Hubungi Kami
Artikel, Berita, SIARAN PERS

Menyoal Rencana Pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan Adik Presiden Joko Widodo: Potensi Konflik Kepentingan di Lembaga Kekuasaan Kehakiman

Rencana pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dan adik Presiden Joko Widodo, Idayati menjadi sorotan publik. Menikah adalah hak Ketua MK. Namun, pernikahan itu akan menjadi ujian sikap kenegarawanan Ketua MK. Potensi benturan kepentingan bakal jadi masalah krusial kelak karena terbentuknya relasi semenda antara Ketua MK dengan Presiden. Sederhananya publik akan bertanya, bagaimana sikap dan objektivitas Ketua MK saat menyidangkan perkara-perkara pengujian undang-undang, di saat yang sama ia memiliki relasi kekeluargaan dengan Presiden? Hakim MK harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun untuk memastikan benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi tetap terjaga.

Plato dalam bukunya yang berjudul The Statesman telah menekankan soal kemampuan negarawan (hakim) untuk bersikap adil dan baik serta mengutamakan kepentingan warga negara, ketimbang aspek pribadinya. Dalam beberapa waktu belakangan ini, MK dideru perkara-perkara pengujian undang-undang yang sarat muatan politis termasuk diantaranya UU IKN dan UU MK. MK juga sedang dalam fase juristocracy atau meminjam gagasan C Neil Tate, judicialization of politics, yakni ekspansi lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara yang memiliki unsur politis. Kondisi ini akan membawa implikasi yang fatal tatkala hakim terperangkap benturan kepentingan.

Paling tidak ada dua aturan yang berpotensi dilanggar bila Ketua MK tidak segera mengambil sikap yang bijaksana sebagai seorang negarawan. Pertama, Pasal 17 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 17 ayat (4) berbunyi “Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat;” Pasal 17 ayat (5)  berbunyi “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Perlu ditegaskan juga bahwa terdapat konsekuensi logis bila ketentuan ayat (5) dilanggar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (6) yaitu bahwa putusan dinyatakan tidak sah dan hakim akan dikenakan sanksi administratif atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Kedua, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Dalam perspektif peraturan a quo, terdapat 2 prinsip pokok yang rawan benturan kepentingan dan berpotensi dilanggar yakni prinsip independensi dan prinsip ketakberpihakan. Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara.

Berdasarkan uraian di atas, jika nantinya terjadi pernikahan Anwar Usman dengan adik Presiden Joko Widodo, Idyati, maka Koalisi Masyarakat Selamatkan MK mendesak agar Ketua MK mengundurkan diri dari jabatannya.  Sebab jika tidak, hal tersebut tentu akan berimplikasi pada independensi dan imparsialitasnya sebagai hakim konstitusi yang berujung pada kualitas putusan yang tidak adil dan baik.

Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi 

  1. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
  4. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) 
  5. Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA)
  6. Konsitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) 
  7. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) 

Narahubung:

  1. Raden Violla Reninda (0821-1672-2151)
  2. Korneles Materay (0821-3887-0341)
Artikel, Berita

Kekerasan, Korupsi, dan PR Negara

Oleh: Korneles Materay
Peneliti Bung Hatta Anti Corruption Award

Tiap tanggal 9 dan 10 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari HAM Sedunia. Selain itu, pada hari ini berakhirnya Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Di tengah momentum peringatan ini masih ada pekerjaan rumah besar yang belum dikerjakan tuntas. Adalah kekerasan dalam upaya mengungkap, mencegah dan memberantas korupsi.

Kerja-kerja antikorupsi berisiko tinggi. Berulang kali kasus-kasus kekerasan menimpa pekerja antikorupsi. Namun, aparat penegak hukum sebagai representasi negara dalam mengusutnya tidak berbuah hasil yang maksimal. Sebagai contoh, serangan siber terhadap aktivis, mahasiswa dan akademisi yang kritis terhadap revisi UU KPK tak diketahui juntrungannya. Sejauh mana kasus itu diusut dan siapa pelaku serangan. Padahal jumlah korbannya sangat banyak.

Kekerasan dan Korupsi Dalam Lintas Sejarah

Korupsi dan kekerasan berkelindan dalam banyak kasus korupsi sudah lama terjadi. Tiap orde punya catatan kasusnya masing-masing. Era Orde Lama, Jaksa Agung RI pertama Gatot Tarunamiharja pernah mengalami percobaan pembunuhan oleh tentara dengan cara ditabrak hingga kakinya buntung. Salah satu kasus yang pada waktu itu ditanganinya adalah penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara dibawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan baret di Tanjung Priok yang melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo.

Di era Orde Baru, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono meninggal mendadak pada 29 Juni 1990. Ia telah berhasil membongkar beberapa kasus korupsi. Sebelum meninggal, ia menggagas kebijakan menayangkan wajah koruptor di televisi. Kemudian kasus yang cukup terkenal ialah meninggalnya wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin di Bantul. Udin dipukul orang tak dikenal hingga koma dan meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Pemberitaan kasus korupsi di Bantul diduga menjadi alasan tindak kekerasan menimpanya.

Memasuki Orde Reformasi, ada Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang ditembak empat orang tak dikenal pada 2001 silam. Ia tengah menangani kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang menyeret nama anak Presiden Soeharto. Meninggal mendadak juga terjadi atas mantan Jaksa Agung Baharudin Lopa. Banyak pihak menduga terkait kasus-kasus besar yang ia tangani. Tahun 2010, kekerasan bersenjata menimpa eks Peneliti ICW Tama Satrya Langkun. Kala itu, Tama mengungkap kasus rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi Polri kepada KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Pada 2017, mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan terkena siraman air keras di wajahnya oleh orang tak dikenal. Akibatnya mata kirinya mengalami cacat permanen. Diduga kuat aksi pelaku terkait dengan kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang besar yang ditangani Novel cs. Kekerasan terhadap insan KPK lainnya misal teror penabrakan kendaraan pegawai KPK, perusakan kendaraan, dan perampasan perlengkapan penyidik seperti yang dialami penyidik KPK Surya Tarmiani. Bahkan rumah eks Ketua KPK Agus Raharjdo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dilempari bom Molotov.

Asrul seorang jurnalis di Palopo dilaporkan karena menulis berita berjudul ‘Putra Mahkota Palopo Diduga “Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zero Rp11 Miliar’, yang dimuat Beritanews.com pada 10 Mei 2019. Ia bahkan telah divonis hakim dinilai melakukan penghinaan, pencemaran nama baik. Wartawan Tempo Nurhadi di Surabaya disekap dan dipukuli ketika menjalankan tugas jurnalistiknya pada 27 Maret 2021. Dia tengah melakukan konfirmasi perkara suap pajak yang ditangani KPK.

