Hubungi Kami
Artikel, Berita

Corona & Korupsi Dana Bencana

Seluruh dunia sementara berkabun. Virus corona telah mewabah. Kemampuan menularnya sangatlah cepat. Di Italia korban meninggal telah mencapai 10.000 orang. Ramai-ramai sejumlah negara di dunia menyuarakan Lockdown. Tujuannya agar Covid-19 tidak menyebar lagi.

Di Indonesia sendiri, masih menjadi perdebatan apakah Lockdown ataukah cukup dengan social distancing. Akan tetapi, bila melihat data penyebaran virus corona sudah menguatirkan. Per 29 Maret 2020 pukul 16.00 terkonfirmasi 1.285 kasus, 64 kasus sembuh dan meninggal dunia 114 orang. Olehnya sudah tepat bila pemerintah menyatakan bahwa Covid 19 merupakan bencana nasional non alam.

Pertanyaannya apa hubungannya dengan korupsi ? Apakah ada manusia yang tegah melakukannya ? Dalam kondisi bangsa terkena bencana ?

Korupsi Dana Bencana

Jawabannya “iya ada”, korupsi memang memiliki daya rusak yang luar biasa. Perilaku ini bukan hanya merugikan keuangan negara. Di saat yang sama korupsi juga merusak mental seseorang. Mematikan hati nurani.

Di Indonesia sendiri, korupsi dana bencana pernah terjadi di beberapa daerah. Pertama, korupsi dana rehabilitasi gempa Lombok. Terdakwa kasus korupsi “fee project” dana rehabilitasi pascagempa Lombok Nusa Tenggara Barat, Muhir di vonis 2 (dua) tahun penjara, denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan kurungan. Majelis hakim menyatakan bahwa Muhir terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, laporan pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada tahun 2005 mengungkap penyimpangan dana bencana Tsunami di Aceh dan Nias. Ketiga, korupsi proyek air minum bagi korban bencana alam di Palu dan Donggala. Pada tahun 2018, OTT KPK telah menetapkan 8 orang tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi suap kepada pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di daerah Palu dan Donggala Sulawesi Tengah.

Di Provinsi Gorontalo sendiri, mungkin masih ingat korupsi pada proyek pengendalian banjir yang didanai APBD sebanyak Rp 19,5 Miliar. Berawal dari rusaknya sejumlah jembatan dan tanggul sungai di Kabupaten Bone Bolango akibat terjangan banjir bandang. Majelis hakim kemudian menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Fakta-fakta di atas, merupakan bukti nyata bahwa di tengah mewabahnya corona virus. Perilaku koruptif bisa saja mengiringinya. Apalagi di “halalkannya” pergeseran pos-pos anggaran lain ke pos penanggulangan bencana wabah corona. Pertanyaan berikutnya, apakah pelaku korupsi dana wabah corona bisa dipidana mati?

Pidana Mati

Penanggulangan korupsi melalui hukum pidana (penal) masih sangat kita butuhkan. Apalagi bila kita berbicara perilaku koruptif dana bencana wabah corona. Dari segi regulasi, penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di atur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekenonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 miliar. Dalam hal tindak pidana korupsisebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Frasa “keadaan tertentu” dalam penjelasan Pasa 2 ayat 2 adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Pada penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 tahun 2001 terdapat frasa “bencana alam nasional”. Bila kita kaitkan dengan kondisi wabah corona di Indonesia, pemerintah telah menetapkan corona virus sebagai bencana nasional non alam (4/3/2020). Suatu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam alam hal ini yakni epidemi dan wabah penyakit. Konsekuensinya adalah bila ke depan terjadi tindak pidana korupsi dana bencana wabah corona, maka pidana mati sangat tepat untuk dijatuhkan.

Jupri, SH.MH, Akademisi UNISAN & Pengurus DPD KNPI Provinsi Gorontalo serta Kawan Bung Hatta Gorontalo. Tulisan ini pertama kali terbit di Gorontalo Post, 31 Maret 2020

Artikel, Berita

Korupsi Dipandang dari Sisi Psikologi Sosial

Korupsi adalah gejala kompleks. Terdapat sejumlah sudut pandang untuk membedahnya. Salah satunya adalah sudut pandang psikologis, yaitu psikologi orang yang takut mati. Apakah ada manusia yang tidak takut mati? Saya akan jelaskan. Kita semua menyimpan ketakutan akan kematian, setiap hari. Ketakutan itu kita simpan diam-diam, walau sesekali kita ungkapkan juga secara terbuka.

Bagaimanapun, rasa cemas akan kematian itu menyiksa batin seseorang. Orang merasa tidak berdaya di hadapan fakta kematian. Fakta itu berpotensi membawa kehampaan atau perasaan bahwa “saya dan hubungan-hubungan saya tidak akan berlanjut”, “saya akan menjadi nihil”. Nah, supaya pikiran seseorang tidak dibalut dengan rasa cemas akan kematian, orang membangun cara hidup. Tujuannya satu, yakni untuk melindungi diri dari kecemasan akan kematian itu, bahkan bila dapat, mengatasi kematian itu. Orang ingin “mengabadikan” hidupnya. Apakah mungkin? Bagaimana caranya?

