Hubungi Kami
Artikel

MK Selamatkan KPK

Pemerintahan Jokowi-Maaruf Amin memiliki cita rasa tersendiri. Kuatnya arus oligarki politik bermain di sekeliling istana. Membuat suara-suara rakyat hilang tak terdengar. Semua atas kehendak penguasa. “Saya tak ada beban lagi!”.

Ironisnya, makna ucapan Jokowi itu bukan untuk mempertahankan yang baik. Membuang yang berkinerja jelek. Walhasil dari segi pemberantasan korupsi, KPK menjadi tumbal penguasa. Melemahkan KPK melalui proses “legislasi kilat”. Tok! Revisi UU KPK berlaku.

Perubahan UU Nomor 30Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah mempu menghilangkan taring KPK. Ibarat singa ompong, KPK tidak mampu lagi menggigit penguasa. Yah, bila Anda melawan! Kami berhentikan. Kurang lebih itulah yang dialami Kompol Rosa Purbo Bekti. Penyidik KPK yang berprestasi, tetapi tidak dikehendaki oleh penguasa.

Putusan MK Pro Pemberantasan Korupsi

Kini, harapan seluruh rakyat Indonesia berada dipundak 9 Hakim Mahkamah Konstitusi. Nafas panjang penolakan revisi UU KPK telah meninggalkan catatan kelam. Bangsa yang katanya demokratis sudah meninggalkan suara rakyatnya. Beberapa pejuang antikorupsi telah berpulang. Nama Yusuf-Randi telah abadi di gedung KPK. Tanda pengingat bahwa demi Indonesia Bersih, kaum muda siap untuk mati.

Babak baru perjuangan menolak revisi UU KPK kembali bergemah. Harapan Perpu Penyelematan KPK dari Presiden Jokowi tak kunjung nampak. Mahkamah Konstitusi menjadi harapan terakhir para penjuang antikorupsi. Salah satu lembaga negara yang juga lahir dari rahim reformasi.

Bila menelusuri rekam jejak putusan Mahkamah Konstitusi terkait isu pemberantasan korupsi. Maka harapan menyelamatkan KPK sangatlah besar. Pertama, KPK berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Penguatan kewenangan  KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109/PUU-XIII/2015.

Kedua, MK tegaskan KPK berwenang menuntut kasus korupsi dan pencucian uang. Mahkamah berpendapat bahwa penuntut umum merupakan satu kesatuan sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau bertugas di KPK adalah sama. Kemudian demi peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, penuntut oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke kejaksaan negeri. Apalagi tindak pidana pencucian uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Demikianlah pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 77/PUU-XII/2014.

Ketiga, mantan napi koruptor tidak boleh langsung mencalonkan Kepala Daerah. Sebagaimana dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, menyatakan Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, Pasal 7 ayat 2 huruf g berbunyi (a) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa. (b) Bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. (c) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Mengabulkan Permohonan

Dalam konteks uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Para pemohon diantaranya Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, Moch Jasin, Abdul Fickar Hadjar dengan kuasa hukum bang Feri Amsari. Adapun permohonan para pemohon agar Hakim MK menyatakan UU KPK baru cacat hukum.

UU Nomor 19 Tahun 2019 yang digodok secepat kilat ini, pembuatannya tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 serta Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Sebagai masyarakat yang gerah terhadap laku korupsi pasti sepakat. Bahwa revisi UU KPK sangat sarat kepentingan para penguasa dan korporasi.

Sehingga harapan satu-satunya tinggallah Mahkamah Konstitusi. Para Hakim MK yang merupakan sosok negarawan sejati, tentu akan selalu berdiri memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Menyelamatkan negara dari para oligar-oligar korup. Demi terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD NKRI Tahun 1945.

Jupri, S.H., M.H. Pegiat Anti-korupsi, Akademisi FH Universitas Ichsan Gorontalo  dan Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 12 Februari 2020.

Artikel

CPI Ditengah Pelemahan KPK

Transparency International Indonesia kembali merilis Corruption Perception Index 2019. Seluruh  media maupun pegiat anti-korupsi se-Indonesia tertuju pada momentum kali ini. Hal yang wajar, di tengah menguatnya semangat pemberantasan korupsi. Telah terjadi persekongkolan melemahkan KPK lewat revisi UU.

Menariknya adalah Corruption Perception Index Indonesia justru mengalami kenaikan 2 poin. Bila pada tahun 2018 CPI Indonesia menduduki skor 38 dengan ranking 89 dari 180 negara. Maka, pada tahun 2019, skornya 40 dengan ranking 85 dari 180 negara. Khusus untuk negara-negara ASEAN, berada pada peringkat ke-4 mengungguli Thailand, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja, Laos dan Timor Leste. Akan tetapi, masih jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura.

Meluruskan Pemahaman

Mungkin pemerintah merasa bangga akan capaian Ini. Apalagi dengan berlakunya Undang-Undang KPK yang baru. Di saat yang sama, Indonesia naik ke posisi 85 dari 180 negara yang disurvei. Apakah ini pertanda revisi UU KPK menguatkan pemberantasan korupsi?

Tentu jawabannya TIDAK!! Kita keliru bila naiknya CPI dikaitkan dengan sukses revisi UU KPK. Sebab survei Transparency International sudah lama berjalan sebelum lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2019. Apalagi di akhir-akhir kepemimpinan KPK Jilid IV, banyak melakukan gebrakan. Misalnya, memeja-hijaukan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan Operasi Tangkap Tangan pasca pelantikan pimpinan KPK baru? Bukankah revisi UU KPK telah berlaku. Yah betul, revisi UU KPK telah berlaku. Hal itulah penyebab kerja-kerja penggeledahan KPK di kantor PDI Perjuangan terhambat. Revisi UU KPK terbukti ampuh melemahkan KPK yang dikenal tidak pandang bulu dalam pemberantasan korupsi.

Mengalami Penurunan

Melemahkan KPK lewat revisi undang-undang akhirnya terasa. Publik yang dihebohkan dengan OTT di awal kepemimpinan Firli Cs, ternyata mengalami anti-klimaks. Saling lempar kesalahan pun terjadi. Pimpinan KPK berdalih, penggeledahan di kantor PDI Perjuangan terhambat karena belum adanya izin Dewan Pengawas KPK. Meski pernyataan itu kemudian dibantah Tumpak Hatorangan Panggabean di program Mata Najwa bertema “Menakar Nyali KPK”.

Terlepas dari itu semua, penulis melihat bahwa hadirnya Dewan Pengawas KPK telah memperlambat kerja pemberantasan korupsi. Pertama, adanya Dewas cenderung melahirkan dualisme kepemimpinan di KPK. Tuduhan ini mendasar bila kita mengacu kepada tugas dan kewenangan Dewas. Misalnya memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/ atau penyitaan (vide: Pasal 37B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019).

Dalam konteks OTT KPK terhadap Komisioner KPU, penyidik KPK tidak bisa berbuat banyak. Izin penggeledahan tak kunjung turun. Operasi tangkap tangan yang sejatinya diikuti dengan upaya pengeledahan dan penyitaan tidak bisa dilakukan. Walhasil Dewas KPK kini menjelma menjadi Dewa di KPK.

Kedua, Dewan Pengawas telah bertindak sebagai aparat penegak hukum. Dewas telah memasuki ranah pro justicia. Padahal idealnya Dewas tidak boleh memiliki kewenangan tersebut. Berbeda halnya dengan penggeledahan harus seizin ketua Pengadilan. Karena ketua Pengadilan adalah Hakim, yang tentunya juga berwenang menilai apakah penggeledahan yang dilakukan oleh penegak hukum sah atau tidak.

Pelemahan dari sisi “menghancurkan” marwah KPK pun massif dilakukan dari internal. Pertama, mengubah budaya zero tolerance corruption. Misalnya menjaga nilai integritas setiap KPK melakukan kegiatan di daerah. Mulai dari KPK Jilid I-IV tidak pernah terdengar pegawai atau pimpinan KPK diantar jemput oleh panitia pelaksana, apalagi disambut nan dijamuh oleh pejabat daerah. Makanya kami di kalangan aktivis, biasa menyebutnya pola “Jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar”.

Kedua, telah terjadi “Operasi Bersih Bersih”. Ditengah sorotan publik terhadap kepemimpinan Firli Cs yang tak bernyali. Terjadi operasi “dadakan” mengembalikan Jaksa KPK (Yadyn dan Sugeng ) ke institusi asal. Padahal telah menjadi rahasia umum, bahwasanya Jaksa Yadyn mengetahui betul kasus suap Caleg PDI Perjuangan. Dari segi masa tugas pun di KPK belumlah usai.

Pembenahan Ke Depan

Oleh sebab itu, untuk meningkatkan Corruption Perception Index Indonesia ke depan. Sekjend Tranparency International Indonesia mas Dadang Trisasongko mengharapkan Indonesia wajib pembenahan. Pertama, revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kedua, percepat reformasi di lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, modernisasi UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir, aturan donasi politik dan konflik kepentingan.

Sedangkan tawaran penulis adalah mendorong Mahkamah Konstitusi menyelamatkan KPK lewat putusan pro pemberantasan korupsi. Mengabulkan permohonan Uji Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Agar Komisi Pemberantasan Korupsi kembali ke khitahnya.

 

Jupri, S.H., M.H. Pegiat Anti-korupsi, Akademisi FH Universitas Ichsan Gorontalo  dan Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 6 Februari 2020.

Artikel

UU KPK Terbukti Menghambat Kinerja Pemberantasan Korupsi

Revisi UU KPK yang dikhawatirkan akan menghambat kinerja pemberantasan korupsi telah terbukti kini. Dalam dua peristiwa Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pekan pertama tahun 2020 ini, KPK tidak mampu bertindak menggunakan kewenangan hukumnya melakukan penggeledahan dan penyitaan guna kepentingan pembuktian. KPK tumpul melancarkan aksi geledah dan sita terhadap orang atau benda sebagaimana terhadap kantor DPP PDIP dan khususnya lagi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku yang diduga terkait perkara rasuah.

