Hubungi Kami
Agenda, Berita

IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi

Indonesia mencatatkan rekor buruk dalam Corruption Perception Index atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang diukur oleh Transparency International. Survei menunjukan bahwa disamping krisis pandemi, korupsi semakin menggeliat dan demokrasi mengalami kemunduran secara signifikan. Membahas hal tersebut, BHACA menggelar diskusi “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” Sebagai narasumber adalah Natalia Soebagjo International Council of Transparency International dan Dewan Pendiri BHACA dan Zainal Arifin Mochtar Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) UGM sekaligus Dewan Juri BHACA.

Sebagaimana diketahui IPK 2020 Indonesia  jeblok ke skor 37 dan terlempar ke ranking 102 dunia dari 180 negara yang disurvei. IPK disusun berdasarkan 13 sumber data. Khusus untuk Indonesia dipergunakan 9 sumber data. Masing-masing indeks melihat hal yang berbeda-beda.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2020)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Natalia menjelaskan mayoritas mengalami penurunan. “Penurunan kita yang paling besar di Global Insight Country Risk Rating, turun 12 poin. Ini melihat apakah perusahaan-perusahaan itu harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Political Risk Service juga turun 8 poin. Apakah harus menyuap atau disuap untuk mendapatkan layanan publik? Bribery and corruption, apakah masih ada atau tidak? Ternyata juga turun 5 kalau melihat World Competitiveness Yearbook. Yang turun lagi di Political and Economic Risk Consultancy. Ditanyakan responden sejauh mana mereka melihat korupsi di negara di mana mereka mempunyai bisnis. Political corruption dapat kita lihat dari Varieties of Democrazy Project. Satu-satunya membaik di World Justice Project-Rule of Law. Tapi overall kinerja kita di rule of law rendah meskipun ada kenaikan. Tetapi di World Economic Forum Executive Opinion Survey stagnan, tidak ada perubahan, tidak membaik tapi juga tidak memburuk. Di Berstelsmann Stiftung-Transformation Index juga stagnan. Economic Intelligence-Unit Country Risk Service juga stagnan,” paparnya.

Kemudian indeks tersebut diklasifikasikan dalam tiga kluster besar, yaitu ekonomi & investasi, penegakan hukum dan politik dan demokrasi. Menurut Natalia, kluster yang berkaitan dengan ekonomi dan investasi mayoritas turun. Soal penegakan hukum yang naik yaitu rule of law index, tetapi melihat kualitas layanan publik atau interaksi pelaku bisnis dan birokrasi turun. Sedangkan, kalau melihat demokrasi maka political corruption masih merupakan sesuatu yang harus dihadapi di mana sektor politik masih rentan terhadap korupsi.

Natalia memaparkan bahwa jika dikaitkan dengan demokrasi dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. Di sini terlihat bagaimana korupsi dan demokrasi terjadi.

Sejak tahun 2019, TI menilai political corruption sebagai problem yang melanda semua negara yang disurvei. Pada waktu itu rekomendasi yang diajukan berkaitan dengan political corruption.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Natalia menilai rekomendasi tersebut masih relevan. Namun, ia mempertanyakan soal implementasinya. “Menurut saya ini rekomendasi yang sampai sekarang pun masih sangat valid. Hanyalah dengan adanya covid, semua kelemahan yang terlihat di tahun lalu semakin di-amplifies semakin terlihat.” Sejak tahun 2019, apakah rekomendasi TII sudah berhasil dijalankan?”

Dalam tataran praktis, merujuk ke survei Lembaga Survei Indonesia praktik politik uang masih tinggi.

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Sumber: Presentasi Natalia Soebagjo (2021)

Oleh karena itu, menurut Natalia, dalam situasi seperti ini tantangan negara untuk mengontrol isu political corruption dan partai politik semakin berat dan belum tertangani dengan baik.  Menurutnya perlu penanganan komprehensif dan hal tersebut sebenarnya telah tertuang dalam hasil kajian KPK dan LIPI (2018) yang memetakan 5 (lima) aspek yaitu kode etik, demokrasi internal, keuangan parpol, kaderisasi, dan rekruitmen.

Natalia menutup paparannya dengan menyampaikan rekomendasi umum TI:

Menurut Zainal, jebloknya IPK ini terburuk sepanjang sejarah Indonesia khususnya pasca reformasi. Jika dibaca secara rezim, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan indeks persepsi korupsi. Pertama, kelahiran KPK di mana terbukti menaikan indeks persepsi korupsi. “Terbukti di zaman Megawati akhir begitu KPK lahir sampai terakhir Jokowi 2019, kenaikan 21 poin, dari 19 ke 40. Tidak ada negara di duniapun yang mengalami kenaikan secara ajaib,” paparnya. Jadi faktor penting menurut Zainal adalah KPK. Nafas pemberantasan korupsi ada karena KPK.

“Ketika KPK dikerdilkan di tahun 2019, saya sudah menduga bahwa ini akan mengalami penurunan,” ujar Zainal. Menurutnya, cara berpikir saat ini mengarah ke korupsi bukan kejahatan luar biasa. Terjadi signifikansi cara berpikir soal pemberantasan korupsi. Hal itu juga diamini oleh hampir seluruh komisioner karena melayangkan surat dukungan terhadap revisi UU KPK. Logika berpikir UU KPK, korupsi bukan extra-ordinary.

Kedua adalah berkaitan dengan kinerja pemerintah secara keseluruhan. Menurut Zainal, ada semacam anakronisme di tubuh pemerintahan. Bagaimana mungkin menganggap bahwa bisnis itu harus didorong lebih baik tapi yang dilakukan itu adalah dengan menghentikan atau membonsai KPK. Pemberantasan korupsi selalu menjadi syarat investasi sebagaimana misal disampaikan oleh World Economic Forum. Meskipun ada penangkapan menteri, tapi tidak berarti KPK kuat. “Itu hanya menunjukan KPK masih berdenyut, tapi bukan berarti KPK tidak sedang sekarat,” katanya.

Ketiga, kebiasaan partai politik kembali menggeliat liar di 2019 akhir dan 2020. IPK dipengaruhi kondisi politik, tatanan partai, kehidupan demokrasi dan lain-lain. Skor penegakan hukum yang naik tidak terlalu luar biasa karena itu tidak signifikan karena di riset lain menurun. Rentang 2019-2020, dari hulu ke hilir, alih-alih mengalami revolusi atau evolusi (perubahan secara pelan-pelan), menurut Zainal justru mengalami involusi atau pengruwetan dalam banyak hal.

Lalu, kemungkinan apa yang terjadi di 2021? Menurut Zainal, pertama, ada beberapa bom waktu yang akan meledak di 2021. Salah satunya adalah kewajiban alih fungsi semua penyidik KPK secara penuh di akhir Oktober 2021 (sesuai UU 19/2019, transisi 2 tahun). Geliat KPK dilakukan oleh penyidik yang belum penuh tertransisi menjadi ASN. Apa bahayanya penyidik KPK menjadi ASN? Salah satunya adalah penyidik non polisi dan  kejaksaan menjadi penyidik PPNS yang pembinaannya di bawah kepolisian. “Denyut KPK akan menjadi tidak ada lagi,” kata Zainal.

Kedua, pembukaan keran investasi dan kemudahan perizinan yang tidak dilapisi dengan upaya pengaman pemberantasan korupsi. Misalnya, dalam logika sederhana UU Cipta Kerja bahwa untuk penyederhanaan semua di tarik dari daerah ke pusat. Kita belum mampu membangun sistem pengawasan. Tetapi ujug-ujug mempermudah perizinan dan sebagainya. “Katup pengamannya belum tersedia” Ketiga, kehidupan politik karena 2022-2024 ada agenda pemilu, ada kemungkinan parpol akan menyalakan mesin cepat.

Keempat, ketika agenda kenegaraan terbengkalai, maka perbaikan institusionalisasi tidak akan tercipta. Ada langkah berderap secara keliru (politis) untuk membunuh lembaga-lembaga yang sudah ada. “MK mau didomestikasi, KASN yang baik perannya dalam mengerem perdagangan jabatan publik juga mau dibonsai atau dibunuh. Bahkan ada usul KPU, Parpol, dan sebagainya,” tutur Zainal. Tugas institusionalitas yang tidak tercipta baik dari sisi lembaga atau peraturan sangat berbahaya.

Dari sisi peraturan, belakangan peraturan menjadi berantakan karena ketiadaan peran publik secara baik. Salah duanya, memang politisi semakin jauh dari fungsi kedaulatan rakyat. Dan, salah tiganya tentu saja karena perlawanan publik menjadi terbatas. Kelima, pragmatisnya pemerintahan secara keseluruhan untuk menyelesaikan masalah.

Negara diharapkan bisa mengambil langkah-langkah perbaikan. Menurut Zainal, pertama, Presiden membangun hubungan yang baik dengan pemerintahan daerah. Tidak bisa mengharapkan menteri-menteri yang kemungkinan di tahun politik akan cepat menyalakan mesin. Kedua, Presiden membuat terobosan untuk meluruskan kembali janji-janji pemberantasan korupsi dengan mengeluarkan Omnibus Pemberantasan Korupsi. Banyak peraturan pemberantasan korupsi banyak yang tidak menarik, tidak kuat atau malah mendorong ke arah tidak menyelesaikan pemberantasan korupsi. Omnibus Pemberantasan Korupsi itu memperbaiki UU Antikorupsi, menyesuaikan dengan UNCAC, mempersiapkan kelembagaan/institusi termasuk lembaga pengelola aset yang baik.

