Hubungi Kami
Artikel, Berita

Korupsi Dipandang dari Sisi Psikologi Sosial

Korupsi adalah gejala kompleks. Terdapat sejumlah sudut pandang untuk membedahnya. Salah satunya adalah sudut pandang psikologis, yaitu psikologi orang yang takut mati. Apakah ada manusia yang tidak takut mati? Saya akan jelaskan. Kita semua menyimpan ketakutan akan kematian, setiap hari. Ketakutan itu kita simpan diam-diam, walau sesekali kita ungkapkan juga secara terbuka.

Bagaimanapun, rasa cemas akan kematian itu menyiksa batin seseorang. Orang merasa tidak berdaya di hadapan fakta kematian. Fakta itu berpotensi membawa kehampaan atau perasaan bahwa “saya dan hubungan-hubungan saya tidak akan berlanjut”, “saya akan menjadi nihil”. Nah, supaya pikiran seseorang tidak dibalut dengan rasa cemas akan kematian, orang membangun cara hidup. Tujuannya satu, yakni untuk melindungi diri dari kecemasan akan kematian itu, bahkan bila dapat, mengatasi kematian itu. Orang ingin “mengabadikan” hidupnya. Apakah mungkin? Bagaimana caranya?

Manusia adalah makhluk yang kreatif. Ia tidak mau dibatasi oleh kematian. Oleh karena itu “keabadian” dibangunnya secara psiko-simbolik karena badan pasti hancur. Dia membangun makna hidup, dia memeluk atau menganut pandangan hidup tertentu. Dengan cara tersebut, harga diri seseorang yang tadinya jatuh di hadapan fakta kematian yang tak terhindarkan dan tidak bisa dia kendalikan itu, kemudian ditegakkan kembali.

Persis di sinilah titik kritisnya. Pandangan hidup semacam apa yang bisa sukses mengatasi perasaan diri kecil, “bodoh”, dan tak berarti di hadapan fakta kematian? Ada orang-orang yang menyerahkan dirinya pada pandangan hidup yang menekankan penguasaan terhadap lingkungan. Dengan berkuasa dia merasa diri bermakna. Kekuasaan dipandang sebagai rantai yang menghubungkan segala macam hal, orang, dan peristiwa, yang membuat dia tidak gamang lagi. Dengan itu, dia merasa—sekali lagi: merasa—bahwa dia telah menggengam sesuatu yang tidak dapat dicuri atau diambil oleh kematian. Eksistensi dirinya merasa diteguhkan.

Hasrat berkuasa itu biasanya beriringan dengan hasrat akan materi. Bila kita cermati, materialisme dan konsumtivisme telah menjadi semangat zaman ‘now’, sayangnya, sebagai cara paling dangkal dan banal yang dipilih manusia untuk memulihkan dan meningkatkan makna dan harga diri yang dirusak oleh fakta tentang ancaman kematian. Dengan uang, kekuasaan, dan kepemilikan, kebanyakan orang merasa aman bahkan bahagia secara biologis, psikologis, dan kultural. Tidak heran bahwa orang-orang seolah sedang berlomba-lomba untuk secepat mungkin meraih hal-hal tersebut, dengan berbuat korupsi, supaya kecemasan akan kematian berhenti mengejarnya. Apakah kecemasan itu benar-benar berhenti, katakanlah jika orang mencapai puncak kekuasaan dan kepemilikan; itu persoalan yang lain lagi.

Oleh kreativitasnya itu, perasaan akan keabadian juga diciptakan manusia melalui pemikiran bahwa walaupun tubuh fisik ini hancur, namun gen yang dia warisi melalui putra-putri dan cucu-cicitnya akan melambangkan bahwa keberadaan dirinya berlanjut walau dia sudah mati. Secara kultural, gen itu berkorespondensi dengan nama keluarga. Itu sebabnya korupsi itu sangat egois. Pusat sebenarnya adalah diri sendiri, tetapi seolah-olah diabdikan untuk kepentingan orang lain.

Kenyataannya, kreativitas manusia membuat perhatiannya tentang untung-rugi material menggunakan sarana yang disebut atau dianggapnya sebagai “keadilan sosial”. Dikaitkan dengan ungkapan sebelumnya, mengenai “kekuasaan sebagai rantai penghubung” untuk “mengatasi” kematian, akan sangat sulit rantai itu terbentuk dan terpelihara jika manusia tidak memperhatikan apa yang adil dan apa yang membahagiakan buat relasi-relasinya. Relasi atau hubungan itu justru penting untuk mengukuhkan identitas dan status seseorang. Oleh karenanya, membela harga diri kelompok dianggap sama pentingnya dengan membela harga diri orang per orang yang terancam oleh fakta tentang kematian. Ini menjadi pendorong “korupsi berjamaah”. Hal ini karena kelompok ikut menghadirkan kebanggaan dan kehormatan diri bagi seseorang yang bisa membuat orang tidak melulu terbalut oleh kecemasan akan kematian.

Kendati demikian, hal-hal di atas hanya segelintir dari sekian banyak pandangan hidup. Ada pandangan hidup yang jelas-jelas menilai bahwa perasaan abadi yang dihasilkan oleh materi dan kekuasaan yang dijustifikasi dengan persepsi “keadilan sosial” adalah sebuah ilusi psikologis. Kalaupun di atas disebut-sebut tentang adanya kebahagiaan, kebahagiaan itu dicurigai sebagai semu.

Ilusi itu berarti bahwa orang menghargai terhadap sesuatu yang sejatinya tidak berharga. Orang memberikan nilai tinggi akan sesuatu yang tidak setinggi itu nilainya. Sebagai contoh, orang yang menjalani gaya hidup “tampil” dengan segala fashion dan motif untuk dikagumi secara sosial (dan dengan demikian “sejenak” melupakan kematian), pada sejumlah momen dalam hidupnya akan mengirimkan sinyal kepada diri sendiri, dan mengatakan bahwa ada aspek diri yang lebih hakiki daripada sekadar impresi yang ada di permukaan itu. Diri yang ‘tampil’ itu ternyata bukan diri yang otentik, bukan diri yang sejatinya diinginkannya, dan dia harus membayar dengan memburuknya pandangan terhadap moralnya sendiri.

Terhadap sinyal itu, orang dapat berulang-ulang menyerahkan dirinya pada sesuatu yang dianggap sebagai “tekanan” semangat zaman yang tak terhindarkan. Dengan demikian, korupsi pun dibenarkan, bahkan diberikan kerangka makna sesukanya sendiri, misalnya “korupsi itu pelicin pembangunan dan untuk kepentingan kita yang lebih besar”. Sampai pada taraf psikologis ekstrim, emosi moral—yaitu rasa malu dan rasa bersalah—yang seharusnya fungsional untuk mengantisipasikan dan mengerem perilaku koruptif menjadi kendur dan mengalami erosi. Orang bahkan tidak segan untuk melakukan apa yang dalam masyarakat kita digambarkan sebagai “maling teriak (orang lain) maling” atau mengorbankan orang lain demi citra dirinya yang dibangun dengan mental korup.

Oleh karena itu, dinamika “psikologi orang yang takut mati” ini mesti dipahami dan diberikan implikasi sosial kalau kita ingin mencegah dan memberantas korupsi. Bukan dengan serta-merta menganjurkan dan menerapkan hukuman mati, apalagi jika kita belum mampu menjamin juga bahwa sistem hukum kita sudah bebas dari korupsi. Sekarang memang ada gejala yang namanya anti-intelektualisme, sederhananya: kemalasan berpikir, sehingga solusi-solusi yang bersifat simplistik, seperti hukuman mati, pun ditelurkan.

Saya mengajak kita semua untuk memeriksa pandangan-pandangan hidup apakah yang bekerja dalam diri dan masyarakat kita yang berguna untuk mengatasi kecemasan akan kematian. Kematian ternyata secara paradoksikal merupakan etos pertumbuhan karakter hidup seseorang, apakah ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Tetapi, pandangan-pandangan itu perlu disadari saling berkompetisi dan menciptakan apa yang oleh sosiolog disebut situasi anomik atau kesimpangsiuran norma. Mana sajakah yang berpotensi membungkam, atau sebaliknya, memfasilitasi moralitas positif? Persepsi tentang keadilan sosial seperti yang dipaparkan sebelumnya perlu dipikirkan ulang.

Wajib juga jujur dengan bahasa kita sendiri. Kalau pelicin sejatinya adalah pemorakporanda, apakah akan bertahan dengan sebutan pelicin? Contoh lain, dalam dunia Perguruan Tinggi (yang kata orang, disanalah “nurani masyarakat” terletak), praktik “bagi-bagi nama” (gift authorship) dalam penulisan artikel jurnal ilmiah tidak sedikit terjadi. Seorang guru/dosen yang disebut “pembimbing” namun tidak signifikan menyumbangkan gagasan maupun tulisan atas karya ilmiah bimbingannya tetapi menghasut siswa/mahasiswanya untuk mencantumkan namanya sebagai salah seorang penulis artikel jurnal/prosiding konferensi demi untuk memperoleh angka kredit kenaikan jabatan. Demikian juga terjadi di antara sesama sejawat dan hubungan atasan-bawahan di kampus. Bukankah ini wajah korupsi akademik yang dipoles dengan bahasa “gotong royong”, “kolaborasi”, dan “supervisi”? Apakah istilah “rasuah” yang digunakan oleh media massa mengecilkan pemahaman kita tentang “korupsi”?

