangka tanggal 9 Januari 2020 terkait pergantian antarwaktu DPR yang turut menyeret eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sedangkan, Nurhadi adalah eks Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011 – 2016, bersama menantunya Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra ditetapkan tersangka sejak 16 Desember 2019 terkait dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA.

Pengadilan in absentia adalah proses pemeriksaan suatu perkara tanpa kehadiran tergugat dalam jenis perkara perdata dan tata usaha negara atau tanpa kehadiran terdakwa untuk perkara pidana. Dalam konteks pengadilan pidana, disebutkan bahwa pemeriksaan perkara harus dihadiri terdakwa sebagaimana bunyi Pasal 196 ayat (1) KUHAP dan SEMA No. 6 Tahun 1988. Memang asas umumnya menyatakan demikian karena terdakwa dilindungi hak asasi manusianya untuk membela diri atas suatu tuntutan hukum terhadapnya. Dengan perspektif KUHAP, maka jika Masiku dan Nurhadi cs tidak hadir, tetapi pemeriksaan dilanjutkan itu melanggar hak asasi manusia atau merugikan mereka. Namun, KUHAP sendiri menganut perkecualian pada Pasal 213 jo 214 dalam hal kasus pelanggaran lalu lintas dan Pasal 205 untuk perkara tindak pidana ringan.

Hukum perdata dan hukum tata usaha negara juga mengatur pengadilan in absentia. Pengadilan perdata bisa digelar tanpa tergugat seperti diatur pada Pasal 125 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), sedangkan hukum tata usaha negara diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 junctis UU No. 51 Tahun 2009. Tidak hanya itu, pengaturan persidangan in absentia juga diatur pada undang-undang khusus yaitu Pasal 79 ayat (1) UU No. Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan jis SEMA No. 03 Tahun 2007 dan Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang merupakan dasar hukum KPK hendak membawa perkara Masiku dan Nurhadi cs ke pengadilan Tipikor. Meski fisik Masiku dan Nurhadi cs bak ditelan bumi. Maka, pandangan in absentia melanggar hak asasi tidak lagi diperdebatkan karena untuk perkara korupsi boleh dilakukan.

Pengadilan Bukan Tempat Pelarian

Jika dibaca penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor, disebutkan “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.” Inti pasal tersebut ialah pada usaha menyelamatkan kekayaan negara. Untuk dua kasus ini tidak cocok in absentia. Karena dalam praktik suap-menyuap tidak ada unsur kerugian negara. Namun, perbuatan suap menyuap dapat saja menggangu perekoniman negara atau kerugian negara.

Kalaupun dipaksakan, pertanyaan mendasarnya, apa keuntungan dan kerugian pengadilan in absentia Masiku dan Nurhadi cs? Apa target akhir dari in absentia? Apakah untuk menghukum para pelaku? Tidak mungkin, mereka tidak ada. Apakah ingin mengembangkan kasus ini? Lagi-lagi konyol saja harapan tersebut karena para pelaku tidak ada, bagaimana cara mendapatkan informasinya?

Selama tidak ada nyanyian mereka, KPK tidak bisa melakukan apa-apa. Nah, sebelum memikirkan in absentia, KPK sebaiknya menjelaskan kepada publik porsi maksimal dan optimal dari kinerja KPK selama mengusut perkara ini. Pengadilan bukan tempat pelarian karena ada tembok penghalau dalam tubuh KPK sendiri yaitu kemauan atau malah menimbulkan kesan ada campur tangan pihak eksternal yang mengintervensi proses. Jangan berpikir yang penting diperiksa hakim sehingga tergantung hakim dan terserah putusan hakim. Cara pandang di atas harus dihindari dari penegak hukum.