OTT pertama dilakukan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada Selasa, 7 Januari 2020. Saiful ditetapkan tersangka bersama Kadis PU Bina Marga dan SDA Sidoarjo Sunarti Setyaningsih, PPK di Dinas PU Bina Marga dan SDA Sidoarjo Judi Tetrahastoto, dan Kabag ULP Sanadjihitu Sangaji karena diduga menerima suap untuk memenangkan pemberi suap dari pihak swasta dalam proyek infra-struktur di Kab. Sidoarjo. Ibnu Ghopur dan Totok Sumedi disebut KPK sebagai pemberi suap.

Sedangkan, OTT kedua berhasil menjerat Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan pada Rabu, 8 Januari 2020. Wahyu diduga menerima suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari PDIP. Ia ditersangkakan bersama mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina sebagai penerima suap. Sedangkan, Saeful bersama-sama dengan Harun Masiku sebagai pemberi suap.

Tidak Diakomodir

Secara khusus, kasus suap Wahyu Setiawan dapat dikatakan terjadi karena ada kepentingan yang tidak diakomodir. Kepentingan dimaksud milik Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR PAW pasca meningalnya Nazarudin Kiemas. Kiemas merupakan pemilik suara terbanyak di daerah pemilihan Sumatera Selatan I pada Pemilihan Legislatif 2019 lalu.

Sayangnya, menurut peraturan yang ada, PAW Kiemas jatuh pada calon anggota DPR yang memperoleh suara sah terbanyak berikutnya dari Parpol yang sama dan Dapil yang sama. Sederhananya, KPU bakal menetapkan pemilik suara kedua terbanyak, dalam hal ini KPU telah menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Kiemas, apalagi suara Harun hanya di posisi kelima.

Namun Harun bersama PDI Perjuangan lebih menginginkan dirinya bukan Riezky. Tiga permohonan sudah dilayangkan ke KPU soal preferensi Parpol akan Harun. Namun, KPU tetap pada pendirian dan keputusannya sehingga upaya Harun sia-sia. Tak putus harapan, Harun memberanikan diri mencari peruntungan lewat menyuap Wahyu dengan harapan keputusan tersebut bisa diubah. Barang bukti suap Wahyu senilai Rp 600 juta diamankan KPK. Angka ini selisih Rp300 juta dari harga yang ditawarkan Wahyu sebelumnya yakni Rp900 juta.

Tiga surat permohonan itu secara resmi ditandatangani Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDI Perjuangan. Hasto disinyalir turut terseret dalam pusaran kasus. Bukti-bukti mengarah kepadanya. Karena itu, penyidik beralih mengejar Hasto. Sayangnya, ditengarai Hasto telah dilindungi pihak tertentu.

Pincang

Begitu gamblang menyimpulkan penegakan hukum korupsi pincang pasca berlakunya revisi UU KPK dilihat dari dua perkara OTT ini. Kepincangan di sini ialah suatu kondisi tidak adanya keseimbangan untuk menegakan hukum secara optimal. Pertama, kinerja penyidik KPK mengalami perlambatan. Usai OTT Wahyu, meski penyidik hanya berniat menyegel kantor DPP PDI Perjuangan dengan memasang KPK line pun tidak bisa karena tidak dilengkapi surat izin. Hal yang sama, apalagi terhadap upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan. Syamsudin Haris, salah satu Dewan Pengawas membantah mereka tidak segera memberi izin. Menurutnya, justru Dewan Pengawas menunggu sejak tanggal 9 Januari, tetapi izin baru diajukan KPK pada Jumat, 10 Januari malam hari.

Bagaimanapun juga, Penulis menilai penyidik dan Dewan Pengawas dalam hal ini berfokus pada birokrasi perizinan sehingga membikin repot dan bertele-tele eksekusinya. Semua ini sebagai akibat berlakunya UU KPK hasil revisi (UU No. 19 Tahun 2019), yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pengawas masuk dalam ranah pro justitia. Idealnya, pro justitia dilakukan hanya oleh aparat penegak hukum, bukan Dewan Pengawas. Menurut UU, Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Sejak awal, penolakan terhadap pembentukan Dewan Pengawas dan kewenangannya telah disuarakan dengan alasan utama yakni kewenangan yang diberikan masuk dalam ranah projustitia sehingga dikhawatirkan menghambat proses penegakan hukum. Dengan wewenang itu, Dewan Pengawas bisa dikatakan paling berwenang menentukan masa depan suatu perkara. Kini keraguan itu terbukti. Selain tentu saja, Dewan ini dinilai tidak sesuai dengan konsep lembaga negara independen.

Kedua, rentang waktu yang lama rentan menyebabkan hilangnya barang bukti. Lagi-lagi rentang waktu dipengaruhi proses perizinan sehingga upaya paksa tidak segera dilakukan. Penggeledahan dan penyitaan di DPP PDIP belum juga dilaksanakan hingga hari ini tanggal 14 Januari 2020.

Siapa yang menjamin bukti-bukti yang mungkin bisa membuka tabir korupsi elektoral lebih masif lagi raib? Atau, siapa yang bisa menjamin, skenario lain justru diciptakan oknum atau pihak tertentu untuk menghilangkan bukti-bukti atau melindungi diri? Pelajaran paling penting dari keteledoran ini yakni kaburnya Harun ke luar negeri.

Padahal UU pra revisi memberikan keleluasaan bagi penyidik untuk mengeksplorasi wilayah dan orang yang terindikasi berkaitan dengan suatu perkara dalam waktu yang relatif singkat dan tuntas. Terlebih lagi dalam suatu OTT, UU tersebut membantu mengefektifkan penyidik memperoleh bukti dan menciduk pelaku atau pihak terkait yang diduga turut terlibat untuk dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Ketiga, kepincangan selanjutnya ialah adanya dugaan impunitas. UU KPK oleh kaum pro revisi diproyeksikan menjadi suatu aturan yang mencegah kesewenang-wenangan KPK. Ternyata keliru, UU ini praktiknya jelas-jelas melindungi oknum tertentu. Sebagaimana informasi yang beredar luas, penyidik KPK berusaha meringkus Hasto hingga ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Penyidik justru diduga ditangkap oleh sekelompok polisi bahkan dipaksa melakukan tes urine. Seolah-olah mereka ini terduga kejahatan narkotika.

Apa yang dilakukan petugas keamanan itu, barangkali menghambat proses hukum dan tentu saja melindungi Hasto. Di samping itu, menjadi pertanyaan tersendiri pula, mengapa Hasto tidak saja ditetapkan sebagai tersangka jika bukti permulaan telah cukup keterlibatannya dalam kasus ini? Apakah telah berlangsung impunitas dalam kasus ini dilakukan baik oleh aparat keamanan juga Pimpinan KPK? Semoga tidak.

Pembatalan UU

Menurut hemat Penulis, solusi terbaik untuk mencegah kegagalan penegakan hukum korupsi dalam jangka panjang ke depan berkaca dari dua praktik OTT ini adalah pembatalan UU No. 19 Tahun 2019. Pembatalan UU bisa dilakukan melalui dua hal. Pertama, Perppu KPK. Perppu yang menjadi wilayah kekuasaan Presiden bisa dilakukan untuk jangka pendek. Oleh karena, Perppu akan melalui mekanisme persetujuan DPR. Kedua, pembatalan melalui mekanisme uji materiil.

Saat ini, UU tersebut sedang dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ada begitu cukup alasan bagi majelis hakim konstitusi untuk membatalkan UU tersebut. UU ini lahir dari kesewenang-wenangan pembentuk UU yakni Pemerintah dan DPR untuk melindungi diri dari jeratan rasuah. Alih-alih untuk membenahi KPK, malah mengakibatkan kesemrawutan penegakan hukum. Penulis dalam tulisan berjudul “Perppu yang Menyelamatkan” telah menjabarkan kekurangan dari revisi UU KPK. (Baca: Perppu yang Menyelamatkan)

Pertama, dari sisi konteks politik, revisi UU KPK semacam proyek kolektif DPR dan Pemerintah dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita. Kedua, secara norma prosedur pembentukan undang-undang, sejumlah pelanggaran telah terbukti dilakukan pembentuk undang-undang sendiri yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum.

Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain: KPK bukan lembaga independen; pegawai KPK berstatus ASN; Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas; Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum; dan seterusnya.

Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda. Ditinjau dari sisi keabsahan filosofis, yuridis dan sosiologis dari pada pembentukan undang-undang, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Dari sisi filosofis, UU KPK baru tidak pada ruh spirit antikorupsi yang tinggi. Dan, terkesan persoalan korupsi mudah diselesaikan dengan cara-cara biasa.

Secara yuridis, dengan berkaca pada problematika prosedur dan substansinya, kita bisa menarik benang merah, UU ini telah didesain untuk tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi secara holistik. Terakhir, pada tataran sosial kemasyarakatan (sosiologis), UU ini bukan jerih payah rakyat tetapi elite. Rakyat tidak membutuhkan UU yang koruptif dan berpihak pada perlindungan penguasa. Aksi #ReformasiDikorupsi bukti atas hal tersebut.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Hukumonline.com edisi 22 Januari 2020, dengan judul “UU KPK Terbukti Menghambat Kinerja Pemberantasan Korupsi

 

Artikel

Diskon Hukuman Koruptor dan Komitmen MA

Di saat negeri ini masih dilanda duka akibat revisi UU KPK yang secara nyata mengerdilkan kelembagaan KPK dan agenda pemberantasan korupsi, kita malah disuguhkan dengan kabar memprihatinkan berupa diskon besar-besaran hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung. Idrus Marham yang notabene salah seorang koruptor proyek pembangunan PLTU Riau-1 dengan nilai suap Rp 2,25 miliar dikurangi sanksinya dari semula 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan (vide putusan PT DKI) turun menjadi 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan (vide putusan kasasi MA).