Kalau untuk kepentingan ekonomi bisa dengan omnibus, kenapa tidak dengan pemberantasan korupsi? Ketiga, berharap MK berani mengembalikan UU KPK sehingga pemberantasan kembali hidup dan menarik. “Jika tidak terjadi perubahan, jangan-jangan bom waktulah yang akan meledak dan akan menurunkan lagi IPK. Kalau turun lagi, kita sudah lemah,” pungkasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” yang diselenggarakan pada 4 Februari 2021 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan Youtube Bung Hatta Award BHACA

Berita

Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum

Sebagaimana diketahui bahwa pada 20 Januari 2021 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah melakukan fit & proper test terhadap Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo selaku calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesiai yang diajukan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk menggantikan posisi Jenderal Polisi Idham Azis yang akan purna tugas pada 21 Februari 2021. Untuk mendiskusikan mengenai penunjukan Kapolri dan pekerjaan rumah Kapolri baru tersebut, Serial Diskusi Online BHACA dihadirkan dengan tajuk “Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum,” dengan narasumber: Kurnia Ramadhana (Peneliti ICW) & Iftitahsari (Peneliti ICJR)

Iftitahsari memberikan catatan dari beberapa aspek yaitu terkait kebijakan pidana, kebebasan berekspresi, intruisi terhadap ranah privasi, dugaan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya pada tingkat penyidikan, penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) dan catatan pamungkas ialah soal rekomendasi untuk Kapolri baru. Mengenai kebijakan pidana selama pandemi, ia menyatakan bahwa ICJR berpandangan dalam merespon penanganan darurat pandemi, sebisa mungkin kebijakan penegakan hukum atau penjatuhan sanksi pidana tidak digunakan terlebih dahulu dan diterapkan sebagai upaya terakhir. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah langkah persuasif dan penyadaran kepada masyarakat. Namun, selama pandemi, masih sering terjadi upaya pemidanaan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Pasal 218 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 212 KUHP dianggap yang paling sering dipakai untuk menakut-nakuti atau mengancam masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya pasal-pasal ini juga tidak tepat digunakan. “Dari sisi hukum pidana, pasal 212 KUHP harus ada ancaman kekerasan dulu. Pasal 218 & pasal 216 KUHP yang berkaitan dengan kerumuman sebenarnya bukan dimaksudkan untuk yang damai dan tenteram,” papar perempuan yang sering disapa Tita ini (21/1).

Selain itu, penerbitan peraturan selama pandemi juga dianggap merupakan praktik yang kurang baik karena tidak sesuai dengan peraturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Misalnya, penerbitan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 yang memuat ketentuan sanksi. Peraturan ini berlandaskan pada Instruksi Mendagri yang juga tidak sesuai kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Pun terkait pelibatan TNI/Polri dalam menegakan peraturan daerah sebagai sesuatu yang keliru. “Seharusnya yang menegakan adalah Satpol PP,” ujarnya.

Terkait kebijakan pemidaan penolak vaksin, dilihat dari payung hukum belum ada. Pemerintah pusat seharusnya mengklaim secara nasional sehingga menjadi dasar aturan daerah. Menurut Tita, selama ini, Pemerintah daerah saja yang baru menginisiasi. Secara aturan, Pemerintah daerah melangkahi. Dari sisi ancaman kebebasan berekspresi, salah satu beleid yang disorot, misalnya, munculnya Surat Telegram Kapolri yang menyasar kebebasan berekspresi. Surat tersebut bertentangan dengan putusan MK. Praktik penegakan hukum masih keliru menerapkan pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi seperti dalam kasus Jerinx.

Disamping itu, pengadilan juga belum mampu mengoreksi kekeliruan penerapan aturan. Padahal aturan banyak yang multitafsir dan problematik. Hal ini dikhawatirkan menjadi preseden yang buruk. Soal intruisi terhadap ranah privasi, perlu pemahaman dari sisi konteks penerapan hukum pidana. Kemudian sisi dugaan penyiksaan dan perlakuan tidak manusia. Menurutnya, kasusnya seringkali berulang dan tidak pernah diselesaikan alias menguap. Selama pandemi beberapa kasus telah terjadi.

Selanjutnya, penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force). Pemberian kewenangan pelumpuhan pelaku kejahatan dimaksudkan agar pelaku tidak melarikan perbuatan pidananya. Dalam praktiknya, konsep seperti ini tidak diterapkan. Seharusnya ini menjadi upaya terakhir, tetapi seolah-olah dipromosikan dalam praktik. Peneliti ICJR ini mengharapkan juga bahwa kedepannya, masukan, kritik dan sebagainya dapat diterima dengan baik untuk mewujudkan institusi Polri yang akuntabel, profesional dan juga transparan dengan menghormati hak asasi manusia. Bahwa kritikan bukan berarti membenci melainkan kerjasama untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang efektif untuk pemidanaan.

Adapun rekomendasi yang disampaikan untuk Kapolri baru adalah sebagai berikut:Sumber: presentasi Iftitahsari (2021)

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana memberikan catatan dari beberapa aspek:

Sumber: presentasi Kurnia Ramadhana (2021)

Menurutnya, kepolisian harus membenahi intitusinya terlebih dahulu sebelum bertindak lebih jauh. Salah satu hal yang harus dibenahi ialah masalah integritas anggota kepolisian. Contoh kecil, dari lima perwira tinggi yang dikirimkan Kompolnas ke Presiden untuk kontestasi calon Kapolri, hanya satu yang patuh dalam melaporkan LHKPN. Pun perwira tinggi berulang kali terlibat dalam kasus korupsi atau kasus lain yang terkait dengan korupsi.

Sumber: presentasi Kurnia Ramadhana (2021)

Soal koordinasi antar penegak hukum diharapkan juga harus lebih baik. Salah satu persoalan adalah konflik kepentingan. Untuk mengatasi masalah konflik kepentingan, Kapolri baru harus memitigasinya melalui komitmen yang tegas. Salah satu upaya yang bisa dilaksanakan untuk memperkuat koordinasi yaitu dapat diinisiasi sebuah forum ekspose bersama untuk kasus korupsi besar dan menarik perhatian publik. Kepolisian juga diharapkan menjadi institusi yang terbuka. Salah satu informasi penting yang seharusnya diwajibkan keterbukaannya ke depan ialah penerbitan SP3.

Kurnia menilai, kepolisian masih kabur dalam menetapkan indikator penilaian promosi jabatan. Karena selama ini, kerap ditemukan anggota-anggota Polri yang memiliki rekam jejak bermasalah justru terpilih menempati jabatan-jabatan strategis. Karena itu, Kapolri baru diharapkan untuk menginisiasi desain kebijakan terkait promosi jabatan yang berlandaskan nilai-nilai integritas, professional, partisipatif, transparan, akuntabel, dan independen. Catatan lain terkait meningkatnya anggota Polri aktif yang menduduki jabatan publik. Praktik ini melanggar UU Kepolisian dan UU Pelayanan Publik. Dan, yang terpenting hal tersebut berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Ia juga mengkritisi kepolisian yang seringkali mengirimkan calon-calon yang tidak memenuhi ekspektasi publik karena rekam jejaknya yang bermasalah untuk menduduki jabatan publik.

Dari sisi penindakan kasus korupsi, menurut data ICW, ada tren penurunan pengentasan kasus korupsi. Dari sisi aktor, tidak juga menyentuh aktor besar. Maka, Kapolri baru diharapkan memperhatikan sektor pemberantasan korupsi tanpa mengecilkan sektor lain. Kurnia merekomendasikan agar Kapolri baru fokus pada agenda reformasi penguatan institusi kepolisian khususnya penguatan personal dan kelembagaan serta peningkatan kinerja pemberantasan korupsi. Ia juga mendorong agar dibentuk tim satuan tugas khusus di internal kepolisian untuk akselerasi penanganan kasus korupsi. Selain itu, perlu revisi peraturan Kapolri terkait jabatan-jabatan strategis diwajibkan melaporkan LHKPN guna menjamin integritas anggota-angota Polri tersebut.

Kurnia menilai memang ada begitu banyak permasalah di institusi kepolisian tetapi tidak ada alasan bagi Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo untuk tidak mengetahuinya karena banyak DIPA yang bisa menjembatani antara isu di tubuh institusi tersebut. Ia juga mengingatkan Presiden bahwa Presiden bisa mengevaluasi (memberhentikan) Kapolri jika kinerjanya tidak tercapai.