Selanjutnya, mana yang bernilai dan mana yang tidak bermakna bagi kemanusiaan kita perlu dirumuskan sungguh-sungguh. Saya dengar, sedang direncanakan perumusan 25 butir Pancasila oleh Unit Kerja Presiden. Ini merupakan inisiasi yang bagus. Hanya saja problem “verbalisme Pancasila” selama ini perlu melibatkan studi-studi yang kreatif, supaya anti-intelektualisme tidak terjadi. Ada perbedaan yang jelas antara “kepatuhan (di mata) publik” (public compliance) dan “penerimaan batin” (private acceptance). Kalau suatu saat lahir “Indeks Keber-Pancasila-an”, apakah perbedaan tersebut telah diperhitungkan, supaya jangan sampai terjadi korupsi dalam makna dan pengamatan? Jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan mendekatkan kita pada pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Akhirnya, sama halnya bahwa pengatasan terhadap tendensi korup seseorang dimediasikan secara jelas oleh pandangan hidup dan bahasa, maka pencegahan dan pemberantasan kecenderungan korup secara sosial/institusional seharusnya dimediasikan secara tegas oleh perangkat sosial/institusional yang secara sengaja diciptakan untuk itu. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sentral dalam hal ini.

Juneman Abraham, Pakar Psikologi Sosial

Tulisan ini pertama kali terbit di Bernas.id dengan judul “Korupsi Dipandang dari Sisi Psikologi Sosial” edisi 22 November 2017

Artikel

Masalah Konstitusi Dalam Penanganan Covid-19

Saat ini bangsa-bangsa di dunia tengah dihadapkan dengan pandemi corona. Data WHO dan John Hopkins University & Medicine menyebutkan bahwa lebih dari 400.000 orang yang terkonfirmasi positif corona dan lebih dari 16.000 orang meninggal dunia di mana wabah ini telah menyebarkan ke 196 negara atau teritorial per 25 Maret 2020. Tentunya, jumlah ini masih berpotensi terus bertambah. Dalam negeri, pasien wabah Covid-19 melonjak drastis sejak 2 Maret lalu. Penyebaran virus asal Wuhan ini memang luar biasa cepat dan tanpa pandang bulu. Virus ini bak pembunuh senyap karena terkadang gejalanya tak terlihat secara kasat mata. Orang yang kelihatannya sehat, tapi terinfeksi corona kerapkali tidak menyadarinya. Oleh karena itu, penanganan yang luar biasa, sistematik dan terpadu diperlukan dari pemerintah dibantu seluruh rakyat Indonesia.

Pelbagai upaya pemerintah yang didukung masyarakat telah dilakukan. Sembari kita bergotong-royong untuk memulihkan keadaan saat ini, kita juga dapat mengevaluasi diri dan kerja-kerja pemerintah secara berkesinambungan. Bagaimanapun juga dalam skala besar, persoalan penanganan Covid-19 ini menyisahkan banyak sekali catatan kritis dan hal itu dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah sudut pandang konstitusi. Menurut penulis, persoalan konstitusi dalam konteks ini adalah kesadaran aparatur pemerintahan untuk menginsersikan substansi konstitusi menghadapi masuknya wabah Covid-19 di Indonesia. Masalah konstitusi ini utamanya terjadi sebelum dan pekan awal ditemukannya kasus positif corona serta sebagian lagi masih berlangsung saat ini.

Pertama, sikap pejabat-pejabat pemerintahan yang cenderung menolak mentah-mentah atau mengabaikan fakta bahwa virus corona mengintai semua spesies manusia. Padahal senyatanya virus ini telah menyebar secara eksponensial. Mereka terkesan menutup mata pada fakta empirik dan saintis keberadaan virus corona. Singkatnya, ada sikap penolakan atau proses penolakan terhadap wabah tersebut. Kedua, kebijakan pemerintah untuk memberikan insentif di bidang pariwisata, membiayai buzzer/influencer, menggenjot investasi, hingga terus membahas regulasi omnibus law cipta lapangan kerja.

Jauh sebelum masuk ke Indonesia, Covid-19  telah menyebar hampir di seluruh China. Ribuan manusia meregang nyawa dan aktivitas ekonomi lumpuh di negeri tirai bambu itu. Wabah lantas menjalar ke berbagai belahan dunia dan sangat terasa dampak globalnya. Namun, pemerintah Indonesia jauh dari kata siap melawan. Seharusnya langkah pencegahan dari awal masif dilakukan. Karena ini wabah yang mengancam kehidupan dan sebagaimana diperintahkan konstitusi pemerintah harus selalu siap melindungi negara dan rakyat.

Perspektif konstitusi dimaksud ditemukan pada Preambule UUD 1945 alinea IV berbunyi “dibentuknya negara Republik Indonesia ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Kalau saja pemerintah menganggap keselamatan rakyat penting, maka prioritas utama kerjanya adalah melindungi rakyat. Hal ini juga sesuai dengan adagium yang pernah diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero yaitu “Salus populi suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Itu artinya segala hal yang tidak berhubungan dengan keselamatan rakyat dihentikan sementara.

Persoalan konstitusi berikutnya adalah hak hidup yang rasanya terus terancam karena corona (data per 24 Maret 2020: 55 orang meninggal dunia). Hak hidup termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (1) disebut sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Kemudian, hak untuk sehat dan hak atas fasilitas/pelayanan kesehatan yang layak, hak untuk tidak disiksa (dalam konteks ini secara psikologis), hak atas rasa aman dan nyaman. Dalam kacamata konstitusi murni, dapat dikatakan hak-hak tersebut telah terlanggar. Sejatinya, hak-hak itu dipenuhi, dijaga dan diproteksi eksistensinya oleh pemerintah sebagai pengejawantahan perintah Pasal 28I ayat (4) menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Korban jiwa akibat corona berpotensi terus bertambah. Fatality rate Indonesia disebut tertinggi kedua di dunia hingga hari ini. Memang ketika mengevaluasi seperti ini menjadi tidak berlebihan menganggap aparatur pemerintahan buta alias menabrak konstitusi ketika dihadapkan dengan penyebaran Covid-19. Namun, pelbagai upaya sudah dilakukan. Kita juga tidak tahu bencana ini akan berakhir kapan.

Hal penting patut menjadi fokus pemerintah ke depan adalah pemulihan dan pencegahan. Pencegahan tidak hanya untuk daerah yang sudah positif Covid-19, tapi juga yang belum.  Selama keadaan belum membaik, kiranya pengutamaan untuk perlindungan dan keselamatan kolektif rakyat Indonesia. Semoga aparatur pemerintahan dalam keadaan apapun menjadikan konstitusi sebagai pedoman bertindak dan bersikap untuk melayani negara dan rakyat dengan baik. Mari kita saling mendukung, mencegah, dan mengobati luka karena corona. Kita kuat dan tak terhentikan. #BERSATULAWANCORONA

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Artikel

Menakar Pengadilan In Absentia “Koruptor”

Keberadaan Harun Masiku dan Nurhadi cs hingga kini masih misteri. Sejak berstatus buron, penuntasan kasus korupsi mereka bergerak di tempat. KPK nampak tak berdaya mengurusi dua orang yang konon keberadaannya hanya di wilayah Republik ini. Entah memang KPK tidak mampu atau enggan mengungkapnya, hanya KPK dan Tuhan yang tahu. Di tengah turbulensi penegakan hukum korupsi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, KPK membuka kemungkinan untuk membawa kasus Harun Masiku dan Nurhadi cs ke pengadilan meski tanpa kehadiran mereka (in absentia).

Seperti diketahui, Harun Masiku ialah eks caleg PDI-P yang ditetapkan tersangka tanggal 9 Januari 2020 terkait pergantian antarwaktu DPR yang turut menyeret eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sedangkan, Nurhadi adalah eks Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011 – 2016, bersama menantunya Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra ditetapkan tersangka sejak 16 Desember 2019 terkait dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA.

Pengadilan in absentia adalah proses pemeriksaan suatu perkara tanpa kehadiran tergugat dalam jenis perkara perdata dan tata usaha negara atau tanpa kehadiran terdakwa untuk perkara pidana. Dalam konteks pengadilan pidana, disebutkan bahwa pemeriksaan perkara harus dihadiri terdakwa sebagaimana bunyi Pasal 196 ayat (1) KUHAP dan SEMA No. 6 Tahun 1988. Memang asas umumnya menyatakan demikian karena terdakwa dilindungi hak asasi manusianya untuk membela diri atas suatu tuntutan hukum terhadapnya. Dengan perspektif KUHAP, maka jika Masiku dan Nurhadi cs tidak hadir, tetapi pemeriksaan dilanjutkan itu melanggar hak asasi manusia atau merugikan mereka. Namun, KUHAP sendiri menganut perkecualian pada Pasal 213 jo 214 dalam hal kasus pelanggaran lalu lintas dan Pasal 205 untuk perkara tindak pidana ringan.

Hukum perdata dan hukum tata usaha negara juga mengatur pengadilan in absentia. Pengadilan perdata bisa digelar tanpa tergugat seperti diatur pada Pasal 125 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), sedangkan hukum tata usaha negara diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 junctis UU No. 51 Tahun 2009. Tidak hanya itu, pengaturan persidangan in absentia juga diatur pada undang-undang khusus yaitu Pasal 79 ayat (1) UU No. Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan jis SEMA No. 03 Tahun 2007 dan Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang merupakan dasar hukum KPK hendak membawa perkara Masiku dan Nurhadi cs ke pengadilan Tipikor. Meski fisik Masiku dan Nurhadi cs bak ditelan bumi. Maka, pandangan in absentia melanggar hak asasi tidak lagi diperdebatkan karena untuk perkara korupsi boleh dilakukan.

Pengadilan Bukan Tempat Pelarian

Jika dibaca penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor, disebutkan “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.” Inti pasal tersebut ialah pada usaha menyelamatkan kekayaan negara. Untuk dua kasus ini tidak cocok in absentia. Karena dalam praktik suap-menyuap tidak ada unsur kerugian negara. Namun, perbuatan suap menyuap dapat saja menggangu perekoniman negara atau kerugian negara.