Gerangan dalil majelis hakim yang dipimpin Krisna Harahap (Ketua) beranggotakan Abdul Latief dan Suhadi ialah bahwa Idrus bukan unsur penentu yang berwenang mengambil putusan proyek tersebut. Bagi saya alasan hukum ini masih kurang kuat sebagai justifikasi memberi diskon sanksi hukuman untuk koruptor. Saya yakin bahwa dalam suatu perbuatan sekelas kejahatan korupsi, agaknya sulit menerima seorang elite politik sebagai bukan faktor penentu. Artinya, faktor Idrus selaku elite politik dalam konteks relasi kuasa atau wewenang ini kuat sebagai elemen kunci dimulainya perbuatan korupsi politik.Faktor Idrus memikat seorang pengusaha besar seperti pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo mau mengeluarkan uang miliaran untuk memenangkan proyeknya. Dengan cara pandangan dan pertanyaan lain, bagaimana bila proyek ini benar-benar bisa jatuh ke tangan Kotjo berkat seorang Idrus? Apakah korupsi yang tidak diketahui dan diproses bukan korupsi? Bukankah prosesnya terkorupsi?

Maka, saya lebih sependapat dengan pandangan hakim ikonik MA yang pernah menjadi momok menakutkan bagi koruptor yakni Artidjo Alkostar. Menurut Artidjo, korupsi yang berkualifikasi korupsi politik modus operandi dan implikasinya lebih komplek dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik. Korupsi politik memiliki dampak negatif yang merusak tata kehidupan negara dan melanggar hak dasar rakyat di negara yang bersangkutan.

Lebih lanjut, ia mengatakan korupsi politik mengindikasikan ada penyalahgunaan amanat, mandat, kewenangan yang dipercayakan oleh rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam negara demokrasi. Korupsi politik dilakukan oleh pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan yang melekat kepada kedudukan dan posisi sosial politik yang ada padanya. Penyalahgunaan posisi strategis pelaku korupsi politik berdampak pada bidang politik, ekonomi, hukum dan pendidikan sosial yang negatif bagi rakyat. Karena itu, mestinya Idrus dihukum pidana maksimum.

Kurang Komitmen

Menelusuri vonis MA dalam kurun waktu yang belum lama selama ini, terlihat dengan jelas lembaga kehakiman tertinggi ini kurang dalam soal komitmen anti-korupsi. Kesimpulan singkat ini didukung dengan bukti-bukti berupa maraknya diskon vonis hukuman koruptor. Praktik diskon atau menyunat hukuman koruptor tersebut terjadi dalam beberapa kasus besar dan menarik masyarakat yang melibatkan elite politik, penguasa kakap dan aparat penegak hukum. Misalnya, dalam kasus eks mantan hakim MK Patrialis Akbar, eks Ketua DPD RI Irman Gusman, politisi Angelina Sondakh, eks anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi, pengusaha Choel Mallarangeng, dan advokat OC Kaligis.

Tak hanya mengurangi, MA bahkan berani melepaskan dan membebaskan mantan terdakwa kasus korupsi yang terbukti secara sah dan meyakinkan dalam pemeriksaan di tingkat yudex factie dan yudex yuris (PN dan PT). Misalnya, dalam perkara eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (lepas), eks Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir (bebas) dan yang paling terbaru eks Direktur Keuangan Pertamina Federick ST Siahaan (lepas).Bukti empirik lain adalah catatan penelitian ICW perihal vonis ringan koruptor masih terjadi hingga 2018. Pada 2018, besaran vonis rerata di semua tingkat yakni pengadilan tingkat pertama (PN), pengadilan tingkat banding (PT), dan tingkat kasasi/PK (MA) adalah 2 tahun 5 bulan. Angka ini hanya meningkat sedikit (baca: 3 bulan) dari rata-rata vonis pada 2017 yakni 2 tahun 2 bulan. Saya melihat MA tidak hanya ramah terhadap koruptor, tetapi juga gagal menciptakan keadilan dalam kasus korupsi.

Tentu tidak salah memperhatikan hak dan keadilan para pelaku. Tetapi, dalam perspektif korban korupsi, MA belakangan ini kembali merangkak. Tahun ini, dari beberapa kasus diproyeksikan tren vonis ringan masih melaju, apalagi tidak ada kejutan yang positif sama sekali.Masyarakat awam seringkali tidak menyadari korupsi sangat merugikan mereka karena dampaknya tidak terasa dengan cepat dan langsung tertuju pada individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat tersebut. Oleh karenanya, mereka tidak segera menuntut pelakunya dihukum dan supaya ada penggantian kerugian atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku. Tetapi, bahwa korupsi itu merusak secara sistematis dan menyeluruh ke seluruh lini kehidupan bukan lagi isapan jempol belaka.

Problem riil dari korupsi hanya menunggu waktu saja korban berjatuhan. Korupsi menimbulkan kemiskinan, ketidakadilan, dan terputusnya harapan hidup yang lebih baik. Korupsi mengakibatkan kematian, kerusakan lingkungan, kriminalitas meningkat dan dekadensi moral serta masih banyak lagi dampaknya yang telah fenomena umum dewasa ini. Lembaga pengadilan dan para hakimnya punya peran penting dalam hal memberikan keadilan bagi rakyat dalam kasus korupsi.

Pemaknaan tugas pengadilan dan para hakim di era modern telah bergeser tidak lagi menjadi sekedar penganut paham corong/mulut undang-undang (bouche de la loi), tetapi mulut dari keadilan rakyat, mulut bagi kemanfaatan hukum orang banyak. Hal ini sesungguhnya makna irah-irah putusan “demi keadilan” dalam setiap putusan hakim.Bertepatan dengan momentum Hari Anti Korupsi Internasional (Hakordia) 9 Desember, pelbagai lika-liku dunia penegakan hukum korupsi telah dilalui kiranya perlu untuk ditinjau ulang. Hakordia bertujuan untuk membangun kesadaran dan komitmen anti-korupsi yang diejahwantahkan dalam pengabdian dan karya. Saya melihat tantangan bagi para hakim terkhusus lagi MA ke depan adalah bagaimana menjawab keadilan dari setiap bunyi palu yang diketuk dalam perkara-perkara korupsi.

Untuk menuju ke sana, hakim harus lebih berani menyelami rasa keadilan dan kemanfaatan hukum di akar rumput, tidak melulu berhadapan dengan pasal-pasal mati, lebih kreatif dan inovatif, dan dengan argumentasi-argumentasi yang berbobot. Zaman berubah, kejahatan canggih, hakim harus menjadi motor perubahan. Saya yakin hakim bukan kaum gampangan memberikan diskon. Kalau hakim gampangan, MA mudah memberi potongan, jangan-jangan ada judicial corruption? Semoga tidak demikian.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Detik.com edisi 13 Desember 2019, dengan judul “Diskon Hukuman Koruptor dan Komitmen MA

Artikel

Perppu yang Menyelamatkan

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) seyogianya bukan lagi opsi terakhir bagi Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan bangsa ini dari rongrongan oligarkhi.

Publik masih terus berkabung atas pembunuhan KPK, tetapi di tangan Presiden duka cita bisa menjadi suka cita atau kematian bisa menjadi kebangkitan/kehidupan baru. Melalui Perppu-lah keselamatan KPK dan penegakan hukum korupsi bangsa ini sangat mungkin terjadi.

State of Exception

Kewenangan Presiden menetapkan Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Dalam perspektif hukum konstitusi, Perppu merupakan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif (president’s legislative power).

Perppu praksis dianggap sebagai suatu produk hukum yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal (state of exception) yaitu suatu keadaan di mana negara dihadapkan pada ancaman hidup atau mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan (Scheppele, 2004: 1004).

Hingga kini, Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila syarat kegentingan memaksa telah terpenuhi (pandangan subyektif) dengan wajib memperhatikan 3 (tiga) kriteria obyektif sebagaimana tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, yaitu: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Syarat Terpenuhi

Menurut saya, syarat Presiden menerbitkan Perppu KPK telah terpenuhi dengan beberapa alasan. Pertama, dilihat dari konteks politik dimulainya revisi UU KPK, yakni konteks bagaimana sikap seluruh anggota DPR dan/atau fraksi partai politik di Senayan bersepakat terhadap perubahan UU KPK. Sebenarnya, mendukung atau menolak revisi UU KPK oleh siapapun tidak masalah. Yang bermasalah adalah revisi itu semacam proyek kolektif seluruh anggota DPR dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita.

Usulan revisi UU KPK tersebut kemudian dikebut pembahasannya sehingga hanya dalam kurun waktu 12 hari saja sudah disahkan. Hal ini terkesan seperti kinerja DPR melampaui kebiasaannya yang sering lamban dan agak kemalas-malasan merespon kebutuhan masyarakat. Benar saja! Walaupun telah rajin bekerja, DPR tidak pandai membaca mana yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat. Tetapi memang karena ini adalah hajatan komunal DPR untuk memproteksi dirinya atau kroni-kroninya di masa depan dari jeratan pasal-pasal anti-rasuah.

Kedua, praksis DPR melakukan pelanggaran serius terhadap norma prosedur pembentukan undang-undang. Dalam konteks prosedur, secara gamblang kita bisa melihat pelanggaran dilakukan sejak tahapan pembahasan hingga pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK. Norma prosedur yang jelas dilanggar dalam hal ini, yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum. Pengambilan keputusan harus 50% plus 1 yang berarti dari 560 anggota DPR wajib 281 anggota hadir, tapi faktanya hanya 80 orang anggota DPR di pembukaan sidang dan 102 orang dalam pengesahan. Walaupun dalam daftar kehadiran terdapat 289 orang anggota DPR. Semestinya, kehadiran dimaknai secara fisik bukan tanda tangan saja, karena ini berkaitan dengan perbuatan hukum masing-masing anggota.

Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak awal, DPR berangkat dari pemikiran bahwa aspek penguatan pencegahan korupsi akan menyelesaikan persoalan korupsi. DPR naif apabila menyalahkan KPK dalam hal kurangnya pencegahan. Sebab pencegahan bukan hanya kewajiban KPK atau lembaga penegak hukum, tetapi juga semua lembaga dan pejabat negeri ini.