Manusia adalah makhluk yang kreatif. Ia tidak mau dibatasi oleh kematian. Oleh karena itu “keabadian” dibangunnya secara psiko-simbolik karena badan pasti hancur. Dia membangun makna hidup, dia memeluk atau menganut pandangan hidup tertentu. Dengan cara tersebut, harga diri seseorang yang tadinya jatuh di hadapan fakta kematian yang tak terhindarkan dan tidak bisa dia kendalikan itu, kemudian ditegakkan kembali.

Persis di sinilah titik kritisnya. Pandangan hidup semacam apa yang bisa sukses mengatasi perasaan diri kecil, “bodoh”, dan tak berarti di hadapan fakta kematian? Ada orang-orang yang menyerahkan dirinya pada pandangan hidup yang menekankan penguasaan terhadap lingkungan. Dengan berkuasa dia merasa diri bermakna. Kekuasaan dipandang sebagai rantai yang menghubungkan segala macam hal, orang, dan peristiwa, yang membuat dia tidak gamang lagi. Dengan itu, dia merasa—sekali lagi: merasa—bahwa dia telah menggengam sesuatu yang tidak dapat dicuri atau diambil oleh kematian. Eksistensi dirinya merasa diteguhkan.

Hasrat berkuasa itu biasanya beriringan dengan hasrat akan materi. Bila kita cermati, materialisme dan konsumtivisme telah menjadi semangat zaman ‘now’, sayangnya, sebagai cara paling dangkal dan banal yang dipilih manusia untuk memulihkan dan meningkatkan makna dan harga diri yang dirusak oleh fakta tentang ancaman kematian. Dengan uang, kekuasaan, dan kepemilikan, kebanyakan orang merasa aman bahkan bahagia secara biologis, psikologis, dan kultural. Tidak heran bahwa orang-orang seolah sedang berlomba-lomba untuk secepat mungkin meraih hal-hal tersebut, dengan berbuat korupsi, supaya kecemasan akan kematian berhenti mengejarnya. Apakah kecemasan itu benar-benar berhenti, katakanlah jika orang mencapai puncak kekuasaan dan kepemilikan; itu persoalan yang lain lagi.

Oleh kreativitasnya itu, perasaan akan keabadian juga diciptakan manusia melalui pemikiran bahwa walaupun tubuh fisik ini hancur, namun gen yang dia warisi melalui putra-putri dan cucu-cicitnya akan melambangkan bahwa keberadaan dirinya berlanjut walau dia sudah mati. Secara kultural, gen itu berkorespondensi dengan nama keluarga. Itu sebabnya korupsi itu sangat egois. Pusat sebenarnya adalah diri sendiri, tetapi seolah-olah diabdikan untuk kepentingan orang lain.

Kenyataannya, kreativitas manusia membuat perhatiannya tentang untung-rugi material menggunakan sarana yang disebut atau dianggapnya sebagai “keadilan sosial”. Dikaitkan dengan ungkapan sebelumnya, mengenai “kekuasaan sebagai rantai penghubung” untuk “mengatasi” kematian, akan sangat sulit rantai itu terbentuk dan terpelihara jika manusia tidak memperhatikan apa yang adil dan apa yang membahagiakan buat relasi-relasinya. Relasi atau hubungan itu justru penting untuk mengukuhkan identitas dan status seseorang. Oleh karenanya, membela harga diri kelompok dianggap sama pentingnya dengan membela harga diri orang per orang yang terancam oleh fakta tentang kematian. Ini menjadi pendorong “korupsi berjamaah”. Hal ini karena kelompok ikut menghadirkan kebanggaan dan kehormatan diri bagi seseorang yang bisa membuat orang tidak melulu terbalut oleh kecemasan akan kematian.

Kendati demikian, hal-hal di atas hanya segelintir dari sekian banyak pandangan hidup. Ada pandangan hidup yang jelas-jelas menilai bahwa perasaan abadi yang dihasilkan oleh materi dan kekuasaan yang dijustifikasi dengan persepsi “keadilan sosial” adalah sebuah ilusi psikologis. Kalaupun di atas disebut-sebut tentang adanya kebahagiaan, kebahagiaan itu dicurigai sebagai semu.

Ilusi itu berarti bahwa orang menghargai terhadap sesuatu yang sejatinya tidak berharga. Orang memberikan nilai tinggi akan sesuatu yang tidak setinggi itu nilainya. Sebagai contoh, orang yang menjalani gaya hidup “tampil” dengan segala fashion dan motif untuk dikagumi secara sosial (dan dengan demikian “sejenak” melupakan kematian), pada sejumlah momen dalam hidupnya akan mengirimkan sinyal kepada diri sendiri, dan mengatakan bahwa ada aspek diri yang lebih hakiki daripada sekadar impresi yang ada di permukaan itu. Diri yang ‘tampil’ itu ternyata bukan diri yang otentik, bukan diri yang sejatinya diinginkannya, dan dia harus membayar dengan memburuknya pandangan terhadap moralnya sendiri.