“Harusnya Presiden itu bisa mengevaluasi bahkan ketika kekeliruan itu sangat mendasar mengenai publik bahkan presiden mempunyai kewenangan untuk bisa memberhentikan Kapolri itu sendiri dan rasanya itu yang tidak pernah kita lihat ada pengawasan yang klir dari eksekutif maupun legislatif. Di masa kepemimpinan Pak Idham Azis, Pak Tito Karnavian banyak catatan yang harusnya bisa dijadikan pegangan bagi Presiden Jokowi untuk bisa memastikan kinerja Polri di tahun 2021 di bawah kepemimpinan Pak Listyo Sigit dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku,” pungkasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Kapolri Baru dan Masa Depan Penegakan Hukum” yang diselenggarakan pada 21 Januari 2021 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan Youtube Bung Hatta Award BHACA

Acara, Agenda, Berita

TOR Serial Diskusi BHACA: Kapolri Baru & Masa Depan Penegakan Hukum

 A. Pendahuluan

Menurut Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian perihal fungsi adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief (2005), Polri dalam menjalankan tugasnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial (sosial worker) pada aspek sosial dan kemasyarakatan (pelayanan dan pengabdian). Penegakan hukum mensyarakat polisi harus berdiri di atas hukum. Sedangkan, dari sisi pelayanan polisi harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Acapkali kedua hal ini belum dapat dipenuhi dengan baik sehingga menimbulkan gap dalam implementasinya. Karena itu, pelaksanaan fungsi kepolisian harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Adanya kepolisian merupakan salah satu pilar penyangga negara hukum. Mendasarkan pada konsep negara hukum yang diungkapkan Julius Stahl, negara hukum (rechtstaat) paling tidak mencakup 4 (empat) elemen penting, yaitu: (1) perlindungan hak asasi manusia; (2) pembagian kekuasaan; (3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan (4) peradilan tata usaha negara. Sedangkan A.V Dicey (the rule of law) menguraikan adanya tiga ciri penting, yakni (1) supremacy of law; (2) equality before the law; (3) due process of law. Peran penegakan hukum adalah peran kunci karena merupakan standar maju mundurnya indeks negara hukum dan aspek hak asasi manusia serta indeks persepsi korupsi dalam sebuah negara. Penegakan hukum semestinya adressatnya ada pada masyarakat yaitu bagaimana hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat bukan sekadar menyesuaikan masyarakat dengan hukum.

Kepolisian sebagai salah satu lembaga yang membawahi sektor penegakan hukum selama ini belum maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terbukti dari masih kerapkali muncul permasalahan internal dan eksternal. Masalah internal berkaitan dengan tata kelola kelembagaan, kepegawaian, hingga keberpihakan lembaga sehubungan dengan fungsinya. Sedangkan, masalah eksternal terkait dengan penegakan hukum dan pelayanan kepada masyarakat sendiri. Permasalahan seperti kurangnya akuntabilitas penanganan perkara, anggota kepolisian yang tidak berintegritas, meningkatnya anggota Polri yang menduduki jabatan publik serta menurunya kinerja pemberantasan korupsi serta tindakan represif yang seringkali melibatkan anggota Polri sudah menjadi masalah yang “lumrah” terjadi dan menuai kritisisme dalam beberapa waktu belakangan ini. Secara filosofis, masalah-masalah tersebut bertentangan dengan cita-cita penegakan hukum yang berintegritas.

B. Tujuan Diskusi
Secara umum tujuan diskusi ini untuk mengupas permasalahan-permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah dalam penegakan hukum dan institusi kepolisian yang akan menjadi tanggungjawab Kapolri baru.

 C. Hasil yang Diharapkan
Adapun hasil yang diharapkan dari diskusi ini, yaitu:

  • Terpetakannya permasalah-permasalahan penegakan hukum dari sisi  korupsi, pandemi, dan hak asasi manusia;
  • Menjadi bahan perbaikan bagi Kapolri baru

 D. Sasaran Peserta
Sasaran peserta diskusi ini adalah mahasiswa, dosen, pengamat hukum, pengamat kepolisian, pegiat antikorupsi, hingga masyarakat umum yang memiliki kepedulian atau tertarik terhadap isu-isu penegakan hukum dan kelembagaan penegak hukum

E. Narasumber
Adapun narasumber dalam diskusi ini, yakni:

  • Kurnia Ramadhana, S.H. – Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW)
  • Iftitahsari, S.H., M.Sc – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

F. Metode dan waktu
Diskusi akan dilakukan secara daring melalui aplikasi video conferencing Zoom dan disiarkan langsung melalui Facebook Bung Hatta Award.
Hari & tanggal   : Kamis, 21 Januari 2021
Waktu                : 13.00 – 15.00 WIB

Artikel, Berita

Tahun Legislasi Terburuk

Di samping pandemi Covid-19 yang mengacaukan segala hal, kinerja pemerintah dan DPR dalam membentuk undang-undang atau legislasi sepanjang tahun 2020 begitu buruk. Indikatornya ada beberapa. Pertama, bongkar pasang Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020.

Sebenarnya merevisi Prolegnas Prioritas bukan sesuatu yang haram. Prolegnas merupakan suatu bangunan arah pembentukan undang-undang. Maka, penetapannya menjadi dasar bagi pembentuk undang-undang untuk bekerja dalam kaitannya dengan fungsi legislasi. Tetapi persoalannya, apa isi Prolegnas Prioritas 2020.

Kalau kita mengikuti niatan pemerintah untuk melakukan penyederhanaan atau pemangkasan regulasi, maka Proglegnas Prioritas 2020 secara kuantitas masih over regulasi dengan total 50 RUU. Dari sisi kualitas, beberapa RUU sebetulnya tidak semestinya diajukan, seperti RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, RUU Perlindungan Kiai dan Guru Ngaji, atau RUU tentang Ketahanan Keluarga.
Sedangkan, RUU yang justru mendesak dipinggirkan seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU Perubahan UU ITE. Tentu di luar ini masih banyak lagi kritik terhadap penetapan Prolegnas Prioritas 2020 dan revisi terhadapnya. Penetapan ini pada dasarnya memperhitungkan aspek jumlah, bukan substansi. Pembentuk UU belum belajar dari hasil evaluasi tahun lalu.
Kedua, terkait dengan aspek kualitas/substansi, dapatlah dikatakan bahwa DPR dan pemerintah sesungguhnya belum menghasilkan UU yang berkualitas. Hal ini salah satunya dilihat dari tingkat akseptasi masyarakat terhadap UU tersebut. Artinya, apakah kemudian UU itu merupakan kristalisasi problematika masyarakat sehingga dianggap menjadi solusi bagi persoalan masyarakat.Yang terjadi sebaliknya, beberapa UU yang dihasilkan menuai kontroversi hebat, bahkan memicu gerakan demonstrasi besar. Misalnya, UU Cipta Kerja atau UU Minerba. Selain itu, ada Perppu Covid-19 yang menjadi UU No. 2 Tahun 2020 dan UU MK.

Ketiga, proses pembentukan UU sepanjang tahun 2020 sarat pelanggaran terhadap kaidah dan asas hukum pembentukan undang-undang yan baik. Pelanggaran seperti tidak transparan atau tertutup, tidak melibatkan masyarakat atau kelompok kepentingan yang lebih luas, tidak dapat dipertanggungjawabkan dari sisi naskah akademik atau alasan-alasan perlunya UU tersebut, hingga belum ada metode penyusunan RUU dalam perundang-undang Indonesia. Misalnya, metode omnibus law untuk penyusunan UU Cipta Kerja dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Perencanaan dan Perhatian
Adapun alasan yang dapat diteropong dari buruknya tata kelola legislasi kita adalah karena kurangnya perencanaan dan perhatian. Apa maksudnya? Pertama, soal perencanaan belum dikorelasikan dengan semangat deregulasi.Selanjutnya, seperti telah disebutkan di atas bahwa orientasi DPR dan pemerintah adalah mengejar kuantitas tapi tidak memperhitungkan kemampuan dan berkaca dari sejarah selama ini di mana target legislasi tidak pernah tercapai. Kemudian, baik DPR maupun pemerintah tidak melihat kondisi pandemi sebagai sesuatu hal yang turut berpengaruh terhadap bangunan Prolegnas. Seharusnya dilakukan simplifikasi sehingga lebih mengedepankan yang paling penting untuk rakyat.

Kedua, kurang perhatian atau penangkapan terhadap aspirasi publik. Proglegnas kita tidak disusun berdasarkan isu-isu yang krusial dan mendesak seperti isu korupsi, kebebasan, dan kekerasan seksual. Akhirnya, Proglegnas kita tidak pernah menjadi Proglegnas anti-korupsi. Pun bukan Proglegnas yang berangkat dari keresahan sosial yang mendesak.
Lalu, apa bentuk Proglegnas kita? Prolegnas Prioritas kita adalah Prolegnas politik. Artinya, hendak diarahkan untuk mencapai tujuan politik saja, dan menjauhkan dari semangat penataan hukum nasional yang lebih baik. Hal ini dapat dipahami juga karena agenda koruptif parlemen dan pemerintah masih banyak.
Menurut hemat saya, tantangan tahun depan adalah bagaimana menyusun sebuah bangunan politik hukum nasional minimal setahun dalam Proglegnas Prioritas yang anti-korupsi. Prioritas pada isu-isu krusial tak bisa lagi dibiarkan begitu saja. Semakin pembiaran terjadi, korban-korban berjatuhan lebih banyak. DPR setidak-tidaknya harus bisa menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka benar-benar wakil rakyat yang mewakili kepentingan rakyat.
Penulis: Korneles Materay
Artikel, Berita

Korupsi Era Pandemi adalah Korupsi Kemanusiaan

Dua operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi berturut-turut menjerat dua menteri aktif Kabinet Indonesia Maju yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Kasus ini merupakan pukulan keras terhadap Kabinet bentukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Kedua menteri yang diangkatnya ternyata korupsi. Padahal Presiden Jokowi sendiri telah mengultimatum kepada para menteri supaya tidak korupsi dan agar menciptakan sistem yang menutup celah korupsi kala memperkenalkan mereka ke publik. Inilah potret tentang korupsi, bahwa soal hasrat korupsi oleh pejabat korup tidak pernah mengenal ada kepercayaan yang besar kepadanya serta sedang dalam situasi darurat atau normal.