Kalaupun dipaksakan, pertanyaan mendasarnya, apa keuntungan dan kerugian pengadilan in absentia Masiku dan Nurhadi cs? Apa target akhir dari in absentia? Apakah untuk menghukum para pelaku? Tidak mungkin, mereka tidak ada. Apakah ingin mengembangkan kasus ini? Lagi-lagi konyol saja harapan tersebut karena para pelaku tidak ada, bagaimana cara mendapatkan informasinya?

Selama tidak ada nyanyian mereka, KPK tidak bisa melakukan apa-apa. Nah, sebelum memikirkan in absentia, KPK sebaiknya menjelaskan kepada publik porsi maksimal dan optimal dari kinerja KPK selama mengusut perkara ini. Pengadilan bukan tempat pelarian karena ada tembok penghalau dalam tubuh KPK sendiri yaitu kemauan atau malah menimbulkan kesan ada campur tangan pihak eksternal yang mengintervensi proses. Jangan berpikir yang penting diperiksa hakim sehingga tergantung hakim dan terserah putusan hakim. Cara pandang di atas harus dihindari dari penegak hukum.

Perspektif demikian menyebabkan pemenuhan keadilan hukum tidak tercapai karena ada proses yang dipotong yaitu mengungkap keterlibatan aktor lainnya. Tentu saja dalam kondisi demikian, yang dikorbankan ialah kepentingan keadilan rakyat dan kepentingan hukum itu sendiri. Bahwa hukum harus ditegakan untuk semua orang tanpa pandang bulu. Jangan sampai, ada yang melihat hukum tidak adil terhadap mereka yang ditopang kekuatan politik dan duit.

Kasus Masiku itu potensial menjadi kasus yang luar biasa besar karena menyirat indikasi keterlibatan petinggi parpol berkuasa dan tentu saja terdapat irisan proses demokratisasi alias isu kepemiluan. Tak mungkin dapat disangkal begitu saja bahwa suap eks Komisioner KPU tidak ada kaitan dengan pemilu. Maka, untuk kepentingan siapa suap itu dilakukan, melibatkan siapa saja, dan telah terjadi apa, harus dibongkar. Begitu pula kasus Nurhadi cs, untuk memotret judicial corruption dalam periode tersebut. Apakah ada pembusukan yang parah di puncak kekuasaan kehakiman?

Rasanya tidak berlebihan anggapan publik bahwa KPK periode Firli cs enggan menemukan Masiku dan Nurhadi cs dibandingkan periode kepemimpinan KPK sebelumnya. Indikatornya, berdasarkan kasus konkrit yang pernah terjadi. Dulu, kondisinya bahkan jauh lebih kompleks dan rumit dari pada saat ini. Ambil contoh kasus Nazaruddin yang sempat menghilang ke luar negeri sekaligus berpindah-pindah. Prosesnya panjang dan koordinasinya lintas negara.

Nazarudin awalnya dari Indonesia ke Singapura tanggal 23 Mei 2011 dengan alasan berobat. Pada tangal 30 Juni 2011, ia ditetapkan tersangka kasus suap pembangunan Wisma Atlet, kemudian Presiden SBY meminta Singapura memulangkan dia. Singapura menyatakan Nazaruddin raib alias tidak berada lagi di negeri tersebut. Bayangkan, otoritas setempat juga kehilangan jejak yang bersangkutan, apalagi kita di Indonesia. Kehebatan KPK lama itu karena teknik investigasi yang luar biasa dan dengan bantuan interpol akhirnya menangkap Nazarudin bahkan jauh di Kolombia pada tanggal 7 Agustus 2011.

Setelah di Indonesia, penyidik bisa lebih mudah mengusut perkara-perkara yang berkaitan dengan dia, pun orang-orang terkaitnya. Pada tanggal 13 Februari 2012, KPK menetapkan dia lagi sebagai tersangka untuk kasus tindak pidana pencucian uang terkait pembelian saham PT Garuda Indonesia. Dari “nyanyian Nazarudin” beberapa orang turut dihukum seperti Neneng Sri Wahyuni, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Andi Zulkarnain “Choel” Mallarangeng, dst. Mestinya, Masiku dan Nurhadi cs bisa lebih muda ditangkap. Intinya adalah KPK mau atau tidak.

Momentum

Menyerahkan pada pengadilan in absentia laksana memotong kompas. Harus dipahami bahwa kasus Masiku dan Nurhadi cs saat ini menjadi indikator independensi dan profesionalisme KPK. Para tersangka ini orang-orang penting yang harus digali keterangannya lebih dalam. Pengembangan kasus sangatlah penting untuk menjerat semua yang menyalahgunakan kewenangan jabatan demi kepentingan diri sendiri dan kelompok serta menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang terdekat. Jalan pintas mengadili tanpa terdakwa bisa jadi sebuah kegagalan besar KPK  dalam penegakan hukum khususnya terhadap kasus ini.

KPK juga harus memperhatikan indikator soal kepercayaan publik dan dukungan publik. Dua kasus ini berkontribusi besar mendegradasi kepercayaan publik pada KPK. Sejumlah lembaga survei awal 2020 menyajikan laporan yang menunjukan fakta kemerosotan tersebut. Lembaga Survei Alvara melaporkan KPK hanya menempati posisi 5 (lima) lembaga negara yang dipercayai. Sedangkan, survei Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di nomor empat, kalah dari TNI dan Polri.

Bandingkan dengan survei dari Lembaga Survei Indonesia pada pertengahan tahun 2019, yang menyatakan kepercayaan tertinggi dari masyarakat kepada KPK sekitar 84%. Kini, banyak orang yang mengkritisi KPK karena tidak kunjung menangkap Masiku dan Nurhadi cs. Apalagi pasca revisi UU KPK yang semangatnya membuat KPK semakin terkontrol oleh sistem dan kekuasaan pemerintahan. Momentum membalikan anggapan itu sekarang. KPK harus membuktikan diri.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Artikel

Omnibus Law: Potret Ketertutupan Informasi

Akhir-akhir ini, terhirup aroma ketidakberesan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) atau Omnibus law Lapangan Kerja yang diinisiasi Pemerintah. Semasa berproses di Pemerintah, draft resmi RUU Omnibus law begitu sukar diperoleh masyarakat. Informasi masyarakat didapatkan dari sumber tidak langsung berkat riset dan investigas khusus lainnya. Minimnya transparansi dan akuntabilitas prosedur dan substansi pembentukan RUU Omnibus law bagi masyarakat telah menyalahi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3). Hal ini menegaskan mal-prosedur oleh Pemerintah dan tentu saja memamerkan satu potret paripurna ketertutupan informasi dari Pemerintah di tengah tuntutan keterbukaan informasi publik.

Dengan demikian, mudah memvonis Omnibus law bermasalah dari sisi teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu ditekankan pula, Pemerintah mengabaikan hak konstitusional warga negara dan corak negara demokrasi dengan paham kedaulatan rakyat yang kita praktekan saat ini. RUU Omnibus law resmi diserahan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 13 Februari 2020. Tulisan singkat ini hendak menyoal kembali ketertutupan Omnibus law di Pemerintah tersebut. Apakah informasi RUU merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi masyarakat?

Menurut hemat penulis, informasi RUU sesuatu esensial karena diatur dalam konstitusi sebagai hak warga negara. Hak yang diatur dalam konstitusi biasanya punya kedudukan yang fundamental dan tertinggi. Hak informasi eksplisit diletakan dalam Pasal 28F UUD 1945. Hal ini membuktikan rupanya para pendiri bangsa kita sungguh telah menyadari hak informasi itu penting bagi rakyat. Derivasi hak informasi meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Sedianya informasi adalah materi pokok untuk mengembangkan diri pribadi maupun sosial. Masyarakat yang punya bank informasi tentulah pandai dan kritis mengisi demokrasinya. Negara yang membuka informasi publik mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan guna menuju tata kelola pemerintahan yang clean government, good governance dan/atau open governance. Pada akhirnya, akan terbangun legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan berkuasa. Rakyat wajib memberikan pandangan-pandangannya perihal kebijakan dan peraturan yang dibuat Pemerintahan dan DPR.

Sudah sangat jelas, Pasal 5 UUP3 menyatakan membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi antara lain asas keterbukaan. Penjelasan asas tersebut tegas menyatakan keterbukaan berlaku mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan peraturan perundang-undangan. Tujuan yang ingin dicapai sebetulnya supaya seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat sehingga seluruh tahapan proses harus bersifat transparan dan terbuka serta partisipatif. Selain itu, Pasal 96 ayat (1) dan ayat (4) juga tegas menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan untuk itu pemerintah harus setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sayangnya, Pemerintah masih lalai dalam hal ini.

Pada hal, membaca Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tidak ditemukan pernyataan bahwa informasi RUU merupakan informasi rahasia negara atau yang dikecualikan untuk umum. Lalu, atas dasar apa Pemerintah menutup informasi RUU Omnibus law? Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi karena hal tersebut akan menyalahi prinsip demokrasi partisipatif. Kita semua tahu, suatu keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR berlaku erga omnes. Kita tahu bahwa tiap keputusan negara ada konsekuensi recht fictie yang berarti semua orang dianggap tahu hukum. Bagaimana mungkin kita bisa mematuhi sesuatu yang kita sendiri tidak dipahami juntrungannya?

Karena itu memperjuangkan ketidakberlakuan RUU Omnibus law wajib hukumnya. Pemerintah harus menyadari bahwa rakyat adalah bagian penting dalam negara, maka jangan berjalan sendiri. Presiden dalam banyak kesempatan menyampaikan Omnibus law dibuat untuk rakyat sehingga harapannya agar dapat diselesaikan segera. Bahkan terbaru target Omnibus law rampung dalam 100 hari kerja. Namun, yang kita tidak boleh lupa ialah Omnibus law ini satu peraturan yang sungguh sangat besar dan dahsyat dampaknya.