Selain itu, sejumlah aktivis ICW hingga para mantan pimpinan KPK mengalami peretasan dan teror ketika sedang berdiskusi menyikapi upaya pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Masih terkait TWK ialah pertanyaan-pertanyaan yang merendahkan martabat serta melecehkan perempuan. Kasus-kasus di atas hanya sebagian kecil dari begitu banyak kejadian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Pola Kekerasan

Kerja-kerja pemberantasan korupsi rentan mengalami kekerasan bahkan nyawa menjadi taruhannya. Lantas, bagaimana pola-pola kekerasannya? Jika membaca keberulangan yang terjadi, pola-pola kekerasan tersebut, antara lain: pertama, kekerasan fisik seperti penembakan, pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, penusukan, penyekapan, perampasan, hingga penyiraman air keras. Kedua, non-fisik dan serangan siber. Dalam konteks sekarang, peretasan akun media massa, akun lembaga mahasiswa, akun pribadi para aktivis/mahasiswa/akademisi; ancaman/teror berupa pesan singkat, doxing, pertanyaan-pertanyaan tes pegawai yang seksis, misoginis atau merendahkan/melecehkan hingga framing isu. Ketiga, memanfaatkan celah hukum seperti mengkriminalisasi.

Kekerasan fisik bertujuan untuk melukai atau mungkin sekaligus melenyapkan subyek secara langsung. Sedangkan, non-fisik dan serangan siber memainkan sisi emosi/mental subyek agar menghentikan aktivisnya karena ada konsekuensi yang akan dihadapi.

PR Negara

Secara prinsip, kekerasan itu merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Pelanggaran atas hak-hak dasar warga negara untuk berpikir, berpendapat dan berekspresi serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional. Sebagai negara hukum dan negara demokrasi, kekerasan demi kekerasan ini mengindikasikan kemunduran bernegara hukum dan berdemokrasi. Sebagaimana mandat konstitusi, maka negara utamanya pemerintah memiliki tanggungjawab untuk melindungi dan menjamin setiap warga negara bebas dari kekerasan fisik maupun non-fisik tatkala menjalankan hak-hak konstitusionalitasnya.

Hingga hari ini, puluhan hingga ratusan kasus kekerasan itu tidak diselesaikan aparat penegak hukum. Para korbannya menanti keadilan. Ini adalah pekerjaan rumah negara yang akan tercatat dalam sejarah. Adalah sebuah keniscayaan ketika prinsip-prinsip rule of law, prinsip-prinsip negara demokrasi dijalankan atau ditegakan, maka kita mampu memberantas korupsi dengan tuntas. Harapan kita akan negeri yang bersih, adil, dan makmur akan tercapai. Sebaliknya, bila tak berjalan rule of law, demokrasi disumbat, maka Indonesia bebas korupsi adalah utopia.

Berita, SIARAN PERS

Dampak Pembatalan PP 99/2012: Kemenangan Besar Para Koruptor!

Pemberantasan korupsi kembali berada di titik nadir. Betapa tidak, regulasi yang dianggap pro terhadap pemberantasan korupsi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) malah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman. 

Perlu diketahui, PP 99/2012 pada dasarnya sudah cukup baik mengakomodir pengetatan syarat pemberian remisi bagi koruptor. Dalam PP tersebut, khususnya Pasal 34A ayat (1) telah menyebutkan bahwa syarat untuk terpidana korupsi mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal, yakni bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti. Ini menunjukkan bahwa PP 99/2012 telah mempertimbangkan dengan sangat baik pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang membutuhkan cara-cara luar biasa dalam penanganannya, salah satunya memperketat pemberian remisi.  

Setidaknya ada tiga isu yang dijadikan pertimbangan oleh MA ketika membatalkan PP 99/2012. Pertama, PP 99/2012 dianggap tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice. Kedua, regulasi itu juga dipandang diskriminatif, karena membeda-bedakan perlakuan kepada para terpidana. Ketiga, kehadiran peraturan tersebut mengakibatkan situasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan. 

Menanggapi pertimbangan tersebut, setidaknya ada tiga poin besar yang penting untuk disampaikan. Pertama, MA inkonsisten terhadap putusannya sendiri. Betapa tidak, sebelumnya melalui putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana. Lagi pula, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan UUD 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime

Kedua, pandangan hakim MA yang menilai bahwa pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice juga keliru. Mesti dipahami, pemaknaan model restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan. Secara konsep, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan. Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya. 

Ketiga, MA keliru dalam melihat persoalan overcrowded di lembaga pemasyarakatan. Sebab, problematika terkait overcrowded bukan pada persyaratan pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya terkait narkotika. Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen (1.906 orang). Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal. 

Adanya putusan MA ini semakin mengkhawatirkan, terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim juga sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada para koruptor. ICW mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS). Tidak hanya itu, Menkumham sendiri juga pernah mengeluarkan SE MenkumHAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 yang pada intinya memberikan kemudahan bagi koruptor yang dipidana sebelum berlakunya PP 99/2012.

Maka dari itu, merujuk dari catatan-catatan di atas, ICW mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor. 

Indonesia Corruption Watch – Pusat Kajian Antikorupsi UGM – Bung Hatta Anti Corruption Award

Acara, Berita

Diskusi “Napak Tilas Pengelolan SDM KPK & Pemberantasan Korupi”

Diskusi Napak Tilas Pengelolaan SDM KPK dan Pemberantasan Korupsi  adalah suatu upaya untuk melihat perjalanan sejarah pembangunan kelembagaan KPK, pengelolaan SDM, dan budaya kerja. Diskusi ini merupakan kerjasama Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award, Transparency International Indonesia, dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang diselenggarakan pada 7 Juni 2021. Hadir sebagai narasumber: 1. Erry Riyana Hardjapamekas – Wakil Ketua KPK 2003 – 2007, Peraih BHACA 2003; 2. Judhi Kristantini – Konsultan SDM & Organisasi KPK 2003 – 2010; 3. Waluyo – Deputi Pencegahan KPK 2004 – 2008; dan 4.  Gita Putri Damayana – Direktur Eksekutif PSHK, Pengajar STIH Jentera. Bertindak selaku moderator: Natalia Soebagjo – Pansel Capim KPK 2015-2019, Dewan Pendiri BHACA, International Council of Transparency International.

Bagaimana KPK membangun kelembagaan, manajemen SDM, dan budaya kerjanya? Menurut Wakil Ketua KPK 2003 – 2007 Erry Riyana Hardjapamekas, dalam membangun kelembagaan yang kuat, KPK melibatkan banyak pihak yang memiliki rekam jejak baik seperti pakar SDM, pakar strategis, dan lain-lain. Sampai pada akhirnya disepakati nilai, budaya dan strategi kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.

