Berbagai serangan balik (corruptors fight back) untuk melemahkan lembaga antirasuah, datang silih berganti. Mulai dari upaya menyabotase legal substance lewat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Memasukkan kuda troya di tubuh KPK. Hingga cara paling picik, menyiram mata penyidik Novel Baswedan. Peristiwa hukum yang penegakannya ikut gelap gulita.
Operasi senyap melumpuhkan KPK kembali dihembuskan oleh Parlemen. Tok” bunyi palu menandai masuknya Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam program legislasi nasional. Di tengah menguatnya energi publik menolak sejumlah Capim KPK bermasalah. Tentu, upaya revisi UU KPK bukan untuk menguatkan, melainkan melemahkan.
Melumpuhkan KPK
Terkait langkah revisi tersebut, ada upaya sistematis mematikan semangat pemberantasan korupsi. Spirit melawan para Mafioso perampok uang rakyat, dimana KPK sebagai ujung tombak perlawanan. Adapun poin-poin yang berpotensi besar melemahkan KPK yakni: Pertama, Pegawai KPK adalan PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (vide: Pasal 1 angkat 7). Artinya, bila ada pegawai yang melakukan kritik baik kepada pemerintah maupun pimpinan KPK seperti yang selama ini dilakukan oleh Wadah Pegawai KPK berpotensi untuk diberhentikan atau tidak memperpanjang perjanjian kerjanya. Walhasil Wadah Pegawai yang militan menolak dipimpin oleh orang-orang bermasalah akan tinggal kenangan.
Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “lembaga Pemerintah Pusat” yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (vide: Pasal 1 angka 3). Kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintah. Artinya, KPK tidak sederajat lagi dengan Presiden tetapi berada di “ketiak” Presiden. Maka siapa yang berkuasa, dialah pengendali KPK. Di saat yang sama, KPK ke depan juga akan lebih mudah untuk diangket oleh DPR. Bandingkan dengan UU KPK sekarang, tegas menyatakan KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Ketiga, KPK memiliki tambahan tugas baru. Bila sebelumnya KPK hanya bertugas melakukan koordinasi, supervisi, monitoring, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam revisi Pasal 6 UU KPK ditambahkan tugas tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Konsekuensinya, banyak putusan praperadilan yang “aneh” harus dilaksanakan KPK. Contohnya putusan Praperadilan yang memerintahkan KPK menetapkan tersangka Boediono dalam perkara Bank Century dan putusan praperadilan memerintahkan KPK untuk menerbitkan SP3. Padahal kita ketahui bersama, penetapan tersangka haruslah didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang sah, bukan berdasarkan perintah pengadilan. Termasuk perintah mengeluarkan SP3, dimana KPK tidak memiliki kewenangan untuk itu.
Keempat, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau penyelenggara negara; “dan/ atau” menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1 Miliar. Bila tidak memenuhi ketentuan Pasal 11 ayat 1, maka KPK “wajib” menyerahkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kepada Kepolisian dan/ atau Kejaksaan Agung (vide; Pasal 11 ayat 2). Artinya, KPK tidak boleh lagi menangani perkara di bawah 1 Miliar yang melibatkan penegak hukum atau penyelenggara negara. Walaupun perkara tersebut mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Sungguh ada upaya menutup ruang bagi KPK agar tidak melakukan Operasi Tangkap Tangan. Misalnya mantan ketua Partai yang juga penyelenggara negara hanya menerima suap Rp. 325 juta. Mereka terlalu sempit memaknai frasa korupsi. Ini bukan soal jumlah, tetapi soal perilaku.
Kelima, dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, KPK berwenang melakukan penyadapan. Penyitaan dan pengeledahan harus seizin Dewan Pengawas. Dewan yang dipilih oleh DPR atas usulan Presiden. Artinya KPK sudah tidak independen lagi dalam melaksanakan kewenangan di bidang penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, potensi bocornya informasi penyadapan, penyitaan dan penggeledahan juga besar. Belum lagi, Dewan Pengawas bisa menolak izin penyadapan, penyitaan dan penggeledahan. Sudah menjadi rahasia umum, anggota DPR baling berharap menghapuskan penyadapan?
Keenam, penuntutan tindak pidana korupsi oleh KPK tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Sebagaimana Pasal 12A RUU KPK yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penuntutan, Penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Ketujuh, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Kewenangan ini berpotensi terbuka praktik “dagang sapi” dalam penangana perkara korupsi. UU KPK sekarang, tidak memberikan kewenangan KPK menerbitkan SP3, pada prinsipnya agar KPK berhati-hati dalam menetapkan tersangka.
Terakhir, menghapus Penyidik Independen KPK (vide:Pasal 45). Terlihat jelas ada upaya melumpuhkan kerja-kerja penindakan KPK. Mendesain agar KPK tergantung pada penyidik lembaga penegak hukum lain. Sekali lagi, agar KPK tidak bertaring.
Ciri Negeri Mafioso
Poin pelemahan KPK lewat revisi UU KPK di atas, merupakan serangan sistematis mematikan lembaga antirasuah. Semakin menguatkan dugaan lahirnya negeri para Mafioso meminjam istilah Denny Indrayana. Suatu negara yang menganut corak kleptokrasi. Perilaku koruptif menjadi membudaya atau dipandang lumbah. Para pengemplang pajak diampuni lewat Tax Amnesty. Pelaku perampok uang negara dilindungi atas dasar pengakuan Hak Asasi Manusia, tanpa melihat kita (rakyat) sebagai korban. “Yah” kleptokrasi, ciri pemeritahan yang dikuasai maling. Kini KPK tumpuan kita pun akan dibumi hanguskan. Para Mafioso nan brutal akan mematikan harapan kita akan Indonesia bebas korupsi. Pada titik ini, kita yakin Presiden Jokowi pasti tampil di depan menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan sistematis. Seiya-sekata dengan Nawa Cita bahwa “Kami akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformsi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kami akan memprioritaskan pemberantasan korupsi secara konsisten”. Karena kita percaya, Indonesia bukan negeri para Mafioso.
#SaveKPK
Jupri, S.H., M.H. Dosen Unisan & Pengurus DPD KNPI Provinsi Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo
Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Gorontalo Post edisi 7 September 2019
Recent Comments