Perspektif demikian menyebabkan pemenuhan keadilan hukum tidak tercapai karena ada proses yang dipotong yaitu mengungkap keterlibatan aktor lainnya. Tentu saja dalam kondisi demikian, yang dikorbankan ialah kepentingan keadilan rakyat dan kepentingan hukum itu sendiri. Bahwa hukum harus ditegakan untuk semua orang tanpa pandang bulu. Jangan sampai, ada yang melihat hukum tidak adil terhadap mereka yang ditopang kekuatan politik dan duit.

Kasus Masiku itu potensial menjadi kasus yang luar biasa besar karena menyirat indikasi keterlibatan petinggi parpol berkuasa dan tentu saja terdapat irisan proses demokratisasi alias isu kepemiluan. Tak mungkin dapat disangkal begitu saja bahwa suap eks Komisioner KPU tidak ada kaitan dengan pemilu. Maka, untuk kepentingan siapa suap itu dilakukan, melibatkan siapa saja, dan telah terjadi apa, harus dibongkar. Begitu pula kasus Nurhadi cs, untuk memotret judicial corruption dalam periode tersebut. Apakah ada pembusukan yang parah di puncak kekuasaan kehakiman?

Rasanya tidak berlebihan anggapan publik bahwa KPK periode Firli cs enggan menemukan Masiku dan Nurhadi cs dibandingkan periode kepemimpinan KPK sebelumnya. Indikatornya, berdasarkan kasus konkrit yang pernah terjadi. Dulu, kondisinya bahkan jauh lebih kompleks dan rumit dari pada saat ini. Ambil contoh kasus Nazaruddin yang sempat menghilang ke luar negeri sekaligus berpindah-pindah. Prosesnya panjang dan koordinasinya lintas negara.

Nazarudin awalnya dari Indonesia ke Singapura tanggal 23 Mei 2011 dengan alasan berobat. Pada tangal 30 Juni 2011, ia ditetapkan tersangka kasus suap pembangunan Wisma Atlet, kemudian Presiden SBY meminta Singapura memulangkan dia. Singapura menyatakan Nazaruddin raib alias tidak berada lagi di negeri tersebut. Bayangkan, otoritas setempat juga kehilangan jejak yang bersangkutan, apalagi kita di Indonesia. Kehebatan KPK lama itu karena teknik investigasi yang luar biasa dan dengan bantuan interpol akhirnya menangkap Nazarudin bahkan jauh di Kolombia pada tanggal 7 Agustus 2011.

Setelah di Indonesia, penyidik bisa lebih mudah mengusut perkara-perkara yang berkaitan dengan dia, pun orang-orang terkaitnya. Pada tanggal 13 Februari 2012, KPK menetapkan dia lagi sebagai tersangka untuk kasus tindak pidana pencucian uang terkait pembelian saham PT Garuda Indonesia. Dari “nyanyian Nazarudin” beberapa orang turut dihukum seperti Neneng Sri Wahyuni, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Andi Zulkarnain “Choel” Mallarangeng, dst. Mestinya, Masiku dan Nurhadi cs bisa lebih muda ditangkap. Intinya adalah KPK mau atau tidak.

Momentum

Menyerahkan pada pengadilan in absentia laksana memotong kompas. Harus dipahami bahwa kasus Masiku dan Nurhadi cs saat ini menjadi indikator independensi dan profesionalisme KPK. Para tersangka ini orang-orang penting yang harus digali keterangannya lebih dalam. Pengembangan kasus sangatlah penting untuk menjerat semua yang menyalahgunakan kewenangan jabatan demi kepentingan diri sendiri dan kelompok serta menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang terdekat. Jalan pintas mengadili tanpa terdakwa bisa jadi sebuah kegagalan besar KPK  dalam penegakan hukum khususnya terhadap kasus ini.

KPK juga harus memperhatikan indikator soal kepercayaan publik dan dukungan publik. Dua kasus ini berkontribusi besar mendegradasi kepercayaan publik pada KPK. Sejumlah lembaga survei awal 2020 menyajikan laporan yang menunjukan fakta kemerosotan tersebut. Lembaga Survei Alvara melaporkan KPK hanya menempati posisi 5 (lima) lembaga negara yang dipercayai. Sedangkan, survei Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di nomor empat, kalah dari TNI dan Polri.