Sejak Pimpinan jilid pertama, KPK fokus menyelesaikan pembangunan sistem dan manajemen SDM. SDM dikreasikan sebagai pondasi utama implementasinya. SDM yang dihadirkan dalam KPK adalah yang multi-disiplin dan beragam. Manajemen SDM dibentuk berdasarkan nilai-nilai keberagaman & keilmuwan. Organisasi KPK dibangun bak melting pot. Karena itu pula, budaya kerja KPK dikonsepsikan sebagai budaya kerja yang egaliter. Di dalam-nya integritas merupakan sesuatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar, papar Erry.

Mantan Deputi Pencegahan KPK 2004 – 2008 Waluyo merefleksikan bahwa pembangunan kelembagaan KPK meletakan integritas sebagai hal esensial, tidak semata-mata soal kompetensi teknis. Menurut Waluyo awal membangun nilai, budaya, strategi KPK, Pimpinan KPK egaliter, terbuka, memberikan kesempatan yang sama kepada insannya untuk memberikan pendapat & usulan. Walaupun situasi sulit, tetapi nilai yg terpenting dipegang adalah kejujuran & kepercayaan (trust). Selama menangani proses seleksi, assement atau rekruitmen di KPK, semua proses penuh dng idealisme, Pimpinan KPK mengikuti setiap proses & memahaminya. Secara prinsip proses dan tujuan untuk antikorupsi, ujar Konsultan SDM & Organisasi KPK 2004 – 2010 Judhi Kristantini.

Rekaman diskusi selengkapnya di Youtube Bung Hatta Award BHACA

Berita

Diskusi Online BHACA “Tragedi KPK”

By definition, korupsi adalah soal kekuasaan, sehingga di manapun di dunia ini, Lembaga pemberantas korupsi harus independen dari kekuasaan manapun. Menurut Bivitri Susanti, masalah pemberhentian 75 pegawai KPK, bukan keluhan orang-orang gagal tes. Justru itu mitos. Hal ini disampaikan Bivitri dalam diskusi “Tragedi KPK”  yang diselenggarakan BHACA pada Jumat (28/5). Dalam perspektif antikorupsi yang lebih besar, ini bukan masalah kepegawaian, tapi tugas pemberantasan korupsi sedang diacak-acak maling yang ada di kekuasaan.

Alih status pegawai KPK akibat dari pelemahan KPK tahun 2019 yang dilakukan dengan dua hal: (1) revisi UU KPK; (2) dipilihnya pimpinan KPK yang bermasalah. Secara formal, alih status dibuat karena independensi KPK di UU 19/2019 diruntuhkan. Keputusan pemberhentian pegawai dan/atau non-job 75 pegawai KPK yang kemudian direvisi menjadi 51 tidak ada dasar hukumnya dan melanggar asas negara hukum termasuk asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Secara ekplisit, UU 19/2019 dan PP 41/2020 tidak menyebutkan TWK sebagai syarat alih status. Hal ini sesuai dengan original intent pembentuk UU KPK. Selain itu, Putusan MK Nomor 70/PUU-XVIII/2019 jelas menyatakan pengalihan status tidak boleh merugikan para pegawai KPK. TWK baru ada dalam Perkom Nomor 1 Tahun 2021. Dengan diterbitkannya SK Nomor 652/2021 para pegawai dan kepentingan pemberantasan korupsi menjadi mengambang. Proses penindakan perkara-perkara besar akan terhambat. Menurut Bivitri, ini termasuk “obstruction of justice.”

Mengapa hanya 75 saja dipersoalkan? Karena karena harus dilihat jumlah penegak hukum di KPK. Dari jumlah yang disingkirkan dengan TWK, 9 diantaranya Kasatgas yg menangani perkara kasus-kasus besar. Jumlah penegak hukum tidak banyak. Maka, tdk tepat memperbandingkan 75 vs. 1.271. Ada dua kemungkinan menurut Bivitri terkait tragedi KPK tersebut, yakni KPK akan lemah selemah-lemanya dan/atau KPK menjadi alat kekuasaan.

Sementara itu, akademisi hukum pidana Universitas Ichsan Gorontalo, Jupri menyatakan bahwa banyaknya serangan terhadap KPK karena memang pemberantasan korupsi bersentuhan dengan penguasa. “penguasa lebih banyak bermain,” ujar Jupri. Mencermati putusan MK, menurut Jupri, ketentuan yang diterima MK hanya hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan Dewan Pengawas KPK. Tidak ada jaminan KPK ke depan tidak tersandera dengan diterimanya sebagian materi tersebut. Sebab, ada beberapa ketentuan seperti Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Penghentian Penuntutan (SP2) tidak diterima. Ia mengkritisi SP3 KPK yang menjadikan jangka waktu 2 tahun sebagai alasan pemberhentian perkara. “KUHAP yang menjadi acuan kita, SP3 dikeluarkan jika tidak terpenuhi dua alat bukti, bukan persoalan adanya jangka waktu paling lama 2 tahun. Ini berbahaya.”

Senada dengan Bivitri, Jupri mengingatkan jangan sampai KPK menjadi alatnya penguasa. “Kasus BLBI sudah diselesaikan, ke depan dimungkinkan SP3-SP3 baru atau lebih mengerikan lagi pada saat hendak dituntut keluar SP2). Jupri juga berpandangan bahwa memang konstruksi SP3 dan SP3 di KPK rancu, mengingat penyidik dan penuntut berada dalam satu kamar di KPK sehingga tatkala menerbitkan SP3 atau SP2 tidak masuk akal. Masalah lain, penghentian pejabat penyidik terutama yang independen. Menurut Jupri bahwa rangkaian peristiwa selama ini sudah lama ditarget. Padahal mereka yang ditarget sebenarnya memiliki relasi atau hubungan yang baik dengan aktivis di luar KPK atau publik yang mendukung lembaga tersebut. Karena citra lembaga dirusak saat ini, maka ke depan masyarakat akan semakin menjaga jarak. “kita harus mendorong konsolidasi untuk mendukung pegawai yang di-nonjob-kan.”

Menurut Bivitri jika kita tidak boleh diam karena itu yang diharapkan koruptor, diam artinya mereka semakin mencapai tujuan. Segala kemungkinan celah hukum apapun untuk digunakan sebagai perlawanan harus dilakukan. Misalnya, mengajukan PTUN, judicial review, advokasi masyarakat sipil, dan lain sebagainya.