Sekelumit Problematika Dasar

Menurut Penulis memang ada persoalan mendasar mengapa terjadinya korupsi ini. Pertama, karena terbuka lebar kesempatan korupsi yang dijustifikasi pada peraturan yang ada. Misalnya, Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah menjadi UU No. 2 Tahun 2020 sedari awal bermasalah khususnya Pasal 27 ayat (1, 2 dan 3) yang dinilai pro perilaku koruptif. Jadi, seolah-olah pejabat merasa memiliki imunitas. Kondisi ini menstimulasi pejabat dengan agenda koruptif untuk menyalahgunakan kewenangan.

Kedua, praktik kebijakan sepihak oleh pemerintah yang mengabaikan suara/kritik dan kontrol publik yang terus berulang menjadikan para pejabat termasuk kedua menteri merasa lebih super power untuk menerbitkan kebijakan. ICW (2020) misalnya memetakan dan menganalisis potensi korupsi dalam program bansos. Ditemukan masalah sejak awal program bansos seperti belanja alat keselamatan kesehatan, pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung dan distribusinya yang berkelindan praktik pemotongan, pungutan liar, inclusion dan exclusion error akibat pendataan yang tidak update hingga politisasi.

Rekomendasi yang disampaikan termasuk ke Kementerian Sosial adalah agar dilakukan perbaikan tata kelola secara transparan. ICW juga menemukan ada indikasi permainan yang melibatkan pejabat-pejabat Kemensos. Selain itu, kritik masyarakat juga dilakukan terhadap kebijakan ekspor bayi lobster di Kementerian KKP seperti dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti dan media Tempo.

Dikutip dari Detik (26/11), Susan Herawati dari KIARA menyebutkan terdapat empat keganjilan kebijakan ekspor benih lobster Edhy Prabowo. Pertama, tidak adanya kajian ilmiah yang melibatkan Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) dalam penerbitan Peraturan Menteri KP No 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan. Bahkan pembahasannya cenderung tertutup serta tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.

Kedua, penetapan ekspor benih lobster sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri KP No 12 Tahun 2020 yang diikuti oleh penetapan puluhan perusahaan ekspor benih lobster yang terafiliasi kepada sejumlah partai politik, hanya menempatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster sebagai objek pelengkap. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bahkan menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut.

Ketiga, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis ekspor benih lobster di Indonesia. Salah satu temuan penting KPPU adalah pintu ekspor dari Indonesia ke luar negeri hanya dilakukan melalui Bandara Soekarno Hatta. Padahal mayoritas pelaku lobster berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatera. Keempat, KKP tidak memiliki peta jalan yang menyeluruh dan komprehensif dalam membangun kekuatan ekonomi perikanan (lobster) berbasis nelayan di Indonesia dalam jangka panjang. Sebaliknya, KKP selalu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan ekonomi jangka pendek yang tidak menguntungkan negara dan nelayan.

Ketiga, pelemahan sistematis KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang handal selama ini di mana pejabat dengan agenda koruptif semakin merasa di atas angin. Mungkin ada pemikiran, KPK telah habis. Memang faktanya secara kewenangan dan kelembagaan, KPK dikerdilkan, tapi masih ada personil-personil yang gigih dan teguh melawan korupsi. Terbukti bahwa penegakan hukum terhadap dua menteri tersebut dimotori oleh personil-personil yang hebat sekaliber Novel Baswedan dan kawan-kawan.

Kendatipun dalam situasi sulit, KPK juga sebenarnya telah memberikan saran-saran perbaikan kebijakan dan memperingati agar para pejabat berhati-hati menggunakan kewenangannya dalam pandemi. Seperti misal, pada April lalu, KPK mengeluarkan Surat Edaran No. 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat tertanggal 21 April 2020.

Pada Mei, KPK mengingatkan secara khusus agar bansos tidak dimanfaatkan untuk kepentingan praktis dalam Pilkada Serentak 2020. Kemudian, sekitar Agustus 2020, KPK secara terbuka memperingatkan pelaku tindak pidana korupsi di saat bencana bisa diancam hukuman mati sebagaimana tertera dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Benang merah yang dapat ditarik di sini bahwa saran dan rekomendasi perbaikan baik dari masyarakat sipil maupun KPK tidak dijalankan dan/atau tak dihiraukan.

Keempat, yang pasti sirna komitmen anti-korupsi menteri dan rasa kemanusiaan karena hasrat korupsi semakin membabi-buta. Persoalan mendasarnya karena keterpilihan mereka pun tidak pruden. Semua adalah konsensus politik antar partai politik. Best practice yang pernah ditunjukan Presiden Jokowi dengan melibatkan KPK dalam pemilihan para menteri tidak diteruskan di periode kedua ini.  Akhirnya, saringan mengenai rekam jejak antikorupsi menteri-menteri tidak terpetakan dengan baik. Selain itu, berkelindannya kepentingan-kepentingan dalam pembuatan kebijakan era pandemi yang tak bisa dihalau karena berbenturan para pemain tidak lain merupakan afiliasi-afiliasi politik dan ekonomi.

Korupsi Kemanusiaan

Korupsi dalam bencana merupakan kisah maha pilu. Pejabat-pejabat negeri ini ternyata rakusnya tiada tara. Sementara rakyat direpotkan atau mungkin menderita akibat pembatasan sosial, PHK, kelangkaan barang kebutuhan rumah tangga, peningnya kuliah/sekolah online dengan segala tugas-tugasnya dan masih banyak lagi dalam tangis dan cucuran peluh, mereka justru bersekongkol dengan pelaku korupsi lainnya, minta diprioritaskan test kesehatan, minta kenaikan gaji dan tunjangan, minta pengadaan mobil dan fasilitas perkantoran baru bernilai milyaran, hingga asyik berbelanja keluar negeri. Dua korupsi a quo tentu mengentak sanubari. Korupsi pandemi layak dipersamakan dengan mengorupsi kemanusiaan. Korupsi ini merusak keadaban kemanusiaan. Korupsi kemanusiaan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam sebuah opini, Romo Benny Susetyo PR (2013) menuliskan bahwa korupsi merusak keadaban kemanusiaan karena tindakan korupsi menghancurkan nilai-nilai kejujuran serta menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kemiskinan. Penderitan bagi kehidupan masyarakat. Dalam literatur, korupsi disebut memiliki dampak negatif terhadap penikmatan hak asasi manusia (enjoyment of human rights) atau korupsi merongrong hak asasi manusia atau menekankan pada efek yang berat dan menghancurkan dari  korupsi terhadap penikmatan hak asasi manusia.

Secara hukum sangat penting melihat apakah kita memenuhi syarat situasi sebagai merongrong hak asasi manusia, atau apakah kita bisa mengklasifikasikannya sebagai pelanggaran hak yang harus dianggap melanggar hukum dan dapat ditangani dengan sanksi biasa (Lihat, Anne Peters, 2015:12). Untuk penentuan pelanggaran itu,  kita bisa melihat pandangan Kofi Annan mantan Sekretaris Jenderal PBB dalam pengantar UNCAC (2003). Annan mengatakan korupsi adalah wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada masyarakat. Ini merusak demokrasi dan supremasi hukum, mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup dan memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lain terhadap keamanan manusia untuk berkembang.

Di Afrika Selatan, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan menyatakan bahwa korupsi tidak sejalan dengan supremasi hukum dan nilai-nilai dasar konstitusi negara tersebut. Korupsi merusak komitmen konstitusional kepada manusia bermartabat, pencapaian kesetaraan, dan kemajuan hak asasi manusia dan kebebasan. Mahkamah Agung India (2012) pernah menyatakan korupsi merongrong hak asasi manusia, secara tidak langsung melanggarnya, dan bahwa korupsi sistematis adalah pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri. Secara doktrinal, korupsi telah dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) di mata masyarakat internasional. Korupsi tidak semata-mata dicap kejahatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, melainkan melanggar hak-hak fundamental rakyat.

Perubahan UU Tipikor tahun 2001 juga menyematkan paradigma korupsi yang terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat (vide, konsideran menimbang huruf a UU No. 20 Tahun 2001). Sebetulnya paradigma ini juga sudah terlihat dalam pembahasan DPR saat itu. Salah satu pernyataan mengenai korupsi sebagai pelanggaran hak asasi manusia disampaikan oleh H. Mutammimul ‘Ula dari Fraksi Reformasi.