Terhadap sinyal itu, orang dapat berulang-ulang menyerahkan dirinya pada sesuatu yang dianggap sebagai “tekanan” semangat zaman yang tak terhindarkan. Dengan demikian, korupsi pun dibenarkan, bahkan diberikan kerangka makna sesukanya sendiri, misalnya “korupsi itu pelicin pembangunan dan untuk kepentingan kita yang lebih besar”. Sampai pada taraf psikologis ekstrim, emosi moral—yaitu rasa malu dan rasa bersalah—yang seharusnya fungsional untuk mengantisipasikan dan mengerem perilaku koruptif menjadi kendur dan mengalami erosi. Orang bahkan tidak segan untuk melakukan apa yang dalam masyarakat kita digambarkan sebagai “maling teriak (orang lain) maling” atau mengorbankan orang lain demi citra dirinya yang dibangun dengan mental korup.

Oleh karena itu, dinamika “psikologi orang yang takut mati” ini mesti dipahami dan diberikan implikasi sosial kalau kita ingin mencegah dan memberantas korupsi. Bukan dengan serta-merta menganjurkan dan menerapkan hukuman mati, apalagi jika kita belum mampu menjamin juga bahwa sistem hukum kita sudah bebas dari korupsi. Sekarang memang ada gejala yang namanya anti-intelektualisme, sederhananya: kemalasan berpikir, sehingga solusi-solusi yang bersifat simplistik, seperti hukuman mati, pun ditelurkan.

Saya mengajak kita semua untuk memeriksa pandangan-pandangan hidup apakah yang bekerja dalam diri dan masyarakat kita yang berguna untuk mengatasi kecemasan akan kematian. Kematian ternyata secara paradoksikal merupakan etos pertumbuhan karakter hidup seseorang, apakah ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Tetapi, pandangan-pandangan itu perlu disadari saling berkompetisi dan menciptakan apa yang oleh sosiolog disebut situasi anomik atau kesimpangsiuran norma. Mana sajakah yang berpotensi membungkam, atau sebaliknya, memfasilitasi moralitas positif? Persepsi tentang keadilan sosial seperti yang dipaparkan sebelumnya perlu dipikirkan ulang.

Wajib juga jujur dengan bahasa kita sendiri. Kalau pelicin sejatinya adalah pemorakporanda, apakah akan bertahan dengan sebutan pelicin? Contoh lain, dalam dunia Perguruan Tinggi (yang kata orang, disanalah “nurani masyarakat” terletak), praktik “bagi-bagi nama” (gift authorship) dalam penulisan artikel jurnal ilmiah tidak sedikit terjadi. Seorang guru/dosen yang disebut “pembimbing” namun tidak signifikan menyumbangkan gagasan maupun tulisan atas karya ilmiah bimbingannya tetapi menghasut siswa/mahasiswanya untuk mencantumkan namanya sebagai salah seorang penulis artikel jurnal/prosiding konferensi demi untuk memperoleh angka kredit kenaikan jabatan. Demikian juga terjadi di antara sesama sejawat dan hubungan atasan-bawahan di kampus. Bukankah ini wajah korupsi akademik yang dipoles dengan bahasa “gotong royong”, “kolaborasi”, dan “supervisi”? Apakah istilah “rasuah” yang digunakan oleh media massa mengecilkan pemahaman kita tentang “korupsi”?

Selanjutnya, mana yang bernilai dan mana yang tidak bermakna bagi kemanusiaan kita perlu dirumuskan sungguh-sungguh. Saya dengar, sedang direncanakan perumusan 25 butir Pancasila oleh Unit Kerja Presiden. Ini merupakan inisiasi yang bagus. Hanya saja problem “verbalisme Pancasila” selama ini perlu melibatkan studi-studi yang kreatif, supaya anti-intelektualisme tidak terjadi. Ada perbedaan yang jelas antara “kepatuhan (di mata) publik” (public compliance) dan “penerimaan batin” (private acceptance). Kalau suatu saat lahir “Indeks Keber-Pancasila-an”, apakah perbedaan tersebut telah diperhitungkan, supaya jangan sampai terjadi korupsi dalam makna dan pengamatan? Jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan mendekatkan kita pada pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Akhirnya, sama halnya bahwa pengatasan terhadap tendensi korup seseorang dimediasikan secara jelas oleh pandangan hidup dan bahasa, maka pencegahan dan pemberantasan kecenderungan korup secara sosial/institusional seharusnya dimediasikan secara tegas oleh perangkat sosial/institusional yang secara sengaja diciptakan untuk itu. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sentral dalam hal ini.