Unduh: TWK dalam Perspektif Besar Pemberantasan Korupsi 28.05.2021 (1)

Simak rekaman Diskusi Online BHACA “Tragedi KPK,” selengkapnya di Youtube Bung Hatta Award BHACA

 

Acara, Berita

Kuliah Umum Online “Jejak Pemikiran Bung Hatta: Konstitusi, Demokrasi, dan Kedaulatan Rakyat”

“Pemikiran-pemikiran Bung Hatta bagaikan tunas yang senantiasa tumbuh, makin tinggi dan berkembang di seluruh Indonesia. Bukan hanya melalui para senior tetapi juga melalui para pemikir-pemikir muda yang tersebar di berbagai kelompok masyarakat,” demikian pernyataan Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.

Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang menjadi narasumber Kuliah Umum Online dalam rangka memperingati hari wafat Bung Hatta dengan tajuk “Jejak Pemikiran Bung Hatta: Konstitusi, Demokrasi, dan Kedaulatan Rakyat,” Selasa, (16/3/2021)

Pokok pembahasan yang disampaikan:

  • Pendahuluan
  • Pemikiran Bung Hatta mengenai Konstitusi
  • Pemikiran Bung Hatta mengenai Kedaulatan Rakyat
  • Pemikiran Bung Hatta mengenai Demokrasi
  • Uraian diakhiri dengan Pidato “Tanggungjawab Moril Kaum Intelegensia”

Pemikiran Bung Hatta dalam konstitusi sangat banyak mulai dari preambule sampai materi muatan di pasal-pasal konstitusi. Materi muatan hak asasi manusia merupakan kontribusi terpenting Bung Hatta dalam konstitusi. Bagi Bung Hatta, konstitusi jangan sampai menjadi alat kekuasaan.

Negara yang dikehendaki Bung ialah negara pengurus atau negara yang melayani rakyat (the service state). Bung Hatta menghendaki bahwa janganlah rakyat memberikan seluruh kekuasaan tidak terbatas kepada negara. Sebab itu, ada baiknya ada pasal terkait warga negara agar tiap-tiap warga negara tidak takut mengeluarkan suara, berkumpul, bersidang atau menyurat.

Pemikiran kedaulatan rakyat Bung Hatta ialah kekuasaan untuk mengatur pemerintahan negeri pada rakyat. Rakyat yang berdaulat berkuasa menentukan cara bagaimana ia harus diperintah. Putusan rakyat yang dapat menjadi peraturan pemerintah bagi semuanya adalah keputusan dengan cara mufakat yang diatur bentuk dan jalannya dimana mereka yang ikut di dalamnya mempunyai kedududakan yang setara.

Di dalam kedaulatan rakyat/demokrasi harus disertai tanggung jawab. Kalau rakyat berkuasa menentukan peraturan tentang hidup bersama dalam negara, maka rakyat bertanggung jawab pula tentang segala akibat dari peraturan yang diperbuatnya. Dasar pemerintahan yang adil ialah, siapa yang mendapat kekuasaan dia itulah yang bertanggung jawab.

Kedaulatan rakyat membutuhkan keinsafan politik yang akan menimbulkan rasa tanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi rakyat itu penting dilaksanakan baik oleh pemerintah atau rakyat itu sendiri. Jika rakyat sendiri maka dilaksanakan oleh partai politik. Gunanya partai politik bukan semata-mata untuk mencari pengaruh kepada rakyat, bukan sebagai alat kepentingan untuk mencapai kekuasaan. Kedaulatan rakyat dengan tidak ada keinsafan pada rakyat akan menjadi anarki.

Bung Hatta sangat mengkritisi praktik demokrasi dan mengajukan pemikiran demokrasi yang cocok bagi Indonesia. Demokrasi Indonesia yang dikehendaki bukan hanya demokrasi politik melainkan juga demokrasi sosial/ekonomi. Kalau tidak manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Demokrasi sosial meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib bangsa. Bangunan demokrasi Indonesia haruslah suatu perkembangan daripada demokrasi asli yang berlaku di dalam desa di Indonesia.

Buah hati Bung Hatta yang hadir yakni Gemala Hatta dan Meutia Hatta juga ikut berkomentar dalam diskusi ini. Menurut Gemala, Bung Hatta memiliki pemikiran yang melampaui zamanya. Namun, ia melihat pemikiran Bung Hatta tidak menjadi basis. Pasal 33 UUD, hak asasi manusia, banyak sekali yang dilanggar saat ini.

Menurut Meutia, sebelum Indonesia merdeka, Bung Hatta memang memikirkan bentuk negara federal, tetapi kemudian bentuk kesatuan yang dipilih. Namun, setelah Konferensi Meja Bundar, Bung Hatta memikirkan juga konsep NKRI. Pasal 18 UUD 45′ tentang otonomi daerah merupakan kesempatan daerah-daerah untuk menata daerahnya sendiri dan untuk kepentingan nasional. Menurutnya, Bung Hatta secara konsisten bahwa rakyatlah yang diutamakan. Bung Hatta juga mementingkan adat-istiadat, hukum adat yang berlaku di daerah tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Simak rekaman Kuliah Umum Online “Jejak Pemikiran Bung Hatta: Konstitusi, Demokrasi, dan Kedaulatan Rakyatselengkapnya di Youtube Bung Hatta Award BHACA.

Artikel, Berita, SIARAN PERS

Siaran Pers: PERNYATAAN SIKAP P-BHACA ATAS STATUS TERSANGKA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, NURDIN ABDULLAH

Siaran Pers  –  Untuk Disiarkan Segera

Jakarta, 02 Maret 2021 – Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) organisasi independen yang memberikan anugerah kepada pribadi-pribadi anti-korupsi dan yang memperjuangkan nilai-nilai anti korupsi di Indonesia sejak tahun 2003, merespon pemberitaan yang beredar sehubungan dengan ditangkap dan ditetapkannya Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah sebagai tersangka penerima suap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai berikut:

Nurdin Abdullah merupakan penerima penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award pada tahun 2017, ketika menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, selama dua periode mulai 2008 hingga 2018, atas upayanya menumbuhkembangkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, dan memberantas korupsi.

Penghargaan BHACA ini merupakan ajang penganugerahan penghargaan bagi insan Indonesia yang dikenal oleh lingkungan terdekatnya sebagai pribadi-pribadi yang bersih dari praktik korupsi, tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya, menyuap atau menerima suap, dan berperan aktif memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat atau lingkungannya dalam pemberantasan korupsi serta diharapkan menjadi panutan gerakan anti-korupsi.

Melalui seleksi yang ketat, di mana penerima award dipilih melalui proses yang amat seksama dan hati-hati oleh dewan juri yang independen pada tahun 2017, Nurdin Abdullah sebagai Bupati Bantaeng dinobatkan sebagai salah satu penerima penghargaan BHACA yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan kejujuran serta independensi.