“Realitanya bahwa secara kualitatif, perilaku korupsi memang telah menyengsarakan rakyat. Korupsi sudah menimbulkan kerugian immaterial berupa bobroknya moral sebagian penyelenggara negara, termasuk aparat penegak hukum. Paradigma tentang korupsi seyogianya diubah dari paradigma hukum, sosial, dan ekonomi kepada paradigma hak asasi manusia. Dengan paradigma baru ini, setiap perbuatan korupsi yang menyerang dan mengancam serta menghancurkan hajat hidup orang banyak merupakan pelanggaran hak asasi” (vide, Risalah Pandangan Umum Fraksi Reformasi Terhadap RUU Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 18 Juni 2001).

Mahkamah Agung RI (2013) pun ketika memutus kasus korupsi Angelina Sondakh menyatakan perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat yang menyebabkan telah terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dalam perkembangan selama ini, masih terjadi perdebatan mengenai korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan. Ada yang mengatakan tidak semua jenis korupsi dapat dikualifikasikan langsung merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi setiap korupsi berkontribusi terhadap terciptanya pelanggaran HAM.

Dalam literatur korupsi, jenis korupsi yang lebih mudah teridentifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ialah korupsi state capture. Mengapa korupsi state capture? Karena elemen-elemen korupsi state capture lebih dekat dengan elemen-elemen kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma. State capture dalam definisi yang sederhana adalah korupsi politik yang bersifat sistemik, yang mana, kepentingan pribadi, individu, maupun perusahaan, mempengaruhi secara signifikan pengambilan keputusan pemerintah untuk keuntungan sekelompok pihak tersebut (Edwards: 2017).

Kalau kita melihat korupsi dewasa ini, sulit bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa korupsi yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi, tidak melanggar HAM. Hal ini kalau kita memeriksa dari beberapa ciri-ciri korupsi, korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang (pejabat/penyelenggara/aparat penegak hukum), rencana dan eksekusi korupsi dilakukan dengan rahasia, dan ada keuntungan timbal balik dan seterusnya. Acapkali kita memang tidak benar-benar dapat menerka apakah hasil korupsi digunakan untuk apa, oleh siapa dan dampaknya seberapa besar serta bentuknya seperti apa.

Namun dalam konteks HAM, pada prinsipnya, setiap korupsi berdampak baik langsung atau tidak langsung bagi rakyat dan pemerintahan di suatu negara. Pengusutan yang mendalam diharapkan bisa membongkar rahasia korupsi itu. Dalam perspektif HAM, adalah negara yang bertanggungjawab atas pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Perwujudan tanggungjawab negara termanifestasikan melalui tindakan aparatur negara yang mengelola dana publik untuk kesejahteraan rakyat. Menteri adalah aparatur negara. Menteri yang korupsi sama dengan negara korupsi. Menteri korupsi bansos, negara mengorupsi bansos.

Menteri korupsi kebijakan, rakyat kecil kehilangan mata pencaharian atau ruang hidup. Artinya, korupsi seperti suap atau gratifikasi oleh menteri atau pejabat negara/publik lainnya akan selalu berpotensi besar melanggar HAM atau menghancurkan kemanusiaan. Korupsi di tengah wabah kesehatan ini menampakan fenomena kemanusiaan hilang dalam jiwa yang fana. Apakah korupsi akan abadi? Semoga bukan korupsinya melainkan nama koruptorlah yang abadi agar dikenang dalam sejarah bahwa mereka merampok uang rakyat di tengah bencana.

Hukum Berat

Korupsi kemanusiaan tak bisa ditoleransikan. Hukuman berat harus dijatuhkan terhadap para pelaku. Menurut hemat Penulis, penting untuk memastikan bahwa hukuman yang berat menjerakan pelaku sepanjang hayatnya. Hukuman seumur hidup layak dipertimbangkan dalam konteks ini. Selain itu, walaupun jenis korupsi suap/gratifikasi misalnya, tapi dilakukan oleh menteri terhadap bansos dalam situasi krisis, sangat layak dipertimbangan hukuman pemiskinan koruptor dan/atau hukuman denda yang besar.

Jika aparat penegak hukum (penyidik, penuntut, dan hakim) tidak mempunyai sensitivitas dalam merumuskan hukuman berat, maka pemberantasan korupsi hanya omong kosong belaka. Potret hukuman pelaku korupsi selama ini masih jauh dari harapan. Hal ini bisa dilihat dari studi ICW. Misalnya, dalam tiga tahun terakhir vonis akhir pelaku korupsi rata-rata dalam kategori ringan: 2 tahun 2 bulan (2017), 2 tahun 5 bulan (2018), dan 2 tahun 7 bulan (2019). Tahun 2020 ini, pada kuartal-I vonis ringan masih berlanjut dengan rata-rata 3 tahun penjara. Tak hanya itu, tren penyunatan hukuman koruptor justru lebih banyak dilakukan di tingkat MA dan tren vonis bebas koruptor marak pula terjadi. KPK pun sempat mengonfirmasikan keramahan MA dengan data bahwa sepanjang tahun 2019-2020, ada 20 koruptor kelas kakap mendapatkan kortingan hukuman dari lembaga peradilan tertinggi itu.

Penulis berharap ini menjadi catatan penting. Penegak hukum harus berani dan punya komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Tujuan pemberantasan korupsi tak dapat tercapai bila tak dibarengi upaya pencegahan dan pelibatan peran serta masyarakat. Korupsi bansos atau ekspor benur misalnya,  telah menunjukan bahwa upaya pencegahan korupsi oleh pemerintah belum maksimal. Penataan sistem pencegahan perlu juga bersamaan dengan komitmen antikorupsi. Dan, akhirnya keterbukaan dan transparansi kepada publik wajib sifatnya agar ada aspirasi dan kontrol publik sehingga lebih tetap tujuan atau sasaran kebijakan tersebut. Sebagai sebuah bangsa, solidaritas dan soliditas dalam situasi genting ini penting digalakan. Pemerintah jangan sampai terlihat sekonyong-konyong ingin mengambil peran sendirian dalam level pengambilan kebijakan tingkat atas.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5febfe4e11279/korupsi-era-pandemi-adalah-korupsi-kemanusiaan-oleh–korneles-materay?page=4

Penulis: Korneles Materay

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online BHACA: Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19

Para ahli memprediksi bahwa perang melawan virus korona dapat memakan waktu yang tidak sebentar. Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah yang strategis dan berorientasi jangka panjang tidak hanya untuk menekan laju persebaran virus korona namun juga memitigasi dampak pandemi. Bagaimana evaluasi dari langkah-langkah yang sudah dilakukan serta strategi berkelanjutan apa yang perlu dilakukan setelahnya?

Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award mengundang Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta 2001-2011, Peraih BHACA 2010), Ita F. Nadia (Komisioner Komnas Perempuan 1999-2006, Koordinator Solidaritas Pangan Jogja), dan dr. Pandu Riono (Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) dalam diskusi online berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” pada Kamis, 14 Mei 2020

Pada awal ditemukan kasus positif, tentu semua orang menginginkan agar virus tidak menyebar luas, apa lagi dalam waktu yang singkat. Pengujian dan pelacakan menjadi pakem yang disepakati ahli kesehatan seluruh dunia untuk menekan laju penyebaran virus dan kemudian meredam dampak sosial dan ekonomi dari pandemi. Sayangnya, menurut dr. Pandu Riono, ketidaksigapan pemerintah membuat Indonesia terlambat dalam menangani pandemi hingga tidak lagi bisa melacak persebaran virus. Fokus pemerintah untuk memitigasi dampak ekonomi dengan bersikap lunak terhadap pembatasan sosial justru dapat meningkatkan potensi kerugian ekonomi yang jauh lebih besar. Dr. Pandu melihat bahwa narasi new normal yang mulai digaungkan seharusnya berorientasi jangka panjang, yakni membudayakan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), pembatasan sosial, serta membangun kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Pandemi bukanlah semata-mata problem kesehatan, melainkan juga berdampak secara ekonomi dan sosial. Dampak ini juga secara timpang lebih besar dialami oleh kelompok marjinal, yakni masyarakat yang bekerja di sektor informal. Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) memutuskan untuk membentuk dapur umum untuk menyuplai pasokan makanan kepada kelompok marjinal, terutama yang tidak terdaftar sebagai penerima bansos pemerintah karena tidak memiliki KTP maupun yang tidak memiliki rumah untuk memasak sembako. Selain kompleksitas pemetaan penerima bantuan, tantangan lain yang dialami SPJ adalah represi dari aparat penegak hukum atas nama pemberlakuan protokol jaga jarak. Atas alasan tersebut, koordinator SPJ, Ita F. Nadia, melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan tindakan-tindakan represif atas nama pencegahan penularan Covid-19 dan melindungi rakyat yang bergotong-royong saling membantu di situasi pandemi ini, seperti yang dilakukan oleh SPJ. Solidaritas untuk menghidupkan dapur umum dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari penjual nasi kucing, peternak, mahasiswa, hingga pekerja seks.