Juneman Abraham, Pakar Psikologi Sosial

Tulisan ini pertama kali terbit di Bernas.id dengan judul “Korupsi Dipandang dari Sisi Psikologi Sosial” edisi 22 November 2017

Acara, Berita, Kawan Bung Hatta

Temu Nasional Alumni Panitia Bung Hatta Tour 2014 – 2019

Pada tanggal 8 – 11 Juli 2019, Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (P-BHACA) telah menyelenggarakan kegiatan Temu Nasional Alumni Panitia Bung Hatta Tour 2014 – 2019 dengan melibatkan 29 aktivis anti-korupsi yang tersebar di 25 perguruan tinggi, 3 organisasi dan 1 SMK pada 22 kota se-Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Bung Hatta Tour sendiri merupakan sebuah kegiatan pendidikan anti-korupsi yang dikemas dalam bentuk diskusi musikal sejak tahun 2014. Sebagai peserta kegiatan yaitu panitia yang membantu menyukseskan rangkaian tour tersebut.

Temnas ini bertujuan untuk melakukan konsolidasi dan menjalin sinergitas gerakan anti-korupsi dari berbagai perguruan tinggi dan daerah serta menjaga tali silahturahim antar alumni panitia diskusi musikal anti-korupsi.

Dibuka secara resmi oleh Ibu Sharmi Ranti, Sekretaris Dewan Pengurus P-BHACA pada Senin (8/7) malam. Dalam sambutannya, Sharmi mengajak semua peserta kegiatan untuk menjadikan kegiatan tersebut wadah belajar dan berjuang. Menurutnya, anti-korupsi dimulai dari sikap.

“Nilai-nilai anti-korupsi dimulai dari sikap, jangan mudah menyerah terhadap tekanan. Katakan yang benar untuk hal yang benar, tidak untuk tidak,” paparnya.

Sharmi menghembuskan harapan agar kegiatan ini dapat menjadi sebuah gerakan nasional. “Mudah-mudahan dimulai dari pertemuan ini dapat menjadi jaringan anti-korupsi yang menyebar dari Sabang sampai Merauke.”

Kegiatan ini berbentuk diskusi kelompok dan pleno yang mencoba memotret isu pemberantasan korupsi di Indonesia dan beragam isu sosial kemasyarakatan lainnya. Selain itu pula mengangkat bagaimana tantangan gerakan anti-korupsi yang dilakukan para aktivis anti-korupsi di berbagai daerah antara lain: Aceh, Padang, Lampung, Bukittinggi, Labuhan Batu, Bandung, Jember, Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Cirebon, Surabaya, Madura, Malang, Bali, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Palangkaraya, Tarakan, Gorontalo, Kendari, dan Makassar yang hadir dalam temnas ini.

P-BHACA juga menghadirkan para narasumber yang mumpuni di bidangnya, yaitu Erry Riyana Hardjapamekas (eks Wakil Ketua KPK & Peraih BHACA 2003), Adnan Topo Husodo (Koordinator Indonesia Corruption Watch), Natalia Soebagjo (co-founder P-BHACA), Giri Suprapdiono (Direktur Dikyanmas KPK), Judhi Kristantini (Koordinator Saya Perempuan Anti Korupsi), Ainun Chomsun (Pendiri Akademi Berbagi), Akhmad Agus Fajari (Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian), dan Ratna Pandjaitan & Yayoe Pribadi (eks Tim Komunikasi Europalia).

Secara keseluruhan kegiatan temu nasional berjalan dengan lancar dan dinamis karena semua pihak berpartisipasi aktif. Diakhir kegiatan, kami merampung beberapa rencana tindak lanjut untuk membumikan isu korupsi dan gerakan antikorupsi sekembalinya ke tengah kampus, sekolah, organisasi, maupun masyarakat. Kami juga membentuk sebuah jaringan komunikasi antikorupsi bersama yang disebut “Kawan Bung Hatta.”

Temnas ini secara resmi ditutup oleh Ibu Shanti L Poesposoetjipto, Ketua Dewan Pengurus P-BHACA, (10/7). Turut hadir Ibu Halida Hatta, putri Bung Hatta pada malam keakraban sembari menyantap makan malam, menyaksikan api unggun dan menikmati suguhan musik dan lagu dari band Simponi & Sisters In Danger.

Sebagai tambahan informasi, hingga tahun ini, Bung Hatta Tour telah menjangkau 48 kampus dan sektiar 12.000 mahasiswa yang menjadi peserta mendapatkan informasi tentang teladan Bung Hatta, apa dan dampak korupsi, siapa pelaku dan korban korupsi, dan berbagai informasi lainnya dari sekretariat P-BHACA yang didukung oleh pimpinan KPK, LSM anti-korupsi, keluarga Bung Hatta, dan musisi. Akhirnya, kami mengucapkan banyak terimakasih atas semua pihak yang telah membantu menyukseskan kegiatan ini.