P-BHACA sangat terkejut dan menyesalkan perkembangan yang terjadi. Apabila di kemudian hari terbukti telah terjadi penyelewengan/pengkhianatan terhadap nilai-nilai tersebut di atas, maka kebijakan P-BHACA adalah me-review kembali penganugerahan tersebut. Oleh sebab itu Dewan Pengurus P-BHACA akan mengevaluasi secara internal melalui proses due diligence yang berlaku di P-BHACA di mana penarikan kembali sebuah award memerlukan proses yang tidak kalah teliti dari penganugerahannya.

Sementara itu P-BHACA akan terus mengikuti proses hukum yang sedang berlangsung dan senantiasa menghormati serta mendukung upaya KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. P-BHACA percaya bahwa pribadi yang menjunjung tinggi kejujuran dan mengedepankan integritas akan dengan terbuka dan sukarela mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

 

Shanti L. Poesposoetjipto

Ketua Dewan Pengurus P-BHACA
office@bhaca.org
Berita

Diskusi Online BHACA “Pemberantasan Korupsi Kala Pandemi”

Tantangan di tengah pandemi covid-19 tidak hanya persoalan kesehatan tetapi juga masalah pemberantasan korupsi. Tertangkapnya Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta sejumlah politisi yang terseret dalam pusaran beberapa kasus korupsi merupakan sesuatu hal yang sangat memprihatinkan. Di satu sisi, terungkapnya kasus-kasus ini mengonfirmasi indikasi bahwa banyak kebijakan negara yang dibancak dan banyak pula pejabat pengelolanya yang tidak berintegritas. Di sisi lain, ini merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mengusut semua yang terkait tanpa pandang bulu sampai tuntas.

Pada 22 Februari 2020 lalu, BHACA menggelar diskusi online dengan tajuk “Pemberantasan Korupsi Kala Pandemi,” menghadirkan dua narasumber utama yaitu Dewi Anggraeni NP (Peneliti ICW) dan Laode M Syarif (Direktur Eksektuf Kemitraan, Wakil Ketua KPK 2015 – 2019). Diskusi ini sekaligus memperingati Hari Keadilan Sosial yang bertujuan untuk mempromosikan keadilan sosial.

Dalam paparannya, LMS menyampaikan berdasarkan pengalaman empirik, dana untuk bantuan sosial atau penanganan bencana kerapkali dikorupsi. “Setiap dana besar untuk bantuan sosial atau subsidi sering dikorupsi.” LMS mencontohkan anggaran Tsunami Aceh dimana uang Rp5 triliun tidak jelas juntrungannya. Begitupula, dana flu burung & pengadaan alat kesehatan sekitar Rp12,33 miliar raib. Kasus BLBI yang dikorupsi Rp138 triliun hingga Bank Century nilai korupsi mencapai 6,742 triliun. Anggaran penanganan Tsunami Jawa Barat dan Gempa Lombok juga dikorupsi hingga anggaran Gempa Likuifaksi Palu dikorupsi Rp 2,9 miliar,” paparnya.

Mengapa korupsi terhadap dana-dana kemanusiaan dikorupsi? Menurut LMS penyebabnya adalah dasar hukum yang longgar dan kurangnya pengawasan. Korupsi dana darurat sebelum bansos memang tidak mengenal dasar hukum yang khusus dan mekanismenya normal. Dalam konteks korupsi bansos di tengah pandemi, problemnya terletak pada UU yang membuka ruang korupsi. Sebagaimana diketahii bahwa dalam UU No 2 Tahun 2020 khususnya Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) mengamanatkan penyesuaian, pergeseran, dan pengeluaran anggaran tanpa persetujuan DPR.

Problem lain ialah terletak padaa data orang miskin tidak lengkap, penunjukan langsung diperbolehkan, pengawasan lemah, pemanfaatan dana bansos untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, menurutnya, ke depan harus segera  dilakukan perbaikan data, memperkuat koordinasi, dan pengawasan harus ketat dan melekat.  Selain itu, LMS menyarankan untuk diwaspadai dana insentif usaha, pembiayaan koorporasi,dan UMKM yang belum jelas realisasinya.

Dewi Anggraeni dari ICW memaparkan hal-hal yang dilakukan ICW untuk melihat korupsi di pandemi. Ia menjelaskan bansos ada banyak masalah dari hulu-hilir, dari pendataan, pengadaan, proses pengadaan, realisasi hingga distribusi sampai informasi anggaran. Berdasarkan pemantauan ICW terhadap distribusi bansos sepanjang Juni – Agustus 2020, distribusi bansos belum tepat sasaran dan penuh persoalan termasuk pungli dan politisasi. Dari survei distribusi bansos di Kupang, Bandung, dan DKI ditemukan permasalah-permasalah sebagai berikut:

  • Pendataan penerima bansos penyandang disabilitas masih bermasalah dan tidak akurat (inclussion dan exclussion error)
  • Adanya pemotongan bansos
  • Penerimaan bansos tidak tepat waktu
  • Informasi mengenai adanya bansos belum diketahui penyandang disabilitas, serta belum ramah disabilitas, lengkap, dan mudah dimengerti
  • Informasi kanal pengaduan bansos belum banyak diketahui penyandang disabilitas
  • Bentuk dan jumlah bansos yang diberikan belum sesuai dengan informasi yang diketahui, termasuk kualitas bansos yang tidak layak konsumsi.

Monitoring terhadap pengadaan barang dan jasa juga sarat problema mulai dari rencana pengadaan terlalu umum, uraian, spesifikasi, bentuk tidak terjelaskan secara detail dan sulit diakses. Identifikasi kebutuhan yang tidak berdasarkan kebutuhan lapangan. Terjadi jual beli penunjukan penyedia dan Surat Perintah Kerja (SPK) dari PPK. Sehingga penunjukan penyedia tidak sesuai ketentuan yaitu berpengalaman di pengadaan sejenis, dan juga penunjukan penyedia didasarkan suap atau konflik kepentingan. Potensi penyedia yang ditunjuk PPK, hanya mempunyai modal kemudian melakukan subcon pekerjaan utama kepada pihak lain. Melakukan pelunasan pembayaran padahal pekerjaan belum selesai. Ironisnya, korupsi juga menyasar bansos  untuk penyandang disabilitas.