Kita tidak boleh menyepelekan harmonisasi sekitar 79 UU dan 1.229 pasal ke dalam satu payung hukum saja. Kita harus belajar dari bagaimana perubahan revisi UU KPK yang memakan waktu hanya sekitar 12 hari. Pasca revisi terjadi perubahan atau pergeseran yang signifikan dalam pemberantasan korupsi Indonesia. UU KPK itu secara praktikal tidak bertaji menjerat pelaku korupsi sehingga lubang impunitas kembali menganga. Pada hal sebelumnya, pelbagai potensi masalah telah disuarakan publik dengan meminta penghentian proses revisi. Dalam Omnibus law adalah petunjuk yang sama. Tujuan Presiden sangat baik, tetapi itu saja tidak cukup.

Tidak boleh tergesa-gesa karena Omnibus law berisi hal yang substansial. Kali ini, kita tidak boleh kalah seperti dalam drama revisi UU KPK. Persoalan prinsipil dari sisi lingkungan, ketenagakerjaan, hingga penegakan hukum terdampak Omnibus law harus menjadi konsentrasi penuh. Kalau kita sekilas membikin perbandingan, sebetulnya yang hendak diharmonisasi dalam Omnibus law ini sudah ada undang-undang sektoral untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat selama ini terkait persoalan-persoalan di atas. Undang-undang Ketenagakerjaan sebagai contoh, masih menghormati buruh dengan memberi upah minimum dan hak-hak ketenagakerjaan yang kini terancam dihilangkan dalam Omnibus law.

Begitu pula, pelaku perusak lingkungan dihukum pidana supaya ada detterent effect. Namun, Omnibus law ini seperti memangkas atau menggampangkan masalah yang ada dengan dalil investasi. Menurut penulis, publik sangat rasional dan tidak menolak perubahan. Deretan pasal Omnibus law harus memancarkan maksud sebenarnya. Apakah Omnibus law akan menjadi baik secara substansi atau malah memburuk? Kita perlu duduk bersama untuk membongkar nilai di dalamnya.

Semoga DPR tidak terburu-buru dalam membahas Omnibus law ini, tetapi membuka pintu keterlibatan masyarakat. Menurut penulis, ini juga momentum bagi DPR untuk kembali mendudukan marwahnya sebagai lembaga perwakilan rakyat lagi setelah kegagalannya dalam revisi UU KPK.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Artikel

MK Selamatkan KPK

Pemerintahan Jokowi-Maaruf Amin memiliki cita rasa tersendiri. Kuatnya arus oligarki politik bermain di sekeliling istana. Membuat suara-suara rakyat hilang tak terdengar. Semua atas kehendak penguasa. “Saya tak ada beban lagi!”.

Ironisnya, makna ucapan Jokowi itu bukan untuk mempertahankan yang baik. Membuang yang berkinerja jelek. Walhasil dari segi pemberantasan korupsi, KPK menjadi tumbal penguasa. Melemahkan KPK melalui proses “legislasi kilat”. Tok! Revisi UU KPK berlaku.

Perubahan UU Nomor 30Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah mempu menghilangkan taring KPK. Ibarat singa ompong, KPK tidak mampu lagi menggigit penguasa. Yah, bila Anda melawan! Kami berhentikan. Kurang lebih itulah yang dialami Kompol Rosa Purbo Bekti. Penyidik KPK yang berprestasi, tetapi tidak dikehendaki oleh penguasa.

Putusan MK Pro Pemberantasan Korupsi

Kini, harapan seluruh rakyat Indonesia berada dipundak 9 Hakim Mahkamah Konstitusi. Nafas panjang penolakan revisi UU KPK telah meninggalkan catatan kelam. Bangsa yang katanya demokratis sudah meninggalkan suara rakyatnya. Beberapa pejuang antikorupsi telah berpulang. Nama Yusuf-Randi telah abadi di gedung KPK. Tanda pengingat bahwa demi Indonesia Bersih, kaum muda siap untuk mati.

Babak baru perjuangan menolak revisi UU KPK kembali bergemah. Harapan Perpu Penyelematan KPK dari Presiden Jokowi tak kunjung nampak. Mahkamah Konstitusi menjadi harapan terakhir para penjuang antikorupsi. Salah satu lembaga negara yang juga lahir dari rahim reformasi.

Bila menelusuri rekam jejak putusan Mahkamah Konstitusi terkait isu pemberantasan korupsi. Maka harapan menyelamatkan KPK sangatlah besar. Pertama, KPK berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Penguatan kewenangan  KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109/PUU-XIII/2015.

Kedua, MK tegaskan KPK berwenang menuntut kasus korupsi dan pencucian uang. Mahkamah berpendapat bahwa penuntut umum merupakan satu kesatuan sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau bertugas di KPK adalah sama. Kemudian demi peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, penuntut oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke kejaksaan negeri. Apalagi tindak pidana pencucian uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Demikianlah pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 77/PUU-XII/2014.

Ketiga, mantan napi koruptor tidak boleh langsung mencalonkan Kepala Daerah. Sebagaimana dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, menyatakan Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, Pasal 7 ayat 2 huruf g berbunyi (a) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa. (b) Bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. (c) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Mengabulkan Permohonan

Dalam konteks uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Para pemohon diantaranya Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, Moch Jasin, Abdul Fickar Hadjar dengan kuasa hukum bang Feri Amsari. Adapun permohonan para pemohon agar Hakim MK menyatakan UU KPK baru cacat hukum.

UU Nomor 19 Tahun 2019 yang digodok secepat kilat ini, pembuatannya tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 serta Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Sebagai masyarakat yang gerah terhadap laku korupsi pasti sepakat. Bahwa revisi UU KPK sangat sarat kepentingan para penguasa dan korporasi.

Sehingga harapan satu-satunya tinggallah Mahkamah Konstitusi. Para Hakim MK yang merupakan sosok negarawan sejati, tentu akan selalu berdiri memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Menyelamatkan negara dari para oligar-oligar korup. Demi terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD NKRI Tahun 1945.

Jupri, S.H., M.H. Pegiat Anti-korupsi, Akademisi FH Universitas Ichsan Gorontalo  dan Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 12 Februari 2020.

Artikel

CPI Ditengah Pelemahan KPK

Transparency International Indonesia kembali merilis Corruption Perception Index 2019. Seluruh  media maupun pegiat anti-korupsi se-Indonesia tertuju pada momentum kali ini. Hal yang wajar, di tengah menguatnya semangat pemberantasan korupsi. Telah terjadi persekongkolan melemahkan KPK lewat revisi UU.

Menariknya adalah Corruption Perception Index Indonesia justru mengalami kenaikan 2 poin. Bila pada tahun 2018 CPI Indonesia menduduki skor 38 dengan ranking 89 dari 180 negara. Maka, pada tahun 2019, skornya 40 dengan ranking 85 dari 180 negara. Khusus untuk negara-negara ASEAN, berada pada peringkat ke-4 mengungguli Thailand, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja, Laos dan Timor Leste. Akan tetapi, masih jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura.

Meluruskan Pemahaman

Mungkin pemerintah merasa bangga akan capaian Ini. Apalagi dengan berlakunya Undang-Undang KPK yang baru. Di saat yang sama, Indonesia naik ke posisi 85 dari 180 negara yang disurvei. Apakah ini pertanda revisi UU KPK menguatkan pemberantasan korupsi?

Tentu jawabannya TIDAK!! Kita keliru bila naiknya CPI dikaitkan dengan sukses revisi UU KPK. Sebab survei Transparency International sudah lama berjalan sebelum lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2019. Apalagi di akhir-akhir kepemimpinan KPK Jilid IV, banyak melakukan gebrakan. Misalnya, memeja-hijaukan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan Operasi Tangkap Tangan pasca pelantikan pimpinan KPK baru? Bukankah revisi UU KPK telah berlaku. Yah betul, revisi UU KPK telah berlaku. Hal itulah penyebab kerja-kerja penggeledahan KPK di kantor PDI Perjuangan terhambat. Revisi UU KPK terbukti ampuh melemahkan KPK yang dikenal tidak pandang bulu dalam pemberantasan korupsi.

Mengalami Penurunan

Melemahkan KPK lewat revisi undang-undang akhirnya terasa. Publik yang dihebohkan dengan OTT di awal kepemimpinan Firli Cs, ternyata mengalami anti-klimaks. Saling lempar kesalahan pun terjadi. Pimpinan KPK berdalih, penggeledahan di kantor PDI Perjuangan terhambat karena belum adanya izin Dewan Pengawas KPK. Meski pernyataan itu kemudian dibantah Tumpak Hatorangan Panggabean di program Mata Najwa bertema “Menakar Nyali KPK”.

Terlepas dari itu semua, penulis melihat bahwa hadirnya Dewan Pengawas KPK telah memperlambat kerja pemberantasan korupsi. Pertama, adanya Dewas cenderung melahirkan dualisme kepemimpinan di KPK. Tuduhan ini mendasar bila kita mengacu kepada tugas dan kewenangan Dewas. Misalnya memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/ atau penyitaan (vide: Pasal 37B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019).

Dalam konteks OTT KPK terhadap Komisioner KPU, penyidik KPK tidak bisa berbuat banyak. Izin penggeledahan tak kunjung turun. Operasi tangkap tangan yang sejatinya diikuti dengan upaya pengeledahan dan penyitaan tidak bisa dilakukan. Walhasil Dewas KPK kini menjelma menjadi Dewa di KPK.

Kedua, Dewan Pengawas telah bertindak sebagai aparat penegak hukum. Dewas telah memasuki ranah pro justicia. Padahal idealnya Dewas tidak boleh memiliki kewenangan tersebut. Berbeda halnya dengan penggeledahan harus seizin ketua Pengadilan. Karena ketua Pengadilan adalah Hakim, yang tentunya juga berwenang menilai apakah penggeledahan yang dilakukan oleh penegak hukum sah atau tidak.