Berita

BHACA Ajak Mahasiswa Usulkan Sosok yang Layak Menerima Penghargaan Antikorupsi

Mimbaruntan.com, Untan – Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) mengajak para mahasiswa yang hadir untuk ikut berpartisipasi dalam mengusulkan pejabat publik ataupun pribadi-pribadi yang bersih serta berjuang melawan korupsi agar dapat menerima penghargaan dari BHACA, Jumat, (5/4).

BHACA merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berusaha menyadarkan masyarakat mengenai bahaya-bahaya korupsi bagi kelangsungan hidup. Mereka mengajak untuk berpartisipasi dalam memberikan dorongan, pemberdayaan dan perlindungan bagi sosok yang telah berjuang melawan praktek-praktek korupsi.

“Awal-awal sempat setahun sekali. Cuma tidak gampang. Mencari orang baik tidak mudah. Kita mesti hati-hati. Oleh karena itu kami minta kawan kawan Untan, kawan kawan IAIN atau siapapun untuk mengusulkan kalau ada tokoh tokoh yang layak,” ungkap M. Berkah Gamulya selaku Direktur Eksekutif BHACA.

Ia mengatakan dalam menentukan pemenang BHACA, mereka membentuk dewan juri independen dari akademisi, wartawan, perwakilan swasta. “Ini terpisah dari kami. Kami hanya menyediakan data, nanti dewan juri ini yang memutuskan, menyeleksi siapa yang layak atau tidak layak,” ungkapnya.

Andy Yentriyani selaku ketua Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) juga sangat mengapresiasi hal ini. Ia berharap akan ada lebih banyak orang yang tergerak untuk melawan korupsi. “Semoga semakin banyak yang berani untuk melawan korupsi. Nah kalian ayo usulkan orang-orang yang kira-kira bisa masuk dalam nominasi,” ajak Andy.

Pengusulan calon penerima BHACA yakni dapat melalui link bit.ly/bunghattaaward. Kriteria untuk orang yang diusulkan adalah  bersih dari praktek korupsi, tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya, menyuap atau menerima suap. Serta berperan aktif memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat atau lingkungannya dalam pemberantasan korupsi.

 

Artikel ini telah tayang di http://mimbaruntan.com dengan judul BHACA Ajak Mahasiswa Usulkan Sosok yang Layak Menerima Penghargaan Antikorupsi, http://mimbaruntan.com/bhaca-ajak-mahasiswa-usulkan-sosok-yang-layak-menerima-penghargaan-antikorupsi/

Reporter         : Nanik Kusherawati, Pandu Lanang
Penulis            : Mar’atushsholihah, Reza Pangestika
Editor              : Aris Munandar

Berita

Diskusi Musikal Anti Korupsi Bung Hatta Kalimantan Tour 2019, Ini Yang Dibahas

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Meneguhkan komitmen bersama untuk memberantas korupsi merupakan hal mendesak  bagi kemajuan Indonesia.

Pesan inilah yang didengungkan dalam diskusi musikal anti korupsi Bung Hatta Kalimantan Tour 2019 yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA). Diskusi pada kali ini dilaksanakan di Pontianak yang bertempat di Aula Wakil Wali Kota Pontianak, Kamis (4/4/2019).

Kegiatan ini menjadi pembuka tour yang akan diselenggarakan di 10 kampus yang ada di 6 kota di 5 provinsi se-Kalimantan.

Di Kalbar, tour ini terselenggara atas kerjasama dengan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Universitas Panca Bhakti (UPB) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.

penyelenggaraaan Bung Hatta Kalimantan Tour 2019. Dikawal oleh band Simponi, diskusi musikal bersama Universitas Panca Bhakti yang dihadiri sekitar 200 peserta dari berbagai universitas di Pontianak.

Setelah di UPB besok akan dilakukan diskusi musikal di kampus IAIN Pontianak sebelum tour berlanjut ke Kalimantan Timur.

Kegiatan tour ini sebelumnya telah sukses diselenggarakan pada tahun 2014 di 11 perguruan tinggi di Jawa, tahun 2015 di 12 perguruan tinggi di Sumatera, tahun 2017 di 6 perguruan tinggi di 3 kota di Sulawesi, dan tahun 2018 di 11 perguruan tinggi, di 11 kota di Jawa- Madura-Bali.

Band Simponi adalah juara 1 kompetisi Sounds of Freedom 2014 London, juara 2 Fair Play 2012 Brasilia.

Tour Kalimantan juga menggandeng band Sisters in Danger yang memenangkan Most Popular Award dari badan dunia UN Women tahun 2017 lalu lewat lagu ’16 Oranges’.

Sementara hukuman kepada para koruptor kerap dinilai tidak sebanding dengan kerusakan yang mereka sebabkan, tantangan pemberantasan korupsi juga hadir lewat upaya melemahkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Upaya pencegahan masih belum terintegrasi dengan langkah-langkah penindakan hukum sehingga menjadikan upaya pemberantasan korupsi tidak optimal, “ jelas Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 yang hadir sebagai narasumber.