Bandingkan dengan survei dari Lembaga Survei Indonesia pada pertengahan tahun 2019, yang menyatakan kepercayaan tertinggi dari masyarakat kepada KPK sekitar 84%. Kini, banyak orang yang mengkritisi KPK karena tidak kunjung menangkap Masiku dan Nurhadi cs. Apalagi pasca revisi UU KPK yang semangatnya membuat KPK semakin terkontrol oleh sistem dan kekuasaan pemerintahan. Momentum membalikan anggapan itu sekarang. KPK harus membuktikan diri.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Kawan Bung Hatta

Kawan Bung Hatta Labuhanbatu Menggelar Diskusi Musikalisasi Antikorupsi di Unisla

LABUHANBATU – Diskusi Musikalisasi Anti Korupsi yang ditaja di Universitas Islam Labuhanbatu (Unisla), Rabu (4/3/2020) berlangsung riuh penuh semangat. Bertubi-tubi permohonan pertanyaan dari puluhan mahasiswa dan dosen Unisla dijawab Muhammad Q Rudhy, pegiat anti korupsi dari Perkumpulan Hijau sebagai Keynote Speaker (Pembicara Utama).

Tak hanya dari Perkumpulan Hijau, salah satu komunitas lingkungan, kegiatan ini juga didukung komunitas Pegiat Anti Korupsi, Kawan Bung Hatta Kelompok Penikmat Musik Rumahan (PMR) dan Apajake, di Aula Unisla.

Sambil dialuni musikalisasi, suasana diskusi lebih santai tetapi tetap serius. Beberapa lagu hits pun dibawakan PMR tetapi tetap dalam tema anti korupsi, diselingi dengan pengenalan sosok Bung Hatta selaku tokoh nasional yang dinilai anti korupsi. Usai pembukaan, diskusi bertahap semakin serius membahas persoalan bahaya leten korupsi hingga tiga jam menyangkut “Peran Mahasiswa Dikorupsi”.

Muhammad Q Rudhy, pegiat lingkungan hidup dari Perkumpulan Hijau yang menjadi pemateri tunggal, menegaskkan, bahwa mahasiswa adalah kelompok masyarakat sipil terpelajar yang sangat berperan penting dalam upaya mengawal pemerintahan yang bersih.

“Mahasiswa seharusnya menjadi kelompok sipil terpelajar yang terus berpikir kritis dan vocal menyuarakan anti pemerintahan yang korup. Namun, disisi lain, mahasiswa juga harus mampu menjadikan kampus sebagai rumah kelompok sipil terpelajar sebagai wilayah yang bersih dari prilaku korup,” tegas Rudhy.

Ditambahkannya, momen politik di daerah juga bisa menjadi momentum bagi mahasiswa untuk bergerak dan berperan aktif mengkampanyekan kepada masyarakat pemilih agar tidak memilih pejabat korup. Hal ini didasarkan pada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2019, yang menempatkan kasus korupsi tertinggi terjadi di Lembaga pemerintahan kabupaten/kota, dengan modus korupsi tertinggi terjadi pada kasus suap.

“Masa (pilkada) ini momentum yang sangat baik bagi kita untuk menegakkan lagi pemerintahan yang bersih di Kabupaten Labuhanbatu, khususnya. Peran mahasiswa sangat penting pastinya, karena selain sebagai kelompok masyarakat sipil terpelajar, juga sebagai kelompok independen yang tidak bisa di intervensi secara politik. Mengkampanyekan pemilu bersih dari suap atau politik uang secara masif, bisa menjadi salah satu treatment yang dibangun oleh mahasiswa ke kandidat dan penyelenggara,” tegas Rudhy, yang juga menyinggung kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi di kabupaten Labuhanbatu beberapa hari lalu.