Menurut catatan ICW per 15 September 2019, sepanjang 2015 – 2019 terdapat 254 legislator atau mantan legislator pusat dan daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Artinya, di parlemen baik pusat maupun daerah belum membangun sistem pencegahannya sendiri dan tidak pernah mau belajar untuk merubah diri. Pada hal ketika berbicara dalam politik penanggulangan korupsi, aspek pemberantasan korupsi itu terdiri dari pencegahan, penindakan dan peran serta masyarakat.

Ternyata ini hanya akal bulus DPR semata. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain:

  1. KPK bukan lembaga independen;
  2. Pegawai KPK merupakan ASN;
  3. Pimpinan KPK bukan penanggungjawab tertinggi;
  4. Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, tetapi syarat menjadi DP gampang;
  5. Penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas;
  6. Dewan pengawas boleh menjabat profesi lain;
  7. Dewan Pengawas bisa dari aparat penegak hukum aktif yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun;
  8. Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum;
  9. Penyelidik tidak boleh melarang seseorang ke luar negeri;
  10. Penyadapan tidak boleh dilakukan pada tahap penuntutan;
  11. OTT semakin sulit karena soal birokrasi penyadapan;
  12. Adanya ketentuan yang bisa disalahpahami tugas KPK hanya pencegahan;
  13. Penuntutan wajib koordinasi Kejaksaan Agung;
  14. Adanya resiko kriminalisasi pegawai KPK terkait penyadapan;
  15. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun yang tentu saja menyulitkan penanganan perkara lintas negara;
  16. Hilangnya kewenangan menangani perkara yang meresahkan publik;
  17. Kewenangan supervisi berkurang;
  18. Tidak dilakukannya penguatan dari aspek pencegahan terkait pelaporan LHKPN,
  19. Tertutupnya kesempatan generasi muda menjadi pimpinan KPK karena harus berumur minimal 50 tahun), dst (vide. rilis KPK & masyarakat anti-korupsi).

Dari norma-norma hasil revisi di atas, kita dapat melihat bahwa UU KPK baru memuat norma pelemahan KPK karena mengamputasi semua kewenangannya dan memperkecil ruang penegakan hukum korupsi. Selain itu, bila ditelaah dalam konteks pencegahan, maka sama sekali tidak terlihat penguatan dari aspek pencegahan sebagaimana didengungkan DPR. Artinya, memang ini semua proyek membuka tabir kejahatan korupsi lebih luas.

Dengan instrumen hukum seperti ini, alih-alihan memberantas korupsi, KPK periode lima tahun ke depan bisa tidak bekerja optimal baik dalam ranah pencegahan maupun penindakan. Karena spirit UU KPK baru tidak mencerminkan suatu prinsip korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga perlu ditanggulangi dengan cara yang luar biasa pula (extra ordinary treatment). Pun tidak membangun suatu budaya anti-korupsi di dalam masyarakat karena mempersepsikan korupsi bukan suatu kejahatan yang perlu diperangi bersama secara serius.

Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Kita semua adalah pengkritik sekaligus saksi bahwa revisi UU KPK dikritik dan ditolak habis-habisan oleh berbagai elemen masyarakat. Realitanya memang selepas revisi UU KPK disahkan suasana semakin mencekam di tengah masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda.

Kalau bukan soal kecurigaan terhadap proses revisi dan muatan materi yang disinyalir melemahkan KPK serta upaya menggagalkan agenda pemberantasan korupsi, maka semua bentuk perlawanan rakyat dalam gerakan bertajuk “demokrasi dikorupsi” hanyalah tindakan yang sia-sia. Urgensi penolakan ini karena produk legislasi yang disahkan hanya merepresentasikan kehendak (will) dan kepentingan (interestelite semata. Pengesahan UU KPK itu seperti mengumumkan pemenang proyek melindungi koruptor.

Bila keempat alasan di atas di pandang dari aspek keabsahan filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan peraturan perundang-undangan, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Suatu undang-undang yang dianggap sah dari sisi filosofis bila nilai-nilai, pandangan-pandangan, atau cita-cita di dalamnya sesuai dengan yang dianut masyarakat dan negara tersebut.

Kita menyongsong era reformasi dengan semangat pemberantasan korupsi dan pendirian KPK. Dengan harapan besar, korupsi dibumihanguskan. Kita tidak menganut nilai mentoleransikan korupsi atau membentuk oligarkhi untuk menguasai jabatan dan sumber-sumber ekonomi. UU KPK baru tidak bernafaskan semangat pemberantasan korupsi yang tinggi dan berpotensi tidak berdaya menghadapi pengerukan kekayaan di sektor sumber daya alam, dan lain sebagainya.

Dari sisi yuridis, mestinya suatu undang-undang itu mengatasi persoalan di masyarakat guna menjamin tercapainya cita-cita hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Secara eksplisit kita bisa melihat persoalan prosedur dan substansi UU KPK baru sebagaimana telah dijelaskan di atas. UU KPK baru tidak menyelesaikan silang sengkarut persoalan korupsi dan penegakan korupsi. UU ini tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Sedangkan, sisi sosiologis menitikberatkan pada bagaimana undang-undang itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Faktanya, revisi UU KPK telah menimbulkan gejolak di masyarakat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ada suatu keadaan genting yang memaksa dari sisi pemberantasan korupsi sehingga Presiden harus menerbitkan Perppu KPK.

Realisasi Janji

Jika Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Perppu KPK, maka sebetulnya di samping menjadi penyelamat juga merealisasikan janjinya terhadap penguatan KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Pertama, dilihat dari sisi Nawacita. Selaku Presiden yang berkuasa dimulai kurang lebih lima tahun lalu bersama Jusuf Kalla, pria yang akrab disapa Jokowi ini telah berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia untuk “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya” (vide. Nawacita poin 4).

Keteguhannya masih terlihat sama beberapa waktu lalu, tetapi belakangan sungguh dirindukan. Dalam hitungan hari lagi, ia akan mengakhiri periode pertamanya memimpin Indonesia. Pembunuhan KPK adalah sebuah tragedi bila tidak diselamatkan. Maka, Perppu bisa menjadi legasi manis Jokowi menutup detik terakhir kekuasaannya terhadap komitmen Nawacita-nya.

Kedua, menggenapi janji menerbitkan Perppu itu sendiri. Setelah sebelumnya didahului demonstrasi berjilid-jilid dari mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah, pada tanggal 26 September 2019 Presiden berinisiatif mengundang dan menggelar pertemuan dengan para tokoh bangsa di Istana Negara untuk membahas khusus terkait isu terkini bangsa salah satunya adalah mengenai revisi UU KPK.

Pasca pertemuan tersebut, Presiden memberikan isyarat segera menerbitkan Perppu terhadap pengesahan revisi UU KPK yang kontroversial itu. Namun, memasuki pekan kedua Perppu KPK itu tak tiba jua. Dalam konteks yang lain, Jokowi semakin dekat dengan periode keduanya. Kita semua bisa memproyeksikan komitmen anti-korupsi Jokowi dengan indikator keberpihakannya terhadap penguatan lembaga anti-rasuah dan keingingan publik agar korupsi tetap diberantas sampai ke akar-akarnya.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di Hukumonline.com edisi 14 Oktober 2019, dengan judul “Perppu yang Menyelamatkan

Artikel

Revisi UU KPK: Amputasi dan Impunitas

Dalam perspektif extra-ordinary treatment terhadap extra-ordinary crime, revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) merupakan proses pengamputasian terhadap KPK secara kelembagaan sekaligus membuka ruang impunitas bagi koruptor. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat Reformasi dan alasan di balik pendirian KPK.

Seperti diketahui, setelah kita berhasil meruntuhkan Orde Baru, dalam rangka pengentasan korupsi, pemerintah awal era Reformasi membangun perangkat norma hukum untuk membentuk ekosistem pemberantasan korupsi. Adapun beberapa norma yang telah dikeluarkan yaitu TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN; UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Norma-norma tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa KPK secara sadar diciptakan karena tindak pidana korupsi meluas dalam masyarakat dan meningkat tiap tahun dari sisi jumlah kasus dan jumlah kerugian negara dengan kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat (vide penjelasan UU KPK). Sementara itu, pemberantasannya belum dapat dilaksanakan secara optimal. Lembaga pemerintah (baca: kepolisian dan kejaksaan) ditambah pengadilan yang menangani korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi (vide diktum).

KPK lantas mampu menembus ruang-ruang gelap yang selama ini luput dari pandangan mata aparat penegak hukum lain. Di tangan KPK banyak kasus-kasus besar terungkap dan masih terus diproses. Sebut saja BLBI, bailout Bank Century, Hambalang, E-KTP, dan lainnya. Pelaku yang terjerat bahkan dari kalangan anggota parlemen, menteri, pejabat BUMN, aparat penegak hukum, kepala daerah, serta pihak swasta lainnya. Semua ini telah menjadi cause célèbre selama ini membuktikan keberadaan KPK menjadi sangat penting.

Belum Waktunya

Kita bukan tidak menginginkan perbaikan atau perubahan di tubuh KPK. Dengan mengingat pernyataan bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, dapat dipahami kondisi psikologi banyak pihak baik pemerintah, politisi/politikus, pemerhati/praktisi hukum, ahli politik, penggiat korupsi, penggiat HAM, sosiolog, masyarakat sipil, bahkan koruptor sendiri. Jangan-jangan dengan wewenang yang besar itu, KPK juga melanggar hukum dengan bertindak sewenang-wenang selama ini.

Dilihat dari perspektif UU KPK, setiap tindakan KPK wajib dilakukan dengan level kehati-hatian yang tinggi dan wajib beralasan hukum kuat, karena konsekuensinya yang sangat besar. Oleh karena itu, kita tetap setuju KPK perlu evaluasi kinerja, hanya saja tingkat merevisi UU KPK belum waktunya. Jangan lupa, KPK bisa setiap saat ditiadakan, jika penegak hukum lainnya yaitu jaksa, polisi, dan hakim sudah bisa diandalkan dalam pemberantasan korupsi. Kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum ini sudah kian tinggi (Indrayana, 2009). Menurut saya terhadap kekurangan KPK saat ini penanganannya dapat diperbaiki melalui instrumen koreksi yang ada seperti pengawas internal dan pengujian di pengadilan.