Selama ini SAKA telah turut mengupayakan internalisasi nilai kejujuran melalui integrasi ke dalam topik dan metode pembelajaran di PG&TK Cerlang dan dalam berbagai kegiatannya bersama kelompok muda di Pontianak.

“Diskusi musikal ini memiliki nilai strategis dalam mengokohkan komitmen kerjasama lintas institusi dalam mengupayakan Indonesia yang bersih dari korupsi” ungkap Andy tentang motivasi SAKA sebagai mitra lokal penyelenggaraaan Bung Hatta Kalimantan Tour 2019.

Artikel ini telah tayang di tribunpontianak.co.id dengan judul Diskusi Musikal Anti Korupsi Bung Hatta Kalimantan Tour 2019, Ini Yang Dibahas, https://pontianak.tribunnews.com/2019/04/04/diskusi-musikal-anti-korupsi-bung-hatta-kalimantan-tour-2019-ini-yang-dibahas?page=2.
Penulis: Anggita Putri
Editor: Jamadin

Berita

Halidah Hatta Dorong Kalimantan Punya Figur Anti Korupsi

Minimmya pendidikan anti korupsi pada generasi muda mendorong Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) menggelar roadshow diskusi musikal untuk mengkampanyekan perlawanan korupsi dari kampus ke kampus di Indonesia, termasuk di Kota Banjarmasin.

Putri dari mantan Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta (Bung Hatta), Halidah Hatta dan anaknya Gustika, hadir sebagai pemantik diskusi di UIN Antasari, Kota Banjarmasin pada Selasa (23/4). Ratusan mahasiswa dan aktivis meriung di kegiatan yang diinisiasi LPM Sukma UIN Antasari itu.

Halidah Hatta berkata sikap anti korupsi harus ditanamkan dari usia muda lewat kesadaran untuk tidak melibas hak orang lain.

“Jangan menggampangkan uang orang. Harus ada empati di setiap individu di Indonesia untuk berlaku jujur. Itu dulu yang harus ditumbuhkan,” kata Halidah kepada wartawan banjarhits.id, Donny Muslim usai diskusi di Gedung Olahraga dan Seni (GOS) UIN Antasari.

Halidah menambahkan, sikap empati untuk menghormati hak orang lain akan membantu berkembangnya sistem pemerintahan Indonesia yang bersih dari praktik KKN.

“Saya melihat sistem pemerintahan kita sendiri sudah mengupayakan untuk menjadi negara yang terhormat. Karena mengusung transparansi dan akuntabilitas. Kita tinggal mendorong untuk semakin baik,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan BHACA, M Berkah Gamulya, menyebut roadshow ini bertujuan menjaring figur-figur anti korupsi di Kalimantan untuk menerima penghargaan dari BHACA.

“Sudah banyak sosok yang kami berikan penghargaan seperti Sri Mulyani, Ahok, sampai Jokowi ketika menjabat sebagai Walikota Solo. Nah, di Kalimantan ini belum ada,” kata Berkah Gamulya.

Adapun kriteria yang mereka cari tentu harus bersih dari praktik KKN dan berperan aktif mengkampanyekan isu anti rasuah. Formulir pendaftaran bisa diakses melalui laman resmi BHACA di bunghattaaward.org.

“Nanti akan dinilai oleh tim juri independen. Batas akhir pendafraran sampai 30 Juni 2019 mendatang,” pungkasnya.

“Diskusi musikal ini memiliki nilai strategis dalam mengokohkan komitmen kerjasama lintas institusi dalam mengupayakan Indonesia yang bersih dari korupsi” ungkap Andy tentang motivasi SAKA sebagai mitra lokal penyelenggaraaan Bung Hatta Kalimantan Tour 2019.

 

Artikel ini telah tayang di https://kumparan.com dengan judul Halidah Hatta Dorong Kalimantan Punya Figur Anti Korupsi, https://kumparan.com/banjarhits/halidah-hatta-dorong-kalimantan-punya-figur-anti-korupsi-1qwchAoAZqG

Berita

Halida Cerita Teladan Bung Hatta di Udayana

Badung – Putri bungsu Bung Hatta, Halida Hatta berbagi cerita soal keteladanan ayahnya dalam pendidikan antikorupsi. Salah satunya soal konsistensi dan mandiri.

Halida mengenang ayahnya merupakan sosok yang sederhana. Meski pernah menjabat sebagai wakil presiden, Hatta tak pernah menggunakan posisinya untuk mendapatkan fasilitas negara.

“Waktu saya lahir ayah saya masih wapres, 1 tahun ayah saya sudah mundur dari wapres. Kita melihat ayah masih dihormati, ayah mendidik anak-anak sesuai dengan keadaan, ayah hidup dari uang pensiunan, tinggal di rumah yang dibeli sendiri,” kata Halida saat mengisi Roadshow Bung Hatta Anti-corruption Award (BHACA) di Universitas Udayana, Jimbaran, Bali, Kamis (27/9/2018).