Pelemahan dari sisi “menghancurkan” marwah KPK pun massif dilakukan dari internal. Pertama, mengubah budaya zero tolerance corruption. Misalnya menjaga nilai integritas setiap KPK melakukan kegiatan di daerah. Mulai dari KPK Jilid I-IV tidak pernah terdengar pegawai atau pimpinan KPK diantar jemput oleh panitia pelaksana, apalagi disambut nan dijamuh oleh pejabat daerah. Makanya kami di kalangan aktivis, biasa menyebutnya pola “Jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar”.

Kedua, telah terjadi “Operasi Bersih Bersih”. Ditengah sorotan publik terhadap kepemimpinan Firli Cs yang tak bernyali. Terjadi operasi “dadakan” mengembalikan Jaksa KPK (Yadyn dan Sugeng ) ke institusi asal. Padahal telah menjadi rahasia umum, bahwasanya Jaksa Yadyn mengetahui betul kasus suap Caleg PDI Perjuangan. Dari segi masa tugas pun di KPK belumlah usai.

Pembenahan Ke Depan

Oleh sebab itu, untuk meningkatkan Corruption Perception Index Indonesia ke depan. Sekjend Tranparency International Indonesia mas Dadang Trisasongko mengharapkan Indonesia wajib pembenahan. Pertama, revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kedua, percepat reformasi di lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, modernisasi UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir, aturan donasi politik dan konflik kepentingan.

Sedangkan tawaran penulis adalah mendorong Mahkamah Konstitusi menyelamatkan KPK lewat putusan pro pemberantasan korupsi. Mengabulkan permohonan Uji Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Agar Komisi Pemberantasan Korupsi kembali ke khitahnya.

 

Jupri, S.H., M.H. Pegiat Anti-korupsi, Akademisi FH Universitas Ichsan Gorontalo  dan Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 6 Februari 2020.

Artikel

UU KPK Terbukti Menghambat Kinerja Pemberantasan Korupsi

Revisi UU KPK yang dikhawatirkan akan menghambat kinerja pemberantasan korupsi telah terbukti kini. Dalam dua peristiwa Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pekan pertama tahun 2020 ini, KPK tidak mampu bertindak menggunakan kewenangan hukumnya melakukan penggeledahan dan penyitaan guna kepentingan pembuktian. KPK tumpul melancarkan aksi geledah dan sita terhadap orang atau benda sebagaimana terhadap kantor DPP PDIP dan khususnya lagi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku yang diduga terkait perkara rasuah.

OTT pertama dilakukan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada Selasa, 7 Januari 2020. Saiful ditetapkan tersangka bersama Kadis PU Bina Marga dan SDA Sidoarjo Sunarti Setyaningsih, PPK di Dinas PU Bina Marga dan SDA Sidoarjo Judi Tetrahastoto, dan Kabag ULP Sanadjihitu Sangaji karena diduga menerima suap untuk memenangkan pemberi suap dari pihak swasta dalam proyek infra-struktur di Kab. Sidoarjo. Ibnu Ghopur dan Totok Sumedi disebut KPK sebagai pemberi suap.

Sedangkan, OTT kedua berhasil menjerat Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan pada Rabu, 8 Januari 2020. Wahyu diduga menerima suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari PDIP. Ia ditersangkakan bersama mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina sebagai penerima suap. Sedangkan, Saeful bersama-sama dengan Harun Masiku sebagai pemberi suap.

Tidak Diakomodir

Secara khusus, kasus suap Wahyu Setiawan dapat dikatakan terjadi karena ada kepentingan yang tidak diakomodir. Kepentingan dimaksud milik Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR PAW pasca meningalnya Nazarudin Kiemas. Kiemas merupakan pemilik suara terbanyak di daerah pemilihan Sumatera Selatan I pada Pemilihan Legislatif 2019 lalu.

Sayangnya, menurut peraturan yang ada, PAW Kiemas jatuh pada calon anggota DPR yang memperoleh suara sah terbanyak berikutnya dari Parpol yang sama dan Dapil yang sama. Sederhananya, KPU bakal menetapkan pemilik suara kedua terbanyak, dalam hal ini KPU telah menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Kiemas, apalagi suara Harun hanya di posisi kelima.

Namun Harun bersama PDI Perjuangan lebih menginginkan dirinya bukan Riezky. Tiga permohonan sudah dilayangkan ke KPU soal preferensi Parpol akan Harun. Namun, KPU tetap pada pendirian dan keputusannya sehingga upaya Harun sia-sia. Tak putus harapan, Harun memberanikan diri mencari peruntungan lewat menyuap Wahyu dengan harapan keputusan tersebut bisa diubah. Barang bukti suap Wahyu senilai Rp 600 juta diamankan KPK. Angka ini selisih Rp300 juta dari harga yang ditawarkan Wahyu sebelumnya yakni Rp900 juta.

Tiga surat permohonan itu secara resmi ditandatangani Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDI Perjuangan. Hasto disinyalir turut terseret dalam pusaran kasus. Bukti-bukti mengarah kepadanya. Karena itu, penyidik beralih mengejar Hasto. Sayangnya, ditengarai Hasto telah dilindungi pihak tertentu.

Pincang

Begitu gamblang menyimpulkan penegakan hukum korupsi pincang pasca berlakunya revisi UU KPK dilihat dari dua perkara OTT ini. Kepincangan di sini ialah suatu kondisi tidak adanya keseimbangan untuk menegakan hukum secara optimal. Pertama, kinerja penyidik KPK mengalami perlambatan. Usai OTT Wahyu, meski penyidik hanya berniat menyegel kantor DPP PDI Perjuangan dengan memasang KPK line pun tidak bisa karena tidak dilengkapi surat izin. Hal yang sama, apalagi terhadap upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan. Syamsudin Haris, salah satu Dewan Pengawas membantah mereka tidak segera memberi izin. Menurutnya, justru Dewan Pengawas menunggu sejak tanggal 9 Januari, tetapi izin baru diajukan KPK pada Jumat, 10 Januari malam hari.

Bagaimanapun juga, Penulis menilai penyidik dan Dewan Pengawas dalam hal ini berfokus pada birokrasi perizinan sehingga membikin repot dan bertele-tele eksekusinya. Semua ini sebagai akibat berlakunya UU KPK hasil revisi (UU No. 19 Tahun 2019), yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pengawas masuk dalam ranah pro justitia. Idealnya, pro justitia dilakukan hanya oleh aparat penegak hukum, bukan Dewan Pengawas. Menurut UU, Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Sejak awal, penolakan terhadap pembentukan Dewan Pengawas dan kewenangannya telah disuarakan dengan alasan utama yakni kewenangan yang diberikan masuk dalam ranah projustitia sehingga dikhawatirkan menghambat proses penegakan hukum. Dengan wewenang itu, Dewan Pengawas bisa dikatakan paling berwenang menentukan masa depan suatu perkara. Kini keraguan itu terbukti. Selain tentu saja, Dewan ini dinilai tidak sesuai dengan konsep lembaga negara independen.

Kedua, rentang waktu yang lama rentan menyebabkan hilangnya barang bukti. Lagi-lagi rentang waktu dipengaruhi proses perizinan sehingga upaya paksa tidak segera dilakukan. Penggeledahan dan penyitaan di DPP PDIP belum juga dilaksanakan hingga hari ini tanggal 14 Januari 2020.

Siapa yang menjamin bukti-bukti yang mungkin bisa membuka tabir korupsi elektoral lebih masif lagi raib? Atau, siapa yang bisa menjamin, skenario lain justru diciptakan oknum atau pihak tertentu untuk menghilangkan bukti-bukti atau melindungi diri? Pelajaran paling penting dari keteledoran ini yakni kaburnya Harun ke luar negeri.

Padahal UU pra revisi memberikan keleluasaan bagi penyidik untuk mengeksplorasi wilayah dan orang yang terindikasi berkaitan dengan suatu perkara dalam waktu yang relatif singkat dan tuntas. Terlebih lagi dalam suatu OTT, UU tersebut membantu mengefektifkan penyidik memperoleh bukti dan menciduk pelaku atau pihak terkait yang diduga turut terlibat untuk dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Ketiga, kepincangan selanjutnya ialah adanya dugaan impunitas. UU KPK oleh kaum pro revisi diproyeksikan menjadi suatu aturan yang mencegah kesewenang-wenangan KPK. Ternyata keliru, UU ini praktiknya jelas-jelas melindungi oknum tertentu. Sebagaimana informasi yang beredar luas, penyidik KPK berusaha meringkus Hasto hingga ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Penyidik justru diduga ditangkap oleh sekelompok polisi bahkan dipaksa melakukan tes urine. Seolah-olah mereka ini terduga kejahatan narkotika.

Apa yang dilakukan petugas keamanan itu, barangkali menghambat proses hukum dan tentu saja melindungi Hasto. Di samping itu, menjadi pertanyaan tersendiri pula, mengapa Hasto tidak saja ditetapkan sebagai tersangka jika bukti permulaan telah cukup keterlibatannya dalam kasus ini? Apakah telah berlangsung impunitas dalam kasus ini dilakukan baik oleh aparat keamanan juga Pimpinan KPK? Semoga tidak.

Pembatalan UU

Menurut hemat Penulis, solusi terbaik untuk mencegah kegagalan penegakan hukum korupsi dalam jangka panjang ke depan berkaca dari dua praktik OTT ini adalah pembatalan UU No. 19 Tahun 2019. Pembatalan UU bisa dilakukan melalui dua hal. Pertama, Perppu KPK. Perppu yang menjadi wilayah kekuasaan Presiden bisa dilakukan untuk jangka pendek. Oleh karena, Perppu akan melalui mekanisme persetujuan DPR. Kedua, pembatalan melalui mekanisme uji materiil.