Solidaritas antar warga inilah yang juga dinilai Herry Zudianto sebagai kunci untuk membangun resiliensi warga menghadapi bencana, terlebih hal serupa sudah pernah berhasil menggerakkan Yogyakarta bangkit dari bencana gempa dan erupsi Gunung Merapi. Yang membuat bencana pandemi lebih menantang adalah ketidakpastian berapa lama bencana ini akan berlangsung. Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang tegas dan berorientasi jangka panjang, sebab melalui kebijakanlah nasib hidup banyak orang bergantung. Sebagai warga sipil yang pernah memiliki pengalaman mengemban kursi eksekutif lokal, Herry menilai bahwa pemerintah perlu menggunakan pendekatan dialog dengan masyarakat ketimbang represi.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Evaluasi & Proyeksi Keberlanjutan Penanganan Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan pada 14 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online BHACA: Kontroversi Revisi UU MK dan Implikasinya

DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU ini dianggap sarat kepentingan politik karena prosesnya yang cepat dan tak partisipatif serta tidak memuat hal yang substansial terkait penguatan kelembagaan MK. Praksis revisi dinilai merupakan kado bagi para hakim yang saat ini sedang menjabat.

Untuk mendiskusikan hal tersebut, Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award mengadakan diskusi berjudul “Kontroversi Revisi UU Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya” dengan dua narasumber, yaitu: (1) Violla Reininda (Koordinator Bidang Konstitusi dan Kenegaraan KoDe Inisiatif) dan Agil Octaryal (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia – PSHK).

Agil membuka pandangannya dengan melihat sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK merupakan perwujudan dari pandangan M. Yamin yang pertama kali dikemukannya dengan menawarkan 6 (enam) gagasan berkaitan dengan lembaga negara tingkat pusat di Indonesia atau the six Power of the Republic of Indonesia ketika berdebat di BPUPKI. Yamin ketika itu mengusulkan suatu lembaga yang diberi nama Balai Agung atau Mahkamah Agung yang tugasnya adalah untuk melakukan pengujian atau bahasa Yamin ketika itu adalah membanding suatu produk hukum dalam hal ini undang-undang terhadap undang-undang dasar yang dikenal hari ini dengan istilah judicial review. Praktek ini dimunculkan oleh Yamin ketika melihat beberapa praktik judicial review yang terjadi di Supreme Court Amerika Serikat dan Austria. Gagasan Yamin ditolak oleh Soepomo ketika itu. Alasan Soepomo menolak bukan karena menolak gagasan itu melainkan lebih karena persoalan teknis. Soepomo mengatakan bahwa Indonesia merdeka belum memiliki hakim yang mampu untuk melakukan fungsi tersebut dan kita juga belum punya pengalaman lembaga peradilan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Meskipun gagasan Yamin ditolak, ketika perubahan konstitusi pada tahun 2001 yaitu perubahan ketiga, gagasan Yamin itu kemudian diimplementasikan. Kewenangan itu tidak di Mahkamah Agung tetapi diberikan kepada satu lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi. Kehadiran MK penting seperti yang dinukilkan oleh John Agresto (1984) bahwa ketersediaan piranti berupa pengujian ini menjadi sebuah kebutuhan karena kalkulasi politik dan kepentingan sesaat para pembentuk undang-undang memberi peluang hadirnya undang-undang yang opresif dan despotik, artinya ketika undang-undang itu prosesnya tidak benar, materinya kacau, harus ada satu lembaga peradilan yang menguji itu. Oleh karena itu, hari ini kita mengenal MK, ujar Agil.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment)

Selain MK, lanjut Agil, perubahan konstitusi juga menghadirkan Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga ini dikenal sebagai anak kandung reformasi dengan porsi masing-masing. Komisi Yudisial dihadirkan dengan porsi atau tugasnya untuk mengawasi etika hakim, mengawasi pelaksanaan fungsi hakim, dan lain sebagainya. Kala itu, KY tidak hanya mengawasi hakim agung tapi hakim konstitusi karena memang praktik-praktik judicial corruption masih ada. KPK adalah lembaga yang ditugaskan khusus, selain membersihkan korupsi yang ada di kepolisian dan kejaksaan, juga membersihkan korupsi sampai ke akar-akarnya di Indonesia.

Sedangkan, Violla Reininda mengatakan bahwa jika Bung Hatta masih hidup hingga saat ini atau jika sudah di surga kemudian melihat apa yang terjadi di Indonesia pada hari ini tentu beliau akan menjadi satu salah satu founding parent yang merasa prihatin dengan praktik-praktik kemunduran berkonstitusi yang sudah dijalankan oleh para penyelenggara negara terutama oleh legislator dan juga pihak pemerintah dalam hal ini dalam pembentukan/revisi undang-undang mahkamah konstitusi.

Bung memang dikenal salah salah founding parent yang mempunyai pemikiran yang luar biasa, yang menjadi tandem soal pemikiran demokrasi dan juga kedaulatan rakyat. Sejak dulu Bung Hatta mengimpikan bahwa negara Indonesia nanti berdiri di atas satu tatanan kedaulatan rakyat. Rakyat yang berdaulat bukan kedaulatan penguasa sehingga pembentukan hukum menurut Hatta harus bersandar pada keadilan dan kebenaran yang hidup di hati rakyat. Menurut Violla kalau kita bandingkan dengan praktik yang sedang dilakukan oleh para legislator pada hari ini, praktik-praktik itu sudah jauh dari apa yang diinginkan oleh Hatta.

Alasan Revisi
RUU MK ini diusulkan oleh DPR. Alasan DPR merevisi sebagai berikut. Pertama, perubahan UU MK ini adalah tindak lanjut dari Putusan MK sehingga dimasukan dalam RUU Kumulatif Terbuka. Ada tiga putusan yakni Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011, Putusan No. 34/PUU-X/2012, Putusan No. 7/PUU-XI/2013. Hal ini dinilai Agil tidak masuk akal. Karena sejak tahun 2011, Putusan MK sudah ada, tapi kenapa baru dieksekusi sekarang?

Kedua, DPR mengklaim bahwa revisi ini merupakan carry over sehingga dilakukan cepat. Carry over maksudnya pembahasan undang-undang yang sebelumnya sudah dibahas bisa dilanjutkan di periode berikutnya. Menurutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 71A Undang-Undang No. 15 Tahun 2019, syarat carry over suatu undang-undang itu dikatakan carry over apabila Daftar Inventaris Masalah (DIM) sudah pernah dibahas atau sudah selesai dibahas baru kemudian bisa dibawa di periode berikutnya.

“Tetapi kalau kita lihat di UU MK, Raker pada tanggal 24 Agustus itu, yang dibahas DPR masih DIM-nya. Artinya daftar kumulatif terbuka sudahlah tidak masuk logikanya. Carry over juga tidak,” katanya.

Selain itu, dari segi prosesnya juga tertutup dan tergesa-gesa. “Kalau kita lihat prosesnya, misalkan. Sidang DPR itu sangat cepat. Jadi Raker di Komisi III itu dilakukan pada tanggal 24 Agustus, Rapat Panja, 26-28 Agustus dan itu sifatnya tertutup tidak bisa diakses oleh publik dan kemudian keputusan tingkat pertama pada tanggal 31 Agustus 2020. Kemudian Paripurna pengesahan itu dilakukan pada 1 September 2020. Artinya hanya butuh 7 hari kerja bagi DPR dan presiden untuk mengesahkan revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi,” ujag Agil.

Dengan prosesnya yang tertutup dan sangat cepat tentunya ini kemudian bisa dipastikan telah melanggar beberapa ketentuan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Menurut Agil, proses juga melanggar melanggar prinsip-prinsip umum di dalam konstitusi, prinsip hak asasi manusia, dan prinsip demokrasi dalam proses pembentukan undang-undang. Prinsip demokrasi misalnya, dalam proses pembentukan undang-undang itu harus ada partisipasi publik, harus ada keterbukaan, DPR itu harus mengajak siapa saja yang berkemungkinan besar akan berdampak dari revisi undang-undang ini.

“Ketika kita terdampak dalam revisi undang-undang ini, maka kita diberikan beberapa hak misalkan hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan terakhirlah hak untuk diajak bicara mengambil keputusan. Tetapi ini tidak dilakukan dalam revisi undang-undang mahkamah konstitusi,”

Tak Menyentuh Kebutuhan MK
Menurut Agil, dari sekian banyak kebutuhan yang ada di Mahkamah Konstitusi, revisi UU MK itu sama sekali dilakukan tidak menjawab kebutuhan yang ada di Mahkamah Konstitusi. “revisinya dilakukan hanya untuk untuk memberikan hadiah kepada hakim saja tanpa kemudian menjawab kebutuhan,” katanya.

Paling tidak ada tujuh kebutuhan mendesak MK. Pertama, berkaitan dengan constitutional complain atau pengaduan konstitusional. Menurtu Agil, sebenarnya constitutional complain adalah kewenangan yang secara kelembagaan juga diminta oleh mahkamah konstitusi kepada DPR dan pemerintah. Awalnya DPR dan pemerintah menyepakati tapi dalam proses kemudian constitutional complaint itu tidak diakomodir artinya dihapuskan dalam proses itu.