Halida juga menceritakan seusai tidak menjabat wapres, Bung Hatta hidup dari uang pensiunan dan royalti menulis buku atau tulisan di koran-koran. Sejak kecil, Halida juga diajarkan agar hidup apa adanya.

“Ayah-ibu kalau terbatas keuangannya kami dibilangin apa yang bisa kita beli bersama, tunggu dulu ya. Ibu saya strict kalau nilai kurang bagus tidak dibelikan. Kami seneng ke toko buku, alat tulis, ayah selalu mencatat pengeluaran. Kami tahu kok pengeluaran ayah-ibu, sumber dari pensiun, royalti buku berapa kami tahu kok, anak-anak tahu diri,” urainya.

Halida menuturkan dia memiliki dua mobil keluaran Jepang. Mobil pertama yakni Kijang yang dibeli ibunya pada 1996 silam, dan mobil Toyota miliknya.

“Sopir sedang membawa Kijang itu dari Sunter, saya bilang langsung aja ke kantor, eh dia pulang dulu ganti mobil. Katanya, malu kan pakai jemput Kijang tua jemput ibu di kantor, nggak apa-apa kok yang penting ada fungsinya. Saya berpikir, kenapa ya sopirnya malu pakai Kijang tua ke kantor, padahal hari lain satpam bisa lihat saya naik mobil yang lain. Sebab saya ingat ayah-ibu nggak pernah mendidik kita sebagai borjuis, kita punya jati diri, kepribadian, punya kecerdesan juga gaul tentu temen-temen gaul kita juga mengerti filosofi hidup kita,” paparnya.

Sekelumit cerita soal Bung Hatta itu menarik simpati dari para mahasiswa peserta diskusi. Saat sesi tanya-jawab mereka masih bertanya soal sosok Bung Hatta tersebut. Halida kemudian menekankan salah satu yang menjadi pengingat adalah ayahnya selalu menekankan keteladanan pemimpin.

“Ayah itu selalu satu kata dengan perbuatan, ayo harus bangun pagi karena pergi sekolah supaya tidak terlambat. Jam 7 kurang 5 pasti sudah di sekolah, sementara ayah sudah sedari pagi bangun untuk salat subuh dan bersiap diri,” tuturnya.

“Ketika mengatakan harus melakukan ini, dimulai dari kepala keluarganya, misal kembalikan barang ke tempatnya lagi ayah melakukan yang sama, dan tidak menyakiti orang kalau tidak mau disakiti maka kita sudah pikir ucapan apa yang disampaikan supaya tidak menyakiti dia. Pemimpin itu harus punya wibawa, control your temper, kuasailah ucapan-ucapan yang kamu lontarkan. Bung Hatta adalah contoh yang nyata,” sambung Halida.

Salah seorang mahasiswa juga bertanya keterkaitan BHACA dengan keluarga Bung Hatta. Dia menjelaskan BHACA didirikan para masyarakat yang prihatin dengan korupsi di Indonesia.

“BHACA didirikan oleh sekelompok masyarakat madani, yang berhasil yang kerasa kok Indonesia begini ya. apa kita bisa mengganti cap Indonesia korupsi menjadi masyarakat baru yang bersih dari korupsi, masa dari luar negeri, mereka mencari keteladanan tokoh bangsa yang murni dan bisa dijadikan contoh antikorupsi,” terangnya.
(ams/fdn)

Berita

BHACA: Sikap Antikorupsi Dimulai dari Kehidupan Sehari-hari

Jakarta, CNN Indonesia — Mohammad Hatta atau akrab disapa Bung Hatta merupakan figur pemimpin yang bersih. Jujur, konsisten, toleran serta bertanggungjawab atas apa yang diucapkan jadi nilai yang ia hidupi dan ajarkan pada anak-anaknya.

Nilai-nilai ini pula yang ingin diusung oleh Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) dalam kampanye gerakan antikorupsi di kalangan anak muda.

Di tengah situasi memprihatikan yakni ratusan kasus korupsi yang menjerat kalangan pejabat negara, kepercayaan publik makin merosot. Inisiatif muncul sebab anak muda yang bakal meneruskan estafet kepemimpinan. Mereka diharapkan menjadi calon pemimpin yang bersih seperti Bung Hatta.

BHACA menyelenggarakan roadshow diskusi musikal antikorupsi bertajuk ‘Bung Hatta Jawa-Bali Tour 2018’ di 11 kota dan universitas. Diskusi interaktif seputar korupsi pun diwarnai dengan pentas musik oleh band Sister in Danger, band perah Most Popular Award dari UN Women pada 2017 lewat lagu 16 Oranges.