Masalah dalam PBJ, antara lain:

  • Pengadaan alat kesehatan dan bantuan sosial belum transparan
  • Perencanaan pengadaan (alat uji, alat pelindung diri, dll) tidak terinformasi dengan baik dan transparan, baik di RUP, LPSE, maupun website resmi Badan Publik. Bahkan terkait bansos, tidak ada informasinya sama sekali yang bisa dengan mudah diakses publik.
  • Metode pengadaan tidak terinformasi dengan jelas sehingga tidak dapat dipantau oleh publik atau masyarakat. Meski ada Peraturan LKPP No 13 Tahun 2018 dan Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengadaan Darurat, tetapi tidak serta merta informasi perencanaan dan pengadaannya minim informasi.
  • Data-data dan informasi tidak valid/minim menyebabkan kebingungan atau keacuhan oleh publik, bahkan hingga menyebabkan kematian para tenaga medis.
  • Distribusi alat material kesehatan dan bantuan sosial
  • Informasi penerima dan jenis barang yang didistribusi tidak diinformasikan dengan baik.
  • Anggaran belanja kesehatan dan bantuan sosial
  • Hanya diinformasikan secara gelondongan. Terkait bantuan sosial sebagai salah satu upaya pemulihan ekonomi masyarakat

Bagaimana ke depan? Dewi merekomendasikan:

  • Membuat perencanaan PBJ dan realisasinya secara transparan di SiRUP dan LPSE.
  • Melibatkan publik dalam pengawasan secara maksimal sejak dari perencanaan (identifikasi kebutuhan) hingga realisasi pengadaan.
  • Penanganan korupsi terkait pandemi Covid-19 patut dijadikan prioritas.
  • APH menelusuri pihak/kementerian lain yang berpotensi terlibat atau mempunyai peluang penyelewengan pengadaan publik

Rekaman lengkap: https://www.youtube.com/watch?v=97REJzPxZ-4

Artikel, Berita

Korupsi Sebagai Sebuah Krisis

Pada 28 Januari 2021, Transparency International (TI) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 dari 180 negara di dunia. Survei tersebut memperlihatkan sekitar 60% negara nilainya di bawah skor 50. Mayoritas negara mengalami penurunan dan/atau stagnasi pemberantasan korupsi. IPK Indonesia 2020 jeblok dengan defisit 3 poin sehingga skor akhir ialah 37 dan terlempar jauh ke ranking 102 dunia. Ini kemerosotan terbesar sepanjang sejarah. Padahal pada 2019 silam, IPK Indonesia positif menanjak dari skor 38 ke 40 dan terakhir ranking 85 dunia.

Hal ini dapat dipahami sebab ada pergeseran yang signifikan dalam politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, pergeseran perspektif korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bahkan komisioner KPK saat ini ketika fit and propert test di DPR “mengamini” perspektif ini. Kalau sekarang berbeda, itu cerita lain. Kedua, revisi UU KPK. Revisi yang mengena jantung UU seperti independensi merupakan pergeseran besar dalam politik penguatan institusi pemberantasan korupsi. Ketiga, komitmen yang semakin merosot. Dulu Presiden punya pilihan untuk menolak revisi, tapi pada akhirnya harus berkompromi. DPR tidak bisa diharapkan soal komitmennya karena justru lembaga perwakilan ini yang terkorup.

Selama kurang lebih 2 tahun belakangan, kita menyaksikan penurunan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sederhana saja, dalam rentang waktu tersebut, sektor legislasi, misalnya, terus menelurkan UU bermasalah seperti UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Mengapa bermasalah? Karena dari sisi prosesnya, mekanisme prosedural yang antikorupsi dan demokratis ditabrak. Belum lagi, substansi pasal-pasal yang menuai polemik. Haluan politik hukum pemerintahan lebih menonjolkan pembangunan ekonomi. Praktik-praktik koruptif dianggap lumrah dengan catatan untuk kemaslahatan umum di mana perspektif itu diadopsi dari kalangan elite semata.

Menarik melihat tema besar yang diusung TI yaitu korupsi dan Covid-19 memperburuk kemunduran demokrasi. Sebetulnya ini mengonfirmasikan bahwa korupsi sama berbahayanya dengan Covid-19. Jadi, di samping Covid-19, korupsi adalah krisis bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas perspektif korupsi sebagai sebuah krisis dan bagaimana seharusnya negara menyikapinya?

Krisis Korupsi

Korupsi sebagai sebuah krisis telah berlangsung lama. Hanya saja dengan adanya pandemi Covid-19, skalanya semakin meningkat. Lantas kita bisa melihatnya lebih gamblang. Apa dasarnya korupsi disebut krisis?

Menurut hemat Penulis, terdapat beberapa indikator krisis korupsi. Pertama, korupsi telah dideklarasikan dan dinormatifkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sebagaimana dalam UU Tipikor atau kejahatan serius (serious crime) sebagaimana dimaksudkan dalam Statuta Roma. Hal ini menunjukan bahwa secara nasional dan global terjadi konsensus terkait kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang berbahaya dan wajib diperangi bersama dengan cara-cara yang luar biasa.

Kedua, pada level korupsi politik dilakukan dengan cara sistematik dan terorganizir yang melibatkan individu atau kelompok berlatarbelakang high class profile. Apakah itu pejabat negara, penyelenggara negara, aparat penegak hukum ataukah pengusaha kakap. Pada praktik, hampir semua organ kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan setiap tingkat jabatan publik (desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, kementerian dan lembaga) terlibat korupsi.

Tujuan yang hendak dicapai bukan saja mengeruk keuangan atau kekayaan negara untuk keperluan pemenuhan finansial/ekonomi melainkan untuk mengendalikan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka ini kemudian membentuk sebuah kelompok eksklusif dengan “hak istimewa” dalam mengontrol pasar/ekonomi dan kekuasaan di masyarakat. Padahal sejatinya tanggungjawab moral, sosial, dan hukumnya adalah untuk mewujudkan tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan menciptakan kesejahteraan.

Ketiga, korupsi mengakibatkan multi varian dampak seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan, kemiskinan, melambatnya pertumbuhan ekonomi, terhambatnya pembangunan nasional dan daerah, dan sebagainya. Karena obyek korupsi adalah keuangan negara atau perekonomian negara. Negara dibangun dengan keuangan negara dan hanya perekonomian negara yang maju negara dapat mencapai cita-citanya. Penggerogotian terhadap keuangan dan ekonomi negara terbukti menghambat terwujudnya tujuan negara dan melumpuhkan kehidupan sebuah negara.

Keempat, korupsi merupakan masalah sosial yang acapkali menggerakan perlawanan rakyat melalui demonstrasi besar-besaran yang dapat berujung penggulingan pemerintahan berkuasa. Sebagai misal, Reformasi 1998 atau aksi #ReformasiDikorupsi 2019. Hal ini bermakna bahwa pemerintahan korup tidak dikehendaki rakyat.