Sebagai contoh, tambahnya, kasus sudah kritisnya prilaku korup di dalam pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu. Dalam pemaparannya, Rudhy juga menyinggung perihal dampak buruk dari prilaku korup yang menyebabkan rusaknya tatanan sosial, ekonomi dan politik Indonesia termasuk menuntun bangsa ini ke arah krisis demokrasi.

“Korupsi tidak hanya berdampak pada satu aspek, namun semua aspek secara langsung. Pemerintahan korup akan menghasilkan krisis demokrasi. Jika sudah sampai pada krisis demokrasi, maka bangsa ini sudah menjadi penjara bagi rakyatnya sendiri. Kemerdekaan akan hilang dan apa gunanya kita setiap tanggal 17 Agustus memperingati hari kemerdekaan,” uangkapnya.

Sementara itu, kegiatan yang mendapat sambutan positif oleh puluhan mahasiswa dan dosen Unisla ini ditutup dengan sesi tanya jawab, serta musikalisasi oleh kelompok Penikmat Musik Rumahan dengan lagu penutup “Bongkar” yang dipopulerkan oleh Iwan Fals.

 

Artikel pertama kali terbit dengan judul “Lawan Korupsi! Rudhy Jadi Keynote Speaker di Hadapan Dosen dan Mahasiswa Unisla” tanggal 5 Maret 2020.

Artikel

Omnibus Law: Potret Ketertutupan Informasi

Akhir-akhir ini, terhirup aroma ketidakberesan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) atau Omnibus law Lapangan Kerja yang diinisiasi Pemerintah. Semasa berproses di Pemerintah, draft resmi RUU Omnibus law begitu sukar diperoleh masyarakat. Informasi masyarakat didapatkan dari sumber tidak langsung berkat riset dan investigas khusus lainnya. Minimnya transparansi dan akuntabilitas prosedur dan substansi pembentukan RUU Omnibus law bagi masyarakat telah menyalahi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3). Hal ini menegaskan mal-prosedur oleh Pemerintah dan tentu saja memamerkan satu potret paripurna ketertutupan informasi dari Pemerintah di tengah tuntutan keterbukaan informasi publik.

Dengan demikian, mudah memvonis Omnibus law bermasalah dari sisi teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu ditekankan pula, Pemerintah mengabaikan hak konstitusional warga negara dan corak negara demokrasi dengan paham kedaulatan rakyat yang kita praktekan saat ini. RUU Omnibus law resmi diserahan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 13 Februari 2020. Tulisan singkat ini hendak menyoal kembali ketertutupan Omnibus law di Pemerintah tersebut. Apakah informasi RUU merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi masyarakat?

Menurut hemat penulis, informasi RUU sesuatu esensial karena diatur dalam konstitusi sebagai hak warga negara. Hak yang diatur dalam konstitusi biasanya punya kedudukan yang fundamental dan tertinggi. Hak informasi eksplisit diletakan dalam Pasal 28F UUD 1945. Hal ini membuktikan rupanya para pendiri bangsa kita sungguh telah menyadari hak informasi itu penting bagi rakyat. Derivasi hak informasi meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Sedianya informasi adalah materi pokok untuk mengembangkan diri pribadi maupun sosial. Masyarakat yang punya bank informasi tentulah pandai dan kritis mengisi demokrasinya. Negara yang membuka informasi publik mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan guna menuju tata kelola pemerintahan yang clean government, good governance dan/atau open governance. Pada akhirnya, akan terbangun legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan berkuasa. Rakyat wajib memberikan pandangan-pandangannya perihal kebijakan dan peraturan yang dibuat Pemerintahan dan DPR.