Saat ini, UU tersebut sedang dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ada begitu cukup alasan bagi majelis hakim konstitusi untuk membatalkan UU tersebut. UU ini lahir dari kesewenang-wenangan pembentuk UU yakni Pemerintah dan DPR untuk melindungi diri dari jeratan rasuah. Alih-alih untuk membenahi KPK, malah mengakibatkan kesemrawutan penegakan hukum. Penulis dalam tulisan berjudul “Perppu yang Menyelamatkan” telah menjabarkan kekurangan dari revisi UU KPK. (Baca: Perppu yang Menyelamatkan)

Pertama, dari sisi konteks politik, revisi UU KPK semacam proyek kolektif DPR dan Pemerintah dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita. Kedua, secara norma prosedur pembentukan undang-undang, sejumlah pelanggaran telah terbukti dilakukan pembentuk undang-undang sendiri yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum.

Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain: KPK bukan lembaga independen; pegawai KPK berstatus ASN; Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas; Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum; dan seterusnya.

Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda. Ditinjau dari sisi keabsahan filosofis, yuridis dan sosiologis dari pada pembentukan undang-undang, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Dari sisi filosofis, UU KPK baru tidak pada ruh spirit antikorupsi yang tinggi. Dan, terkesan persoalan korupsi mudah diselesaikan dengan cara-cara biasa.

Secara yuridis, dengan berkaca pada problematika prosedur dan substansinya, kita bisa menarik benang merah, UU ini telah didesain untuk tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi secara holistik. Terakhir, pada tataran sosial kemasyarakatan (sosiologis), UU ini bukan jerih payah rakyat tetapi elite. Rakyat tidak membutuhkan UU yang koruptif dan berpihak pada perlindungan penguasa. Aksi #ReformasiDikorupsi bukti atas hal tersebut.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Hukumonline.com edisi 22 Januari 2020, dengan judul “UU KPK Terbukti Menghambat Kinerja Pemberantasan Korupsi

 

Artikel

Diskon Hukuman Koruptor dan Komitmen MA

Di saat negeri ini masih dilanda duka akibat revisi UU KPK yang secara nyata mengerdilkan kelembagaan KPK dan agenda pemberantasan korupsi, kita malah disuguhkan dengan kabar memprihatinkan berupa diskon besar-besaran hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung. Idrus Marham yang notabene salah seorang koruptor proyek pembangunan PLTU Riau-1 dengan nilai suap Rp 2,25 miliar dikurangi sanksinya dari semula 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan (vide putusan PT DKI) turun menjadi 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan (vide putusan kasasi MA).

Gerangan dalil majelis hakim yang dipimpin Krisna Harahap (Ketua) beranggotakan Abdul Latief dan Suhadi ialah bahwa Idrus bukan unsur penentu yang berwenang mengambil putusan proyek tersebut. Bagi saya alasan hukum ini masih kurang kuat sebagai justifikasi memberi diskon sanksi hukuman untuk koruptor. Saya yakin bahwa dalam suatu perbuatan sekelas kejahatan korupsi, agaknya sulit menerima seorang elite politik sebagai bukan faktor penentu. Artinya, faktor Idrus selaku elite politik dalam konteks relasi kuasa atau wewenang ini kuat sebagai elemen kunci dimulainya perbuatan korupsi politik.Faktor Idrus memikat seorang pengusaha besar seperti pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo mau mengeluarkan uang miliaran untuk memenangkan proyeknya. Dengan cara pandangan dan pertanyaan lain, bagaimana bila proyek ini benar-benar bisa jatuh ke tangan Kotjo berkat seorang Idrus? Apakah korupsi yang tidak diketahui dan diproses bukan korupsi? Bukankah prosesnya terkorupsi?

Maka, saya lebih sependapat dengan pandangan hakim ikonik MA yang pernah menjadi momok menakutkan bagi koruptor yakni Artidjo Alkostar. Menurut Artidjo, korupsi yang berkualifikasi korupsi politik modus operandi dan implikasinya lebih komplek dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik. Korupsi politik memiliki dampak negatif yang merusak tata kehidupan negara dan melanggar hak dasar rakyat di negara yang bersangkutan.

Lebih lanjut, ia mengatakan korupsi politik mengindikasikan ada penyalahgunaan amanat, mandat, kewenangan yang dipercayakan oleh rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam negara demokrasi. Korupsi politik dilakukan oleh pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan yang melekat kepada kedudukan dan posisi sosial politik yang ada padanya. Penyalahgunaan posisi strategis pelaku korupsi politik berdampak pada bidang politik, ekonomi, hukum dan pendidikan sosial yang negatif bagi rakyat. Karena itu, mestinya Idrus dihukum pidana maksimum.

Kurang Komitmen

Menelusuri vonis MA dalam kurun waktu yang belum lama selama ini, terlihat dengan jelas lembaga kehakiman tertinggi ini kurang dalam soal komitmen anti-korupsi. Kesimpulan singkat ini didukung dengan bukti-bukti berupa maraknya diskon vonis hukuman koruptor. Praktik diskon atau menyunat hukuman koruptor tersebut terjadi dalam beberapa kasus besar dan menarik masyarakat yang melibatkan elite politik, penguasa kakap dan aparat penegak hukum. Misalnya, dalam kasus eks mantan hakim MK Patrialis Akbar, eks Ketua DPD RI Irman Gusman, politisi Angelina Sondakh, eks anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi, pengusaha Choel Mallarangeng, dan advokat OC Kaligis.

Tak hanya mengurangi, MA bahkan berani melepaskan dan membebaskan mantan terdakwa kasus korupsi yang terbukti secara sah dan meyakinkan dalam pemeriksaan di tingkat yudex factie dan yudex yuris (PN dan PT). Misalnya, dalam perkara eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (lepas), eks Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir (bebas) dan yang paling terbaru eks Direktur Keuangan Pertamina Federick ST Siahaan (lepas).Bukti empirik lain adalah catatan penelitian ICW perihal vonis ringan koruptor masih terjadi hingga 2018. Pada 2018, besaran vonis rerata di semua tingkat yakni pengadilan tingkat pertama (PN), pengadilan tingkat banding (PT), dan tingkat kasasi/PK (MA) adalah 2 tahun 5 bulan. Angka ini hanya meningkat sedikit (baca: 3 bulan) dari rata-rata vonis pada 2017 yakni 2 tahun 2 bulan. Saya melihat MA tidak hanya ramah terhadap koruptor, tetapi juga gagal menciptakan keadilan dalam kasus korupsi.

Tentu tidak salah memperhatikan hak dan keadilan para pelaku. Tetapi, dalam perspektif korban korupsi, MA belakangan ini kembali merangkak. Tahun ini, dari beberapa kasus diproyeksikan tren vonis ringan masih melaju, apalagi tidak ada kejutan yang positif sama sekali.Masyarakat awam seringkali tidak menyadari korupsi sangat merugikan mereka karena dampaknya tidak terasa dengan cepat dan langsung tertuju pada individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat tersebut. Oleh karenanya, mereka tidak segera menuntut pelakunya dihukum dan supaya ada penggantian kerugian atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku. Tetapi, bahwa korupsi itu merusak secara sistematis dan menyeluruh ke seluruh lini kehidupan bukan lagi isapan jempol belaka.

Problem riil dari korupsi hanya menunggu waktu saja korban berjatuhan. Korupsi menimbulkan kemiskinan, ketidakadilan, dan terputusnya harapan hidup yang lebih baik. Korupsi mengakibatkan kematian, kerusakan lingkungan, kriminalitas meningkat dan dekadensi moral serta masih banyak lagi dampaknya yang telah fenomena umum dewasa ini. Lembaga pengadilan dan para hakimnya punya peran penting dalam hal memberikan keadilan bagi rakyat dalam kasus korupsi.

Pemaknaan tugas pengadilan dan para hakim di era modern telah bergeser tidak lagi menjadi sekedar penganut paham corong/mulut undang-undang (bouche de la loi), tetapi mulut dari keadilan rakyat, mulut bagi kemanfaatan hukum orang banyak. Hal ini sesungguhnya makna irah-irah putusan “demi keadilan” dalam setiap putusan hakim.Bertepatan dengan momentum Hari Anti Korupsi Internasional (Hakordia) 9 Desember, pelbagai lika-liku dunia penegakan hukum korupsi telah dilalui kiranya perlu untuk ditinjau ulang. Hakordia bertujuan untuk membangun kesadaran dan komitmen anti-korupsi yang diejahwantahkan dalam pengabdian dan karya. Saya melihat tantangan bagi para hakim terkhusus lagi MA ke depan adalah bagaimana menjawab keadilan dari setiap bunyi palu yang diketuk dalam perkara-perkara korupsi.

Untuk menuju ke sana, hakim harus lebih berani menyelami rasa keadilan dan kemanfaatan hukum di akar rumput, tidak melulu berhadapan dengan pasal-pasal mati, lebih kreatif dan inovatif, dan dengan argumentasi-argumentasi yang berbobot. Zaman berubah, kejahatan canggih, hakim harus menjadi motor perubahan. Saya yakin hakim bukan kaum gampangan memberikan diskon. Kalau hakim gampangan, MA mudah memberi potongan, jangan-jangan ada judicial corruption? Semoga tidak demikian.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Detik.com edisi 13 Desember 2019, dengan judul “Diskon Hukuman Koruptor dan Komitmen MA

Artikel

Perppu yang Menyelamatkan

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) seyogianya bukan lagi opsi terakhir bagi Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan bangsa ini dari rongrongan oligarkhi.

Publik masih terus berkabung atas pembunuhan KPK, tetapi di tangan Presiden duka cita bisa menjadi suka cita atau kematian bisa menjadi kebangkitan/kehidupan baru. Melalui Perppu-lah keselamatan KPK dan penegakan hukum korupsi bangsa ini sangat mungkin terjadi.