Kedua, constitutional question atau pertanyaan konstitusional dari warga negara kepada Mahkamah Konstitusi apabila kemudian ada kebijakan atau ada regulasi yang dirasa melanggar hak konstitusional atau tidak. Ketiga, pengujian peraturan perundangan satu atap di Mahkamah Konstitusi. Saat ini, proses pengujian undang-undang itu masih tersebar di Mahkamah Agung dan di Mahkamah Konstitusi. Kadang-kadang dua pengadilan ini saling menegasikan. Misalkan, mantan napi korupsi untuk menjadi calon legislatif. Di MK dilarang tetapi kemudian di Mahkamah Agung diperbolehkan.

Keempat, mengatur standar rekrutmen Hakim Konstitusi. Sekarang ini, standar itu berbeda-beda. DPR prosesnya berbeda dengan Presiden. Presiden berbeda dengan Mahkamah Agung. Di Presiden menerapkan pansel dan lebih terbuka. Di DPR, prosesnya tidak menggunakan pansel tetapi lebih menggunakan panel ahli yang mana tidak memiliki hak untuk memutuskan siapa yang dipilih tapi lebih hanya bertanya kepada kepada calon-calon. Menurut Agil, paling parah di Mahkamah Agung karena prosesnya itu sangat tertutup.”Calon yang diajukan kita tidak tahu tiba-tiba saja namanya sudah disetujui, sudah disumpah, diangkat oleh presiden atau dilantik.

Kelima, melakukan penguatan terhadap dewan etik dan pengawasan MK. Keenam, pengaturan terkait kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Ketujuh, mengkompilasi peraturan yang berkaitan dengan hukum acara yang sekarang masih berserakan di peraturan mahkamah konstitusi dan levelnya kita menaikkan level undang-undang.


Sumber: presentasi Agil Octaryal

“Dari 7 (tujuh) kebutuhan MK tadi itu sama sekali tidak dijawab dalam revisi. Karena kalau ini dilakukan maka kita bilang bahwa MK akan semakin kuat. MK akan menjadi tempat bagi kita. Jadi semacam menjadi pohon pelindung bagi warga negara untuk melindungi hak konstitusionalnya. Tetapi itu tidak dilakukan oleh DPR dalam revisi undang-undang ini,” ujar Agil.

Revisi ini hanya ditujukan untuk merevisi masa jabatan Hakim. Yang diatur itu adalah usia Hakim itu harus minimal 55 tahun dan maksimal atau usia pensiun adalah 70 tahun atau tidak melebihi masa jabatannya selama 15 tahun. Artinya revisi ini sederhananya ingin bahwa masa jabatan hakim konstitusi itu hanya satu periode dan masanya adalah 15 tahun tanpa kemudian proses seleksi lagi di tiap 5 tahun. Kemudian yang diatur juga adalah jabatan ketua dan wakil ketua 5 tahun. Ketentuan sekarang dua setengah.

Dari sisi implikasi, Violla menyampaikan pandangannya bahwa revisi UU MK bermasalah baik dari segi prosedural maupun dari segi substansi karena dua-dua proses ini atau dua unsur ini tidak mengindahkan nilai-nilai konstitusi, tidak mengindahkan ruh konstitusi. Menurutnya, seharusnya semua hal yang berkenaan dengan aturan hukum kekuasaan kehakiman harus disusun secara komprehensif dan secara hati-hati karena revisi undang-undang kekuasaan kehakiman/pembentukan undang-undang kekuasaan kehakiman bukan hanya mempersoalkan hukum acara jabatan hakim, bagaimana putusan, bukan hanya soal itu ada hal yang lebih esensial lagi di dalamnya yaitu dia menjamin dan juga mengatur soal apa yang saat ini dipegang mahkamah sebagai mahkota yaitu independensi dan juga imparsialitas.

“Independen dan imparsial adalah dua hal yang sangat penting untuk dipegang satu lembaga peradilan. Sebab, dia ditempatkan sebagai satu lembaga netral yang kemudian dapat dimintakan untuk memberikan keadilan terhadap suatu hal kalau dalam dalam hal ini mahkamah konstitusi suatu hal yang dapat berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara dan juga mengoreksi produk legislasi yang dihasilkan jangan sampai setiap undang-undang yang ditelurkan oleh DPR dan juga pemerintah itu ada satu titik pun yang melanggar atau tidak mengindahkan nilai-nilai dari konstitusi sendir,” katanya.

Lanjut Violla, apa yang ini sangat berbeda sekali naskah yang ditawarkan di 2017-2018 dimana itu lebih komprehensif. Kala itu, juga membahas soal hukum acara Mahkamah Konstitusi. Adanya pertimbangan-pertimbangan soal kenapa kemudian periodisasi harus dihapus, kenapa usia/masa jabatan hakim harus diperpanjang dan sebagainya.

“Di periode lalu yang mengusulkan pemerintah maka yang harus dan menyusun adalah DPR itu tetapi yang periode sekarang DPR itu saja sudah tidak kompatibel”

Violla melihat, tidak ada aturan substantif lainnya yang diatur yang memberikan perubahan yang signifikan untuk penguatan Mahkamah Konstitusi. “Memang hanya berkutat pada memperpanjang masa jabatan ketua menjadi 5 tahun, kemudian memutuskan periodisasi hakim konstitusi dan jabatan hakim konstitusi menjadi di menjadi 15 tahun maksimal sampai usia pensiun 70 tahun.”

Dalam revisi yang sekarang DPR dan Pemerintah sama sekali tidak memberikan rasionalisasi dalam naskah akademik. Apa yang menjadi pertimbangan yuridis, filosofis, atau bahkan sosiologis kenapa aturan jabatan hakim ini harus di diubah seperti itu.

Menguntungkan Petahana
Violla mengatakan, pokok permasalahannya kenapa kemudian bisa sampai merenggut mahkota dari mahkamah konstitusi itu sendiri adalah di dalam aturan peralihan revisi undang-undang ini. “Di dalam Pasal 87, dijelaskan bahwa revisi undang-undang ini mengikat bagi hakim yang sedang menjabat sekarang.”

Menurut Data KoDe Inisiatif, nanti per tahun 2021 sampai 2025, setidaknya ada 6 orang hakim konstitusi yang sudah memenuhi masa jabatan dua periode dengan ukuran UU sebelum revisi ini. “Dengan disahkannya revisi undang-undang ini, ke-6 (enam) hakim tersebut bisa mendapatkan semacam insentif begitu untuk lanjut lagi, maksimal maksimal 15 tahun sampai usia pensiun di usia 70 tahun,” ungkapnya

Ia melihat ini bisa dijadikan satu komoditas untuk ditukar antara legislator dan juga Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut, ia melihat revisi secara lebih luas bukan hanya mengancam MK tetapi mengancam sistem ketatanegaraan secara keseluruhan. “Dalam hal ini check and balances yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah salah satunya dengan melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar jadi objek produk yang sudah dihasilkan oleh pemerintah dan DPR bisa diperiksakan konstitusionalitasnya. Ini sudah ada indikasi barter di dalam satu klausul pasal 87 tadi maka yang kami khawatirkan ini bisa menjadi berdampak pada Mahkamah Konstitusi diisi oleh partisanm” sebutnya.

Partisan yang mendukung pemerintah dan juga mendukung legislator apapun produk legislasi yang dihasilkan kalau misalnya produk legislasi yang dihasilkan itu untuk kemaslahatan kemaslahatan publik dan masih konstitusional tentu didukung tetapi melihat kecenderungan pembentukan undang-undang di satu periode belakang bahkan di tahun ini seolah-olah pembentuk kehilangan orientasi, kehilangan prioritas. “Kalau kita biarkan saja seperti ini terus maka kita akan melegitimasi kebobrokan dari pembentukan legislasi.”

Judicial Review
Karena itu, menurut Violla, UU MK perlu kemudian diajukan pembatalannya. Opsi membatalkan undang-undang secara konstitusional itu sebenarnya ada dua yaitu legislative review dan constitutional review. Legislative review berarti kembali ditinjau DPR dan Pemerintah. Constitutional review ke Mahkamah Konstitusi. Namun, tidak mungkin opsi pertama sehingga JR ke MK suatu keniscayaan.

Violla menyampaikan, berdasarkan catatan KoDe Inisiatif, MK sudah memutus sekitar 40 pengujian tentang UU MK itu sendiri. Bahkan tidak hanya undang undang MK tetapi undang-undang lain yang ada kaitannya dengan kewenangan MK pun pernah juga diputus.

Ujian Kenegarawanan
Revisi UU MK ini akan menjadi satu ujian kenegarawanan bagi hakim konstitusi kelak ketika sudah diujikan di ruang MK nanti. “Jadi disini kita bisa melihat secara jelas hakim konstitusi itu masing-masing ketika memutus perkara ini akan membuka topengnya. Kita akan melihat siapa hakim konstitusi yang cukup negarawan dalam revisi undang-undang ini. Siapa juga yang akan merasa senang dengan revisi undang-undang ini. Karena ini akan menjadi satu ujian yang berat. Satu ujian yang menjadi penentu keberlangsungan praktik ketatanegaraan kita ke depan,” tandasnya.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Kontroversi UU MK dan Implikasinya” yang diselenggarakan pada 10 September 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Acara, Artikel, Berita

Serial Diskusi Online bersama Peraih BHACA: Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat

Pandemi Covid-19 adalah masalah yang berdampak pada setiap elemen masyarakat, mulai dari adanya aturan baru yang mengadaptasi situasi, perubahan situasi ekonomi, hingga terujinya rasa kemanusiaan untuk saling membantu. Berbagai inisiatif dalam merespons pandemi dilakukan, baik itu oleh negara, sektor swasta, hingga masyarakat akar rumput. Namun, bagaimana dan apa peran masing-masing sektor masyarakat ini untuk memastikan akuntabilitas dalam kebijakan, inisiasi, gerakan, maupun program yang merespons pandemi?