Kehilangan Jati Diri

Menurut saya, terdapat tiga kemungkinan besar dampak dari merevisi UU KPK yang akan ditanggung pada masa mendatang. Pertama, secara perlahan-lahan KPK menjadi “macan ompong” atau lembaga pemberantasan korupsi yang tidak bisa memberantas korupsi. Kita bisa memeriksa kebenarannya dari poin-poin RUU KPK, antara lain: (1) KPK bukan lagi lembaga negara independen; (2) pembentukan Dewan Pengawas KPK yang diisi unsur pemerintah dan DPR; (3) KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); (4) Penyadapan dan penyitaan KPK harus atas izin Dewan Pengawas; (5) Penyelidik KPK wajib dari kepolisian dan penyidik wajib dari kejaksaan dan kepolisian, artinya KPK dilarang mengangkat penyelidik dan penyidik independen; (6) Penuntutan di KPK harus dengan koordinasi Kejaksaan Agung; (7) Umur penanganan perkara dibatasi hanya boleh satu tahun.

Sinyalemen yang ditangkap dari poin-poin revisi ini sebetulnya adalah bahwa KPK hanya boleh bertindak memberantas korupsi jika diperintah atau diperbolehkan oleh kekuasaan lain. Di samping itu, hal yang terlampau penting lagi dari pesan yang dikirim dari proses ini adalah bahwa korupsi telah dipersepsikan sama dengan kejahatan biasa sehingga pemberantasannya boleh dilakukan secara biasa pula. Maka, kinerja pemberantasan korupsi sama dengan bekerja ABS (Asal Bapak Senang), kiranya sudah cukup menjadi laporan kinerja yang baik.

Kedua, secara ekstrem diproyeksikan tentang pembubaran KPK. Kita paham betul bagaimana cara berpikir elite negeri ini bahwa KPK adalah lembaga ad-hoc yang superbody dengan cara kerja yang tidak sesuai dengan semangat ekonomi para elite. Kehadiran KPK telah menghambat perekonomian oknum aparat penegak hukum, pejabat negara, dan penyelenggara negara yang korup serta pihak terkait lain yang hendak mencari keuntungan dari bertindak korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Bila RUU KPK baru menjadi UU, korupsi di level kakap bisa saja tidak ditindak. Bagaimana tidak, yang duduk dalam jajaran KPK adalah orang-orang yang punya kepentingan terhadap kue korupsi baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada yang benar-benar independen karena aparatus adalah hasil relasi kekuasaan. Meskipun terjadi tindakan yang diduga sebagai korupsi, penindakannya wajib izin tuannya terlebih dahulu.

Ketiga, dengan mempreteli begitu banyak kewenangan KPK, berpotensi membuka tabir impunitas mengangga lebih lebar sehingga akan melahirkan orang atau kelompok korup yang tidak tersentuh hukum walaupun telah melanggar hukum dan merusak nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat. Terhadap hal tersebut, KPK tidak bisa mendeteksi dini adanya korupsi karena kewenangan penyadapannya telah dicabut. KPK tidak mampu menuntaskan suatu kasus karena dibatasi tenggat waktu satu tahun kendatipun kasus tersebut mempunyai suatu kompleksitas atau kerumitannya yang membutuhkan pengumpulan alat-alat bukti dan koordinasi yang cukup menyita waktu. Bisa saja KPK masih bertugas menangkapi pencuri uang rakyat, tetapi mudah pula melepaskan karena KPK mengobral SP3.

Dari tiga perspektif dampak di atas, kita kemudian perlu bergegas menuju satu pertanyaan kunci apakah masih ada urgensi keberadaan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi? Dari kacamata extra-ordinary treatment, maka tidak ada lagi alasan KPK eksis untuk membantu lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam memberantas korupsi. KPK tak ubahnya dengan lembaga-lembaga konvensional ini. KPK kehilangan jati dirinya sebagai suatu lembaga khusus. Lain halnya ketika yang direvisi bukanlah kewenangan yang menjadi taring KPK.

Jangan Dipaksakan

RUU KPK jangan dipaksakan lajunya. Kita perlu melihat permasalahan secara menyeluruh. Apakah memang tindakan revisi memiliki ratio decidendi (alasan keputusan) yang kuat atau pra-kondisi sebagai syarat telah terpenuhi? Menurut hemat saya, masih jauh bagai bumi dan langit. Faktanya lembaga-lembaga lain belum maksimal berbenah dan berprestasi lebih baik juga. KPK yang mengambil peran sebagai trigger mechanism belum dijadikan role model bagi lembaga lain. Malahan KPK masih menangkap dan memproses aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang terlibat kasus korupsi. Begitu pun soal fenomena korupsi yang melahirkan KPK tak kunjung surut.

Saya teringat, lima tahun lalu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji dalam Nawacita poin 4 (empat) bahwa “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Janji kampanye tersebut membawa harapan kuat bahwa pemerintahan baru yang terbentuk akan mendukung sepenuhnya agenda pemberantasan korupsi. Namun, ironisnya Presiden sendiri belum bersuara terhadap RUU KPK ini.

Ditambah lagi, di tengah arus penolakan hasil seleksi Capim KPK 2019–2024 yang begitu deras, Presiden nekat menyerahkan sepuluh nama calon pimpinan KPK kepada DPR untuk diuji dan dipilih. Sementara itu, DPR yang semestinya menjadi wakil rakyat tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Ukurannya sederhana, mayoritas rakyat masih menaruh harapan yang besar kepada KPK untuk memberangus koruptor, tetapi mayoritas pula fraksi di DPR menyetujui revisi. Hal ini menampakkan bahwa revisi UU KPK adalah kepentingan para anggota DPR dan kroninya.

KPK yang kuat secara kelembagaan dan dari aspek kepercayaan masyarakat masih didukung berada di garda depan perlawanan, dan DPR telah mengkhianati kepercayaan masyarakat. Maka, harapan kita adalah Presiden menolak revisi UU KPK. Caranya gampang, jangan mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) yang menyetujui pembahasan RUU KPK. Mungkin ini perbuatan paling mulia yang dilakukan Presiden untuk menutup periode pertamanya dengan menempati janji memperkuat KPK dan untuk mencegah berkuasanya koruptor.

 

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di detik.com edisi 9 September 2019, dengan judul “Revisi UU KPK: Amputasi dan Impunitas.”

Artikel

KPK & Negeri Para Mafioso

Berbagai serangan balik (corruptors fight back) untuk melemahkan lembaga antirasuah, datang silih berganti. Mulai dari upaya menyabotase legal substance lewat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Memasukkan kuda troya di tubuh KPK. Hingga cara paling picik, menyiram mata penyidik Novel Baswedan. Peristiwa hukum yang penegakannya ikut gelap gulita.

Operasi senyap melumpuhkan KPK kembali dihembuskan oleh Parlemen. Tok” bunyi palu menandai masuknya Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam program legislasi nasional. Di tengah menguatnya energi publik menolak sejumlah Capim KPK bermasalah. Tentu, upaya revisi UU KPK bukan untuk menguatkan, melainkan melemahkan.

Melumpuhkan KPK

Terkait langkah revisi tersebut, ada upaya sistematis mematikan semangat pemberantasan korupsi. Spirit melawan para Mafioso perampok uang rakyat, dimana KPK sebagai ujung tombak perlawanan. Adapun poin-poin yang berpotensi besar melemahkan KPK yakni: Pertama, Pegawai KPK adalan PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (vide: Pasal 1 angkat 7). Artinya, bila ada pegawai yang melakukan kritik baik kepada pemerintah maupun pimpinan KPK seperti yang selama ini dilakukan oleh Wadah Pegawai KPK berpotensi untuk diberhentikan atau tidak memperpanjang perjanjian kerjanya. Walhasil Wadah Pegawai yang militan menolak dipimpin oleh orang-orang bermasalah akan tinggal kenangan.

Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “lembaga Pemerintah Pusat” yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (vide: Pasal 1 angka 3). Kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintah. Artinya, KPK tidak sederajat lagi dengan Presiden tetapi berada di “ketiak” Presiden. Maka siapa yang berkuasa, dialah pengendali KPK. Di saat yang sama, KPK ke depan juga akan lebih mudah untuk diangket oleh DPR. Bandingkan dengan UU KPK sekarang, tegas menyatakan KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Ketiga,  KPK memiliki tambahan tugas baru. Bila sebelumnya KPK hanya bertugas melakukan koordinasi, supervisi, monitoring, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam revisi Pasal 6 UU KPK ditambahkan tugas tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Konsekuensinya, banyak putusan praperadilan yang “aneh” harus dilaksanakan KPK. Contohnya putusan Praperadilan yang memerintahkan KPK menetapkan tersangka Boediono dalam perkara Bank Century dan putusan praperadilan memerintahkan KPK untuk menerbitkan SP3. Padahal kita ketahui bersama, penetapan  tersangka haruslah didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang sah, bukan berdasarkan perintah pengadilan. Termasuk perintah mengeluarkan SP3, dimana KPK tidak memiliki kewenangan untuk itu.

Keempat, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau penyelenggara negara; “dan/ atau” menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1 Miliar. Bila tidak memenuhi ketentuan Pasal 11 ayat 1, maka KPK “wajib” menyerahkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kepada Kepolisian dan/ atau Kejaksaan Agung (vide; Pasal 11 ayat 2). Artinya, KPK tidak boleh lagi menangani perkara di bawah 1 Miliar yang melibatkan penegak hukum atau penyelenggara negara. Walaupun perkara tersebut mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Sungguh ada upaya menutup ruang bagi KPK agar tidak melakukan Operasi Tangkap Tangan. Misalnya mantan ketua Partai yang juga penyelenggara negara hanya menerima suap Rp. 325 juta. Mereka terlalu sempit memaknai frasa korupsi. Ini bukan soal jumlah, tetapi soal perilaku.