State of Exception

Kewenangan Presiden menetapkan Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Dalam perspektif hukum konstitusi, Perppu merupakan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif (president’s legislative power).

Perppu praksis dianggap sebagai suatu produk hukum yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal (state of exception) yaitu suatu keadaan di mana negara dihadapkan pada ancaman hidup atau mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan (Scheppele, 2004: 1004).

Hingga kini, Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila syarat kegentingan memaksa telah terpenuhi (pandangan subyektif) dengan wajib memperhatikan 3 (tiga) kriteria obyektif sebagaimana tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, yaitu: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Syarat Terpenuhi

Menurut saya, syarat Presiden menerbitkan Perppu KPK telah terpenuhi dengan beberapa alasan. Pertama, dilihat dari konteks politik dimulainya revisi UU KPK, yakni konteks bagaimana sikap seluruh anggota DPR dan/atau fraksi partai politik di Senayan bersepakat terhadap perubahan UU KPK. Sebenarnya, mendukung atau menolak revisi UU KPK oleh siapapun tidak masalah. Yang bermasalah adalah revisi itu semacam proyek kolektif seluruh anggota DPR dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita.

Usulan revisi UU KPK tersebut kemudian dikebut pembahasannya sehingga hanya dalam kurun waktu 12 hari saja sudah disahkan. Hal ini terkesan seperti kinerja DPR melampaui kebiasaannya yang sering lamban dan agak kemalas-malasan merespon kebutuhan masyarakat. Benar saja! Walaupun telah rajin bekerja, DPR tidak pandai membaca mana yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat. Tetapi memang karena ini adalah hajatan komunal DPR untuk memproteksi dirinya atau kroni-kroninya di masa depan dari jeratan pasal-pasal anti-rasuah.

Kedua, praksis DPR melakukan pelanggaran serius terhadap norma prosedur pembentukan undang-undang. Dalam konteks prosedur, secara gamblang kita bisa melihat pelanggaran dilakukan sejak tahapan pembahasan hingga pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK. Norma prosedur yang jelas dilanggar dalam hal ini, yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum. Pengambilan keputusan harus 50% plus 1 yang berarti dari 560 anggota DPR wajib 281 anggota hadir, tapi faktanya hanya 80 orang anggota DPR di pembukaan sidang dan 102 orang dalam pengesahan. Walaupun dalam daftar kehadiran terdapat 289 orang anggota DPR. Semestinya, kehadiran dimaknai secara fisik bukan tanda tangan saja, karena ini berkaitan dengan perbuatan hukum masing-masing anggota.

Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak awal, DPR berangkat dari pemikiran bahwa aspek penguatan pencegahan korupsi akan menyelesaikan persoalan korupsi. DPR naif apabila menyalahkan KPK dalam hal kurangnya pencegahan. Sebab pencegahan bukan hanya kewajiban KPK atau lembaga penegak hukum, tetapi juga semua lembaga dan pejabat negeri ini.

Menurut catatan ICW per 15 September 2019, sepanjang 2015 – 2019 terdapat 254 legislator atau mantan legislator pusat dan daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Artinya, di parlemen baik pusat maupun daerah belum membangun sistem pencegahannya sendiri dan tidak pernah mau belajar untuk merubah diri. Pada hal ketika berbicara dalam politik penanggulangan korupsi, aspek pemberantasan korupsi itu terdiri dari pencegahan, penindakan dan peran serta masyarakat.

Ternyata ini hanya akal bulus DPR semata. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain:

  1. KPK bukan lembaga independen;
  2. Pegawai KPK merupakan ASN;
  3. Pimpinan KPK bukan penanggungjawab tertinggi;
  4. Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, tetapi syarat menjadi DP gampang;
  5. Penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas;
  6. Dewan pengawas boleh menjabat profesi lain;
  7. Dewan Pengawas bisa dari aparat penegak hukum aktif yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun;
  8. Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum;
  9. Penyelidik tidak boleh melarang seseorang ke luar negeri;
  10. Penyadapan tidak boleh dilakukan pada tahap penuntutan;
  11. OTT semakin sulit karena soal birokrasi penyadapan;
  12. Adanya ketentuan yang bisa disalahpahami tugas KPK hanya pencegahan;
  13. Penuntutan wajib koordinasi Kejaksaan Agung;
  14. Adanya resiko kriminalisasi pegawai KPK terkait penyadapan;
  15. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun yang tentu saja menyulitkan penanganan perkara lintas negara;
  16. Hilangnya kewenangan menangani perkara yang meresahkan publik;
  17. Kewenangan supervisi berkurang;
  18. Tidak dilakukannya penguatan dari aspek pencegahan terkait pelaporan LHKPN,
  19. Tertutupnya kesempatan generasi muda menjadi pimpinan KPK karena harus berumur minimal 50 tahun), dst (vide. rilis KPK & masyarakat anti-korupsi).

Dari norma-norma hasil revisi di atas, kita dapat melihat bahwa UU KPK baru memuat norma pelemahan KPK karena mengamputasi semua kewenangannya dan memperkecil ruang penegakan hukum korupsi. Selain itu, bila ditelaah dalam konteks pencegahan, maka sama sekali tidak terlihat penguatan dari aspek pencegahan sebagaimana didengungkan DPR. Artinya, memang ini semua proyek membuka tabir kejahatan korupsi lebih luas.

Dengan instrumen hukum seperti ini, alih-alihan memberantas korupsi, KPK periode lima tahun ke depan bisa tidak bekerja optimal baik dalam ranah pencegahan maupun penindakan. Karena spirit UU KPK baru tidak mencerminkan suatu prinsip korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga perlu ditanggulangi dengan cara yang luar biasa pula (extra ordinary treatment). Pun tidak membangun suatu budaya anti-korupsi di dalam masyarakat karena mempersepsikan korupsi bukan suatu kejahatan yang perlu diperangi bersama secara serius.

Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Kita semua adalah pengkritik sekaligus saksi bahwa revisi UU KPK dikritik dan ditolak habis-habisan oleh berbagai elemen masyarakat. Realitanya memang selepas revisi UU KPK disahkan suasana semakin mencekam di tengah masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda.

Kalau bukan soal kecurigaan terhadap proses revisi dan muatan materi yang disinyalir melemahkan KPK serta upaya menggagalkan agenda pemberantasan korupsi, maka semua bentuk perlawanan rakyat dalam gerakan bertajuk “demokrasi dikorupsi” hanyalah tindakan yang sia-sia. Urgensi penolakan ini karena produk legislasi yang disahkan hanya merepresentasikan kehendak (will) dan kepentingan (interestelite semata. Pengesahan UU KPK itu seperti mengumumkan pemenang proyek melindungi koruptor.

Bila keempat alasan di atas di pandang dari aspek keabsahan filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan peraturan perundang-undangan, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Suatu undang-undang yang dianggap sah dari sisi filosofis bila nilai-nilai, pandangan-pandangan, atau cita-cita di dalamnya sesuai dengan yang dianut masyarakat dan negara tersebut.

Kita menyongsong era reformasi dengan semangat pemberantasan korupsi dan pendirian KPK. Dengan harapan besar, korupsi dibumihanguskan. Kita tidak menganut nilai mentoleransikan korupsi atau membentuk oligarkhi untuk menguasai jabatan dan sumber-sumber ekonomi. UU KPK baru tidak bernafaskan semangat pemberantasan korupsi yang tinggi dan berpotensi tidak berdaya menghadapi pengerukan kekayaan di sektor sumber daya alam, dan lain sebagainya.

Dari sisi yuridis, mestinya suatu undang-undang itu mengatasi persoalan di masyarakat guna menjamin tercapainya cita-cita hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Secara eksplisit kita bisa melihat persoalan prosedur dan substansi UU KPK baru sebagaimana telah dijelaskan di atas. UU KPK baru tidak menyelesaikan silang sengkarut persoalan korupsi dan penegakan korupsi. UU ini tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Sedangkan, sisi sosiologis menitikberatkan pada bagaimana undang-undang itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Faktanya, revisi UU KPK telah menimbulkan gejolak di masyarakat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ada suatu keadaan genting yang memaksa dari sisi pemberantasan korupsi sehingga Presiden harus menerbitkan Perppu KPK.

Realisasi Janji

Jika Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Perppu KPK, maka sebetulnya di samping menjadi penyelamat juga merealisasikan janjinya terhadap penguatan KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Pertama, dilihat dari sisi Nawacita. Selaku Presiden yang berkuasa dimulai kurang lebih lima tahun lalu bersama Jusuf Kalla, pria yang akrab disapa Jokowi ini telah berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia untuk “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya” (vide. Nawacita poin 4).

Keteguhannya masih terlihat sama beberapa waktu lalu, tetapi belakangan sungguh dirindukan. Dalam hitungan hari lagi, ia akan mengakhiri periode pertamanya memimpin Indonesia. Pembunuhan KPK adalah sebuah tragedi bila tidak diselamatkan. Maka, Perppu bisa menjadi legasi manis Jokowi menutup detik terakhir kekuasaannya terhadap komitmen Nawacita-nya.

Kedua, menggenapi janji menerbitkan Perppu itu sendiri. Setelah sebelumnya didahului demonstrasi berjilid-jilid dari mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah, pada tanggal 26 September 2019 Presiden berinisiatif mengundang dan menggelar pertemuan dengan para tokoh bangsa di Istana Negara untuk membahas khusus terkait isu terkini bangsa salah satunya adalah mengenai revisi UU KPK.