Sudah sangat jelas, Pasal 5 UUP3 menyatakan membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi antara lain asas keterbukaan. Penjelasan asas tersebut tegas menyatakan keterbukaan berlaku mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan peraturan perundang-undangan. Tujuan yang ingin dicapai sebetulnya supaya seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat sehingga seluruh tahapan proses harus bersifat transparan dan terbuka serta partisipatif. Selain itu, Pasal 96 ayat (1) dan ayat (4) juga tegas menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan untuk itu pemerintah harus setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sayangnya, Pemerintah masih lalai dalam hal ini.

Pada hal, membaca Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tidak ditemukan pernyataan bahwa informasi RUU merupakan informasi rahasia negara atau yang dikecualikan untuk umum. Lalu, atas dasar apa Pemerintah menutup informasi RUU Omnibus law? Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi karena hal tersebut akan menyalahi prinsip demokrasi partisipatif. Kita semua tahu, suatu keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR berlaku erga omnes. Kita tahu bahwa tiap keputusan negara ada konsekuensi recht fictie yang berarti semua orang dianggap tahu hukum. Bagaimana mungkin kita bisa mematuhi sesuatu yang kita sendiri tidak dipahami juntrungannya?

Karena itu memperjuangkan ketidakberlakuan RUU Omnibus law wajib hukumnya. Pemerintah harus menyadari bahwa rakyat adalah bagian penting dalam negara, maka jangan berjalan sendiri. Presiden dalam banyak kesempatan menyampaikan Omnibus law dibuat untuk rakyat sehingga harapannya agar dapat diselesaikan segera. Bahkan terbaru target Omnibus law rampung dalam 100 hari kerja. Namun, yang kita tidak boleh lupa ialah Omnibus law ini satu peraturan yang sungguh sangat besar dan dahsyat dampaknya.

Kita tidak boleh menyepelekan harmonisasi sekitar 79 UU dan 1.229 pasal ke dalam satu payung hukum saja. Kita harus belajar dari bagaimana perubahan revisi UU KPK yang memakan waktu hanya sekitar 12 hari. Pasca revisi terjadi perubahan atau pergeseran yang signifikan dalam pemberantasan korupsi Indonesia. UU KPK itu secara praktikal tidak bertaji menjerat pelaku korupsi sehingga lubang impunitas kembali menganga. Pada hal sebelumnya, pelbagai potensi masalah telah disuarakan publik dengan meminta penghentian proses revisi. Dalam Omnibus law adalah petunjuk yang sama. Tujuan Presiden sangat baik, tetapi itu saja tidak cukup.

Tidak boleh tergesa-gesa karena Omnibus law berisi hal yang substansial. Kali ini, kita tidak boleh kalah seperti dalam drama revisi UU KPK. Persoalan prinsipil dari sisi lingkungan, ketenagakerjaan, hingga penegakan hukum terdampak Omnibus law harus menjadi konsentrasi penuh. Kalau kita sekilas membikin perbandingan, sebetulnya yang hendak diharmonisasi dalam Omnibus law ini sudah ada undang-undang sektoral untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat selama ini terkait persoalan-persoalan di atas. Undang-undang Ketenagakerjaan sebagai contoh, masih menghormati buruh dengan memberi upah minimum dan hak-hak ketenagakerjaan yang kini terancam dihilangkan dalam Omnibus law.

Begitu pula, pelaku perusak lingkungan dihukum pidana supaya ada detterent effect. Namun, Omnibus law ini seperti memangkas atau menggampangkan masalah yang ada dengan dalil investasi. Menurut penulis, publik sangat rasional dan tidak menolak perubahan. Deretan pasal Omnibus law harus memancarkan maksud sebenarnya. Apakah Omnibus law akan menjadi baik secara substansi atau malah memburuk? Kita perlu duduk bersama untuk membongkar nilai di dalamnya.

Semoga DPR tidak terburu-buru dalam membahas Omnibus law ini, tetapi membuka pintu keterlibatan masyarakat. Menurut penulis, ini juga momentum bagi DPR untuk kembali mendudukan marwahnya sebagai lembaga perwakilan rakyat lagi setelah kegagalannya dalam revisi UU KPK.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Donasi