Kelima, dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, KPK berwenang melakukan penyadapan. Penyitaan dan pengeledahan harus seizin Dewan Pengawas. Dewan yang dipilih oleh DPR atas usulan Presiden. Artinya KPK sudah tidak independen lagi dalam melaksanakan kewenangan di bidang penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, potensi bocornya informasi penyadapan, penyitaan dan penggeledahan juga besar.  Belum lagi, Dewan Pengawas bisa menolak izin penyadapan, penyitaan dan penggeledahan. Sudah menjadi rahasia umum, anggota DPR baling berharap menghapuskan penyadapan?

Keenam, penuntutan tindak pidana korupsi oleh KPK tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Sebagaimana Pasal 12A RUU KPK yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penuntutan, Penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Ketujuh, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Kewenangan ini berpotensi terbuka praktik “dagang sapi” dalam penangana perkara korupsi. UU KPK sekarang, tidak memberikan kewenangan KPK menerbitkan SP3, pada prinsipnya agar KPK berhati-hati dalam menetapkan tersangka.

Terakhir, menghapus Penyidik Independen KPK (vide:Pasal 45). Terlihat jelas ada upaya melumpuhkan kerja-kerja penindakan KPK. Mendesain agar KPK tergantung pada penyidik lembaga penegak hukum lain. Sekali lagi, agar KPK tidak bertaring.

Ciri Negeri Mafioso

Poin pelemahan KPK lewat revisi UU KPK di atas, merupakan serangan sistematis mematikan lembaga antirasuah. Semakin menguatkan dugaan lahirnya negeri para Mafioso meminjam istilah Denny Indrayana. Suatu negara yang menganut corak kleptokrasi. Perilaku koruptif menjadi membudaya atau dipandang lumbah. Para pengemplang pajak diampuni lewat Tax Amnesty. Pelaku perampok uang negara dilindungi atas dasar pengakuan Hak Asasi Manusia, tanpa melihat kita (rakyat) sebagai korban. “Yah” kleptokrasi, ciri pemeritahan yang dikuasai maling.  Kini KPK tumpuan kita pun akan dibumi hanguskan. Para Mafioso nan brutal akan mematikan harapan kita akan Indonesia bebas korupsi. Pada titik ini, kita yakin Presiden Jokowi pasti tampil di depan menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan sistematis. Seiya-sekata dengan Nawa Cita bahwa “Kami akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformsi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kami akan memprioritaskan pemberantasan korupsi secara konsisten”. Karena kita percaya, Indonesia bukan negeri para Mafioso.

#SaveKPK

Jupri, S.H., M.H. Dosen Unisan & Pengurus DPD KNPI Provinsi Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 7 September 2019

Artikel

Menakar Penanggulangan Korupsi dalam Kinerja Pansel KPK

Ketua Pansel Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Yenti Ganarsih mengatakan Pansel berencana akan menyerahkan 10 nama hasil seleksi kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 September 2019 seperti dikutip Antara, Jumat (9/8/2019). Penyerahan nama-nama calon Pimpinan KPK kepada Presiden merupakan amanat dari Keppres No. 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan Tahun 2019 – 2023 tertanggal 17 Mei 2019.

Tugas Pansel Capim KPK menurut Keppres huruf (f) ialah menentukan nama-nama capim KPK yang akan disampaikan kepada Presiden sebanyak dua kali jumlah Pimpinan KPK yang diperlukan sesuai undang-undang; dan huruf (g) menyampaikan nama-nama calon Pimpinan KPK sekaligus laporan pelaksanaan seleksi kepada Presiden. Ini artinya, tinggal beberapa hari lagi kita sudah mendapatkan informasi lengkap terkait sepuluh calon Pimpinan KPK Jilid V hasil akhir kerja tim Pansel.

Kesepuluh calon Pimpinan KPK di tangan Presiden nanti masih akan diserahkan kepada DPR guna melalui tahapan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), DPR  memilih calon yang diusulkan Presiden.

Merujuk pada praktik, fit and proper test adalah bagian dari proses di DPR sebelum memilih pimpinan lembaga negara definitif. Sebelum beranjak lebih jauh, adapun pertanyaan di pusaran kinerja tim Pansel adalah sejauh mana kerja-kerja Pansel menjawab semua keraguan dan kecemasan publik terhadap seleksi para calon Pimpinan KPK terdaftar selama ini?

Ada fakta yang menurut saya sangat menggelitik yaitu ketika Pansel seringkali ditanyai awak media terkait ketidakpuasan publik dan responnya adalah bahwa Pansel bekerja bukan untuk memuaskan pihak manapun. Salah satu indikator sederhananya adalah bagaimana Pansel mempertimbangkan instrumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai kriteria fakultatif yang mana justru terbalik dari semangat pencegahan korupsi.

Dengan membaca tiga beleid umum saja yang mengatur soal kewajiban LHKPN yaitu UU No. 28 Tahun 1999, UU No. 30 Tahun 2002, dan Peraturan KPK No. 07 Tahun 2016, maka kesimpulannya jelas LHKPN merupakan kewajiban hukum pejabat negara yang bersifat imperatif. Alhasil, seorang calon Pimpinan KPK mencap LHKPN sebagai suatu konsep ‘ateis’.

Padahal kita tahu bahwa LHKPN punya manfaat yang besar yaitu sejatinya merupakan instrumen untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas pejabat negara. Lalu buat apa menjaga daftar pejabat yang melanggar kewajiban hukumnya? Pansel juga lupa bahwa sesuai Keppres huruf (d) berbunyi “melakukan seleksi administrasi dan mengumumkan hasilnya untuk mendapatkan tanggapan masyarakat; dan huruf (e) melakukan seleksi kualitas dan integritas capim KPK,” di mana ada hak masyarakat untuk terlibat dalam proses ini. Benar! Pansel bertanggungjawab kepada Presiden. Akan tetapi, sebagaimana dimaksud Keppres, Pansel tidak berada dalam ruang hampa dan interaksi sosialnya adalah bersama masyarakat/publik.

Kengototan Pansel meneruskan proses dengan mengabaikan suara publik sehingga membiarkan orang-orang “bermasalah” dari sisi integritas maju terus dalam tahapan selanjutnya merupakan pengingkaran terhadap amanat tugas Pansel sendiri. Dalam konteks tanggapan masyarakat ini pula, dengan tenggat waktu yang relatif singkat ini, Pansel masih harus memenuhi beberapa tahapan lagi seperti profile assessment, wawancara dan uji publik.

Pertanyaannya, apakah Pansel tetap memberikan ruang untuk publik? Harapannya ruang itu tetap ada, sehingga Pansel dibantu dengan dukungan publik. Jika secara murni mengikuti alur target Pansel yang akan menyerahkan nama-nama calon kepada Presiden di awal bulan September mendatang, maka kemungkinan Pansel benar-benar mendengarkan penilaian publik atas kesepuluh calon atau bisa jadi jika Pansel tetap mempertahankan gaya toleransinya maka ada calon-calon rentan masuk calon terpilih.

Kita pasti berharap dengan kolaborasi yang baik, Pansel mampu menyaring sepuluh orang dengan kualitas yang sama baik dari sisi integritas, kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme personal. Kesepuluh calon mestinya mereka yang terbaik dan tidak setengah hati dalam memandang korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa yang mempunyai daya rusak sistematis dan masif, bukan malah meremehkan instrumen penanggulangan korupsi hanya soal ideologi saja yang tidak mengikat siapapun.

Menakar Penanggulangan Korupsi

Menurut hemat saya, modal utama seorang pimpinan lembaga antirasuah adalah memiliki perspektif yang paripurna tentang korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) atau korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) serta punya tekad kuat untuk menggunakan segala perangkat hukum, kebijakan, dan mampu bersinergi dengan gerakan massa dari berbagai lini masyarakat untuk menanggulangi korupsi. Semangat ini pula yang seyogianya melandasi kinerja Pansel.

Negara Indonesia sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Spirit di balik perangkat aturan seperti UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002, tidak lepas dari semangat pemberantasan korupsi secara internasional. Untuk itu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa (Artidjo Alkostar, 2013: 1-2).

Secara faktual memang pasca diberlakukan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) berdasarkan Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, mayoritas negara di dunia mengadopsi norma UNCAC dalam aturan nasionalnya. Hingga kini kurang lebih 186 negara termasuk Indonesia telah menjadi Negara Pihak dalam UNCAC.

Indonesia meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Dalam perspektif hukum perjanjian internasional, konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditandatangani, selama materi dan substansi dalam perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional (Joenadi Effendi, dkk, 2009: 350).

Kaitannya dengan ratifikasi, UNCAC memiliki nilai positif bagi Indonesia, di antaranya UNCAC memfasilitasi dan memberi akses untuk mempermudah melakukan kerja sama dengan negara-negara lain, selain itu memiliki arti penting untuk harmonisasi perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai konvensi ini (Supardi, 2018: 199).

Dalam preamble UNCAC dinyatakan secara eksplisit bahwa negara-negara pihak dalam konvensi merasa prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi.

Dari keprihatinan yang tertuang dalam UNCAC di atas, kita dapat melihat bagaimana kadar kerusakan dari kejahatan korupsi dimana tidak semata-mata menyasar sisi ekonomi masyarakat, bangsa dan negara di dunia, namun juga terhadap nilai-nilai yang tinggal dan diyakini dalam membangun peradabannya. Dengan kata lain, dampak dari kejahatan korupsi dapat dihitung secara matematis atau ekonomi sampai tidak dapat dihitung lagi. Maka, korupsi adalah kejahatan yang bersifat merusak secara sistematis dan membunuh kemanusiaan. Sebagaimana dikatakan Artidjo bahwa kejahatan luar biasa perlu cara-cara memberantas yang luar biasa. Lalu bagaimana dalam konteks ini kita memahaminya?