Selama sebulan mulai 3-27 September 2018, bus besar bergambar Bung Hatta muda ‘mampir’ menyuarakan antikorupsi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati,Cirebon), Universitas Diponegoro(Undip,Semarang), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW, Salatiga), Universitas Gajah Mada (UGM, Yogyakarta), Universitas Islam Negeri Malang (UIN, Malang),Universitas Surabaya, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bangkalan (STKIP Bangkalan, Madura), dan Universitas Udayana (Ubud, Bali). Sekitar 3.500 mahasiswa antusias dengan gelaran ini.

Bung Hatta Anti Corruption Award

Salah satu pembicara dalam diskusi interaktif, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengajak peserta diskusi untuk membentuk island of integrity, integritas yang dibentuk oleh setiap elemen kampus mulai dari mahasiswa, penyelenggara, dan tata kelola pendidikan.

Dia mengungkapkan bahwa sikap antikorupsi seharusnya dimulai dari hal-hal kecil dalam hidup sehari-hari.

“Biasakan tidak nitip absen, copy and paste atau menjadi plagiator. Anda kalau jadi panitia, proposal dipertanggungjawabkan dengan jujur, jangan uangnya kemudian dihabiskan. Jadi hal-hal kecil harus dimulai dalam kehidupan sehari-hari,” kata Agus saat menjadi pembicara saat diskusi Universitas Surabaya pada Jumat (21/9).

Tak hanya Agus, beberapa pembicara pun turut diundang untuk berbagi pengalaman dalam diskusi seperti Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Saut Situmorang, Laode M. Syarif, serta penasihat KPK Budi Santoso dan Sarwono Soetikno. Di samping itu juga hadir koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, akademisi UI Bagus Takwin serta dua puteri Bung Hatta yakni Meutia Hatta dan Halida Hatta.

“Melalui diskusi ini kami berharap tercipta Bung Hatta-bung Hatta muda yang menjadi inspirasi bagi sesama dan pemimpin bangsa yang bebas korupsi di masa depan,” kata Sharmi Ranti, salah satu pendiri BHACA saat hadir dalam diskusi di Universitas Udayana, Bali, pada Kamis (27/9). (els/chs)

Berita

Dirjen Bea dan Cukai Raih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2017

Jakarta, 19/12/2017 Kemenkeu –  Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) secara konsisten memberikan penghargaan kepada pribadi-pribadi yang terus berusaha menumbuh-kembangkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggung jawab, serta menjadi inspirator bagi terbangunnya upaya pemberantasan korupsi di lingkungannya. Pada tahun ini, Perkumpulan BHACA memberikan anugerah kepada dua individu berintegritas dan dinilai berhasil melakukan inovasi dalam sektor pelayanan publik dan birokrasi pemerintah, yaitu Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dan Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Heru Pambudi.

Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Dirjen Bea Cukai menceritakan perjalanan reformasi DJBC. “Berkaca pada peran dan tugas Bea Cukai, yaitu memungut penerimaan negara dari perdagangan internasional dan cukai, sekaligus memberantas praktik-praktik ilegal dalam lalu-lintas dan transaksi perdagangan internasional, dan tuntutan para stakeholder agar Bea Cukai dapat memberikan pelayanan yang optimal, serta memberikan fasilitas kepada industri dalam negeri, tahun 2007, Bea Cukai membentuk Tim Percepatan Reformasi untuk mengawal reformasi kepabeanan dan cukai, yang menghasilkan pembentukan kantor-kantor pelayanan utama yang modern. Tidak hanya itu, modernisasi kantor dilanjutkan dengan membangun kantor-kantor tipe madya dan pratama hingga tahun 2013. Untuk terus menjaga semangat perubahan, pada akhir Desember 2016, kami menggulirkan Program Penguatan Reformasi Bea Cukai,” jelasnya pada saat penganugerahan BHACA 2017 bertempat di Aula Gedung CIMB Bank Niaga Jakarta pada Kamis (14/12).

Dirjen Bea dan Cukai menambahkan, perjalanan reformasi DJBC yang sekarang ia pimpin masih panjang. Masih banyak tantangan dan pekerjaan besar yang harus dihadapi atau diselesaikan, dan itu tidaklah mudah. Butuh konsistensi dan endurance, juga support dari berbagai pihak. Namun, ia yakin bahwa reformasi DJBC akan berhasil mencapai tujuannya.

“Pemberian anugerah BHACA ini adalah suatu pengakuan atas apa yang telah kami rintis dan lakukan. Ini bukan capaian individu, melainkan seluruh jajaran Bea Cukai. Di sisi lain, anugerah BHACA ini juga kami maknai sebagai sebuah amanah dan aspirasi kepada kami dan seluruh jajaran Bea Cukai untuk memastikan bahtera reformasi yang telah terkembang itu sampai ke tujuannya, yakni Bea Cukai yang benar-benar  profesional, amanah/terpercaya, dan dicintai masyarakat,” pungkasnya. (DJBC/hr/rsa)

1 2 3 4 5 6
Donasi