Kelima, dibentuknya lembaga super body untuk memerangi korupsi, seperti KPK. Meskipun kini tidak lagi super body, KPK merupakan hasil sejarah penting untuk melihat bahwa pembentuk kala itu menyadari betul korupsi perlu diperangi dengan memperkuat institusionalitas dan wewenang besar. Pasalnya, kalau ditarik ke belakang, sederet lembaga-lembaga antikorupsi pernah didirikan tapi hanya seumur jagung. Tentu saja karena dipengaruhi banyak faktor, salah duanya adalah institusionalitasnya lemah dan mudah diintervensi.

Keenam, bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi selalu dijegal oleh koruptor dan kroninya dengan pelbagai cara. Bisa dengan cara fisik dan non fisik, misalnya, penganiayaan, penyiram air keras, pencurian atau perampasan barang penyidik, teror bom, atau ancaman pembunuhan. Cara hukum atau politis, misalnya, kriminalisasi, penggunaan hak angket, revisi UU, dan seterusnya. Istilah yang kerapkali dipakai untuk menggambarkan situasi ini adalah corruptor’s fight back.

Pengalaman membuktikan bahwa corruptor’s fight back di Indonesia telah sampai pada tataran rekayasa yang amat tinggi dan cukup berhasil melumpuhkan garda pemberantasan korupsi. Ironi ini tergambarkan dalam pelumpuhan lembaga KPK dan pegawai-pegawainya serta para pegiat antikorupsi dan/atau akademisi yang selalu menjadi korban. Pasca reformasi, belum ada lembaga penegak hukum lain yang diteror karena mengusut perkara korupsi kecuali disebutkan di atas. Hingga kini pula, mayoritas para korban belum mendapatkan keadilan hukum dari negara.

Ketujuh, korupsi membentuk moral buruk bangsa terutama di kalangan pejabat negara atau aparat penegak hukum. Alih-alih menjalankan amanat jabatan, mereka terperosok dalam lingkar kejahatan. Jabatan publik yang adrestnya pengabdian berubah menjadi percukongan. Seolah-olah mengambil yang bukan hak adalah sah bila tidak diketahui, bila sudah bekerja untuk rakyat. Persoalan moralitas misalnya, persepsi bagi-bagi proyek kepada sanak famili, atau bagi-bagi jabatan di BUMN untuk eks tim sukses, dan seterusnya. Ini adalah konflik kepentingan dan kini marak terjadi. Tapi kita seolah-olah menetralisirnya.

Masa Depan

Bagaimana masa depan IPK Indonesia? Bagaimana masa depan negara yang korup? Pertama, beberapa orang memang masih melihat IPK hanya soal angka. Namun, lupa bahwa IPK adalah sebuah studi ilmiah yang merupakan refleksi masyarakat sebagai respondennya. Misalnya, kategori Global Insight (Country Risk Rating) yang melihat pengalaman pebisnis/perusahaan dalam proses perizinan dan regulasi. Apakah mereka harus berhadapan dengan suap dan perilaku koruptif lain saat melakukan bisnis. Temuan TI menunjukan GI-CRR ini penyumbang terbesar penurunan IPK Indonesia yaitu 12 poin. Artinya, sektor perizinan usaha kita masih menjadi sarang korupsi. Berarti tidak terjadi perbaikan alias kemunduran pada sektor ini selama paling tidak setahun masa survei diadakan.

Contoh lain dalam sektor demokrasi yang juga mengalami penurunan 2 poin. Indikator Varieties Democracy Project ini mengukur 7 prinsip demokrasi suatu negara, yakni elektoral, liberal, partisipatif, deliberatif, egalitarian, majoritarian, dan konsensual. Kita dapat mengetahui bahwa saat ini kemunduran demokrasi berlangsung karena tidak konsekuennya negara terhadap implementasi prinsip-prinsip demokratis.

Natalia Soebagjo (2021) mengatakan dalam konteks pandemi, negara-negara yang nilai IPK rendah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang koruptif dan melawan asas-asas demokrasi dalam menghadapi covid. Semakin bersih suatu negara, maka democratic violation-nya semakin sedikit. IPK memberikan suatu masukan penting bagi negara/pemerintah untuk berbenah dalam perbuatan nyata. Maka, dalam konteks ini, tantangan ke depan adalah menciptakan sistem perizinan berusaha yang rendah korupsi. Kemudian, nilai-nilai demokrasi dijalankan dengan baik.

Kedua, negara yang korup tidak akan pernah mampu menghadirkan keadilan sosial. Dalam konteks pandemi, sengkarut bantuan sosial akan terus berlangsung kalau tidak ada perbaikan. Jika tak antikorupsi, pengadaan bisa bersifat favourtism. Lebih-lebih lagi, pengambilan keputusan sarat dengan tarik menarik kepentingan. Dan, perilaku koruptif akan semakin membekam dalam sistem birokrasi dan wajah aparatur negara/pemerintahan. Kita semua berkepentingan untuk mencegah jatuhnya negara ini karena korupsi. Dalam perspektif sistem, tugas pemberantasan korupsi tanggungjawab bersama. Namun, tanggungjawab utamanya ada pada negara dan/atau aparat penegak hukum yang ditugaskan untuk itu.

Di hadapan kita ada empat rekomendasi penting TI, negara perlu mengadopsinya. (1) Memperkuat peran & fungsi lembaga pengawas; (2) Memastikan transparansi kontrak pengadaan; (3) Merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik: dan (4) Mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan. Diharapkan ini dapat mendongkrak IPK Indonesia 2021 dan kelak kita menjadi Negara bersih. Mari kita lawan krisis korupsi dengan menciptakan sistem yang antikorupsi.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt602cc45e30058/korupsi-sebagai-sebuah-krisis-oleh–korneles-materay?page=3

Penulis: Korneles Materay

Artikel, Berita

​​​​​​​Mencegah Petaka Pemberantasan Korupsi dalam Kasus Pinangki

Mengecawakan tapi tidak mengejutkan. Begitulah kalau kita melihat tuntutan pemidaan terhadap terdakwa kasus suap dan pencucian uang, Pinangki Sirna Malasari. Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung ini hanya dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Sebelum berangkat lebih jauh, sekadar mengingatkan saja bahwa tuntutan denda Rp500 juta Pinangki sama dengan tuntutan denda kepada guru honorer Baiq Nuril dalam kasus Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE beberapa waktu lalu. Yang menarik, JPU bekerja keras memperjuangkan kepentingan pelaku pelecehan seksual sampai ke Mahkamah Agung dan diputus 6 bulan penjara dan denda sebagaimana di atas. Padahal secara faktual Nuril adalah korban dan penerapan norma tersebut keliru. Hal mana telah diputus vrispraak oleh PN Mataram.

Contoh kecil ini untuk menggambarkan ironi dalam penegakan hukum kita. Bahwa JPU mati-matian dalam kasus yang sebetulnya secara normatif harus dituntut bebas atau mengesampingkan prosesnya sejak awal. Kerja keras semacam itu tidak terlihat dalam tuntutan Pinangki terkait kasus korupsi tingkat tinggi.