Pasca pertemuan tersebut, Presiden memberikan isyarat segera menerbitkan Perppu terhadap pengesahan revisi UU KPK yang kontroversial itu. Namun, memasuki pekan kedua Perppu KPK itu tak tiba jua. Dalam konteks yang lain, Jokowi semakin dekat dengan periode keduanya. Kita semua bisa memproyeksikan komitmen anti-korupsi Jokowi dengan indikator keberpihakannya terhadap penguatan lembaga anti-rasuah dan keingingan publik agar korupsi tetap diberantas sampai ke akar-akarnya.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Hukumonline.com edisi 14 Oktober 2019, dengan judul “Perppu yang Menyelamatkan

Artikel

Revisi UU KPK: Amputasi dan Impunitas

Dalam perspektif extra-ordinary treatment terhadap extra-ordinary crime, revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) merupakan proses pengamputasian terhadap KPK secara kelembagaan sekaligus membuka ruang impunitas bagi koruptor. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat Reformasi dan alasan di balik pendirian KPK.

Seperti diketahui, setelah kita berhasil meruntuhkan Orde Baru, dalam rangka pengentasan korupsi, pemerintah awal era Reformasi membangun perangkat norma hukum untuk membentuk ekosistem pemberantasan korupsi. Adapun beberapa norma yang telah dikeluarkan yaitu TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN; UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Norma-norma tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa KPK secara sadar diciptakan karena tindak pidana korupsi meluas dalam masyarakat dan meningkat tiap tahun dari sisi jumlah kasus dan jumlah kerugian negara dengan kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat (vide penjelasan UU KPK). Sementara itu, pemberantasannya belum dapat dilaksanakan secara optimal. Lembaga pemerintah (baca: kepolisian dan kejaksaan) ditambah pengadilan yang menangani korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi (vide diktum).

KPK lantas mampu menembus ruang-ruang gelap yang selama ini luput dari pandangan mata aparat penegak hukum lain. Di tangan KPK banyak kasus-kasus besar terungkap dan masih terus diproses. Sebut saja BLBI, bailout Bank Century, Hambalang, E-KTP, dan lainnya. Pelaku yang terjerat bahkan dari kalangan anggota parlemen, menteri, pejabat BUMN, aparat penegak hukum, kepala daerah, serta pihak swasta lainnya. Semua ini telah menjadi cause célèbre selama ini membuktikan keberadaan KPK menjadi sangat penting.

Belum Waktunya

Kita bukan tidak menginginkan perbaikan atau perubahan di tubuh KPK. Dengan mengingat pernyataan bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, dapat dipahami kondisi psikologi banyak pihak baik pemerintah, politisi/politikus, pemerhati/praktisi hukum, ahli politik, penggiat korupsi, penggiat HAM, sosiolog, masyarakat sipil, bahkan koruptor sendiri. Jangan-jangan dengan wewenang yang besar itu, KPK juga melanggar hukum dengan bertindak sewenang-wenang selama ini.

Dilihat dari perspektif UU KPK, setiap tindakan KPK wajib dilakukan dengan level kehati-hatian yang tinggi dan wajib beralasan hukum kuat, karena konsekuensinya yang sangat besar. Oleh karena itu, kita tetap setuju KPK perlu evaluasi kinerja, hanya saja tingkat merevisi UU KPK belum waktunya. Jangan lupa, KPK bisa setiap saat ditiadakan, jika penegak hukum lainnya yaitu jaksa, polisi, dan hakim sudah bisa diandalkan dalam pemberantasan korupsi. Kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum ini sudah kian tinggi (Indrayana, 2009). Menurut saya terhadap kekurangan KPK saat ini penanganannya dapat diperbaiki melalui instrumen koreksi yang ada seperti pengawas internal dan pengujian di pengadilan.

Kehilangan Jati Diri

Menurut saya, terdapat tiga kemungkinan besar dampak dari merevisi UU KPK yang akan ditanggung pada masa mendatang. Pertama, secara perlahan-lahan KPK menjadi “macan ompong” atau lembaga pemberantasan korupsi yang tidak bisa memberantas korupsi. Kita bisa memeriksa kebenarannya dari poin-poin RUU KPK, antara lain: (1) KPK bukan lagi lembaga negara independen; (2) pembentukan Dewan Pengawas KPK yang diisi unsur pemerintah dan DPR; (3) KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); (4) Penyadapan dan penyitaan KPK harus atas izin Dewan Pengawas; (5) Penyelidik KPK wajib dari kepolisian dan penyidik wajib dari kejaksaan dan kepolisian, artinya KPK dilarang mengangkat penyelidik dan penyidik independen; (6) Penuntutan di KPK harus dengan koordinasi Kejaksaan Agung; (7) Umur penanganan perkara dibatasi hanya boleh satu tahun.

Sinyalemen yang ditangkap dari poin-poin revisi ini sebetulnya adalah bahwa KPK hanya boleh bertindak memberantas korupsi jika diperintah atau diperbolehkan oleh kekuasaan lain. Di samping itu, hal yang terlampau penting lagi dari pesan yang dikirim dari proses ini adalah bahwa korupsi telah dipersepsikan sama dengan kejahatan biasa sehingga pemberantasannya boleh dilakukan secara biasa pula. Maka, kinerja pemberantasan korupsi sama dengan bekerja ABS (Asal Bapak Senang), kiranya sudah cukup menjadi laporan kinerja yang baik.

Kedua, secara ekstrem diproyeksikan tentang pembubaran KPK. Kita paham betul bagaimana cara berpikir elite negeri ini bahwa KPK adalah lembaga ad-hoc yang superbody dengan cara kerja yang tidak sesuai dengan semangat ekonomi para elite. Kehadiran KPK telah menghambat perekonomian oknum aparat penegak hukum, pejabat negara, dan penyelenggara negara yang korup serta pihak terkait lain yang hendak mencari keuntungan dari bertindak korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Bila RUU KPK baru menjadi UU, korupsi di level kakap bisa saja tidak ditindak. Bagaimana tidak, yang duduk dalam jajaran KPK adalah orang-orang yang punya kepentingan terhadap kue korupsi baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada yang benar-benar independen karena aparatus adalah hasil relasi kekuasaan. Meskipun terjadi tindakan yang diduga sebagai korupsi, penindakannya wajib izin tuannya terlebih dahulu.

Ketiga, dengan mempreteli begitu banyak kewenangan KPK, berpotensi membuka tabir impunitas mengangga lebih lebar sehingga akan melahirkan orang atau kelompok korup yang tidak tersentuh hukum walaupun telah melanggar hukum dan merusak nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat. Terhadap hal tersebut, KPK tidak bisa mendeteksi dini adanya korupsi karena kewenangan penyadapannya telah dicabut. KPK tidak mampu menuntaskan suatu kasus karena dibatasi tenggat waktu satu tahun kendatipun kasus tersebut mempunyai suatu kompleksitas atau kerumitannya yang membutuhkan pengumpulan alat-alat bukti dan koordinasi yang cukup menyita waktu. Bisa saja KPK masih bertugas menangkapi pencuri uang rakyat, tetapi mudah pula melepaskan karena KPK mengobral SP3.

Dari tiga perspektif dampak di atas, kita kemudian perlu bergegas menuju satu pertanyaan kunci apakah masih ada urgensi keberadaan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi? Dari kacamata extra-ordinary treatment, maka tidak ada lagi alasan KPK eksis untuk membantu lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam memberantas korupsi. KPK tak ubahnya dengan lembaga-lembaga konvensional ini. KPK kehilangan jati dirinya sebagai suatu lembaga khusus. Lain halnya ketika yang direvisi bukanlah kewenangan yang menjadi taring KPK.

Jangan Dipaksakan

RUU KPK jangan dipaksakan lajunya. Kita perlu melihat permasalahan secara menyeluruh. Apakah memang tindakan revisi memiliki ratio decidendi (alasan keputusan) yang kuat atau pra-kondisi sebagai syarat telah terpenuhi? Menurut hemat saya, masih jauh bagai bumi dan langit. Faktanya lembaga-lembaga lain belum maksimal berbenah dan berprestasi lebih baik juga. KPK yang mengambil peran sebagai trigger mechanism belum dijadikan role model bagi lembaga lain. Malahan KPK masih menangkap dan memproses aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang terlibat kasus korupsi. Begitu pun soal fenomena korupsi yang melahirkan KPK tak kunjung surut.

Saya teringat, lima tahun lalu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji dalam Nawacita poin 4 (empat) bahwa “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Janji kampanye tersebut membawa harapan kuat bahwa pemerintahan baru yang terbentuk akan mendukung sepenuhnya agenda pemberantasan korupsi. Namun, ironisnya Presiden sendiri belum bersuara terhadap RUU KPK ini.

Ditambah lagi, di tengah arus penolakan hasil seleksi Capim KPK 2019–2024 yang begitu deras, Presiden nekat menyerahkan sepuluh nama calon pimpinan KPK kepada DPR untuk diuji dan dipilih. Sementara itu, DPR yang semestinya menjadi wakil rakyat tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Ukurannya sederhana, mayoritas rakyat masih menaruh harapan yang besar kepada KPK untuk memberangus koruptor, tetapi mayoritas pula fraksi di DPR menyetujui revisi. Hal ini menampakkan bahwa revisi UU KPK adalah kepentingan para anggota DPR dan kroninya.

KPK yang kuat secara kelembagaan dan dari aspek kepercayaan masyarakat masih didukung berada di garda depan perlawanan, dan DPR telah mengkhianati kepercayaan masyarakat. Maka, harapan kita adalah Presiden menolak revisi UU KPK. Caranya gampang, jangan mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) yang menyetujui pembahasan RUU KPK. Mungkin ini perbuatan paling mulia yang dilakukan Presiden untuk menutup periode pertamanya dengan menempati janji memperkuat KPK dan untuk mencegah berkuasanya koruptor.

 

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di detik.com edisi 9 September 2019, dengan judul “Revisi UU KPK: Amputasi dan Impunitas.”

1 2 3 4 5
Donasi