Lingkup penanggulangan/pemberantasan korupsi di Indonesia menurut Pasal 1 ayat (3) UU KPK mencakup upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dengan peran serta masyarakat. Bila disederhanakan, secara umum strategi pemberantasan korupsi memiliki 3 (tiga) unsur utama yaitu pencegahan, penindakan dan peran serta masyarakat. Ketiga strategi tersebut harus dilakukan secara luar biasa agar menimbulkan efek jera (deterrence effect) dalam upaya meminimalkan penyebab dan peluang bagi orang terlibat dalam urusan atau kepentingan yang korupsi.

Bila dihubungkan kembali dengan instrumen dan kebijakan seperti LHKPN hanyalah salah satu bagian dari upaya atau strategi menanggulangi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, namun penting sekali untuk diterapkan. Demikian UNCAC dalam Pasal 5 ayat (1) menegaskan agar “negara pihak  wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem  hukumnya, mengembangkan dan melaksanakan atau memelihara  kebijakan  anti korupsi  yang efektif dan terkoordinasi yang meningkatkan partisipasi masyarakat dan mencerminkan prinsip-prinsip penegakan hukum, pengelolaan urusan publik dan kekayaan publik secara baik, integritas, transparansi dan akuntabilitas; dan ayat (2) Negara Pihak wajib mengupayakan untuk membangun  dan  meningkatkan praktik-praktik yang efektif untuk tujuan pencegahan korupsi.”

Pandangan senada dari Pieter Hoefnagels dalam “The Other Side of Criminology” yang mengatakan bahwa penanggulangan (kejahatan) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass media). Maka, Pansel dalam hal ini dapat dipandang memainkan peran prevention without punishment terhadap para calon Pimpinan yang patut diduga “bermasalah.”

Siapa yang Pantas?

Sebentar lagi, kita semakin dekat melihat sosok-sosok Pimpinan KPK baru. Siapakah yang pantas dan layak? Proses dan waktu akan menjawab semuanya. Tetapi meloloskan calon yang mengabaikan kewajiban hukumnya atau memiliki rekam jejak buruk di mata publik ibarat membiarkan KPK menjemput mautnya.

Kita perlu menyadari dengan menyitir pendapat Acemoglu dan Robinson (2012), bahwa KPK seumpama institusi yang menggerakan roda kemajuan peradaban. Peradaban dimaksud ialah bahwa KPK sudah menjadi pembangun peradaban anti-korupsi bangsa dengan pelbagai usaha penanggulangan anti-korupsi selama ini. KPK dengan jalannya sendiri memajukan peradaban melalui usaha menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara, memperbaiki nilai dan norma yang carut-marut dalam tata pemerintahan dan masyarakat.

Hal-hal mendasar yang sebetulnya bila disadari masing-masing orang, maka perjuangan korupsi tidaklah seberat saat ini. Karena orang memandang korupsi adalah sebuah dosa besar dan tidak punya ruang permaafan dan pembenaran dalam nilai dan perilaku hidup bangsa Indonesia sehingga mendorong sikap dan perilaku pun berubah ke arah lebih antikorupsi.

Kita boleh mendekati penghujung kinerja Pansel tetapi keberhasilan menyeleksi orang-orang terbaik yang tidak diragukan reputasi antikorupsinya adalah keberhasilan Pansel dalam mewujudkan impian seluruh bangsa ini, sekaligus mencegah berkuasanya mereka yang buruk sikap dan perilaku di dalam sistem. Begitu pula sebaliknya bila Pansel gagal. Karena kita ketahui bersama bahwaKPK merupakan sebuah lembaga negara di mana hampir semua elit politik, parpol, birokrat maupun pemilik modal di negeri ini berkepentingan terhadapnya. Kita tidak ingin ada kepentingan politik dan ekonomi yang masuk di sana.

Seandainya ada yang kebablasan masuk dengan motif selain memberantas korupsi, maka bisa jadi lembaga penegakan hukum ini berubah menjadi lembaga penegak politik, maka babak baru korupsi politik dapat saja terjadi. Sebagaimana dikatakan Carbonell-Catilo dalam Inge Amundsen (1999:3) bahwa korupsi politik tidak hanya mengarah pada misalokasi sumber daya, tapi juga mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Korupsi politik adalah manipulasi institusi politik dan peraturan prosedur, dan karena itu mempengaruhi institusi pemerintahan dan sistem politik, dan seringkali menyebabkan peluruhan institusional.

Oleh karena itu, korupsi politik lebih dari sekadar penyimpangan dari norma hukum formal dan tertulis, dari kode etik profesi dan keputusan pengadilan. Korupsi politik adalah ketika undang-undang dan peraturan disalahpahami secara sistematis oleh penguasa, diinjak, diabaikan, atau bahkan disesuaikan agar sesuai dengan kepentingan mereka. Kita juga belum tahu apakah Pansel berhasil mendapatkan sepuluh orang yang ideal?

Namun menurut saya untuk kepentingan ini Presiden harus mempertimbangkan dan mengantisipasi mengambil tindakan yang responsif dan tepat. Apakah itu dalam kondisi kuota sepuluh orang terpenuhi atau kurang dari sepuluh orang. Tentunya, kita serahkan skema keputusan selanjutnya kepada Presiden selaku otoritas tertinggi. Yang jelas, dengan mencegah dari syarat yang ada memberikan deterrence effect bagi stakeholder atau siapapun yang punya kepentingan lain terhadap KPK.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di detik.com edisi 30 Agustus 2019, dengan judul “Menakar Penanggulangan Korupsi dalam Kinerja Pansel KPK.

Artikel

Menyabotase Pemberantasan Korupsi

Indonesia merdeka sudah 74 tahun. Usia yang sudah cukup matang dalam menata kehidupan berbangsa dan bertanah air. Namun, sampai detik ini tujuan kita bernegara belum jua terwujud. Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Api masih jauh dari panggang!

Salah satu akar persoalan, massifnya perilaku koruptif. Menggarog uang negara dari seluruh lembaga kekuasaa. Baik eksekutif, legisatif dan paling memiriskan kekuasaan yudikatif. Ia seharusnya mengadili, justru ikut menyeburkan diri dalam kubangan korupsi. Contohnya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap oknum Jaksa di Yogyakarta baru-baru ini.

Olehnya, setiap suksesi Kepala Negara. Visi pemberantasan korupsi menjadi agenda prioritas. Tak terkecuali masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Melalui kristalisasi Nawa Cita pada poin (1) menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hokum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Poin (5) membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratif dan terpercaya. Kedua poin Nawa Cita dari sembilan poin tersebut akan terealisasi, bila pemberantasan korupsi konsisten dilakukan oleh pemerintah.

Upaya Menyabotase

Berhasil tidaknya pemberantasan korupsi yang dilakukan Pemerintah, sangat ditentukan oleh hukumnya sendiri dan penegak hukumnya. Dalam teori sistem hukum yang diperkenalkan Lawrence M Friedman, kedua variabel tadi lazim disebut legal substance dan legal structure.

Upaya menyabotase dari segi legal substance terkonfirmasi dari “pemaksaan” mengsahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dimana Dewan Perwakilan Rakyat mendorong RKUHP disahkan pertengahan bulan September 2019. RKUHP yang telah memasukkan sejumlah tindak pidana khusus, yang selama ini diatur tersendiri dalam undang-undang.

Khusus delik korupsi dalam RKUHP mengalami perubahan yang sangat signifikan. Alih-alih pro pemberantasan korupsi, malah terihat jelas pro penggarong uang negara. Pertama,  jenis-jenis pidana tambahan. Adapun pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/ atau tagihan, pengumumamn putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat (Vide: Pasal 66 ayat 1 RKUHP).

Sangatlah jauh berbeda dengan pidana tambahan yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yakni perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana dari tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Pidana tambahan sebagaimana Pasal 18 UU Nomor 13 Tahun 1999 tentunya sangat pro pemberantasan korupsi. Mulai dari menganut konsep pengembalian aset (asset recovery) terlihat pada pembayaran uang pengganti dan luasnya makna perampasan barang. Di saat yang sama juga menimbulkan efek jera terhadap koruptor karena pencabutan hak termasuk penghapusan hak yang dapat diberikan kepada pemerintah kepada terpidana. Artinya adalah penghapusan hak pemberian remisi  bisa dikenakan kepada terdakwa, melalui putusan pengadilan.

Akan tetapi, bila RKUHP jadi disahkan pertengahan bulan September, maka pidana tambahan tidak berlaku bagi pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 13 UU Tipikor.  Sebab telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal-pasal tersebut mengacu ke tindak pidana korupsi dalam KUHP baru. Walhasil KPK akan tunduk pada jenis-jenis pidana yang diatur dalam Buku Kesatu KUHP tersebut.

Kedua, menghapus dan meringankan pidana denda. Ancaman pidana denda pada sejumlah pasal yang dicabut dalam UU Tipikor karena dimasukkan ke dalam RKUHP mengalami perubahan. Yakni dihapusnya denda minimum pada Pasal 11 UU Tipikor dan makin ringannya pidana denda minimum bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, menjadi denda paling sedikit 10 Juta. Padahalnya sebelumnya denda paling sedikit 200 juta dan 50 juta.

Berikutnya, upaya menyabotase dari segi legal structure. Operasi senyap melumpuhkan KPK dengan cara meloloskan capim KPK yang memiliki track record buruk. Mulai dari ketidakpatuhan dalam  pelaporkan LHKPN, dugaan menerima gratifikasi, dugaan melakukan pelanggaran kode etik saat bertugas di KPK, sampai meloloskan seseorang yang pernah menghambat kerja KPK. Anehnya lagi Pansel KPK tetap ngotot bahwa 20 nama yang lolos sangat dibutuhkan oleh KPK. Suatu ironi dalam pemberantasan korupsi.

Presiden Harus Bersikap

Pada kondisi darurat pemberantasan korupsi. Maka Presiden Jokowi selaku kepala pemerintahan harus bersikap tegas. Nawa Cita pada poin (1) dan poin (5) akan terealisasi. Caranya, Pertama Presiden kembali menunda mengsahkan RKUHP atas dasar tidak pro pemberantasan korupsi. Atau menghapus Bab Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP baru.