Kurang Pantas

Dari sudut keadilan masyarakat, kepentingan pemulihan wajah penegakan hukum, hingga citra profesi, rasanya tuntuan 4 tahun dan denda Rp500 juta masih kurang pantas. Mengapa? Pertama, tuntutan pidana itu termasuk ringan atau rendah. Seharusnya kalau dilihat dari jenis kejahatan dan konstruksi normanya, Pinangki bisa dituntut berat atau maksimal.

Kedua, bahwa Pinangki selaku penegak hukum menggunakan wewenang jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi sekaligus orang lain. Ia justru menjadi pelaku lapangan aktif yang menjalankan rencana misi Peninjauan Kembali dari terpidana kasus korupsi kelas kakap (baca: Djoko Tjandra).

Perbuatan tersebut patut diduga turut melibatkan aktor penegak hukum level atas lainnya lintas lembaga penegak hukum. Yang artinya, dia tidak sendiri. Ini sungguh menginjak-injak wajah mulia profesi penegak hukum khususnya jaksa dan lembaga adhyaksaKetiga, perbuatan Pinangki dapat dikatakan termasuk komplikasi kejahatan karena terdiri dari beberapa seperti permufakatan jahat, suap, dan pencucian uang.

Pengabaian yang Krusial

Pembacaan requisitoir JPU itu patut disayangkan. Secara filosofis-yuridis, JPU seyogianya mewakili kepentingan rakyat/negara dan hukum. Namun, terlihat jelas bahwa JPU mengabaikan beberapa hal yang krusial yaitu status terdakwa sebagai aparat penegak hukum, kerusakan sistem hukum, dan rasa keadilan masyarakat dalam merumuskan tuntutan ini.

Penuntutan pidana yang ringan tersebut mengesankan satu hal bahwa JPU tidak serius dan cenderung terbebani. Hal ini memantik pertanyaan mendasar, mengapa kejahatan yang begitu besar dengan pelaku penegak hukum hanya dituntut rendah? Jawabanya bisa bermacam-macam. Mulai dari spekulasi karena terdakwa adalah sejawat, konflik kepentingan, titipan, ada udang dibalik batu, dan seterusnya.

Pengadil harus Berani

Tuntutan Pinangki tersebut berpotensi menjadi petaka bagi masa depan pemberantasan korupsi terlebih terhadap kasus-kasus besar seperti ini. Kita semua tahu bahwa mau atau tidak mau, suka atau tidak suka tuntutan pidana acapkali berperan sebagai landasan penjatuhan vonis hakim selain dakwaan. Kendatipun majelis hakim tetap dapat memutuskan berbeda dari tuntutan pidana tersebut.

Bak nasi telah menjadi bubur, tuntutan pidana telah dilayangkan. Muara harapan terakhir ada pada majelis hakim selaku pengadil. Majelis hakim harus berani berbeda dan menjawab tantangan penegakan hukum saat ini. Ada contoh kasus kemarin sore yang penting untuk disimak kembali dan jangan sampai terulang dalam penyelesaian kasus ini yaitu kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Kemiripan antara kasus Novel dan kasus Pinangki ialah melibatkan aparat, berkaitan dengan korupsi level atas, dan peran institusi asal pelaku kejahatan dalam proses penyelesaiannya.

Dalam kasus Novel, pelaku adalah anggota Polri. Penyelidik dan penyidik adalah Polri. Dan, penuntut adalah kejaksaan. Penyerangan terhadap Novel sebagai aparat penegak hukum oleh aparat tidak direspon serius melalui dakwaan hingga tuntutan pidana di tangan JPU. Bahkan kita dibuat tercengang, tatkala JPU hanya menuntut para pelaku dengan hukuman 1 tahun penjara dengan alasan yang konyol yakni tidak sengaja menyiram mata Novel. Terlepas dari apakah keduanya merupakan korban dari sandiwara penuntasan kasus yang membusuk selama 3 tahun tersebut atau tidak.

Kasus Pinangki, praksis semuanya dikerjakan pihak kejaksaan. Kali ini alasan JPU karena Pinangki adalah ibu dari seorang anak berusia 4 tahun. Kita tentu prihatin karena buah hati kecil itu barangkali sudah terbebani dengan situasi ini. Namun, ada pula banyak kasus di mana ibu-ibu lain harus mengurusi anaknya di penjara. Anak-anak mereka terlantar karena proses hukum dan seterusnya, di mana mungkin saja hukum telah berlebihan menutup mata dan kupingnya.

Ujung kasus Novel hanya membentangkan hasil yang seolah-olah asal ada vonisnya yaitu penjara 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan masing-masing kepada kedua pelaku. Hakim terlihat jelas tidak condong ke JPU, penuh beban dan tidak berani memutuskan berdasarkan hukum dan keadilan. Peran institusi asal sedikit banyak dapat kita pahami karena konflik kepentingan.

Harapan kepada hakim kali ini tentu berbeda. Sebagai penengah, mahkota lembaga kehakiman sepatutnya adalah independensi dan imparsialitas. Kasus ini telah menjadi ujian penting sistem peradilan pidana yang berintegritas. Sistem peradilan pidana yang berintegritas berarti meletakan prinsip profesionalisme, independensi, dan imparsialitas di dalam setiap tahapan proses hukum.

Menurut hukum, hakim harus memutus berdasarkan bukti-bukti yang cukup dan keyakinannya. Bukti-bukti kejahatan semuanya sudah tersaji di hadapan meja hijau. Jika terbukti bersalah, dihukum sesuai derajat kejahatan dengan memperhatikan faktor pemberatan pidana karena aparat penegak hukum, motif kejahatan, hingga dampak kasus bagi bangsa dan negara khusus sektor penegakan hukum. Dari konstruksi pasal UU Tipikor dan UU TPPU yang dipergunakan, Pinangki paling tidak dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal yaitu 20 tahun penjara.

Jangan sampai peradilan pidana yang berintegritas runtuh karena ketidakberanian pengadil. Dampak keberanian tersebut ialah pulihnya wajah penegakan hukum dan kepercayaan publik. Kini, segenap rakyat Indonesia menunggu ketukan palu majelis hakim. Mari kita nantikan apakah majelis hakim mencegah petaka itu. Atau, sebaliknya menciptakan secercah harapan di tengah gersangnya vonis monumental hari ini.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6010f9c8cdd4b/mencegah-petaka-pemberantasan-korupsi-dalam-kasus-pinangki-oleh–korneles-materay?page=3

Penulis: Korneles Materay

1 2 3 4 5 6
Donasi