Bung Hatta Anti-Corruption Award mengundang Heru Pambudi (Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, Peraih BHACA 2017), Alissa Wahid (Koordinator Jaringan Gusdurian), dan Karaniya Dharmasaputra (Presiden Direktur OVO, Peraih BHACA 2003) dalam diskusi berjudul, “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat”

Merespons pandemi Covid-19, Jaringan Gusdurian yang dikoordinasi oleh Alissa Wahid menargetkan bantuan untuk pekerja sektor informal dengan menggerakkan anggota jaringan yang mampu mendistribusikan bantuan hingga menyentuh akar rumput. Untuk memastikan akuntabilitas distribusi bantuan sosial, Jaringan Gusdurian membentuk lembaga formal bernama Yayasan Gusdurian Peduli dan menerapkan mekanisme audit serta pelaporan pengumpulan dan penggunaan keuangan masing-masing program secara terbuka. Jaringan Gusdurian juga berkomitmen untuk menekan biaya operasional dengan memberdayakan pekerja informal (seperti ojek pangkalan untuk mendistribusikan bantuan). Alissa Wahid menekankan pentingnya akuntabilitas demi membangun kredibilitas suatu gerakan solidaritas.

Berbicara mewakili elemen pemerintah, Heru Pambudi menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah merespons pandemi, seperti pembebasan fiskal dan cukai untuk beberapa barang demi memastikan ketersediaan alat kesehatan dan bahan pangan, serta mempermudah birokrasi impor untuk instansi seperti rumah sakit atau kampus. Demi memastikan akuntabilitas dan transparansi, Dirjen Bea dan Cukai mengandalkan otomasi dan fasilitas trace and track yang juga dapat dipantau oleh masyarakat. Heru Pambudi melihat bahwa situasi pandemi memberikan peluang untuk membentuk kebiasaan baru seperti mengejar efisiensi tata kelola, penghematan anggaran, dan transparansi birokrasi.

Tidak hanya masyarakat akar rumput saja yang ingin turut membantu, namun juga sektor swasta. Karaniya Dharmasaputra membagikan pengalaman dan pelajaran dari Ovo, Tokopedia, dan Grab melalui pemanfaatan teknologi digital bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan untuk menghimpun dana masyarakat serta mendistribusikan bantuan dengan tetap meminimalkan kontak manusia. Melalui kacamata sektor swasta, Karaniya menggarisbawahi pasal-pasal karet yang meski memiliki semangat antikorupsi namun dapat menjadi alat korupsi baru dan melemahkan peran sektor swasta. Menurut Karaniya, negara dan demokrasi akan kuat jika tiga elemen (negara, masyarakat, dan swasta) dapat bersinergi dengan baik. Situasi baru yang dibentuk oleh pandemi ini memaksa kita untuk melihat dan membuat budaya baru dan sistem baru.

Rekaman Diskusi Online BHACA bertajuk “Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19: Peran Negara dan Masyarakat” yang diselenggarakan pada 7 Mei 2020 dapat disaksikan di Facebook Bung Hatta Award dan YouTube Bung Hatta Award.

Berita

Revisi UU MK Tidak Sesuai Kebutuhan

Koalisi Save Mahkamah Konstitusi menilai revisi undang undang Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 24 tahun 2003 yang disahkan pada Selasa, 1 September 2020 tidak menjawab kebutuhan MK. Revisi itu hanya menyenangkan hakim MK lantaran merevisi masa jabatan hakim MK.

“Misalkan yang diatur (dalam revisi UU MK) usia hakim minimal 55 tahun dan maksimal atau usia pensiun itu 70 tahun atau tidak melebihi masa jabatannya selama 15 tahun,” ujar Agil Oktaryal, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dalam diskusi yang digelar oleh perkumpulan BHACA (Bung Hatta Anti-Corruption Award) bertajuk “Kontroversi UU Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya, Kamis, 10 September 2020.

Agil menilai masa jabatan 15 tahun untuk hakim MK tidak sesuai diterapkan di Indonesia sebab tingkat kepercayaan masyarakat terhadap peradilan sangat rendah. Ia mempertanyakan DPR yang memasukkan revisi UU MK melalui RUU kumulatif terbuka.

“Padahal putusan MK yang menjadi tindak lanjut dalam merevisi UU MK tersebut telah berlangsung lebih dari sembilan tahun yakni putusan MK 49/PUU-IX/2011, 34/PUU-X/2012, 7/PUU-XI/2013,” kata Agil menambahkan.

Ia juga mempertanyakan proses revisi UU MK yang dikategorikan carry over atau pengalihan pembahasan. Padahal, syarat suatu UU dikatakan memenuhi syarat yakni Daftar Inventaris Masalah (DIM) sudah pernah dibahas atau sudah selesai dibahas pada periode sebelumnya, sedangkan pada Raker Komisi III, Senin, 24 Agustus 2020 silam masih membahas DIM.

Menurut Agil, proses revisi UU MK yang bersifat tertutup dan prosesnya cepat selama tujuh hari, serta tidak partisipatif melanggar ketentuan UU 12 tahun 2011 tentang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan pasal 88 dan pasal 96.

“Revisi UU ini juga melanggar prinsip prinsip umum dalam konsitusi yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 22, serta dianggap menciderai semangat reformasi MK,” kata Agil menjelaskan.

Agil menyebut revisi UU MK seharusnya menyasar pada tujuh kebutuhan yang mendesak antara lain constitutional complaint (pengaduan konstitusional), constitutional question (pertanyaan konstitusional), melakukan pengujian undang undang satu atap di Mahkamah Konstitusi.

Selain itu mengatur standar rekrutmen hakim konsittusi yang berasal dari tiga lembaga, melakukan penguatan pengawasan dan dewan etik MK, kepatuhan terhadap putusan MK dan sanksi yang diberikan jika putusan MK tidak dilaksanakan, mengkompilasi peraturan yang berkaitan tentang hukum acara MK dan menaikkannya ke level undang undang.

“Kalau ini dilakukan maka MK akan semakin kuat, MK akan menjadi tempat pohon pelindung untuk melindungi konstitusi warga negaranya,” katanya.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Konstitusi dan Demokrasi (KoDE) Inisiatif, Violla Reininda, menganggap revisi UU MK sebagai ancaman besar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia karena berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap MK dan konstelasi jabatan hakim konstitusi di masa depan.

“Revisi UU MK ini kalau kita biarkan saja begini terus maka kita akan melegitimasi kebobrokan pembentukan legislasi yang tidak sejalan dengan UUD 1945,” ujar Violla.

Koalisi Save Mahkamah Konstitusi berencana mengajukan judicial review atau uji materi revisi UU MK ke MK. Koalisi ini terdiri dari KoDe Inisatif, PSHK, ICW, PuSaKO, FH Unand, YLBHI, LeIP, PILNET Indonesia, PUSKAPA, PBHI, IJRS, ICJR, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, ICEL, Imparsial dan LBH Apik Jakarta.

Sumber: https://serat.id/2020/09/11/revisi-uu-mk-tidak-sesuai-kebutuhan/

Acara, Artikel, Berita

Tak Libatkan Partisipasi Publik, Revisi UU MK Dinilai Langgar Ketentuan Pembentukan UU

Pusat Studi hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai Revisi Undang Undang Mahkamah Konstitusi melanggar pembentukan undang – undang itu sendiri.

Pasalnya berkenaan dengan ketentuan partisipasi publik, masyarakat tidak diberikan akses sama sekali untuk terlibat dalam rencana perubahan tersebut.

“Malahan berkaitan dengan partisapasi publik, kita nggak pernah diberikan akses sama sekali. Akhirnya prosesnya melanggar pembentukan peraturan perundang – undangan,” kata Peneliti PSHK Agil Oktaryal dalam diskusi daring ‘Kontroversi Revisi UU MK dan Implikasinya’, Kamis (10/9/2020).

Padahal menurut Agil, prinsip demokrasi dalam pembentukan undang – undang harus melibatkan partisipasi publik.

DPR dalam kasus ini, semestinya mengajak pihak yang terdampak dari revisi peraturan tersebut.

MK kata dia, saat ini jadi satu – satunya lembaga yang masih dipercaya oleh publilk berdasarkan sejumlah jajak pendapat beberapa lembaga.

“MK ini kehadirannya diminta oleh publik, diinginkan publik. MK juga jadi satu – satunya lembaga yang masih dipercaya oleh publik. Ini sangat menciderai semangat reformasi di mana publik tidak diajak,” ucapnya.

Sumber:  https://www.tribunnews.com/nasional/2020/09/10/tak-libatkan-partisipasi-publik-revisi-uu-mk-dinilai-langgar-ketentuan-pembentukan-uu.

1 2 3 4 5 6
Donasi