Kedua, mengevaluasi Pansel KPK kalau perlu melakukan perombakan. Atas dasar pertimbangan 20 capim KPK hasil seleksi, masih ada beberapa yang memiliki rekam jejak buruk tapi diloloskan. Buruknya hasil seleksi, disebabkan karena Pansel KPK memiliki konflik kepentingan. Mulai dari tenaga ahli lembaga penegak hukum lain sampai ada pansel berstatus pengacara perkara korupsi, yang kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena bagaimana mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu kotor.


JUPRI, S.H, M.H.
Dosen Unisan & Pengurus DPD KNPI Prov. Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo

Tulisan ini pertama kali terbit di Gorontalo Post edisi 29 Agustus 2019

Artikel

Lepasnya Terdakwa BLBI dan Tantangan Pemberantasan Korupsi

Butuh perjuangan panjang nan berliku untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL-BLBI) yang merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara sebesar Rp 4,58 triliun sesuai hasil audit BPK 2002. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan, namun akhirnya dihentikan. KPK kemudian mengambil alih. KPK memerlukan hampir satu dasawarsa dan melewati tiga kali periode kepemimpinan untuk menetapkan tersangka pertama yakni Syafruddin Arsyad Tumenggung, eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 25 April 2017.

Siapa sangka, pada 9 Juli 2019, KPK dan dunia antikorupsi nasional bagai dilanda sebuah bencana besar ketika mengetahui majelis kasasi MA menyatakan Syafruddin melakukan perbuatan sesuai dakwaan JPU pada KPK, namun perbuatan itu bukan merupakan pidana korupsi. Akibatnya, majelis hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana bunyi amar Putusan Kasasi No. 1555 K/PID.SUS/2019.

Hingga detik ini, publik mungkin belum percaya, bahkan salah satu Wakil Ketua KPK mengatakan aneh bin ajaib terhadap putusan tersebut. Pasalnya baru saja dua Pengadilan Tipikor sebelumnya menyatakan ia bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pertama, menurut Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dalam Dakwaan Alternatif Kesatu. Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara 13 tahun dan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan,” tertanggal 14 September 2018.

Kedua, pengadilan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, setelah diperiksa majelis hakim banding kembali berpendapat sama dengan pengadilan tingkat pertama. Majelis Hakim PT DKI justru memperberat hukuman menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan tertanggal 12 Desember 2018.

Syafruddin dinilai bersalah karena menerbitkan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004. Seyogianya, pada waktu itu ia tak menerbitkan SKL tersebut karena Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI (kini tersangka), belum menyetor semua kewajibannya. Sebelumnya, saat krisis moneter 1997-1998 melanda Indonesia, BDNI mendapatkan suntikan dana BLBI senilai Rp 30,9 triliun.

Disparitas putusan antara dua pengadilan ini dengan pengadilan kasasi memicu polemik di tengah masyarakat. Berbagai kalangan merespons secara beragam. ICW bahkan mendesak KY memeriksa hakim MA pembebas terdakwa tersebut. Sejauh ini publik belum bisa mengkritisi secara komprehensif putusan tersebut karena akses putusan belum dibuka. Menurut hemat saya, seharusnya MA dalam wajah reformasi peradilan cepat untuk menyediakan secara digital putusan sebagai pemenuhan hak masyarakat atas informasi publik. Tentu saja kebutuhan terhadap informasi putusan selain bagi KPK menentukan langkah hukum atau upaya perlawanan sesuai aturan hukum, juga sebagai bahan diskusi atau kajian para pakar hukum atau pun masyarakat awam.

Terhadap suatu putusan hakim berlaku asas putusan hakim harus dianggap benar. Asas ini mengajak kita semua untuk tetap menghormati apapun bunyi dan konsekuensi yang ditimbulkan dari putusan tersebut. Selain itu, menegaskan kembali bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas dan merdeka. Namun demikian seperti dikatakan Yahya Harahap, makna “kebebasan hakim harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum.”

Maka, persoalannya bukan mengenai asas atau prinsip kehakiman semata sebagai suatu kondisi, tetapi bagaimana dengan menjadikannya sebagai landasan suatu pengadilan, hakim mampu menciptakan keadilan yang substansif. Tentu saja kita dilarang mengintervensi proses teknis yustisial, pun hal itu telah diselesaikan majelis hakim. Namun, secara moral kita tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap praktik hukum di depan mata. Sewajarnya, kritik boleh disampaikan atas putusan demikian.

Bagi saya, sangat mengherankan pelepasan terdakwa kasus BLBI ini. Persoalannya, persidangan mengenai fakta tindak pidana korupsi ini terbukti dalam dua tingkat pengadilan yang majelis hakimnya diberikan mandat oleh undang-undang untuk mengadili fakta-fakta suatu perbuatan itu merupakan delik korupsi atau tidak (hakim fakta/yudex factie). Majelis hakim setidak-tidaknya melakukan dua hal. Pertama, menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil membuktikan. Masing-masing hakim akan mengkonstantir fakta-fakta sebagai jalan untuk menetapkan hukumnya.

Kedua, menetapkan hak-hak dan hubungan hukum di antara para pihak. Setelah hakim menetapkan fakta-fakta yang terjadi, lalu hakim mengajukan konklusi yang dapat berupa menetapkan siapa berhak atas apa juga menetapkan hubungan hukum di antara para pihak (Asnawi, 2014:15). Total 10 (sepuluh) yudex factie dari pengadilan tingkat pertama dan banding menyatakan perbuatan tersebut merupakan delik korupsi. Secara materiil, yudex factie menilai terdakwa bersalah karena menerbitkan SKL BLBI untuk BDNI yang mengakibatkan kerugian negara. Perbuatan tersebut lantas merupakan obyek dari pada dakwaan JPU.

Lazim dipahami dalam konteks administrasi pemerintahan, seorang pejabat negara memiliki kewajiban hukum untuk tidak bertindak melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana dalam setiap tindakannya. Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 diubah terakhir dengan UU No. 30 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor larangan ini semakin tegas dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Sehingga setiap pejabat yang menerobos rambu-rambu tersebut atau perbuatannya memenuhi unsur ketentuan ini menjadi patut dipersalahkan perbuatan tersebut.

Secara singkat melawan hukum mempunyai arti yang luas (formil dan materiil). Para ahli menyatakan melawan hukum dalam arti luas berarti meliputi perbuatan yang bertentangan dengan hukum objektif, bertentangan dengan hukum subjektif (hak orang lain), tanpa hak, dan bertentangan dengan hukum tak tertulis. Dalam rumusan delik, keberadaan sifat melawan hukum merupakan syarat mutlak dari dapat dipidananya tindakan. Jika sifat ini dinyatakan dengan tegas dalam suatu rumusan delik (sebagai suatu unsur), maka dia harus dicantumkan dalam dakwaan dan dibuktikan di persidangan (Agustina, dkk, 2016:83).

Mengenai menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan. Sebagai akibat dari melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara.

Secara administrasi, parameter korupsi dapatlah dikatakan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang. Oleh karena itu, menurut hemat saya, parameter korupsi di sini sudah sangat jelas. Perintah untuk tidak menerbitkan SKL harus dipahami sebagai kewajiban hukum yang wajib dilaksanakan seorang pejabat. Kita tahu bahwa dalam tindakan administrasi dalam konteks ini dibayangi korupsi. Perbuatan administrasi pejabat negara yang melawan hukum dan/atau menyalahi kewenangannya serta merugikan negara adalah korupsi. Maka dalam konteks ini unsur-unsur korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 terpenuhi sebagai sebuah delik korupsi.

Menambah Beban

Dengan adanya putusan lepas dari segala tuntutan ini tentu saja menambah beban tantangan pemberantasan korupsi semakin berat di masa yang akan datang. Beberapa hal yang perlu diantisipasi sehubungan dengan hal ini. Pertama, soal masa depan pengusutan lebih lanjut kasus SKL-BLBI. Tindak pidana korupsi Syafruddin dilakukan secara bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih, serta bekas Kepala Komite Kebijakan Sektor Keuangan Dorojatun Kuntjoro-Jakti. Implikasinya terhadap substansi perkara kemungkinan besar terganggu. Ini pekerjaan besar bagi KPK ke depan bila melanjutkan proses hukum terhadap pelaku-pelaku di atas. Namun tidak berarti KPK harus menghentikan karena putusan lepas dari Syafruddin. Sebab putusan lepas itu bukanlah alasan penghapusan pidana bagi pelaku lain.

Kedua, putusan lepas ini dapat saja menjadi semacam peluang bagi pelaku korupsi memperjuangkan kebebasan dari jerat pasal-pasal anti-rasuah. Kita tahu selama ini, perkara yang dipegang KPK tidak pernah kalah dalam ruang sidang, kecuali praperadilan. Jika tidak ada langkah progresif, praktik seperti ini bisa berlanjut terus-menerus. Jangan sampai malah menjadikan putusan ini sebagai rujukan dalam memutus perkara korupsi. Walaupun dalam sistem hukum kita tidak dikenal asas the binding force of precedent, tetapi nyatanya dipraktikkan. Kita butuhkan hakim yang gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terkorupsi.

Ketiga, perlunya pemahaman korupsi dan sikap anti-korupsi yang tinggi dimiliki oleh para hakim. Selain itu pentingnya memagari relasi yang anti-korupsi antarhakim dan terdakwa atau pihak berkepentingan lainnya. Putusan ini lonceng peringatan keras, jangan sampai terjadi judicial corruption. Keempat, urgensi dari putusan ini yaitu KPK ke depan harus meningkatkan lagi kehati-hatian dan kemantapan dalam bukti dan argumentasi hukum. Mengingat untuk kasus ini, waktunya semakin singkat terkait masa daluwarsa kasus, maka KPK harus tetap bekerja cepat dan tuntas.

Korneles Materay, S.H, Staf Program di Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award

Tulisan ini terbit di detik.com edisi 18 Juli 2019, dengan judul “Lepasnya Terdakwa BLBI dan Tantangan Pemberantasan Korupsi.”

1 2 3 4
Donasi